Yesus Gembala yang Baik.

Senin, 10 Desember 2012

Pesaing yang Bersahabat


Dengan tidak percaya bintang atletik berkulit hitam, Jesse Owens, menatap bendera yang menyatakan bahwa ia telah melakukan kesalahan pada lompatan jauhnya. Itu adalah kegagalannya yang kedua. Pemegang rekor dunia itu hanya memiliki satu kesempatan lagi untuk bisa berlaga di final Olimpiade 1936.
                Lompatannya hanya sejauh 7 meter. Rekor dunia yang dicapai Owens sebelumnya pada tahun yang sama masih lebih jauh – 8 meter. Namun pada babak penyisihan Olimpiade, ia telah gagal dua kali pada jarak yang lebih pendek. Kalau gagal lagi, Owens akan tersingkir.
                Kemudian , tepat pada saat segalanya tampak suram, datang pertolongan dari seseorang yang tak disangka-sangka – pesaing utamanya! Ia adalah Lutz Long dari Jerman, satu-satunya pelompat jauh yang lompatannya bisa mengalahkan Owens.
                Pertemuan dramatis antara pahlawan olahraga Afro-Amerika dengan pahlawan Jerman tersebut merupakan salah satu cerita besar dalam Olimpiade 1936 di Berlin, Jerman, yang tak pernah diceritakan. Pada saat itu, dictator Jerman Adolf Hitler dan para pengikutnya membenci orang-orang kulit hitam dan menganggap orang-orang kulit putih lebih unggul. Hitler berharap pertandingan tersebut akan membuktikan bahwa atlet-atlet kulit putih lebih baik daripada atlet-atlet kulit hitam.
                Namun Owens, seorang pelajar dari Negara bagian Ohio, membuktikan bahwa orang gila itu salah. Ia mengejutkan Hitler dan para pengikut Nazinya dengan memenangkan empat medali emas dalam Olimpiade 1936. Namun, tanpa sportivitas yang tidak mementingkan diri sendiri dari Lutz Long, Owens tak akan pernah memenangkan medali emas untuk nomor lompat jauh.
                Selain lompat jauh, Owens juga mengikuti lomba lari 200 meter meski keduanya diselenggarakan pada waktu yang hampir bersamaan. Ia mengawali hari itu dengan melakukan dua nomor lari pertama pada babak penyisihan. Masih dengan pakaian yang sama, Owens berlari memasuki lapangan tempat kompetisi lompat jauh dilangsungkan.
                Karena terlambat, Owens tak menyadari kalau pertandingan lompat jauh sudah dimulai. Ia bermaksud melakukan pemanasan dengan berlatih di  landasan, kemudian dengan setengah hati melompat ke pasir. Namun ia sangat terkejut kala panitia menyatakan bahwa ia gagal pada lompatan pertamanya. Ternyata lompatan pemanasannya itu dianggap sebagai lompatan pertama dari tiga kesempatan yang akan diperhitungkan.
                Karena bingung dengan keputusan panitia dan kehabisan napas karena baru mengikuti nomor lari jarak pendek 200 meter, Owens berusaha keras melompat dengan baik pada kesempatan kedua. Namun ia salah memperhitungkan titik tolaknya – dan gagal lagi! Kini Owens hanya memiliki satu kesempatan lagi.
                Saat itulah, seorang Jerman bertubuh tinggi dan berambut pirang menepuk bahu Owens dan memperkenalkan dirinya sebagai Lutz Long, pelompat jauh Jerman yang terpilih untuk berlaga di babak final. Anak petani kulit hitam dan atlet Jerman itu bercakap-cakap selama beberapa menit. Kemudian, Long yang tidak percaya pada teori Hitler yang aneh tentang keunggulan orang-orang kulit putih, menawarkan diri untuk membantu Jesse.
                “Pasati ada sesuatu yang mengganggumu,” tanya Long. “Seharusnya kamu dapat lolos dengan mata tertutup.”
                Owens menjelaskan bahwa ia tidak tahu kalau lompatan pemanasannya diperhitungkan sebagai lompatan pertama, dan karena keinginannya yang berlebihan untuk memperbaiki kesalahan, pada kesempatan kedua titik tolakannya justru gagal.
                “Jarak yang perlu kamu perhitungkan sebenarnya tidak sulit. Buatlah tanda kira-kira 30 cm sebelum kamu mencapai garis,” Long memberitahu Owens. “Gunakan itu sebagai titik tolakan lompatanmu. Dengan demikian kamu tidak akan gagal.”
                Owens berterima kasih pada lawannya, kemudia membuat sebuah tanda dengan kakinya di rumput di sebelah landasan kira-kira 30 cm dari garis batas. Beberapa menit kemudian, ia berlari dan melakukan lompatan ketiga sekaligus lompat terakhir, dan berakhir melompat 60 cm lebih jauh. Namun drama belum selesai.
                Sore itu, atlet Amerika dan Jerman itu bertemu lagi di babak final untuk memperebutkan medal emas lompat jauh.
                Lompatan pertama Owens mengukir rekor Olimpiade sejauh 7,76 m yang kemudian diralat menjadi 7,87 m. Namun Long menyambut tantangan tersebut. Pada kesempatan kedua, ia menggetarkan hati ribuan pendukung Jerman dengan menyamai lompatan Owens yang memecahkan rekor.
                Kini giliran Owens. Ia menjawabnya dengan lompatan lain yang memecahkan rekor lagi, kali ini sejauh 8 m. Untuk bisa menang, Long membutuhkan kekuatan manusia super pada kesempatan terakhirnya. Namun karena mencoba mengerahkan seluruh kemampuan, Long hari melampaui papan pembatas dan gagal. Dan, Jesse Owens memenangkan medali emas!
                Owens masih memiliki satu kesempatan lagi. Ia begitu bersemangat sehingga berhasil melompat sejauh 8,05 m, dan kembali memecahkan rekor Olimpiade untuk ketiga kalinya dalam tiga kali lompatan.
                Dengan geram dan bersungut-sungut Adolf Hitler menyaksikan melalui televise bahwa orang pertama yang memeluk dan memberi selamat kepada Owens adalah Lutz Long.
                Bertahun-tahun kemudian, Owens mengenang peristiwa tersebut ketika dua pahlawan Olimpiade itu berdiri berangkulan. “Anda dapat melebur semua medali dan piala yang saya miliki, karena semua itu tak dapat dibandingkan dengan persahabatan 24 karat yang saya rasakan saat itu terhadap Lutz Long.”
                Long dan Owens menjadi teman baik dan saling berkirim surat, bahkan selama Perang Dunia II saat Lutz menjadi letnan dalamketentaraan Jerman. Dalam sepucuk surat yang ditulisnya dalam suatu peperangan pada tahun 1943, Long menulis, “Kuharap kita bisa tetap berteman baik walau banyak perbedaan di antara Negara kita.” Itu adalah surat terakhir yang diterima Owens, karena beberapa hari setelah menulis surat itu, teman baik dan lawan tanding Owens tersebut tewas dalam pertempuran.
                Jesse Owens tetap berhubungan dengan keluarga Long dan beberapa tahun setelah perang ia menerima surat yang sangat menyentuh dari putra Lutz, Peter, yang saat itu telah berusia 22 tahun. Dalam suratnya Peter berkata bahwa ia akan menikah. “Meski Ayah tak bisa hadir di sini untuk menjadi saksi dalam pernikahan saya, saya tahu siapa pengganti yang beliau inginkan, yakni seseorang yang dikagumi dan dihormati olehnya serta seluruh keluarganya. Saya yakin Ayah ingin Anda menggantikannya. Demikian pula saya.”
                Itu sebabnya, Jesse Owens pergi menghadiri pernikahan Peter di Jerman, dan dengan bangga berdiri di samping putra Lutz Long itu – seorang sahabat dan atlet Olimpiade yang menempatkan sportivitas di atas kemenangan pribadi.

Bruce Nash & Allan Zullo
Mengejar Pelangi

Hadiah Cinta

“Bisa saya melihat bayi saya?” pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga!

Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi.Anak lelaki itu terisak-isak berkata, “Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh.”

Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan, “Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?” Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya.

Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. “Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya,” kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka.

Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, “Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia.” kata sang ayah.

Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, “Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya. “

Ayahnya menjawab, “Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu.” Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, “Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini.”

Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah… bahwa sang ibu tidak memiliki telinga.

“Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya,” bisik sang ayah. “Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?”

Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.

Berdoa dengan Tidak Putus-Putusnya

Sejumlah pendeta dan hamba Tuhan berkumpul bersama-sama untuk membahas dan berdiskusi tentang beberapa soal yang sukar, antara lain arti dari doa yang tidak putus-putus.
Mereka setuju untuk bertemu lagi keesokan harinya untuk menarik kesimpulan.
Sementara para pendeta ini sedang berdiskusi , seorang pelayan wanita tua mendengar diskusi mereka lalu ia berkata bahwa ia tahu tentang arti : berdoa dengan tidak putus-putusnya.
Pelayan ini dibawa ke dalam kelompok itu dan seorang pendeta tua bertanya kepadanya, “Mary, apakah yang ingin anda katakan tentang hal berdoa dengan tidak putus-putusnya itu? Apakah anda dapat berdoa sepanjang waktu?”
“Oh, tentu sekali , tuan,” jawab pelayan itu.
“Apakah benar demikian, Mary? Bukankah engkau mempunyai banyak sekali pekerjaan sepanjang hari? Bagaimana anda dapat berdoa tidak putus-putusnya?”
“Tuan, semakin banyak yang harus saya kerjakan, semakin banyak doa pula yang saya panjatkan.”
“Coba jelaskan hal itu, Mary. Sebab banyak orang justru berpikir sebaliknya.”
“Tuan, inilah yang saya perbuat. Pada waktu saya membuka mata saya sesudah tidur sepanjang malam, pada pagi hari saya berdoa,”Tuhan, bukakanlah mata saya dan pengertian saya.” Dan ketika saya berpakaian saya berdoa lagi,”Tuhan, biarlah saya mengenakan baju kebenaran.” Ketika saya mencuci pakaian, saya berdoa lagi,”Tuhan, basuhlah saya agar saya menjadi seorang yang suci di hadapanMu.” Dan sementara saya bekerja, saya berdoa lagi,”Tuhan, kuatkanlah iman saya agar saya dapat melawan rupa-rupa cobaan hari ini.”
Pada waktu saya mulai menyalakan api di dapur, saya berdoa,”Tuhan, kiranya iman saya menjadi panas, supaya saya dapat melayani TUhan dengan tidak jemu-jemu” Ketika saya menyiapkan makan pagi, saya berdoa, “Tuhan, biarlah jiwa saya lapar akan firmanMu dan air susu yang sejati itu.” Dan sementara saya mengurus anak-anak kecil, saya berdoa,”Tuhan, biarlah saya tetap menjadi anak Allah oleh kemurahan dan anugerahMu.” Maka untuk setiap pekerjaan yang harus saya kerjakan, saya memanjatkan doa yang sesuai dengan apa yang saya hadapi.”
Pendeta tua itu langsung berkata,”Mary, cukup sudah. Memang Allah berkenan menyatakan hal ini kepada anak kecil, dan menyembunyikan dari orang-orang yang merasa dirinya pandai. Mary, teruskan berdoa dengan tidak putus-putusnya.”
Dan akhirnya mereka mendapat jawaban dari kehidupan doa yang riil.

Tetaplah berdoa. (1 Tesalonika 5:17).

Menang di Dalam Ujian

Ketika hendak memasuki perguruan tinggi, anak saya harus mengisi formulir pendaftaran, yang di dalamnya ditanyakan bermacam-macam soal, baik mengenai pribadinya maupun hal-hal mengenai keluarga.
Kemudian ia ikut di dalam rombongan yang harus melewati testing masuk di Senayan. Pada waktu pulang dari testing dan saya tanya apakah testing itu sulit, dengan sedih ia mengaku bahwa banyak soal tidak dapat diisinya dan ia menjadi pesimis untuk dapat lulus dalam testing itu. Sekalipun demikian waktu diumumkan siapa-siapa yang lulus dalam testing masuk UI nomor pesertanya keluar. Heran sekali. Kami merasa gembira dan bersyukur kepada Tuhan.
Kemudian baru kami ketahui persoalannya mengapa ia dapat lulus dalam testing masuk. Waktu mengisi formulir pendaftaran ia tiba pada pertanyaan : Pekerjaan orang tua? Ia tidak mengisi dengan segera. Pikiran yang bukan-bukan datang kepadanya. Kalau saya isi… dengan terus terang, saya kuatir akan terjadi….. Di dalam pergumulan ini akhirnya dengan berani ia mengisi pekerjaan orang tuan : pendeta. Ia berkata, “Mengapa saya harus merasa malu kalau ayah saya seorang pendeta? Bukankah ini suatu anugerah Allah?”

Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan BapaKu yang di sorga. (Mat 10:32).

Alasan yang Terbaik

Mr. J.C. Messee menceritakan pengalamannya. Sebagai seorang pemuda waktu itu saya telah terpengaruh dan terbawa masuk ke bioskop di mana diputarkan film-film duniawi. Ketika ia duduk di dalam gedung bioskop dengan teman-temannya, tiba-tiba ia berdiri.
“Apa yang hendak kamu lakukan?” tanya seorang teman.
“Saya bangkit berdiri,” jawabnya.
“Tetapi apa yang hendak kamu lakukan?” tanya mereka pula.
“Saya ingin meninggalkan tempat ini,” jawabnya dengan pasti.
“Hei, bukankah kamu baru saja masuk ke tempat ini, dan sekarang sudah mau keluar dari sini.”
“Saya tahu hal itu, sobat-sobat. Saya sudah memutuskan untuk tidak berada di dalam tempat ini. Saya seorang Kristen. Setelah berada di tempat ini, saya baru ingat, bahwa kalau pada waktu saya menonton TUhan Yesus datang kembali untuk melantik saya. Ia akan mencari saya dan menemukan saya berada di tempat semacam ini. Saya akan malu di hadapanNya.”

Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus. (2 Kor 11:2)