Yesus Gembala yang Baik.

Minggu, 21 September 2014

Peluru


PELURU

            Waktu itu siang hari di akhir bulan Maret dan Anya sedang duduk di dalam mobil sambil menghafal ayat-ayat Alkitab. Ia melakukan hal itu setiap minggu sementara adik laki-lakinya, Zeek, kursus piano. Giliran Anya untuk kursus akan tiba nanti, tetapi ia perlu mengulangi membaca ayat-ayat itu dengan keras untuk menghafalnya, dan itu paling baik dilakukan di dalam mobil. Anya adalah anggota tim Bible Quiz (Kuis Alkitab) di sekolahnya, dan itu berarti ia harus menguasai betul satu bagian Alkitab. Bukan masalah. Anya suka pertandingan itu!
            Guru music mereka tinggal di rumah bertingkat dua dan pianonya berada di lantai atas.Sebelum pelajaran dimulai, Zeek berkata kepada ibunya, “Aku ingin Kak Anya mendengarkan aku berlatih piano.” Sang ibu mengingatkan bahwa Anya perlu waktu untuk belajar , lagi pula kakaknya telah mendengarkannya berlatih piano sepanjang minggu, dan membuat ibunya terkejut ketika ia kembali bersama kakaknya.
            Kursus dimulai. Lima menit kemudian pelajaran itu mendadak terhenti oleh suara keras di luar rumah. Semua orang menyaksikan sebuah mobil model baru melesat dengan cepat. Pelajaran dimulai kembali setelah guru menenangkan mereka bahwa mungkin suara itu adalah letusan mesin mobil. Jemari Zeek baru saja akan menyentuh piano ketika suami gurunya bergegas masuk, “Tembakan senapan… ke dalam mobil… menghancurleburkan jenedela samping di tempat duduk depan!” Pelajaran pun terhenti. Mereka bergegas turun untuk memeriksa. Benar, sebuah peluru menancap tepat di sandaran kursi tempat kepala Anya bersandar lima menit yang lalu.
            Segera mereka semua menyadari apa yang terjadi. Allah telah memakai Zeek yang berusia tujuh tahun untuk menyelamatkan nyawa kakaknya. Momen itu sungguh mengharukan. Zeek telah bertindak meskipun hal itu tidak masuk akal baginya maupun orang lain, dan Anya telah menuruti permintaannya yang tidak logis.
            Kedua penembak misterius itu mengemudikan mobil mereka melintasi jalan-jalan di Salem, Oregon, dan dengan serampangan  menembaki kotak surat, mobil dan rumah-rumah. Mereka akhirnya ditangkap dan ditahan dengan nilai jaminan satu juta dollar. Dalam sidang mereka, pengadilan wilayah mengundang Anya dan Zeek untuk menceritakan kisah mereka. Kedua penembak itu akhirnya dipenjarakan selama lima tahun, setelah mendengar kisah mengenai bagaimana Allah melindungi seorang anak berumur tujuh tahun dan kakak perempuannya.


Doris Sanford
Dari Buku Mengejar Pelangi
(kompilator Alice Gray)

Penerbit : Gloria Graffa

Anugerah yang Menakjubkan


Peran utama itu seharusnya diberikan kepadaku. Semua temanku sependapat denganku. Setidaknya, peran itu tak seharusnya diberikan kepada Helen, murid baru yang aneh itu. Ia jarang berbicara, dan selalu memandang ke bawah seolah hidup ini teramat berat. Kami tak pernah menanyakannya, karena mungkin ia tidak suka memberi penjelasan. Hidupnya tidak mungkin menderita, karena ia mengenakan baju-baju yang sangat bagus. Belum pernah ia memakai pakaian yang sama lebih dari dua kali selama dua bulan belajar di sekolah kami.
            Namun yang paling menjengkelkan adalah saat ia muncul pada tes awal pemilihan peran dan menyanyikan lagu untuk peran yang kumainkan. Semua siswa tahu bahwa peran utama itu adalah untukku, karena aku terlibat dalam semua kegiatan music di sekolah dan tahun ini kami berada di tingkat akhir.
            Teman-teman sedang menungguku sehingga aku tidak sempat melihat audisi Helen. Kejutan itu terjadi dua hari kemudian saat kami bergegas memeriksa papan bulletin drama untuk pembagian peran di sekolah kami.
            Kami membolak-balik lembaran-lembaran di papan itu dengan cepat untuk mencari namaku. Ketika kami menemukannya, tangisku langsung meledak. Helen terpilih sebagai pemeran utama! Aku terpilih menjadi ibu Helen dan pemeran pengganti. Pemeran pengganti? Tak seorang pun dapat memercayainya.
            Saat-saat latihan terasa sangat lama. Tampaknya Helen tidak menyadari bahwa kami berusaha keras tidak memedulikannya.
            Kuakui Helen memiliki suara yang indah. Bagaimana pun ia tampak berbeda di panggung. Tidak begitu ceria, tapi sangat tenang dan teguh.
            Pada malam pembukaan kami merasa gugup. Semua siswa sibuk berjalan ke sana ke mari di belakang panggung dan menunggu tirai terangkat , kecuali Helen. Ia tampak tenggelam dalam dunianya sendiri yang tenang.
            Pertunjukan itu sukses. Pengaturan waktu kami sangat sempurna, suara kami mengalun dan berpadu dengan manis. Helen dan aku keluar masuk panggung, menjalin cerita di antara kami. Aku berperan sebagai ibu sakit yang berdoa untuk putrinya yang suka melawan, sedangkan Helen berperan sebagai anak perempuan yang saat ibunya meninggal menyadari ada sesuatu yang lebih berarti dalam hidup ini selain kehidupan itu sendiri.
            Akhirnya kami sampai pada adegan terakhir yang dramatis. Aku terbaring di kamar tidur yang gelap. Tempat tidur di panggung yang menyangga tubuhku terasa tidak nyaman, membuatku sulit untuk tenang. Aku merasa tidak sabar, dan ingin agar Helen cepat-cepat menyelesaikan pertunjukan ini.
            Helen disorot dengan lampu sampai ke belakang panggung, putri yang berduka itu mulai memahami makna sesungguhnya dari himme yang dinyanyikannya saat ibunya meninggal.
            “Sangat besar anugerahMu…” Suara Helen menggema, mengungkapkan kepedihan atas kematian ibunya dan pengharapan akan janji-janji Tuhan.
            “… memberi aku selamat…” Sesuatu yang nyata mulai terjadi pada diriku sementara Helen menyanyi. Ketidaksabaranku tiba-tiba lenyap.
            “…dulu aku sesat, kini ditemukan…” Hatiku sangat tersentuh sehingga ingin menangis.
            “…buta dicelikkan.” Rohku mulai berbalik di dalam diriku dan aku berpaling kepada Allah. Pada saat itulah, aku menyadari kasih dan kerinduanNya kepada diriku.
            Suara Helen berkumandang seiring doa pada nada terakhir Tirai ditutup.
            Benar-benar hening. Sama sekali tak terdengar suara. Helen berdiri di belakang tirai yang tertutup dengan kepada tertunduk, dan diam-diam menangis.
            Terdengar tepuk tangan dan sorak-sorai yang bergemuruh. Dan tatkala tirai terangkat, Helen melihat penonton berdiri sambil bertepuk tangan.
            Kami semua membungkuk untuk memberi penghormatan. Aku memeluk Helen dengan hati yang tulus. Hatiku telah terbuka terhadap Kasih yang Agung.
            Pertunjukkan usai. Kostum digantung, make-up dibersihkan, lampu dipadamkan. Para pemain meninggalkan panggung dalam kelompok-kelompok seperti biasanya, saling memberi selamat.  Semua pemain kecuali Helen. Semua pemain kecuali aku.
            “Helen, nyanyianmu terasa amat nyata bagiku.” Aku ragu-ragu, perasaanku begitu terharu. “Nyanyianmu membuatku merasa sangat dekat dengan Tuhan.” Helen menahan napas. Tatapannya bertemu dengan mataku.
            “Itu yang dikatakan Ibu kepadaku pada malam ketika ia meninggal.” Air mata menetes di pipinya. Hatiku sangat tersentuh. “Ibu merasa sangat kesakitan. Lagu ‘Sangat Besar AnugerahMu’ selalu membuat hatinya terhibur. Ibu mengatakan aku harus selau ingat bahwa Tuhan telah menjanjikan apa yang baik untukku dan bahwa anugerahNya akan mengantarnya pulang.”
            Wajahnya tampak sangat bercahaya, kasih ibunya terpancar. “Sebelum Ibu meninggal ia berbisik, ‘Menyanyilah agar Ibu merasa dekat dengan Tuhan, Helen.’ Malam itu dan malam ini, aku menyanyi untuk Ibu.”

Cynthia Hamond
Dari Buku Mengejar Pelangi
(kompilator Alice Gray)

Penerbit : Gloria Graffa

Sabtu, 20 September 2014

Orang Suci dari Auschwitz


Orang Suci dari Auschwitz

            Dari antara semua kenangan yang menyeramkan tentang Auschwitz ada satu kenangan yang indah; yaitu kenangan Gajowniczek mengenai Maximilian Kolbe.
            Pada bulan Februari 1941, Kolbe dipenjarakan di Auschwitz. Kolbe adalah seorang pastor Fransiskan. Di tengah kekejaman dalam kamp pembantaian itu ia tetap mempertahankan kelemahlembutan Kristus. Ia membagi-bagikan makanannya. Ia menyerahkan tempat tidurnya kepada narapidana lain. Ia berdoa bagi orang-orang yang menangkapnya. Kita dapat menyebutnya “Orang Suci dari Auschwitz.”
            Pada bulan Juli tahun yang sama seorang narapidana lolos dari penjara. Di Auschwitz terdapat kebiasaan untuk membunuh sepuluh narapidana apabila satu narapidana melarikan diri. Semua narapidana dikumpulkan  di halaman, dan komandan memilih secara acak sepuluh narapidana dari barisan. Para korban segera akan dimasukkan ke dalam sebuah sel, tidak diberi makan dan minum sampai mereka mati.
            Komandan mulai menyeleksi. Satu per satu narapidana melangkah maju untuk memenuhi panggilan yang menyeramkan itu. Nama kesepuluh yang dipanggilnya adalah Gajowniczek.
            Ketika para perwira memeriksa nomor-nomor orang terhukum itu, seorang dari mereka menangis,”Oh, istri dan anak-anakku,”katanya di antara isak tangisnya.
            Para perwira itu berpaling ketika mereka mendengar suara gerakan di antara narapidana. Penjaga menyiapkan senapan mereka. Anjing pelacak tampak tegang, menunggu komando untuk menyerang. Seorang narapidana meninggalkan barisan dan melangkah maju.
            Narapidana itu Kolbe. Tidak tampak ketakutan di wajahnya. Tidak tampak keraguan dalam langkahnya. Penjaga berteriak dan menyuruhnya berhenti atau ia akan ditembak. “Saya ingin berbicara dengan komandan,” katanya dengan tenang. Entah mengapa petugas tidak memukul dan membunuhnya. Kolber berhenti beberapa langkah dari komandan, melepas topinya dan memandang perwira Jerman itu tepat di matanya.
            “Tuan komandan, saya ingin mengajukan sebuah permohonan.” Sungguh mengherankan, tak seorang pun menembaknya.
            “Saya ingin mati untuk menggantikan narapidana ini.” Ia menunjuk pada Gajowniczek yang sedang menangis terisak-isak. Permintaan yang berani itu diucapkannya tanpa rasa gugup sedikitpun.
            “Saya tidak mempunyai istri dan anak-anak. Selain itu, saya sudah tua dan tidak berguna. Keadaan orang itu masih lebih baik dari keadaan saya.” Kolbe tahu mentalitas Nazi.
            “Siapa kau?” tanya perwira itu.
            “Seorang pastor Katolik.”
            Barisan narapidana itu tercengang. Sang komandan diam seribu bahasa, tidak seperti biasanya. Tak lama kemudian, ia berkata dengan suara nyaring,”Permohonan dikabulkan.”
            Para narapidana tidak pernah diberi kesempatan berbicara. Gajowniczek mengatakan,”Saya hanya dapat berterima kasih kepadanya lewat pandangan mata saya. Saya merasa sangat tercengang dan hampir-hampir tidak dapat memercayai apa yang sedang terjadi. Betapa dalam makna peristiwa itu. Saya, orang yang terhukum, akan tetap hidup sedangkan orang lain dengan sukarela menyerahkan nyawanya untuk saya – orang yang tidak dikenalnya. Apakah ini mimpi?”
            Orang Suci dari Auschwitz itu hidup lebih lama dari Sembilan narapidana lainnya. Sesungguhnya ia tidak mati karena kehausan atau kelaparan. Ia mati setelah racun disuntikkan ke dalam pembuluh darahnya. Hari itu tanggal 14 Agustus 1941.
            Gajowniczek lolos dari pembantaian. Ia kembali ke kampong halamannya. Namun setiap tahun ia kembali ke Auschwitz. Setiap tanggal 14 Agustus ia kembali ke sana untuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah mati menggantikannya.
            Di halaman belakang rumahnya terdapat sebuah tanda peringatan yang diukur dengan tangannya sendiri, sebagai  penghargaan terhadap Maximilian Kolbe – orang yang mati baginya agar ia tetap hidup.

Patricia Treece
Dari Buku Mengejar Pelangi
(kompilator Alice Gray)
Penerbit : Gloria Graffa