Yesus Gembala yang Baik.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Harta yang Tidak Disadari


Ada seseorang yg merasa dirinya tidak rupawan dan tidak kaya sehingga tiap saat merasa gelisah. Seorang malaikat diutus datang kepadanya.

👼:"Saudara, kenapa engkau tidak bahagia?"
👦:"Saya merasa bingung mengapa aku miskin terus ?"
👼:"Miskin ? Bukannya kamu kaya?"
👦:"Bagaimana bisa anda katakan kalau aku kaya? Dari mana anda menilainya?"
👼:"Kalo sekarang engkau kehilangan 1 jari tanganmu, aku beri Rp 50 juta, apa kamu mau?"
👦:"Hmm..  Gak mau!"
👼:"Jikalau kamu kehilangan sebelah lenganmu, aku beri Rp 500 juta, mau?"
👦 :"Hhmm... Gak mau"
👼:"Kalau sepasang matamu buta, aku beri Rp 10 milliar , mau ?"
👦:"Gak mau"
👼:"Kalo aku jadikan engkau menjadi kakek berumur 80 tahun sakit sakitan, aku beri Rp 100 milliar , mau?"
👦:"Gak mau "
👼:"Kalo sekarang engkau langsung meninggal, aku beri kamu Rp 1 triliun, mau?"
👦 :"Gak mau"
👼:"Hahahaha. Berarti benar kan kalau kamu sudah memiliki kekayaan tak terhingga ? Di dalam hatimu, kenapa masih mengeluh miskin ?"

Orang itu tak bisa ber kata-kata dan tiba-tiba menyadari apa arti kekayaan.
Karena HIDUP adalah WAKTU yg dipinjamkan dan HARTA adalah ANUGERAH yg dipercayakan,
BERSYUKUR atas Nafas yg masih kita miliki,
BERSYUKUR atas tubuh yg masih kita miliki.
BERSYUKUR atas Kesehatan yg masih kita miliki,
BERSYUKUR atas Keluarga yg masih kita miliki,
BERSYUKUR atas Teman & Sahabat yg masih kita miliki
BERSYUKUR atas Pekerjaan yg masih kita miliki
Mari kita sadari bahwa kita selalu DIBERIKAN YG TERBAIK oleh TUHAN.
Dan begitu pula mestinya kita kepada sesama..sebagai bukti rasa syukur kita..

Aamiin...🙏

Selasa, 26 Juli 2016

Pernikahan Dini (Membangun Hubungan)


Dr. Gary & Barbara Rosberg
Pernikahan Anti cerai, Mengorbarkan Api Cinta untuk Membangun Pernikahan yang Kokoh.

Mike, 17 tahun, adalah pemuda yang berorientasi pada tujuan. Di sekolah , ia menaruh perhatian kepada Cheryl, dan ia memutuskan untuk berkenalan dengannya walaupun gadis ini sudah memiliki kekasih. Jadi, ketika ia mendapati Cheryl sedang bekerja di gerai McDonald pada musim panas itu, Mike mendatanginya dan bertanya apakah ia bersedia berkencan dengan seseorang selain kekasihnya yang sekarang. Cheryl menjawab,”Tentu, mengapa tidak.”
                Selama pertandingan football sekolah musim gugur tahun itu, Mike melihat kesempatan untuk mengambil langkah. Sementara kekasih Cheryl sedang bertanding di lapangan, Mike menemui gadis itu di tempat duduk penonton. Cheryl tidak menolak ajakan Mike untuk berkencan.
                Pada musim panas berikutnya, Mike berumur 18 tahun dan telah lulus. Cheryl, 17 tahun, bersiap-siap untuk naik ke kelas 3 SMA. Cheryl hamil dengan bayi Mike.
                Keluarga Cheryl dan keluarga Mike maupun sahabat-sahabat dari keluarga kedua belah pihak mengatakan bahwa sinting jika keduanya ingin menikah. Mika dan Cheryl ditekan untuk menggugurkan janin yang ada di dalam kandungan. Namun, mereka saling mencintai dan ingin membesarkan bayi mereka bersama. Jadi, mereka menikah pada musim panas itu. Mereka masih belia dan kini bersiap unutuk memiliki anak mereka sendiri.
                Mike menghadapi situasinya sebagai sebuah tantangan. Ia berasal dari keluarga yang sukses dan ia tahu bahwa sangat mungkin bagi dirinya untukmenjadi bagian dari bisnis keluarga kelak. Pada musim gugur, ia mulai kuliah purna waktu sambil bekerja 65 jam seminggu, yaitu menjadi pengantar susu dari perusahaan susu milik keluarga.
                Cheryl, yang baru menjadi ibu, tinggal di rumah mungil mereka setiap hari sementara Mike larut dalam urusan sekolah dan pekerjaan. “Betul, sudah sulit sejak awal,” katanya. “Saya tidak tahu peran saya dan komitmen saya yang dibutuhkan Mike. Saya banyak membuat kesalahan dan membuat pilihan yang buruk. Sudah ada bayi, tetapi kami berdua sama sekali belum membangun hubungan.”
                Karena Mike dan Cheryl menikah dan mempunyai bayi, mereka memandang diri sebagai orang dewasa. Karena usia mereka di atas 18 tahun, yaitu usia yang sah menurut undang-undang untuk mengkonsumsi minuman keras, mereka juga mulai hidup sebagaimana mereka pikir, layaknya orang dewasa. Setiap malam dan akhir pekan, mereka lewatkan dengan minum-minum dan berpesta bersama teman-teman mereka. Cheryl tahu bahwa dirinya tidak merasakan adana ikatan batin dengan putranya, Michael, ataupun dengan suaminya sebagaimana mestinya. “Saya hanya gadis kecil yang mencari cinta dan bersenang-senang. Tidak tahu bagaimana menjadi seorang ibu.”
                “saat itu saya belum menjadi pecandu minuman keras,”Mike menegaskan,”tetapi saya memang peminum berat. Ketika saya mabuk, sikap agresif dan kemarahan saya meledak. Saya meninju dinding sampai berlubang, dan saya pernah membanting kursi dapur ke atas lantai. Saya juga menyerang Cheryl , bukan secara fisik, tetapi secara verbal. Kami berdiri di tangga depan rumah sambil saling meneriakkan kata-kata yang tidak senonoh. Dalam waktu singkat, kami telah bermusuhan.”
                Perilakuk Mike sudah tidak asing bagi Cheryl. Bertumbuh di tengah-tengah keluarga pecandu minuman keras, Cheryl pernah menyaksikan hal semacam itu sebelumnya. Apa yang ia lihat pada Mike membuat ia takut dan bertanya apakahia rela untuk menghadapi kebiasaan Mike minum-minum dan marah-marah sepanjang sisa hidupnya. “Mike tidak pernah menganiaya saya”, ujar Cheryl, “tetapi saya tidak merasa aman ketika berada di dekatnya.”
                Sementara hubungannya dengan Mike terus memburuk, Cheryl menderita karena kisah romantis mereka yang seperti cerita dongen bberakhir,”Kami benar-benar menderita, maka saya memutuskan untuk meninggalkan Mike. Perceraian kami diputuskan beberapa bulan kemudian.”

****

Sesudah Mike dan Cheryl  bercerai, hubungan mereka tetap buruk. “Saya tidak mau berhubungan dengan Mike untuk hal apapun,” ujar Cheryl. “Ia yang bersalah untuk segala hal yang salah di antara kami. Kami benar-benar tidak berbicara sama sekali. Kontak kami terbatas pada waktu kami bertemu untuk menyerahkan putera kami yang masih kecil, Michael.”
                Sementara itu, Mike telah menjadi orang beriman, dan Cheryl sedang perjalanan kembali kepada Tuhan. Ketika Tuhan mulai mengubah hati Mike, ia teringat akan hakikat keluarga muda yang telah hilang dari hidupnya. Ia memutuskan untuk berusaha mendapatkan Cheryl kembali – dan melakukannya dengan benar kali ini.
                Cheryl masih ingat ketika suatu hari ia berada di dalam mobil bersama Michal kecil yang terisak-isak. “Kenapa kita tidak bisa bersama Ayah?” Tidak lama kemudian , Mike menelepon dan bertanya apakah Cheryl mau melakukan sesuatu bersamanya. Ia setuju. “Sesudah berbicara dengan Mike sejenak, saya tahu saya akan aman bersamanya,” ujar Cheryl. “Ia memiliki damai sejahtera yang dulu tidak ada sebelumnya. Ia bahkan terdengar berbeda. Ia pasti telah melihat bahwa Tuhan juga sudah membuat perbedaan dalam hidup saya.”
                Sesudah menikmati kebersamaan dengan putera mereka malam itu, Mike dan Cheryl mulai membangun hubungan kembali di bawah bimbingan seorang pemimpin rohni yang bijaksana. Mereka kembali ke awal. Mike mengencani mantan istrinya. Mereka tidak mengadakan hubungan fisik selama masa ini. Mereka ingin membangun cinta yang kekal, cinta yang rohani dan emosional, bukan sekedar jasmani.
                Satu setengah tahun sesudah perceraian resmi mereka, Mike dan Cheryl menikah kembali di hadapan keluarga dan sahabat. Banyak di antaranya telah menunjukkan keberpihakan ketika pasangan tersebut berpisah. Proses pemulihan untuk perselisihan keluarga ini dimulai hari itu juga ketika Michael yang beusia 3 tahun berdiri dalam upacara itu dan kemudian berteriak lantang,”Itu Ayah dan Ibuku!” Semua hati yang keras menjadi luluh. Air mata mengalir. Setiap orang yang hadir sadar bahwa mereka tengah menyaksikan sebuah mujizat dalam bentuk lahir kembalinya pernikahan Mike dan Cheryl.
                Namun, kisahnya tidak berakhir di sana. Mika dan Cheryl baru-baru ini merayakan ulang tahun ke 21 pernikahan mereka. Barb tidak dapat hadir , tetapi saya berada di sana. Pemimpin rohani mereka memimpin ibadah perayaan untuk pernikahan yang tidak akan mati. Saya merasa bersukacita ketika memimpin pasangan tersebut mengucapkan janji komitmen pernikahan mereka dan menandatangani perjanjian nikah kembali. Ketika Mike dan Cheryl mengenal kebenaran tentang mimpi Tuhan bagi pernikahan , kebenaran pun memerdekakan mereka, dan mereka mempunyai kisah rekonsiliasi yang luar biasa untuk diceritakan. Mike dan Cheryl adalah saksi hidup bahwa tidak ada pernikahan yang tak dapat diselamatkan.

****


Ketika Mike dan Cheryl merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-20, orang-orang di sekeliling mereka tahu bahwa pasangan suami istri ini telah menjalani lingkaran penuh. Ketika mereka bercerai 23 tahun yang lalu, pasangan yang waktu itu masih muda ini tidak melihat peluang untuk rekonsiliasi. Kemarahan dan kata-kata kasar yang saling dilontarkan, dan keyakinan bahwa pola yang menyakitkan ini tidak akan pernah berubah mendorong mereka untuk berpisah. Kebencian dan kepedihan begitu besar sehingga selama 7 bulan setelah perceraian, mereka bahkan tidak mau berbicara satu sama lain kecuali dalam pertemuan singkat ketika mereka masing-masing harus mengambil dan mengantar putra mereka yang masih kecil dari dan ke rumah mantan pasangan.
                Namun, 20 tahun kemudian, Mike dan Cheryl berdiri bersama-sama di hadapan ratusan orang dalam gedung bundar DPRD negara bagian Iowa. Ulang tahun istimewa pernikahan mereka kebetulan jatuh pada Hari Pernikahan dan Keluarga yang diproklamirkan oleh gubernur Iowa. Ratusan mata menatap Mike dan Cheryl ketika keduanya menyampaikan kisah mereka dan kemudian menandatangani perjanjian pernikahan – suatu pernyataan ulang bahwa mereka berjanji dan mengakui kepermanenan ikatan pernikahan yang Tuhan rancang.
                Mike dan Cheryl Wells benar-benar telah menjalani satu lingkaran penuh. Bukannya menjadi pengantar susu, Mike sekarang menjadi eksekutif dalam bisnis keluarga, Wells Blue Bunny Corporation yang bernilai 700 juta dolar, pembuat Wells Blue Bunny Ice Cream. Masa lalu yang menyakitkan dari pasangan ini sudah lenyap, digantikan dengan pengampunan, sikap yang tidak egois, dan komitmen yang tidak tergoyahkan. Sekarang Mike dan Cheryl  mempunyai 4 orang anak, dan mereka tidak dapat percaya betapa menakjubkan pernikahan mereka sekarang. Mereka melihat setiap hari sebagai awal, satu langkah lagi dalam perjalanan. Kisah mereka tentang membangun kembali sebuah pernikahan dari reruntuhan yang sudah hangus akibat perceraian membuat perubahan dalam pernikahan di seantero Amerika.
                Semenjak bercerai, Mike dan Cheryl dengan jujur mengira bahwa mereka dapat melepaskan diri dari satu sama lain. Kemudian mereka berhadapan dengan kenyataan yang mengubah kehidupan. Pernikahan mereka – yang pertama – telah menjalin mereka menjadi satu dalam ikatan yang sakral. “Sejak hari perceraian itu, saya menjadi orang yang paling menderita di dunia,” Mike berkata. “Malam hari setelah perceraian tersebut sudah tuntas, saya pergi minum-minum bersama teman-teman pria. Ada orang yang menghampiri saya sambil berkata,’Wow! Kamu pasti merasa lega. Akhirnya, kamu bercerai’ Saya katakan kepadanya bahwa saya belum pernah merasa hampa seperti itu selama hidup saya. Sebagian dari diri saya telah tercabut. Sebagian dari diri saya telah hilang.”
                Mike berpikir bahwa melepaskan diri dari Cheryl akan membuat segalanya beres. Walaupun akte perceraian mengatakan bahwa mereka tidak lagi satu, pada hakikatnya mereka tidak pernah bisa memutus ikatan emosional yang sudah terbentuk. Bagi keduanya, perceraian membuat mereka seakan-akan kehilangan sebelah tangan atau, seolah-olah kaki mereka ditarik hingga terlepas.
                Saat itu Mike dan Cheryl tidak mengerti bahwa ketika mengucapkan,”Aku bersedia”, itu adalah sebuah janji seumur hidup. Tuhan telah mengikat keduanya satu sama lain berdasarkan komitmen mereka, dan Dia ingin keduanya bersama-sama kembali. Tuhan tidak akan membiarkan mereka pergi tanpa perjuangan, bahkan sesudah perceraian!

                Tidak jadi soal posisi pernikahan Anda pada peta pernikahan – walaupuan Anda mengalami perceraian emosional, walaupun Anda telah memprakarsai perpisahan dan perceraian resmi – segala sesuatu yang baik masih mungkin diwujudkan oleh karena ikatan antara Anda berdua, dan Tuhan tidak akan membiarkan Anda mengabaikannya. Dia menciptakan suatu ikatan pernikahan – perjanjian yang serius – agar tidak terputuskan. Cinta yang memperbarui membuatnya demikian, membantu Anda dan pasangan untuk merasa yakin dan teguh dalam mencintai satu sama lain.


Senin, 25 Juli 2016

Ketika Pernikahan Impian Mulai Pudar

Dr. Gary & Barbara Rosberg

                Tujuh tahun dalam pernikahan kami, hidup saya tidak jelas. Saya bekerja keras untuk menjadi pencari nafkah yang baik untuk istri saya (Barb) dan dua putri kami yang masih kecil (Sarah dan Missy). Saya bekerja purna waktu sebagai direktur sebuah lembaga pemasyarakatan. Pada saat yang sama, saya kuliah untuk meraih gelar doktor dalam bidang konseling dan banyak menghabiskan waktu setiap malam untuk belajar di perpustakaan universitas.
                Biasanya , saya merasa sudah bekerja melampaui batas. Sementara saya sibuk ke sana kemari di antara aktivitas keluarga, kerja, belajar dan kerohanian, saya berdoa setiap hari untuk memohon kekuatan dan hikmat, sambil merindukan saat-saat ketika saya dapat berfokus sepenuh waktu untuk memberi konseling keluarga. Bahkan yang lebih penting adalah, saya ingin memiliki lebih banyak waktu untuk bersama dengan Barb, Sarah, dan Missy – keluarga saya, buah hati saya. Pekerjaan dan disertasi doktor menjadi jadwal saya. Saya berusaha memanfaatkan sedikit waktu di sana sini untuk membantu Barb, tetapi sebaik-baiknya yang dapat saya kerjakan, saya hanyalah ayah dan suami paruh waktu.
                Jujur saja, saya beranggapan bahwa saya cukup bai dalam peran saya saat itu. Lalu, suatu hari saya sedang duduk di kursi kesayangan saya untuk menyiapkan tahap akhir gelar doktor saya, ketika putri saya yang berusia lima tahun, Sarah mengumumkan kehadirannya dengan sebuah pertanyaan, “Ayah, Ayah mau melihat gambar keluargaku?”
                Saya benar-benar merasa stres dan kekurangan waktu oleh karena tugas satu minggu yang dipadatkan pada akhir pekan. “Sarah, Ayah sedang sibuk. Kembali sebentar lagi, sayang.” Sarah dengan taat meninggalkan saya dengan pekerjaan saya.
                Sepuluh menit kemudian ia datang kembali ke ruang keluarga. “Ayah, aku ingin tunjukkan gambarku.”
                Saya merasa sangat jengkel. “Sarah, Ayah bilang kembali lagi nanti. Ini penting.”
                Tiga menit kemudian ia berlari ke ruang keluarga, mendekat hingga nyaris menyentuh hidung saya. Ia membentak dengan sekuat tenaga, yang dapat dikerahkan oleh seorang anak berumur lima tahun,”Ayah mau lihat atau tidak?”
                “Tidak,” saya katakan dengan tegas,”Ayah tidak mau!”
                Ia langsung keluar dari ruangan dan meninggalkan saya sendiri. Entah bagaimana, berada sendirian saat itu tidak senyaman seperti yang saya harapkan. Saya merasa seperti orang dungu. Saya pun bangkit dan menghampiri pintu depan. “Sarah,” saya memanggil,”bisa ke sini sebentar? Ayah ingin melihat gambarmu.”
                Ia taat tanpa berbantah dan melompat ke atas pangkuan saya.
                Gambarnya sungguh bagus. Ia bahkan memberinya judul. Di sebelah atas, dengan huruf cetaknya yang terbaik, ia menulis : KELUARGA KAMI YANG TERBAIK.
                “Coba ceritakan kepada Ayah,” kata saya.
                “Ini Ibu (sosok garis dengan rambut panjang keriting berwarna kuning). Ini Katie (anjing kami). Ini Missy (adiknya berupa sosok garis yang berbaring di jalan di depan rumah, kira-kira tiga kali lebih besar daripada siapa pun dalam gambar itu).” Sungguh suatu wawasan yang sangat bagus bagaimana ia memandang keluarga kami.
                “Ayah suka gambarmu, Sayang,” saya berkata kepadanya. “Ayah akan menggantungnya di dinding ruang makan, dan setiap malam waktu Ayah pulang dari kerja dan mengajar (yang biasanya sekitar pukul sepuluh malam), Ayah akan melihatnya.”
                Ia percaya apa yang saya katakan, wajahnya berseri-seri, lalu keluar untuk bermain. Saya kembali menekuni buku-buku saya. Namun, karena sejumlah alasan, saya terus membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Sesuatu membuat saya gelisah, sesuatu mengenai gambar Sarah. Ada sesuatu yang hilang.
                Saya kembali ke pintu depan. “Sarah,” saya memanggil dia,”kamu bisa kembali ke sini sebentar? Ayah ingin lihat gambarmu lagi.”
                Sarah merayap naik ke pangkuan saya lagi. Sekarang dengan memejamkan mata, saya dapat mengingat penampilannya. Pipi yang memerah karena bermain di luar rumah. Rambut dikucir dua. Sepatu tenis model kue stroberi. Boneka kain bernama Nellie yang lunglai dijepit di lengannya.
                Saya bertanya kepada gadis kecil saya, tetapi saya tidak yakin bahwa saya ingin mendengar jawabannya. “Sayang, Ayah lihat Ibu, Sarah dan Missy. Katie, anjing kita  juga ada dalam gambar, serta matahari, rumah, tupai, dan burung. Tapi, Sarah, Ayah di mana?”
                “Ayah di perpustakaan,” jawabnya.
                Dengan pernyataan sederhana itu, puteri kecil saya membuat saya terhenyak. Sambil mengangkat tubuhnya dari atas pangkuan saya dengan lembut , saya menyuruh dia bermain kembali di bawah sinar matahari musim semi. Saya duduk melorot di kursi, termenung. Bahkan sementara saya mengetik kata-kata ini, saya masih dapat merasakan kegalauan saya waktu itu. Sarah telah menghantam saya dengan telak. Saya tidak ada dalam gambar keluarganya karena saya berada di perpustakaan untuk belajar. Saya terlalu sibuk untuk menjadi ayahnya di rumah.
                Walaupun saya tidak ingat Barb pernah mengekspresikan pemikiran itu, ia mungkin telah berusaha menyampaikan kepada saya selama berbulan-bulan. Semua peringatan yang telah saya terima dari seminar, buku, dan sahabat untuk menjaga “gaya hidup yang seimbang” – Tuhan yang utama, keluarga yang kedua, pekerjaan yang ketiga – belum menembus otak saya yang hanya memikirkan karier. Namun, pernyataan Sarah yang sederhana mendapat perhatian saya secara total.



Rabu, 13 Juli 2016

Putra Pendeta

Suatu malam dalam sebuah kebaktian seorang pemudi merasakan sentuhan Allah di hatinya. Dia menanggapi panggilanNya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Pemudi ini memiliki masa lalu yang sangat kelam terkait alkohol, narkoba, dan prostitusi. Namun perubahan dalam dirinya tampak jelas. Seiring berjalannya waktu ia menjadi anggota gereja yang setia.

Dia akhirnya terlibat dalam pelayanan, mengajar muda-mudi.

Tidak lama kemudian pemudi ini terpikat dan jatuh hati kepada putra pendeta. Hubungan mereka bertumbuh dan mereka mulai merencanakan pernikahan.

Masalah pun dimulai. Lihatlah, sekitar setengah dari jemaat gereja berpikir pemudi seperti itu tidak tepat sebagai pasangan putra pendeta.

Timbullah perdebatan dan pertentangan di gereja sehingga mereka memutuskan untuk melakukan pertemuan.

Saat jemaat saling melontarkan argumennya , ketegangan pun meningkat, pertemuan menjadi tidak terkendali.

Pemudi itu sangat marah karena masa lalunya diungkit-ungkit.

Saat sang pemudi ia mulai menangis, putra pendeta berdiri. Dia tidak bisa menahan rasa sakit yang melanda calon istrinya. Dia mulai berbicara dan membuat pernyataan,

"Masa lalu tunangan saya bukan untuk diadili di sini . Apa yang engkau pertanyakan adalah kemampuan darah Yesus untuk membasuh dosa. Hari ini engaku telah mengadili darah Yesus. Apakah darah Kristus bisa membersihkan dosa atau tidak? "

Seluruh jemaat mulai menangis saat mereka menyadari bahwa mereka telah meragukan kuasa darah Tuhan Yesus Kristus.

Terlalu sering, bahkan sebagai orang Kristen, kita membawa masa lalu dan menggunakannya sebagai senjata melawan saudara-saudara kita.

Pengampunan adalah bagian yang sangat mendasar dari Injil Tuhan kita Yesus Kristus.

Jika darah Yesus tidak benar-benar menghapus dosa orang lain, maka darahNya juga tidak membersihkan dosa kita.

Jika itu terjadi, maka kita semua sedang berada dalam banyak masalah.

Apa yang bisa membasuh dosa-dosa saya? Tidak ada selain darah Yesus!

Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah. Mazmur 55:22


Selasa, 12 Juli 2016

Botol Air Panas


Botol Air Panas

Kisah Nyata oleh Helen Roseveare, Misionaris di Afrika

Suatu malam di Afrika Tengah, saya tengah berusaha keras menolong seorang ibu di bangsal tenaga kerja; namun terlepas dari semua yang bisa kami lakukan, ibu itu akhirnya meninggal dunia dan meninggalkan seorang bayi mungil yang lahir prematur dan seorang anak perempuan berusia dua tahun yang sedang menangis,.

Kami mengalami kesulitan untuk menjaga si bayi agar tetap hidup. Kami tidak punya mesin penghangat bayi (inkubator). Kami tidak punya listrik untuk menjalankan inkubator, dan tidak ada fasilitas untuk memberi makan bayi. Meskipun kami tinggal di daerah khatulistiwa, namun di malam hari seringkali kami merasa kedinginan dengan tiupan angin yang kencang.

Seorang siswa-kebidanan mengambil kotak untuk bayi tersebut dan kain katun untuk membungkus sang bayi. Seorang siswa lainnya menyalakan api dan mengisi botol air panas. Tak lama kemudian dia kembali dalam keadaan muram dan memberitahukan bahwa saat mengisinya botol itu meledak. Memang karet di botol itu mudah rusak dalam iklim tropis. "... Dan itu adalah botol air panas kita yang terakhir!" serunya. Seperti di Barat, tidak baik untuk menangisi apa yang telah terjadi; sedangkan di Afrika Tengah dianggap tidak baik menangisi botol air yang pecah. Botol air tidak tumbuh di pohon, dan tidak ada toko obat di jalan yang menuju hutan. Baiklah, "kataku," Letakkan bayi itu didekat api dalam jarak ter-aman; tidurlah di  antara bayi dan pintu untuk menjaganya dari angin. Tugasmu  menjaga agar bayi tetap hangat. "

Siang hari berikutnya, seperti yang saya lakukan hampir setiap hari, saya berdoa bersama para anak yatim piatu. Saya memberikan pokok-pokok doa untuk mereka dan bercerita tentang bayi mungil itu. Saya menjelaskan masalah untuk menjaga bayi tetap hangat dan keperluan botol air panas. Bayi bisa meninggal bila kedinginan. Saya juga menceritakan tentang kakak perempuannya yang masih berusia dua tahun yang sedang menangis karena ibunya meninggal. Saat berdoa, seorang gadis berusia sepuluh tahun, Ruth, berdoa apa adanya seperti anak-anak Afrika lainnya. "Tolong Tuhan," ia berdoa, "kirimkan kami sebuah botol air. Waktunya jangan besok karena tidak baik, Tuhan, bayinya akan mati, jadi tolonglah kirim siang ini." Mendengar keberaniannya berdoa saya  menarik napas dalam hati. Kemudian dia menambahkan doanya dengan cara sederhana "... Dan sementara Engkau mengurusnya, tolonglah Engkau mengirimkan boneka untuk gadis kecil ini agar dia tahu Engkau benar-benar mengasihinya" Seringkali dalam doa yang dipanjatkan anak-anak, saya jadi serba salah. Bisakah saya dengan jujur ​​mengatakan, "Amin?" Saya hanya tidak percaya bahwa Tuhan bisa melakukannya. Oh, ya, saya tahu Dia bisa melakukan segalanya: Alkitab mengatakan demikian, tetapi ada batasnya bukan? Satu-satunya cara Allah menjawab doa seperti ini adalah dengan mengirimkan bingkisan tersebut dari tanah kelahiran saya. Saat itu saya telah berada di Afrika selama hampir empat tahun, dan saya tidak pernah menerima bingkisan dari rumah. Lagi pula, kalau ada yang benar-benar mengirim bingkisan, siapa yang akan memberikan botol air panas? Saya kan tinggal di daerah khatulistiwa!

Siang menjelang sore, ketika saya sedang mengajar di sekolah pelatihan perawat, sebuah pesan tiba bahwa ada sebuah mobil di pintu depan rumah saya. Saat saya sampai di rumah, mobilnya sudah pergi, tapi di beranda, ada bingkisan seberat 22 pon yang sangat besar! Saya merasa mata saya basah dengan air mata. Saya tidak bisa membuka bingkisan itu sendirian; jadi saya mengirimnya ke panti asuhan. Bersama-sama kami melepaskan tali, dengan berhati-hati melepas simpulnya. Kami melipat kertasnya dengan hati-hati agar tidak terlalu merobeknya. Semangat mereka memuncak. Sekitar tiga atau empat puluh pasang mata terfokus pada kotak kardus besar. Dari atas, saya mengeluarkan kaus rajut berwarna cerah. Mata-mata itu berbinar saat saya melakukannya. Kemudian, ada perban rajut untuk penderita kusta, dan anak-anak mulai terlihat sedikit bosan. Selanjutnya ada sekotak kismis, - - itu bisa untuk membuat setumpuk kue kismis di akhir pekan. Saat aku memasukkan tangan lagi, saya dapat merasakannya ... benarkah? Saya memegang lalu menariknya keluar. Betul! Sebuah botol air panas dengan karet yang benar-benar baru!" Saya menangis. Saya tidak meminta Tuhan mengirimkannya. Saya tidak benar-benar percaya bahwa Ia dapat melakukannya. Ruth berada di barisan depan anak-anak. Dia bergegas maju dan berteriak nyaring, "Jika Tuhan mengirimkan botol air, Dia pasti mengirimkan  bonekanya juga!" Sambil mengobrak-abrik bagian bawah kotak, dia menarik boneka kecil yang berpakaian indah. Matanya berbinar: Dia tidak pernah ragu! Dengan menatap saya, dia bertanya, "Bolehkan saya pergi denganmu, Ma, dan memberikan boneka ini untuk gadis kecil itu agar dia tahu bahwa Yesus benar-benar mencintainya?"

Bingkisan itu telah berada dalam perjalanan selama lima bulan penuh, dikemas oleh para gadis mantan kelas Sekolah Minggu saya, yang pemimpinnya telah mendengar dan mentaati Allah yang memerintahkannya untuk juga mengirimkan botol air panas untuk daerah khatulistiwa! Salah seorang gadis itu telah memasukkan sebuah boneka untuk dikirim ke seorang anak Afrika - lima bulan sebelumnya untuk menjawab doa penuh percaya dari anak berusia sepuluh tahun agar membawanya "siang itu!" " Maka sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya; ketika mereka sedang berbicara, Aku sudah mendengarkannya." Yesaya 65:24
-----
Helen Roseveare, seorang misionaris dari Irlandia Utara, mencantumkan kisah nyata ini dalam bukunya "Iman yang Hidup" Dia telah menulis tentang kebangkitan rohani yang terjadi di tahun 1950 di daerah yang kemudian disebut Kongo Belgia. Dia terhubung dengan WEC (Penginjilan Dunia bagi Kristus) di www.wec-int.org/


Senin, 11 Juli 2016

57 Sen yang Mengubahkan


Dikisahkan oleh Pdt. Russell H. Conwell (1 Desember 1912)

Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, seorang gadis kecil bernama Hattie Mei Wiatt tinggal di sebuah rumah dekat gereja tempat kami melayani, sebuah gereja kecil dan penuh sesak. Karena terlalu penuhnya sampai digunakan sistem tiket yang biasanya sudah habis beberapa minggu sebelumnya. Suatu hari ketika datang ke gereja, saya melihat sejumlah anak berada di luar gereja. Mereka benar-benar mengganggu karena jemaat tidak bisa masuk akibat kerumunan anak-anak yang ingin masuk ke ruang Sekolah Minggu, dan si kecil Hattie Mei Wiatt telah membawa buku-buku dan persembahannya serta sedang berdiri di pintu. Tampaknya ia ragu-ragu untuk balik ke rumah saja atau menunggu dan mencoba masuk. Saya memeluknya dan kemudian mengangkatnya ke atas bahu saya, dan kemudian saat ia mendekap kepala saya (pelukan yang tidak bisa  saya lupakan), saya membawanya melewati kerumunan jemaat di aula ke ruang Sekolah Minggu, dan mendudukannya di kursi yang berada jauh di sudut gelap. Keesokan paginya saat ke gereja dari rumah, saya singgah di rumah mereka, dan saat itu ia sedang berjalan ke sekolah. Saat bertemu, saya berkata: "Hattie, kita akan segera memiliki ruang Sekolah Minggu yang lebih besar," dan dia berkata: ". Saya harap begitu karena ruang yang ada begitu ramai sehingga saya takut pergi ke sana sendirian." "Yah," jawab saya, "kalau kita mendapatkan dana, kita akan segera membangun ruangan yang bisa menampung seluruh anak-anak, dan kita akan mulai segera mencari dananya." Itu lebih merupakan angan-angan semata. Saya berharap dapat terus bercakap-cakap dengannya.

Dalam beberapa tahun ke depan, Hattie menderita sakit keras, dan mereka meminta saya untuk membesuknya. Saya datang dan berdoa bersamanya. Saya berdoa untuk kesembuhannya, namun hal itu tidak terjadi. Hattie Mei Wiatt meninggal. Dia telah mengumpulkan dana sebanyak 57 sen untuk menbangun  ruang anak-anak sekolah Minggu. Saat pemakaman selesai dan kamar tidur si gadis kecil dirapikan, sebuah dompet usang, kumal dan sobek-sobek ditemukan. Nampak sekali bahwa dompet itu kemungkinan ditemukan oleh si gadis kecil dari tempat sampah. Di dalamnya ditemukan uang receh sejumlah 57 sen dan secarik kertas bertuliskan tangan, yang jelas kelihatan ditulis oleh seorang anak kecil, yang isinya: "Uang ini untuk membantu pembangunan gereja agar gereja tersebut bisa diperluas sehingga lebih banyak anak bisa menghadiri Sekolah Minggu." Rupanya selama 2 tahun, sejak ia tidak bisa masuk ke gereja, si gadis kecil ini mengumpulkan dan menyimpan uangnya sampai terkumpul sejumlah 57 sen untuk maksud yang sangat mulia. Ibunya kemudian menyerahkan tas kecil dengan uang sebanyak 57 sen yang telah dikumpulkannya. Saya membawanya ke gereja dan menyatakan bahwa kami memperoleh berkat untuk pembangunan gedung sekolah minggu baru . Sumbangan itu diberikan oleh si kecil Hattie Mei Wiatt, yang telah pergi surga namun telah meninggalkan sumbangannya. Ketika sang pendeta membaca catatan kecil ini, matanya sembab dan ia sadar apa yang harus diperbuatnya. Dengan berbekal dompet tua dan secarik kertas ini, sang pendeta segera memotivasi para pengurus dan jemaat gerejanya untuk meneruskan maksud mulia si gadis kecil ini agar memperbesar bangunan gereja.

Saya kemudian menukarnya menjadi uang logam dan menawarkannya untuk dijual. Hasilnya didapat sekitar 250 dolar AS sebagai ganti 57 sen, dan 54 dari uang logam tersebut dikembalikan kepada saya oleh pembelinya. Saya kemudian membingkainya agar orang-orang dapat melihat dan menontonnya, dan kemudian menukar $ 250 menjadi uang logam, kami menerima cukup dana untuk membeli rumah berikutnya di sebelah utara gereja. Rumah itu dibeli oleh Komunitas Wiatt Mite, yang dibentuk dengan tujuan mengambil 57 sen itu dan memperbesarnya untuk membeli tanah bagi untuk menjadi ruang Sekolah Minggu.

Kemudian ketika jumlah anak sekolah minggu menjadi begitu besar, ruangannya sudah tidak memadai, akhirnya terlontar gagasan ke sidang jemaat kami, "Kita harus memiliki gedung gereja yang lebih besar dan ruang Sekolah Minggu yang lebih besar." Iman kepada Allah adalah ciri-ciri dari orang-orang ini, dan mereka mengatakan, "Kami dapat melakukannya," meskipun faktanya kami tidak punya uang sebelumnya. Namun keyakinan itu begitu kuat bahwa kami harus membangun gedung gereja yang lebih besar walaupun tampaknya tidak masuk akal untuk melakukannya.

Suatu kali saya mengunjungi Pak Baird dan bertanya apa yang ia rencanakan untuk lahan tempat gedung gereja sekarang berdiri. Dia rupanya ingin menjual tanah itu seharga 30.000 dolar AS. Sedangkan kami hanya punya 54 sen dan kami mungkin terlalu berlebihan karena mengira akan memiliki lahan itu. Terdorong oleh perkataan Pak Baird dan tanpa ada yang keberatan dari Dewan Diaken (Majelis), saya melakukan negosiasi dan bertanya apakah ia bisa tidak menjualnya selama lima tahun. Pak  Baird menjawab: "Saya telah memikirkan berulang-ulang tentang hal ini dan saya memutuskan untuk menjual lahan ini seharga 25.000 dolar AS alias lebih rendah 5.000 dolar dan saya rasa hal ini sangat berarti bukan? Saya akan mengambil 54 sen itu sebagai pembayaran pertama, dan engkau dapat mengambil pinjaman dengan jaminan lahan itu pada tingkat bunga 5%.  Saat kembali ke gereja dan melaporkan hal tersebut  mereka berkata : "Yah, kita bisa mengumpulkan uang lebih dari 54 sen" Dan saya pun pergi dan memberikan uang 54 sen itu kepada Pak Baird dan mengambil tanda terimanya untuk pembayaran lahan tersebut. Pak  Baird kemudian mengembalikan 54 sen itu sebagai hadiah. Jadi kami membeli lahan itu , dan terdorong untuk bersama Tuhan kami melanjutkan pembangunan gedungnya setahap demi setahap. Kami hampir tidak pernah bermimpi bahwa bertahun-tahun kemudian, setiap jemaat miskin ini mempersembahkan sekuat tenaga mereka, sehingga akhirnya kami bisa melunasi utang yang begitu besar. Saya harus menyatakan juga bahwa di rumah yang dibeli dengan menjual uang logam sebanyak 57 sen diselenggarakan oleh The Temple University.

Hattie Mei Wiatt adalah seorang siswi sekolah yang berasal dari keluarga yang rajin, menjaga kehormatan, jujur dan suka menabung. Ia bukan berasal dari keluarga yang kaya dan hebat, namun pikirkanlah bagaimana hidupnya berarti; pikirkanlah apa yang Tuhan lakukan dengannya dan uang 57 sen miliknya dahulu. Bila dibandingkan dengannya, banyak orang akan merasa malu. Pikirkanlah tentang  gereja yang besar ini; jumlah pertambahan anggota sebanyak lebih dari 5.600 - sejak saat itu. Pikirkanlah pengaruhnya keluar dan menyebar ke seluruh dunia. Pikirkan pengaruh sekolah Sabat terhadap bangunan hebat ini selama lebih dari dua puluh tahun. Kemudian pikirkan tentang lembaga tempat gereja bernaung. Pikirkan Rumah Sakit Samaria dan ribuan orang sakit yang telah sembuh dan ribuan orang miskin yang telah dilayani setiap tahun. Saya menerima laporan bulan Oktober dari Rumah Sakit Samaria Sabtu lalu bahwa selama satu bulan, 2.540 telah mengunjungi apotek. Dengan mengalikannya dengan angka dua belas untuk memperoleh rata-rata orang yang datang selama setahun. Ada lebih dari 30.000 orang setiap tahun pergi ke apotik dari satu rumah sakit, dan hal itu tidak termasuk bangsal untuk kaum miskin atau kamar pribadi. Lalu ada rumah sakit lainnya, Garrestson, yang juga diambil alih oleh jemaat gereja ini. Tanpa gereja ini, hal itu mungkin tidak bisa dimulai. Di sana jumlah orang yang dilayani dalam satu tahun sebanyak lebih dari 14.000 pasien yang terluka, rusak, dan sekarat. Pikirkan tentang pelayanan dari rumah sakit ini yang dimulai sebagai dampak pelayanan gereja ini dan didukung sejak awal oleh anggota jemaat gereja. Hal itu menjadi kisah perjalanan panjang dari kebaikan mereka.

Pikirkan bagaimana di rumah Wiatt dimulai kelas pertama dari Temple College. Masyarakat Wiatt Mite menyediakan kursi, buku-buku dan guru. Oleh karena itu dimulailah sekolah malam yang telah bertumbuh dan berkembang selama bertahun-tahun. Rumah itu yang dibeli seharga 54 sen kemudian dijual dan hasilnya diberikan ke Temple College karena kemungkinan terkena proyek pembuatan taman. Kami pindah dari gereja asal dan memberikannya ke Temple College, dan kampus menjualnya ke gereja lain dan menggunakan uang itu untuk mendirikan sebuah bangunan di sebelah kami di Broad Street. Pikirkan pengaruh uang 57 sen untuk sesaat. Hampir 80.000 orang muda telah mengikuti pendidikan di Temple College, dan pikirkan di mana mereka berada.

Setahun yang lalu, kami memperkirakan ada 500 pria dan wanita muda di departemen bisnis yang tidak mendapatkan apa-apa sebelum mereka menempuh pendidikan di sana , memperoleh pengajaran selama enam bulan  dan akhirnya mendapatkan upah yang memadai. Pikirkan pendapatan dan  kenikmatan tambahan, yang bahkan diberikan oleh  bagian terkecil, dan kemudian pikirkan Fakultas Hukum, Kedokteran, Kedokteran Gigi, Teologi, Seni Berumah Tangga, Sekolah umum dan Sekolah keguruan  - ada hampir 4.000  orang yang sekarang bekerja di berbagai bagian kota. Bayangkan bagaimana mereka pergi dan mengajar ribuan orang dan kemudian mereka pada gilirannya akan mengajar ribuan orang lainnya dalam hidup mereka.  Pikirkan bagaimana membersihkan dunia selama seabad yang dimulai dengan seorang guru, yang kemudian menggandakan dirinya mungkin seratus kali hampir setiap tahunnya. Dua tahun lalu, tahun terendah dalam pekerjaan itu, kami mengambil statistik mahasiswa Temple University. Kami memastikan ada 504 pemuda yang sedang belajar Injil dalam satu tahun. Sekarang, jika lulus (yang pasti terjadi) setidaknya seratus orang dalam setahun masuk ke dalam pelayanan. Pikirkan apa yang telah terjadi selama dua puluh tahun sejak persembahan Hattie May. Anggap saja - dua ribu orang memberitakan Injil karena Hattie Mei Wiatt menginvestasikan 57 sen  dan meletakkan dasarnya.

Manusia mungkin ada yang sangat fasih berbicara; mereka mungkin menyanyi dengan suara malaikat, namun mereka mungkin tidak berbicara seperti Hattie Mei Wiatt, karena dia ingin berbicara melalui hidupmu saat engkau pergi keluar dan melakukan secara berbeda sebelum engkau mendengar kisah ini . Hattie Mei Wiatt berbicara dengan nada kefasihan, manis, ilahi , kokoh dan berlangsung berabad-abad. Banyak orang yang hebat ; banyak orang diberi penghargaan atas apa yang tidak mereka lakukan, tapi di sini ada kehidupan yang dipenuhi dengan kekuatan untuk bergerak di setiap waktu.

Saat ini, jika berada di Philadelphia, lihatlah Temple Baptist Church, dengan kapasitas duduk untuk 3300 orang dan Temple University, tempat ribuan mahasiswa menempuh pendidikan. Lihat juga Rumah Sakit Good Samaritan dan sebuah bangunan istimewa untuk Sekolah Minggu yang lengkap dengan beratus-ratus pengajarnya, semuanya ini untuk memastikan jangan sampai ada satu anakpun yang tidak mendapat tempat di Sekolah Minggu. Di dalam salah satu ruangan bangunan ini, nampak terlihat foto si gadis kecil, yang dengan tabungannya sebesar 57 sen, namun dikumpulkan berdasarkan rasa cinta kasih terhadap sesama, yang telah membuat sejarah. Tampak pula berjajar rapi, foto sang pendeta baik hati yang telah mengulurkan tangan kepada si gadis kecil miskin ini, yaitu pendeta DR. Russel H.Conwell, penulis buku Acres of Diamonds -- suatu kisah nyata.

Kenyataan sejarah yang kolosal ini bisa memberikan petunjuk kepada kita semua, apa yang dapat DIA lakukan terhadap uang 57 sen.

Minggu, 10 Juli 2016

Belajar Menghargai


Suatu kali ada seorang pria yang suka membantu, baik, dan murah hati. Dia adalah jenis orang yang akan menolong orang lain tanpa meminta imbalan jasa. Dia melakukannya karena benar-benar ingin dan suka menolong. Suatu hari ketika sedang melangkah di jalan berdebu, pria ini melihat sebuah tas wanita, jadi dia mengambil dan melihat isi tas itu sudah kosong. Tiba-tiba seorang wanita muncul dengan seorang polisi yang kemudian menangkapnya.

Wanita itu terus bertanya di mana sang pria menyembunyikan uangnya, namun pria itu menjawab, "Tasnya kosong ketika saya menemukannya, Bu" Wanita itu berteriak, "Tolong kembalikan, uang itu untuk biaya sekolah anak saya." Melihat wanita itu begitu sedih, ia pun menyerahkan semua uangnya. Pria itu mengira sang wanita adalah orang tua tunggal. Pria itu berkata, "Ambillah. Maaf atas ketidaknyamanannya." Wanita itu pergi dan sang polisi menahan pria itu untuk interogasi lebih lanjut.

Wanita itu sangat gembira namun ketika ia menghitung uangnya, jumlahnya ternyata dua kali lipat sehingga dia terkejut. Suatu hari ketika wanita ini mau membayar uang sekolah anaknya, dia memperhatikan ada pria kurus sedang berjalan di belakangnya. Dia mengira pria itu ingin merampoknya, jadi dia mendekati seorang polisi yang ada di sana. Ternyata dialah polisi yang diajaknya dulu untuk mencari tasnya. Wanita itu melaporkan pria yang tengah mengikutinya, namun tiba-tiba mereka melihat pria itu jatuh. Mereka berlari ke arahnya, dan ternyata dialah pria yang ditahan beberapa hari lalu karena ‘mencuri’ tasnya.

Pria ini tampaknya sangat lemah sehingga sang wanita merasa bingung. Polisi itu kemudian berkata kepada sang wanita, "Dia tidak mengembalikan uangmu, tapi kemarin itu dia memberikan uangnya. Ia bukan seorang pencuri namun mendengar uang sekolah anakmu, ia merasa sedih sehingga memberimu uang miliknya. "Kemudian mereka berdua membantu sang pria berdiri, dan pria itu berkata kepada sang wanita," Lanjutkan perjalananmu dan bayarlah uang sekolah anakmu. Tadi saya melihatmu dan saya pun mengikutimu untuk memastikan bahwa tidak ada yang mencuri uang sekolah anakmu." Wanita itu hanya bisa terpana , tak mampu berbicara.

Moral: Hidup terkadang memberikan kita pengalaman yang unik yang mengherankan bahkan mengguncangkan. Kita kadang  salah menilai dan membuat kekeliruan dalam kemarahan, putus asa dan frustrasi. Namun, saat engkau memperoleh kesempatan kedua, perbaikilah kesalahanmu dan balaslah budinya. Berbaik dan bermurah hatilah. Belajarlah menghargai apa yang engkau peroleh.



Perjumpaan Anak Kecil dengan Tuhan


Suatu kali ada seorang anak kecil yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dia menyadari untuk bertemu denganNya akan menempuh perjalanan jauh dari rumahnya, sehingga ia mengemasi tasnya dan mengisinya dengan dengan kue Twinkies serta enam kaleng root beer lalu memulai perjalanan. Baru saja ia berjalan tiga blok dari rumahnya , ia melihat seorang wanita tua. Dia sedang duduk di taman dan kerjanya hanya menatap beberapa ekor merpati.

Anak itu duduk di sampingnya dan membuka tas yang dibawanya. Dia ingin mengambil sekaleng root beer saat ia melihat bahwa tampaknya wanita tua itu kelaparan sehingga ia pun menawarkan kue Twinkienya. Sang wanita tua itu dengan penuh syukur menerimanya dan tersenyum kepada si anak kecil. Senyumnya sangat menawan sehingga anak itu ingin melihatnya lagi, sehingga ia menawarkan root beer-nya. Sekali lagi sang wanita tua itu tersenyum padanya. Anak itu sangat senang! Siang itu mereka berdua duduk di sana sambil makan siang dan tersenyum, tetapi mereka tidak pernah mengatakan sepatah kata pun.

Saat hari mulai gelap, anak itu menyadari betapa lelah dirinya, dan ia bangkit untuk pergi, tapi sebelum melangkah lebih lanjut, ia berbalik dan berlari kembali ke wanita tua itu dan memeluknya. Wanita itu tersenyum lebar sekali. Ketika anak itu membuka pintu rumahnya beberapa waktu kemudian, ibunya terkejut dengan wajahnya yang bersukacita. Dia bertanya, "Apa yang kamu lakukan hari ini yang membuatmu begitu senang?" Dia menjawab, "Saya makan siang dengan Allah." Tapi, sebelum ibunya bisa menjawab, ia menambahkan, "Ma, tahu tidak? Dia punya senyum terindah yang pernah saya lihat! "

Sementara itu, sang wanita tua juga berseri-seri dengan sukacita dan kembali ke rumahnya. Anaknya terpesona melihat kedamaian di wajah ibunya dan ia bertanya, "Ibu, apa yang kamu lakukan sekarang yang membuat kamu begitu senang?" Dia menjawab, "Saya makan Twinkies di taman bersama Allah." Tapi, sebelum anaknya menjawab, wanita tua ini menambahkan, "Kau tahu, dia jauh lebih muda dari yang saya bayangkan."


Moral: Tuhan ada dimana-mana. Kita hanya perlu untuk berbagi kebahagiaan dan membuat orang lain tersenyum untuk merasakan kehadiranNya.

Kue Gosong


Mamaku selalu membuat makanan yang lezat. Namun suatu kali , ia menaruh kue yang gosong di hadapan papa. Gosong nya tidak hanya sedikit, tetapi hitam bagai arang. Melihat hal itu, saya menantikan apa yang akan dikatakan papa. Papa tampaknya tidak masalah dengan kue gosong itu dan menikmatinya. Dia bahkan menanyakan bagaimana kabar saya. Kemudian saya mendengar mama meminta maaf atas hidangan makan malam papa. Saya tidak pernah melupakan bagaimana tanggapan papa saat itu : Sayang, saya menyukai kue buatanmu. Sesudahnya saya dengan penasaran saya bertanya kepada papa apakah dia berbohong kepada mama. Papa meletakkan tangannya pada bahu saya dan berkata, “Mamamu melewati hari-hari yang keras dalam pekerjaannya sehingga membuatnya lelah. Kue yang gosong tidak akan melukai saya, namun kata-kata yang tajam bisa melukai hatinya.” Kita semua pernah melakukan kesalahan. Kita jangan membesar-besarkan kesalahan pasangan kita, sebaliknya kita harus mendukungnya. Itulah rahasia untuk memiliki hubungan jangka panjang dan bahagia. 

Senin, 04 Juli 2016

Susah Itu Ada Gunanya


Dalam buku Who Put My Life on Fast-Forward, penulisnya. Phil Callaway bercerita tentang pengalaman seorang temannya, Doug Nichols.
                Setelah Nichols menjalani operasi kanker usus pada bulan April 1993,dokter dengan sedih berkata kepadanya : “Maafkah saya , Doug, engkau hanya mempunyai 30 persen peluang untuk kembali pulih.”
                “Maksud dokter, saya punya 70 persen peluang untuk meninggal?” tanya Doug sambil tersenyum.
                “Saya tidak berkata begitu,” kata dokternya sambil keheranan dengan sikapnya, “ teatpi perkiraan terbaik saya adalah Anda paling banyak hanya punya waktu 3 bulan lagi untuk hidup.”
                Nichols menjawab, “Yah, apapun yang terjadi saya punya 100% peluang untuk masuk surga.”
                Ternyata 3 bulan kemudian Doug tidak mati, hanya radiasi dan kemoterapi membuatnya sangat menderita kesakitan.
                Suatu malam dalam berita TV, ia dan isterinya mendengar pemberitaan tentang perang saudara di Rwanda. Di sana terjadi pembantaian yang sukar untuk dapat dipercaya. Karena selain jumlah orang yang dibantai sangat besar – lebih dari 1 juta orang – juga karena pembantaian itu kebanyakan dilakukan oleh para tetangga dan sahabat-sahabat mereka sendiri. Ribuan penduduk Rwanda melarikan diri menyeberangi perbatasan menuju Zaire dan tinggal bergerombol di kamp-kamp pengungsi yang kotor dan sangat minim sarana. Penyakit seperti kolera berjangkit dengan cepat. Dimana-mana korban berjatuhan, dalam waktu hanya 3 hari saja sudah 50.000 jiwa meninggal dunia. Mendengar semua itu hari Doug dan isterinya , Margareth, merasa hancur. Tetapi apa daya mereka?
                Ternyata kemudian mereka memutuskan untuk pergi bersama dengan tim dokter dan perawat berangkat ke Rwanda. Di sana Doug berkenalan dengan seorang pemimpin Kristen Rwanda. Orang itu mempekerjakan 300 orang pengungsi sebagai pemikul usungan untuk mengangkut orang yang sakit – sehingga dokter dapat memberikan pertolongan – ataupun untuk mengubur mereka yang meninggal setiap harinya.
                Suatu hari pemimpin itu mendekati Doug dengan wajah cemas, “Tuan Nichols kita menghadapi masalah. Para pemikul usungan dengan marah meminta uang tambahan upah mereka. Mereka mengancam akan mogok kerja jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Sementara uang telah habis. Dan jika mereka tidak bekerja, korban yang meninggal dunia akan menjadi berlipat ganda.”
                Doug meminta agar diperbolehkan berbicara langsung kepada para pengusung itu. Sambil berjalan menuju sebuah tempat bekas gedung sekolah tua yang telah habis terbakar. Doug berpikir apa yang akan ia katakan untuk meredakan kemarahan orang itu dan membuat mereka mau kembali bekerja walau tanpa upah tambahan.
                Inilah kata-kata yang Doug sampaikan kepada para pengusung yang berjumlah sekitar 300 orang itu. “Saya tidak mungkin dapat memahami penderitaan yang kalian alami, dan sekarang menyaksikan isteri dan anak-anak kalian meninggal akibat kolera; saya juga tidak akan pernah dapat memahami seperti apa itu rasanya. Mungkin kalian menginginkan lebih banyak uang untuk membeli makanan, air, serta obat-obatan bagi keluarga kalian; saya juga belum pernah berada dalam posisi seperti itu. Tidak ada kejadian tragis yang pernah terjadi dalam kehidupan saya yang setera dengan apa yang telah kalian derita. Satu-satunya yang pernah menimpa saya adalah bahwa saya mengidap kanker...” Ketika Doug akan melanjutkan kata-katanya, penterjemahnya berhenti dan berpaling kepada Doug dan bertanya kepadanya. Terjadilah dialog seperti ini :
                “Maaf Anda bilang Anda mengidap kanker?” “Ya.”
                “Dan Anda datang ke sini? Apa dokter Anda mengatakan Anda boleh datang ke sini?”
                “Ia mengatakan pada saya bahwa jika saya pergi ke Afrika, saya mungkin akan mati dalam waktu 3 hari.”                 “Dokter anda mengatakan itu dan anda masih tetap datang juga? Untuk apa? Dan bagaimana jika anda meninggal?”
                “Saya ada di sini karena Tuhan menyuruh kami datang dan melakukan sesuatu untuk orang-orang di dalam namaNya. Saya bukan pahlawan. Jika saya mati, kuburkan saja saya di lapangan di mana kalian menguburkan orang mati lainnya.”
                Penterjemah itu mulai menangis. Lalu dengan air mata masih mengalir di wajahnya ia berpaling kepada para pengusung dan mulai berpidato, “Pria ini mengidap kanker. Ia datang kemari dan rela mati demi rakyat kita. Sementara itu kita mogok kerja hanya demi mendapat sedikit uang tambahan? Kita seharusnya malu.”
                Tiba-tiba semua orang mulai berlutut dan menangis. Seorang pria merangkak menghampiri Doug dan memeluknya. Tanpa banyak bicara, mereka satu per satu kembali bekerja tanpa bersuara. Dengan kembalinya mereka bekerja, ribuan nyawa terselamatkan dan banyak yang mendengar tentang Yesus Kristus.
                Belakangan ketika penterjemah itu menceritakan kembali semuanya, Doug berpikir dalam hati. “Apa yang kulakukan? Tidak ada. Bukan kemampuanku untuk merawat orang sakit, bukan keahlianku mengorganisir. Yang aku lakukan hanyalah mengidap kanker. Tetapi Allah memakai kelemahan itu untuk menggerakan hati orang-orang.”

Jumat, 10 Juni 2016

Meja Nenek


Drs. Timotius Adi Tan
Dari Buku : Secangkir Sup Bagi Jiwa Anda

Ada seorang janda tua yang begitu lemah. Ia menumpang di rumah anak laki-laki, istrinya, serta putri mereka yang masih kecil. Setiap hari penglihatan dan pendengaran wanita tua semain berkurang dan kadang-kadang pada saat makan kedua tangannya gemetar sehingga kacang polong menggelinding dari sendoknya atau sup tercecer dari mangkoknya. Anak laki-laki dan menantunya sering jengkel melihat wanita tua itu menumpahkan makanan di atas meja.

Pada suatu hari, setelah wanita tua itu menjatuhkan segelas susu, mereka berkata satu sama lainnya “Cukup! Sudah cukup kesabaranku!” Mereka tidak bisa mentoleransi lagi. Akhirnya mereka menyediakan meja kecil untuknya di pojok dekat lemari tempat penyimpanan sapu dan mereka menyuruh nenek tua itu makan di  situ. Nenek tua itu duduk seorang diri, memandang dengan mata yang berkaca-kaca ke seberang ruang makan itu. Kadang-kadang mereka berbicara kepadanya sementara mereka makan, tetapi lebih sering hanya untuk mengomelinya ketika ia menjatuhkan sendok atau garpu

Pada suatu malam, tepat sebelum makan malam, gadis kecil kesayangannya itu sedang bermain di lantai dengan kotak-kotak bangunannya. Ayahnya menanyakan apa yang sedang ia perbuat dengan kotak-kotak tersebut. “Aku sedang membuat sebuah meja kecil untuk ayah dan ibu,” ia tersenyum, “supaya kalian berdua bisa makan di pojok dapur suatu hari nanti apabila aku sudah besar.” Mendengar hal itu kedua orangtuanya terhenyak beberapa saat dan mendadak keduanya mulai menangis. Malam itu mereka segera menuntun wanita tua itu kembali ke meja makannya yang besar. Sejak saat itu mereka selalu makan bersama-sama. Dan, tidak seorang pun keberatan lagi bila wanita tua itu menumpahkan sesuatu di atas meja makannya.

Kolose 3:23
Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Nak... Mainkan Terus


Drs. Timotius Adi Tan
Dari Buku : Secangkir Sup Bagi Jiwa Anda

Di suatu kota digelar konser piano yang dimainkan oleh seorang pianis yang sangat termasyur dari Jerman. Beribu-ibu orang sudah memadati gedung pertunjukan menunggu acara segera dimulai. Tiba-tiba seorang anak kecil kira-kira berusia 5 tahun naik ke atas panggung pertunjukkan dan kemudian duduk di kursi buat si pianis dan mulai mencoba-coba memencet tuts piano dengan lagu anak-anak.

Penonton di gedung itu mulai riuholeh terikan marah dari penonton. Bahkan ada yang mulai melemparkan batu, sandal, dan lain-lain ke arah panggung, sambil berteriak, “Turun... turun....!:
Melihat hal ini si anak kecil mukanya menjadi pucat ketakutan dan hampir menangis, tetapi pada saat demikian tiba-tiba ia merasakan ada kedua tangan besar yang memegang belakang bahunya dengan lembut sambil berkata,”Nak! Jangan takut, mainkan saja terus sampai selesai, aku ada bersamamu,” kata si pianis memberi semangat.

Si anak mulai tenang dan terus memainkan lagu kesukaannya. Tak lama kemudian suasana mulai tenang dan penonton satu demi satu mulai berdiri dan bertepuk tangan memberi hormat.

1 Korintus 15:58  Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.