Yesus Gembala yang Baik.

Jumat, 28 Desember 2012

Ibu yang Hebat

Seprisantoh Sitanggang
Komunitas Anak muda dan Remaja Kristen di seluruh Indonesia

Seseorang berkisah tentang pengorbanan ibunya.

Aku lahir di dalam keluarga miskin yang seringkali kekurangan makanan. Ibu mengetahui bahwa aku belum kenyang, sehinga ia memindahkan nasinya kepiringku sembari berkata, “Ini untukmu Nak, Ibu tidak lapar.” Padahal aku tahu persis bahwa ibu belum makan, ibu pasti lapar.

Agar aku mendapatkan makanan bergizi, ibu sering pergi memancing. Sepulangnya dari memancing, ia memasak sup ikan yang lezat dan memberikannya kepadaku. Aku memakannya dengan lahap, tetapi aku memperhatikan bahwa ibu mengambil tulang ikan bekas aku makan dan mulai memakan daging ikan yang masih tersisa ditulang tersebut. Aku sedih melihat Ibu. Kemudian dengan sumpitku aku memberikan daging ikan kepadanya, tetapi ia berkata, “Buat kamu saja Nak, Ibu tidak suka ikan.” Ibu berkata begitu meskipun aku tahu bahwa ibu suka ikan.

Ketika aku masuk SMP, biaya yang kuperlukan semakin banyak. Untuk mendapatkan uang tambahan, ibu bekerja menempel kotak korek api. Walau sudah larut malam, aku masih melihat ibu menempel kotak korek api dengan penerangan lilin yang kecil, “Ibu tidak mengantuk?” tanyaku. “Tidurlah Nak, Ibu belum mengantuk,” jawabnya. Padahal aku melihat matanya sudah hampir terpejam karena mengantuk.

Ketika aku menjalani ujian, Ibu cuti dari pekerjaan untuk menemaniku pergi ujian. Walau terik matahari terasa menyengat, Ibu tetap menungguku di luar. Selesai ujian, Ibu memberiku teh manis. Karena aku melihat Ibu kepanasan dan pasti haus, maka aku memberikan gelas berisi teh kepada Ibu, tetapi ia berkata, “Minumlah Nak, Ibu tidak haus."

Singkat cerita, setelah lulus S1, aku melanjutkan ke S2 dan bekerja di sebuah perusahaan di Amerika. Gajiku cukup besar, sehingga aku bermaksud mengajak Ibu tinggal bersamaku dan menikmati hidup di Amerika. Tetapi Ibu berkata, “Aku tidak terbiasa hidup disana.” Aku tahu Ibu mengatakan itu karena tidak mau merepotkan. Diusianya yang sudah tua, ibu terkena kanker lambung dan penyakit itu membuatnya tersiksa. Aku pulang dan melihat Ibu terbaring lemah menahan sakit. Ia memandangku dengan tatapan rindu. Aku menangis melihat penderitaan Ibu, tapi ia berkata, “Jangan menangis Nak, Ibu tidak merasa sakit.” Itu adalah ucapan terakhir Ibu sebelum ia menutup matanya dan kembali ke pangkuan Tuhan.

Kisah diatas adalah gambaran kasih dan pengorbanan seorang ibu. Sebagai anak, kasihi, hormati dan balaslah budi baik Ibu kita, karena ia adalah kehendak Tuhan. Renungkanlah sejenak apa yang sudah Anda lakukan bagi Ibu yagn sudah melahirkan dan membesarkan Anda. Jika saat ini Anda sedang mengalami keretakan hubungan dengan Ibu Anda, adakan pemberesan sehingga berkat-berkat Tuhan tidak terhambat.

1 Timotius 5:4 - Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah.
Amsal 23:22 - Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau ia sudah tua.


Kamis, 27 Desember 2012

Kisah dari Los Feridas


 

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di salah satu ibu kota negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota . Ada sebuah kisah Natal yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang,

Cerita ini dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli kota itu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya. Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, Tidak sampai setahun di kota itu, mereka sudah kehabisan seluruh uangnya,

Hingga suatu pagi mereka menyadari akan tinggal dimana malam nanti dengan tidak sepeserpun uang ada di kantong. Padahal mereka sedang menggendong seorang bayi berumur satu tahun. Dalam keadaan panik Dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya Dan tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing dari sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang untuk mendapatkan pekerjaan apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini." Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan itu adalah kata-katanya yang terakhir karena setelah itu ia tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu dengan pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.

Selama beberapa Hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, Dan bila malam menjelang ibu dan anaknya tidur di emperan toko itu. Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, Dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Persoalannya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik. Keliahatannya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.

Suatu pagi ia berpesan pada anaknya, agar ia tidak pergi kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau yang menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. "Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita".

Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, Dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya, di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti, kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit. Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu
kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh tsb. Dengan suka cita sang Ibu menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, membayar uang muka sewa kamarnya.

Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota . Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah dipusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Suami istri dokter tsb memberi nama anak gadis itu Serrafona, mereka memanjakannya dengan amat sangat.

Di tengah-tengah kemewahan istana gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, Dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif digereja, Dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian setiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.

Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, Dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu.

Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang mengubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya, ia menemukan selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, Dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar Dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi di antara benda-benda mewah itu tampak sesuatu yang terbungkus oleh kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan terbuat dari emas murni.

Almarhum ibu memberinya benda itu dengan pesan untuk tidak menghilangkannya. Ia sempat bertanya, kalau itu anting, dimana pasangannya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting itu di dekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri.

Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, dengan senyum yang dibuat-buat, belum pernah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dingin sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Matanya basah ketika ia keluar dari kamar Dan menghampiri suaminya, "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkin kah ibu sekarang masih ada di jalan setelah 25 tahun?" Ini semua adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian di seluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, penerbit surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia mengunjungi yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan telah berlalu, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu dinegeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian.

Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian. Saat itu waktu sudah memasuki masa menjelang Natal .

Seluruh negeri bersiap untuk menyambut hari kelahiran Kristus, Dan bahkan untuk kasus Serrafona-pun, orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat pohon-pohon terang mulai menyala disana-sini, mendengar lagu-lagu Natal mulai dimainkan ditempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih. Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, saya bukannya tidak berniat merayakan hari lahirmu, tapi ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup ini 'temukan saya dengan ibu' ". Tuhan mendengarkan doa itu.

Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan
ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat wanita itu berada, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang,

Malam itu juga mereka mengunjungi kota di mana Serrafonna diculik, mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan Maha Kasih nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu nyonya, hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak terlalu banyak lagi." Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, di pinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main di tepi jalan dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi ke jalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi ke jalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.

Tubuh Serrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Cepat, Serrafonna, mama menunggumu, sayang". Ia mulai berdoa: "Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja untuknya". Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja". Mobil masih berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan".

Ketika mereka masuk di belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas, panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan di tengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi, di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi
tempat itu.
"Belum bergerak dari tadi." lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun dari mobil, suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
"Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu."

Serrafona memandang tembok di hadapannya, dan ingatan semasa kecilnya kembali menerawang saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan kembali terlintas bayangan ketika ia mulai belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

"Tuhan", ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, "Beri kami sehari,Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberinya tahu bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Sehingga mama tidak sia-sia pernah merawat saya". Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya, wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri di saat ia masih muda.
"Mama....", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang selama ini ditunggunya tiap malam dan seiap hari - antara sadar dan tidak kini menjadi kenyataan.

Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas, dengan perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebuah anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk dan menyadari bahwa itulah pasangan anting yang selama ini dicarinya dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.
"Mama, saya tinggal di istana dengan makanan enak setiap hari. Mama jangan pergi, Kita bisa lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur apapun juga........ Mama jangan pergi....... ."
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan Maha Pengasih dan Pemberi, Tuhan..... satu jam saja.......satu jam saja....."
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang
menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.


Senin, 24 Desember 2012

Kisah Sebuah Biola


Touch of The Master's Hand
 
Sebuah keluarga yang kaya raya, memesan sebuah biola dari seorang pembuat bahkan pemain biola terbaik di kota itu. Biola itu dipesan khusus untuk anak laki-lakinya yang sangat temperamental, dengan harapan musik dapat mengubah anak itu.

Biola itu sangat indah, pembuatnya memilih kayu terbaik yang didapat dari negeri yang jauh, dibentuk, dihaluskan,dipoles selama beberapa waktu hingga mengkilap, di bagian kepala diukir dengan teknik seni yang tinggi, hingga biola itu merupakan biola terbaik yang pernah dibuat olehnya. Semua orang yang melihatnya apalagi menyentuhnya pasti akan terkagum-kagum dengan karyanya.

Segera biola itu berada di tangan sang anak. Guru yang didatangkan khusus oleh orangtuanya tak mampu berbuat banyak untuk membuat anak itu bisa bermain dengan benar. Tak lama kemudian, biola yang sangat indah itu hanya teronggok di sudut gudang yang gelap, berdebu dan sangat kotor itu.

Tahun demi tahun segera berlalu, tak terasa anak laki-laki tadi sudah dewasa, menikah kemudian memutuskan untuk pindah mengikuti orang tuanya yang telah lebih dulu meninggalkan kota itu. Segera juru lelang mempersiapkan semua barang-barang yang ada di dalam rumah itu untuk acara lelang yang akan diadakan.

Ketika satu demi satu barang diangkut ke pelelangan, tinggallah sebuah biola yang kusam, kotor tak terawat, dengan tali-tali senar yang sudah tidak lengkap lagi. Juru taksir lelang tidak mau membawa biola tersebut karena pasti tidak akan ada harganya di pelelangan, namun karena masih ada tempat kosong di bagasi, maka jadilah biola itu dibawa juga.

Satu demi satu barang yang ada laris terjual, mulai dari meja, kursi, jam dinding, lampu hias, lukisan, lemari, berbagai hiasan, keramik, alat-alat dapur hingga ke berbagai jenis kendaraan antik sampai yang terbaru dilelang. Maklum, keluarga ini memiliki barang-barang terbaik dan berkelas, sehingga setiap barang yang dibelinya pasti akan diincar juga oleh para kolektor lainnya.

Setelah semua barang terjual, tinggallah sebuah biola yang rusak tadi. Melihat barang yang tersisa cuma biola tak berharga, maka satu demi satu peserta meninggalkan ruangan. Dengan ragu-ragu, panitia lelang mengumumkan harga pembukaan, 10 dollar. Tidak ada respon, berbeda dengan barang yang lain, ketika ditawarkan maka harga akan naik. Tetapi karena tidak ada peminatnya, maka biola ini ditawarkan dengan harga makin rendah. 8 dollar. 5 dollar. Hingga akhirnya 1 dollar, sebuah harga yang tanpa harga. Semua tidak mempedulikan lagi barang itu, mereka sibuk untuk bersiap pulang.

Tiba-tiba seorang pria tua berjalan dari antara peserta, tanpa perintah dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia naik keatas panggung, mengambil biola yang tidak ada harganya itu, mengeluarkan saputangan dari kantongnya dan mulai membersihkan biola itu. Dia mengelap biola itu dari ujung ke ujung, hingga warna asli dari biola itu keluar. Biola itu sangat mengkilap. Setelah dia memasangkan kembali senar-senarnya yang sudah tak terpasang, kemudian dia mengeluarkan sebuah dawai dari pinggangnya dan mulai menggesek-gesekkannya pada senar sambil menyesuaikan nada-nadanya.

Mendadak semua orang yang hendak pulang terpaku, melihat tingkah aneh pria tua itu. Ketika akhirnya pria tua itu memainkan sebuah lagu, semua orang yang mendengarnya terdiam, ternganga mulutnya, terhanyut menyaksikan sebuah pertunjukkan seni tingkat tinggi. Orang-orang yang tadinya ada di luar kembali memasuki ruangan untuk mendengarkan suara yang sangat indah, bahkan seumur hidup mereka belum pernah mendengar suara seindah itu, yang keluar dari sebuah biola yang diabaikan sebelumnya. Ternyata pria tua itu adalah pembuat dari biola itu sendiri, sehingga ia tahu bagaimana membuat biola itu menjadi berharga.

Melihat situasi yang begitu mengharu biru,panitia lelang langsung mengoreksi harga yang tadi sempat diangka 1 dollar. Tidak tanggung-tanggung, ketua lelang membuka harga 100 dollar, 400 dollar, 1.000 dollar, 10.000 dollar hingga akhirnya biola itu menjadi barang termahal yang berhasil dijual pada acara lelang yang sangat dramatis itu, mengalahkan harga mobil paling mahal yang ada disitu.

Guys, apakah anda merasa tidak berharga? Diabaikan? Dicampakkan? Hanya sebagai sampah yang tidak ada artinya? Datanglah kepada Pembuat anda, Penciptamu, maka Ia akan membersihkanmu, memoles hidupmu dan memperbaiki setiap kekuranganmu, hingga akhirnya engkau akan menjadi harta yang terindah yang pernah diciptakan-Nya.