Yesus Gembala yang Baik.

Jumat, 10 Juni 2016

Meja Nenek


Drs. Timotius Adi Tan
Dari Buku : Secangkir Sup Bagi Jiwa Anda

Ada seorang janda tua yang begitu lemah. Ia menumpang di rumah anak laki-laki, istrinya, serta putri mereka yang masih kecil. Setiap hari penglihatan dan pendengaran wanita tua semain berkurang dan kadang-kadang pada saat makan kedua tangannya gemetar sehingga kacang polong menggelinding dari sendoknya atau sup tercecer dari mangkoknya. Anak laki-laki dan menantunya sering jengkel melihat wanita tua itu menumpahkan makanan di atas meja.

Pada suatu hari, setelah wanita tua itu menjatuhkan segelas susu, mereka berkata satu sama lainnya “Cukup! Sudah cukup kesabaranku!” Mereka tidak bisa mentoleransi lagi. Akhirnya mereka menyediakan meja kecil untuknya di pojok dekat lemari tempat penyimpanan sapu dan mereka menyuruh nenek tua itu makan di  situ. Nenek tua itu duduk seorang diri, memandang dengan mata yang berkaca-kaca ke seberang ruang makan itu. Kadang-kadang mereka berbicara kepadanya sementara mereka makan, tetapi lebih sering hanya untuk mengomelinya ketika ia menjatuhkan sendok atau garpu

Pada suatu malam, tepat sebelum makan malam, gadis kecil kesayangannya itu sedang bermain di lantai dengan kotak-kotak bangunannya. Ayahnya menanyakan apa yang sedang ia perbuat dengan kotak-kotak tersebut. “Aku sedang membuat sebuah meja kecil untuk ayah dan ibu,” ia tersenyum, “supaya kalian berdua bisa makan di pojok dapur suatu hari nanti apabila aku sudah besar.” Mendengar hal itu kedua orangtuanya terhenyak beberapa saat dan mendadak keduanya mulai menangis. Malam itu mereka segera menuntun wanita tua itu kembali ke meja makannya yang besar. Sejak saat itu mereka selalu makan bersama-sama. Dan, tidak seorang pun keberatan lagi bila wanita tua itu menumpahkan sesuatu di atas meja makannya.

Kolose 3:23
Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Nak... Mainkan Terus


Drs. Timotius Adi Tan
Dari Buku : Secangkir Sup Bagi Jiwa Anda

Di suatu kota digelar konser piano yang dimainkan oleh seorang pianis yang sangat termasyur dari Jerman. Beribu-ibu orang sudah memadati gedung pertunjukan menunggu acara segera dimulai. Tiba-tiba seorang anak kecil kira-kira berusia 5 tahun naik ke atas panggung pertunjukkan dan kemudian duduk di kursi buat si pianis dan mulai mencoba-coba memencet tuts piano dengan lagu anak-anak.

Penonton di gedung itu mulai riuholeh terikan marah dari penonton. Bahkan ada yang mulai melemparkan batu, sandal, dan lain-lain ke arah panggung, sambil berteriak, “Turun... turun....!:
Melihat hal ini si anak kecil mukanya menjadi pucat ketakutan dan hampir menangis, tetapi pada saat demikian tiba-tiba ia merasakan ada kedua tangan besar yang memegang belakang bahunya dengan lembut sambil berkata,”Nak! Jangan takut, mainkan saja terus sampai selesai, aku ada bersamamu,” kata si pianis memberi semangat.

Si anak mulai tenang dan terus memainkan lagu kesukaannya. Tak lama kemudian suasana mulai tenang dan penonton satu demi satu mulai berdiri dan bertepuk tangan memberi hormat.

1 Korintus 15:58  Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.

Sahabat yang Kekasih


Drs. Timotius Adi Tan

Dari Buku : Secangkir Sup Bagi Jiwa Anda

Ketika seorang pendeta yang tua sedang menghadapi kematiannya, ia tidak dapat lagi mengenali siapapun. Orang yang pernah menjadi pendeta selama beberapa tahun mengunjungi dia dan bertanya, “Pak Pendeta, apakah Bapak masih mengenali saya?” Tidak, siapa kamu?” kata pendeta itu. Ketika ia sudah diberi tahu, ia tetap aktif bekerja di ladang Tuhan bersamanya, tetapi ia juga menerima tanggapan yang sama. Bahkan terhadap istri dan anak-anaknya pun pendeta itu tidak dapat mengenalnya. Akhirnya salah satu dari mereka berkata,”Pak, apakah Bapak masih ingat Tuhan Yesus Kristus?” Mendengar perkataan itu ia disegarkan. Dengan sukacita di matanya, ia menjawab, “Oh, iya, saya telah mengenal Dia selama 40 tahun. Ia adalah sahabatku yang terkasih!”

Bukanlah hal yang aneh bagi orang Krisetn yang sakit dan akan mati berada pada suatu keadaan di mana sebagian besar ingatannya terhapus. Namun demikian, begitu namaYesus disebutkan ia dapat menjadi gembira dan berseru,”Ia juruselamatku!”

Filipi 1:21  Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

Standing Ovation


Drs. Timotius Adi Tan

Dari Buku : Secangkir Sup Bagi Jiwa Anda

Juni 1989, di Paris ada Turnamen Tenis Grand Slam Perancis terbuka, terjadi suatu pertandingan yang luar biasa. Peternis nomor satu Ivan Lendl (Cekoslowakia) berhadapan dengan petenis Amerika Serikat keturunan Tionghoa Michael Chang pada enam belas besar.
            Di atas kertas, Lendl yang sudah tiga kali juara di tempat itu apalagi menduduki unggulan pertama, akan dengan mudah mengalahkan Chang. Untuk sementara, itulah yang terjadi. Di dua set awal Lendl dengan mudah menang 6-4,6-4.
            Drama dimulai di sini. Chang mengawali set kelima praktis hanya dengan satu kaki karena kaki kanannya sudah kram penuh. Keringat bercucuran di wajah Chang yang walau tampak menderita menahan sakit, tetapi pantang menyerah.
            Pada saat itulah, para penggemar tenis terpukau melihat Chang menjungkalkan Lendl dalam waktu 4 jam 30 menit dengan satu kaki! Begitu pukulan silangnya idak dapat dikembalikan Lendl, Chang langsung terjatuh dan menangis tersedu-sedu. Walau dibopong untuk meninggalkan lapangan pertandingan karena sudah tidak bisa berdiri lagi, Chang mendapat penghormatan tertinggi dari penonton dengan penghormatan berdiri sambil bertepuk tangan meriah (standing ovation). Bahkan, Jose Higueras, mantan petenis yang sekarang melatih petenis nomor satu dunia Jim Courier, mengatakan bahwa pertandingan Chang – Lendl aalah salah satu pertandingan tennis putra terbaik dalam sejarah!
            Ketika Stefanus bersaksi pada orang-orang Israel, ia ditangkap dan dibawa ke luar kota. Di sana ia dirajam dengan batu. Menjelang kematiannya ia berdoa untuk orang yang menyiksa dia, “Tuhan janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Ia menengadah ke atas dan melihat Yesus berdiri memberikan penghormatan standing ovation kepada Stefanus!
            Tuhan Yesus yang menciptakan dunia dan yang berkuasa di bumi dan di sorga memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada Stefanus, karena ia yan berkenan kepada Allah, penyerahan mutlak, setia sampai mati untuk Yesus (Kis 7:55).
            Dr. Billy Graham pernah menulis dalam sebuah buletin :
            To receive Christ costs nothing
            To follow Christ costs something
            To serve Christ costs everything
(Untuk menerima Kristus kita tidak perlu membayar apa pun, untuk mengikut Kristus dituntut sesuatu, untuk menlayani Kristus harus menyerahkan segalanya)

Kisah Para Rasul 7:55  Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah.

Julianna Snow Memilih Pergi ke Surga daripada ke Rumah Sakit.


Majalah Komunikasi Kristiani – Standard Vol. XI No. 10 (Februari 2016)

Juliana Snow, gadis kecil berusia 5 tahun ini tidak pernah memiliki kesehatan yang memadai untuk bisa pergi ke Sekolah Minggu di Gereja City Bible Church di Portland , Oregon, di mana keluarganya berjemaat. Karena itu sebagian besar pengetahuannya tentang surga adalah ajaran dari kedua orang tuanya. Mereka mengatakan padanya bahwa surga itu adalah tempat di mana ia akan bisa berlari dan bermain, dan semua itu tidak bisa ia lakukan sekarang ini. Surga adalah tempat di mana ia akan bertemu nenek buyutnya. Ia juga diberitahu bahwa di surga ada Allah yang akan mengasihinya lebih dari yang bisa mereka lakukan.
            Julianna, di usianya yang masih sangat belia telah menderita penyakit parah yang disebut Charcot-Marie-Tooth Disease. Penyakit yang awalnya menyerang lengan dan kakinya itu kini mulai menggerogoti saraf pernapasan serta otot-ototnya. Charcot-Marie-Tooth Disease, yang juga dikenal sebagai neuropati motorik dan sensorik herediter, adalah sekumpulan kondisi medis yang ditandai dengan rusaknya atau hancurnya selaput pelindung (selubung mielin) yang mengelilingi serabut saraf atau sel saraf itu sendiri. Penyakit itu tidak dapat  disembuhkan dan sifatnya progresif, menyebabkan mati rasa dan kelemahan yang menyebar luas, yang nantinya berakhir dengan kecacatan.
            Otot-otot batuk dan pernapasan Julianna sangat lemah sehingga jika ia terkena penyakit flu, maka infeksi itu bisa menetap di paru-parunya yang bisa menyebabkan pneumonia yang mematikan. Dokternya percaya bahwa jika mereka dapat menyelamatkan dirinya dari situasi ini – dan itu adalah sebuah pengandaian yang besar – ia mungkin akan dibius dengan sebuah alat respirator namun dengan kualitas kehidupan yang sangat rendah.
            Michelle Moon – sang ibu – mencari bimbingan secara online bagaimana menghadapi anak yang akan menghadapi kematian di usia 4 tahun. Tetapi ia tidak menemukan apa yang ia butuhkan. Kemudian ia membuat sebuah blog dengan harapan dapat membantu keluarga lain dalam situasi yang sama.
            Dan ketika Julianna berusia 4 tahun, Michelle bertanya pada putrinya, apakah ia mau dirawat di rumah sakit atau memilih meninggal di rumah jika jatuh sakit lagi. Dan ternyata jawaban Julianna sungguh mengharukan. Kepada harian dailymail.co.uk, Mihelle mengatakan bahwa putrinya lebih memilih untuk pergi ke surga daripada pergi ke rumah sakit untuk menerima perawatan.
            “Julianna, jika kamu sakit lagi, kamu mau dirawat di rumah sakit atau tetap di rumah saja?”tanya Michelle.
            “Tidak ke rumah sakit, saya benci NT. Saya benci rumah sakit.” Jawab Juianna.
            “Itu bisa berarti kamu akan segera pergi ke surga jika tetap tinggal di rumah?” sang ibu memperjelas resiko yang bisa menimpa putrinya itu.
            Julianna mengangguk.
            Julianna tidak mau pergi ke rumah sakit karena membenci prosedur naso-tracheal suction (NT) yang pernah ia jalani. Selama prosedur yang berlangsung 4 jam itu, perawat akan memasukkan selang ke hidung dan tenggorokan Julianna, kemudian mendorong sebuah selang melewati saluran refleks muntah (gag reflex) hingga ke paru-paru. Proses berikutnya adalah menghisap lendir keluar dari lubang-lubang kecil jalur pernapasannya. Dan semua prosedur itu dilakukan tanpa pembiusan!
            “Dan kamu tahu bukan Mommy dan Daddy tak bisa langsung menemani kamu di surga? Kamu akan pergi duluan seorang diri.”lanjut Michelle.
            “Tapi saya tidak akan sendirian, Tuhan akan menjaga saya,”Kata Julianna sungguh menggetarkan hati.
            “Itu benar. Kamu tidak akan sendirian.”
            “Apakah orang-orang akan segera pergi ke surga?”
            “Ya. Hanya saja kami tidak tahu kapan kami akan ke surga. Kadang-kadang bayi pergi ke surga. Kadang-kadang ada orang yang benar-benar tua baru pergi ke surga.”
            “Apakah Alex (kakaknya yang kini berumur 7 tahun) akan pergi ke surga bersama dengan saya?”
            “Mungkin tidak. Kadang-kadang orang pergi ke surga bersama-sama pada saat yang bersama, tetapi sebagian besar akan pergi sendirian. Apakah itu menakutkan kamu?”
            “Tidak, surga adalah tempat yang indah. Tetapi saya tidak menyukai kondisi sekarat.”
            “Mommy tahu. Itu adalah bagian yang sulit. Kita tidak perlu takut mati karena kita percaya bahwa kita akan pergi ke surga. Tetapi hal it ujuga menyedihkan sebab Mommy akan sangat kehilangan kamu.”
            “Jangan khawatir, saya tidak takut sendirian.”
            “Mommy tahu... Mommy sayang kamu.”
            “Sangat.” Julianna menambahkan.
            “Ya, Mommy sangat sayang kamu.... Mommy sangat beruntung.”
            “Dan saya juga sangat beruntung.”
            “Mengapa?” tanya sang ibu.
            “Karena Mommy sangat sayang pada saya.”
            Sebagai seorang ibu, Michelle menyimpan kesedihannya sendiri, “Tapi kalau kamu pergi ke rumah sakit, kamu bisa lebih sembuh dan pulang lagi ke rumah menghabiskan waktu lebih banyak bersama. Mommy ingin kamu tahu hal itu. Rumah sakit bisa memberimu waktu lebih banyak untuk tinggal bersama Mommy dan Daddy.”
            “Saya tahu,” kata Julianna lagi.
            Michelle pun menangis,”Maaf, Julian. Mommy tahu kamu tidak suka melihat Mommy menangis. Tapi Mommy akan sangat kehilangan kmau.”
            Dan jawaban Julianna selanjutnya sungguh membuat hati siapa saja tersentuh,”Tidak apa-apa. Tuhan akan menjaga saya. Dia ada di dalam hati saya.”
            Sebelum percakapan itu, Michelle mengatakan bahwa ia dan suaminya – Steve Snow – telah berencana untuk membawa Julianna ke rumah sakit jika ia sakit lagi. Tetapi setelah mendengar keinginan Julianna, mereka berubah pikiran.
            “Dia sudah mengatakan dengan jelas bahwa ia tidak ingin pergi ke rumah sakit lagi,”demikian Michelle menulis kepada CNN dalam sebuah email. “Jadi kamu harus melepaskan rencana itu karena itu egois.”
            “Sangat jelas, putri saya yang 4 tahun itu mengatakan pada saya bahwa mendapatkan lebih banyak waktu di rumah dengan keluarganya tidak setara dengan rasa sakit yang dialami jika pergi ke rumah sakit lagi. Saya memastikan bahwa ia mengerti pergi ke surga berarti kematian dan meninggalkan dunia  ini. Dan saya juga mengatakan kepadanya bahwa hal itu juga berarti meninggalkan keluarganya untuk sementara waktu, tapi kami akan bergabung dengannya kelak. Apakah ia tetap tidak ingin pergi ke rumah sakit dan masuk surga? Dia tetap putuskan demikian.” Kata Michelle di dalam blognya.
            Sementara sebagian besar pembaca meninggalkan komentar yang mendukung posting Michelle, tetapi beberapa orang malah berpikir bahwa Michelle dan Steve telah membuat pilihan yang keliru.
            Menjawab kritik dari orang lain, Michelle berdiskusi lagi dengan putrinya. “Ketika kamu mati, kamu tidak akan melakukan apa-apa. Kamu tidak bisa berpikir.” Tetapi menurut Michelle, Julianna tidak berubah pikiran dan ia tahu bahwa ini berarti ia akan pergi ke surga sendirian.
            Walaupun demikian, kata Michelle, jika ia sakit, mereka akan menanyai hal itu lagi, dan bahwa mereka akan menghormati keinginannya.
            Pada suatu kesempatan Michelle mengobrol lagi dengan Julianna tentang bagaimana nanti ketika mereka bertemu kembali di surga.
            “Kamu ingin Mommy berdiri di depan rumah, di hadapan semua orang sehingga kamu bisa melihat Mommy terlebih dahulu?” tanya Michelle pada putrinya.
            “Iya. Saya pasti akan sangat bahagia melihat Mommy,” jawab Julianna.
            “Apakah kamu mau berlari memeluk Mommy?” tanya Michelle lagi.
            “Iya. Dan saya yakin Mommy akan berlari memeluk saya juga,” kata Julianna.
            “Saya akan berlari dengan secepat mungkin,” imbuhnya lagi.
            “Iya, Mommy yakin kamu akan lari cepat sekali,” ujar Michelle.
            Kondisi Julianna saat ini sudah agak stabil, tapi dokter mengatakan bahwa sebuah penyakit seperti flu bisa saja merenggut nyawanya.
            Mungkin kita tidak setuju dengan keputusan keluarga ini, namun hal yang biasa dari Julianna adalah imannya kepada Tuhan. Semoga Tuhan memberikan anugerah yang besar bagi anak kecil ini.


Tulang Rusuk yang Hilang


Majalah Komunikasi Kristiani – Standard Vol. XI No. 10 (Februari 2016)

Seorang wanita bertanya kepada kekasihnya ,”Orang yang paling kamu cintai di dunia ini siapa?”
“Kamu dong!” balas sang kekasih dengan cepat.
“Menurut kamu, aku ini siapa?” Setelah berpikir sejenak kekasihnya menjawa, “Kamu tulang rusukku. Ketika Tuhan melihat Adam kesepian , dengan diam-diam ketika Adam tertidur, Ia mengambil tulang rusuknya dan diciptakan Hawa. Saat ini semua pria mencari tulang rusuknya yang hilang, ketika ia menemukan seorang wanita untuknya, ia tidak lagi merasakan sakit hati.”
            Setelah Menikah, pasangan itu mengalami masa yang indah untuk sesaat. Setelah itu, mereka mulai tenggelam dalam kesibukan dan kepenatan hidup. Hidup mereka menjadi membosankan. Kenyataan hidup yang kejam membuat mereka mulai menyisihkan impian dan cinta satu sama lain. Mereka mulai bertengkar dan pertengkaran itu mulai menjadi semakin panas. Sampai pada suatu hari, di akhir dari sebuah pertengkaran, sang wanita lari keluar rumah. Saat tiba di seberang jalan, ia berteriak, “Kamu tidak mencintai aku lagi!”
            Pria itu sangat membenci ketidakdewasaan yang ditunjukkan istrinya dan dengan spontan membalasnya. “Aku menyesal kita menikah! Ternyata, kau bukan tulang rusukku!”
            Terdiam dan berdiri terpaku, wanita itu mendengar kekasihnya mengucapkan kata-kata seperti itu. Kekasihnya sadar dan menyesal dengan apa yang sudah diucapkannya, tetapi seperti air tertumpah dan tidak mungkin diambil kembali.
            Dengan berlinang, wanita itu kembali ke rumah , mengambil barang-barangnya, bertekad untuk berpisah.
            “Kalau aku bukan tulang rusukmu biarkan aku pergi!”
            Lima tahun berlaru, pria itu tidak menikah lagi, tetapi berusaha tahu akan kehidupan wanitanya.
            Wanita itu pernah ke luar negeri tetapi sudah embali lagi. Ia pernah menikah dengan seorang asing dan kemudian bercerai.
            Dan di tengah malam yang sunyi pria itu menimum kopi dan merasakan sakit di hatinya. Tetapi ia tidak sanggup mengakui bahwa ia merindukan wanitanya.
            Suatu hari, mereka akhirnya bertemu di airport, tempat di mana banyak terjadi pertemuan dan perpisahan.
            “Apa kabar kamu?”
            “Baik, apakah kamu sudah menemukan tulang rusukmu yang hilang?”
            “Belum....”
            “Aku terbang ke New York dengan penerbangan berikutnya.”
            “Aku akan kembali 2 minggu lagi. Telepon aku kalau kamu sempat. Kamu tahu nomor telepon kita, tidak ada yang berubah.”
            Wanita itu tersenyum manis, lalu berlalu. “Bye...”
            Seminggu kemudian ia mendengar bahwa wanitanya adalah salah satu korban Menara WTC. Malam itu sekali lagi pria itu mereguk kopinya dan kembali merasakan sakit di hatinya. Akhirnya ia sadar bahwa sakit itu adalah karena  wanitanya tulang rusuknya sendiri yang telah dengan bodohnya ia patahkan.
            Kita melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita cintai. Dan akibatnya seringkali adalah fatal.

Selasa, 07 Juni 2016

Sekeping Pecahan Porselen


Bettie B. Youngs
Dari Buku : Kisah Kasih Allah

Suatu ketika, saat saya masih berusia kira-kira sembilan tahunan, Ibu pergi ke kota dan menugaskan saya menjaga saudara perempuan dan laki-laki saya. Begitu Ibu berangkat, saya berlari memasuki kamar tidurnya dan membuka lemari rias untuk menggeledak isinya.
            Di laci atas, di bawah pakaian dewasa yang halus dan berbau wangi, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil dari kayu. Saya begitu terpesona melihat perhiasan di dalamnya – cincin rubi peninggalan bibi kesayangan Ibu; anting-anting mutiara yang tadinya milik Nenek; bando pernikahan Ibu yang dilepasnya ketika membantu Ayah bekerja di pertanian.
            Saya mencoba semua perhiasan itu, sambil berangan-angan membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang wanita cantik seperti Ibu dan memiliki sendiri benda-benda indah seperti itu.
            Kemudian, saya melihat sesuatu yang terselip di balik laken merah lapisan penutupnya. Setelah mengangkat kain itu, saya menemukan kepingan kecil pecahan dari porselen.
            Saya memungutnya. Sungguh aneh, mengapa Ibu menyimpan pecahan kecil seperti itu? Saya mengamatinya di bawah kilauan cahaya lampu, namun hal itu tak memberi jawaban.
            Beberapa bulan kemudian, saat saya menyiapkan meja untuk makan malam, tetangga kami, Marge, mengetuk pintu. Ibu yang sedang sibuk di perapian, menyuruhnya untuk langsung masuk. Sambil melirik ke meja makan, Marge berkata,”Wah, tampaknya kau sedang menunggu tamu. Kalau begitu lain kali saja aku mampir lagi.”
            “Oh, tak apa-apa, masuk sajalah,” jawab Ibu. “Kami tidak sedang menunggu siapa pun.”
            “Tapi, bukankah itu adalah perlengkapan porselen terbaikmu?” tanya Marge. “Aku takkan pernah membiarkananak-anak menangani piring-piring terbaikku!”
            Ibu tertawa,”Malam ini aku menyajikan menu favorit keluarga. Kalau kau memakai peralatan makan terbaik untuk menjamu tamu istimewa, mengapa untuk keluarga sendiri kau tidak melakukan hal yang sama?”
            “Tapi, peralatan makan perselenmu cantik!” jawab Marge.
            “Yah, begitulah” kata Ibu, “sedikit piring pecah hanyalah harga yang murah untuk membayar sukacita yang dirasakan ketika kami menggunakannya.” Lalu, ia menambahkan, “Di samping itu, setiap kepingan dan retakan selalu ada kisahnya sendiri.”
            Sambil meraih ke lemari makanan, Ibu menarik keluar sebuah piring yang sudah pecah namun disatukan kembali. “Yang ini pecah pada hari ketika kami membawa Mark pulang dari rumah sakit,” katanya. “Betapa dingin dan kencangnya angin sore itu! Judy baru berumur enam tahun, tapi ia ingin membantu. Ia menjatuhkan piring itu ketika sedang membawanya ke bak cucian.”
            “Mulanya aku jengkel, tapi kemudian aku berkata kepada diri sendiri,’Aku tak akan membiarkan piring pecah itu menghubah kebahagiaan yang kami rasakan saat menyambut bayi baru kami.’ Di samping itu kami semua justru menikmati saat-saat merekatkan kepingan-kepingan piring itu kembali menjadi satu!”
            Marge tampaknya tidak begitu percaya.
            Ibu kembali menuju lemari makan dan mengeluarkan sebuah piring lagi. Sambil memegangnya ia berkata,”Kau lihat pecahan di pinggiran ini? Ini terjadi ketika aku berumur 17 tahun.”
            Suaranya melembut “Suatu hari di musim gugur saudara-saudara lelakiku membantu menanta jerami terakhir di musim gugur. Mereka juga mempekerjakan seorang lelaki muda untuk membantu kami. Pemuda itu ramping, memiliki lengan yang kokoh dan rambut pirang yang lebat. Ia juga memiliki senyum yang menawan.”
            “Saudara-saudara lelakiku menyukainya dan mengundangnya makan malam. Ketika kakakku memintanya duduk di sebelahku, aku menjadi grogi, sampai-sampai hampir pingsan.”
            Tiba-tiba ketika tersadar ia sedang bercerita kepada putrinya yang masih dan tetangganya, Ibu tersipu-sipu dan pergi cepat-cepat. “Lalu, ia mengulurkan piringnya kepadaku dan meminta tolong. Namun, aku begitu gugup sehingga ketika menerimanya, piring itu tergelincir dan membentur mangkuk tempat masakan.”
            “Kedengarannya seperti kenangan yang memalukan,” kata Marge.
            “Oh, justru tidak,” tukas ibu saya. “Ketika pemuda itu hendak pulang, ia berjalan mendekat, memegang tanganku dan menaruh kepingan porselen itu di telapak tanganku. Tanpa sepatah kata pun. Ia hanya menyunggingkan senyumnya yang menawan itu.”
            “Satu tahun kemudian aku menikah dengannya. Dan, sampai hari ini, kalau aku melihat piring ini, dengan rasa cinta aku mengenang saat berjumpa dengannya.”
            Karena melihat saya membelalakan mata, Ibu mengedipkan matanya. Kemudian, dengan hati-hati ia meletakkan piring itu kembali, di balik piring-piring yang lain, di tempatnya masing-masing.
            Saya belum melupakan piring yang sebagian kepingannya hilang itu. Begitu aku kesempatan, saya pun bergegas ke kamar Ibu dan mengeluarkan kotak perhiasan kayu itu lagi. Di sana keping pecahan porselen itu masih ada.
            Saya mengamat-amatinya dengan cermat, lalu berlari ke lemari dapur, menarik kursi, menaikinya, dan mengeluarkan sebuah piring. Tepat seperti yang saya duga, kepingan yang disimpan Ibu dengan hati-hati itu merupakan pecahan dari piring yang dipecahkannya ketika bertemu ayah.
            Sekarang saya jadi lebih tahu, dan lebih hormat, sehingga dengan hati-hati saya mengembalikan kepingan itu ke tempatnya, di antara batu-batu permata.
            Kisah cinta yang dimulai dengan kepingan itu sekarang telah berusia 54 tahun. Baru-baru ini salah satu saudara perempuan saya meminta agar kelak cincin antik berbatu rubi itu boleh menjadi miliknya. Saudari saya yang lain meminta anting-anting mutiara nenek.
            Sedangkan saya, saya ingin harta ibu yang paling berharga, suatu kenang-kenangan rasa cinta yang luar biasa; kepingan porselen itu.


Kisah Michael Berawal Saat Berumur Enam Tahun


Oleh : Charlotte Elmore
Dalam Buku : Kisah Kasih Allah

Dengan putus asa, saya bertanya apakah Michael dapat dites ulang. Ia menggeleng dan berkata “tidak”. Dalam upaya menunjukkan betapa “normalnya” Michael sesungguhnya, saya mula menceritakan apa saja yang dapat dilakukan Michael. Namun ia tidak menanggapi ucapan saya, berdiri, dan meninggalkan saya. “Michael akan baik-baik saja,” katanya.
            Malam itu, setelah Michael dan Linda, adik perempuannya yang berusia tiga tahun, tidur, saya berbicara sambil terisak kepada Frank tentang apa yang terjadi hari itu. Setelah membahasnya, kami setuju bahwa kami lebih mengenal anak kami daripada tes IQ itu. Kami memutuskan bahwa nilai tes Michael yang rendah pasti keliru.
            Seperti saya, Frank tak percaya bahwa anak kami “lemah mental”. Ia malah menceritakan hal-hal yang baru saja dilakukan Michael, yang membuktikan bahwa Michael pandai...  Ia berkata bahwa suatu malam Michael menunjukkan minta terhadap sketsa cetak biru yang sedang dikerjakannya , maka ia mencari mainan blok-blok berbentuk ganjil milik Michael dan dengan cepat membuat gambar dua dimensi dari blok-blok itu. Frank kemudian meminta Michael mencocokkan mainan tersebut dengan gambar yang sesuai. Frank berkata bahwa ia senang melihat betapa mudahnya Michael membuat sesuatu dengan pedoman diagram yang menyertai mainan itu.
            Ketika kami pindah ke Fort Wayne, Indiana pada tahun 1962, Michael masuk ke SMU Concordia Lutheran. Sekolah itu mengadakan seleksi persiapan masuk, termasuk biologi, bahasa Latin, dan aljabar – beberapa mata pelajaran yang menurut psikolog, tak akan pernah dikuasainya. Namun, biologi segera menjadi pelajaran kesukaannya. Dan ia mulai berkata kepada setiap orang bahwa ia ingin menjadi dokter.
            Michael masuk Universitas Indiana di Bloomington tahun 1965 sebagai calon mahasiswa kedokteran. Pada pertengahan tahun, indeks prestasi kumulatifnya 3,47. Ia masuk dalam daftar murid terbaik, dan pembimbing akademiknya memberi izin khusus untuk mengambil mata kuliah tambahan. Nilainya pun memenuhi syarat untuk diterima di Universitas Kedokteran di Indianapolis pada akhir tahun pertama pendidikan pendahuluan itu.
            Selama tahun pertama sekolah kedokteran, Michael ikut tes IQ lagi, dan skornya 126 , naik 36 poin. Kenaikan seperti itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
            Pada 12 Mei 1972, Frank, Linda, dan saya menghadiri upacara wisudanya dan memeluk Dr. Mike kami! Setelah upacara kami bercerita kepada Michael dan Linda tentang IQ-nya yang rendah saat 6 tahun, yanga membuat kami sedikit khawatir. Lalu Michael memandang saya dan sambil menyeringai berkata,”Ayah dan Ibu sama sekali tak pernah mengatakan bahwa saya tidak mungkin menjadi dokter, itu sebabnya saya lulus menjadi dokter!” Begitulah ia mensyukuri iman dan keyakinan kami.
            Ya, anak-anak hidup dengan apa yang diharapkan orang tua – katakan kepada seorang anak ia “bodoh”, maka ia akan benar-benar menjadi bodoh. Kami sering berpikir apa jadinya jika kami tetap memperlakukan Michael sebagai seorang “terbelakang mental” dan membatasi impiannya.


Masuk Bersama


Oleh : Stu Weber
Dari Buku : Kisah Kasih Allah

Kami biasa lari setiap pagi, tetapi ini adalah sebuah kisah yang lain dari biasanya. Kami sudah berkeringat sejak sebelum fajar menyingsing, namun sekarang keringat itu sudah mengering dari setiap pori-pori kulit kami. Dalam pelatihan fisik di sekolah tentara Amerika Serikat itu, kami benar-benar merasa diperas. Kelelahan. Namun, memang tiada pagi tanpa peluh di sana.
            Kami berlari dengan seragam lengkap. Seperti biasa, kami mengucapkan kata-kata, “Kalian keluar bersama, bekerja bersama, bekerja sebagai tim, dan kembalilah bersama. Jika kau belum bersama kami, jangan malu untuk bergabung!”
            Di tengah perjalanan, menembus tabis rasa sakit, haus, dan lelah, otak saya memikirkan sesuatu yang aneh tentang bentuk barisan kami. Di dua baris di depan saya, saya memerhatikan seorang teman tampak sempoyongan.
            Seorang yang tinggi besar dan berpotongan rambut pendek berwarna merah bernama Sanderson, tampak sudah tidak lagi berlari serentak dengan kami. Lengannya tampak terkulai. Kemudian kepalanya mulai bergoyang-goyang. Pria ini sedang berusaha bertahan. Hampir-hampir ia tak berdaya lagi.
            Sambil tetap berlari, tentara di sebelah kanan Sanderson mengangkat senapan dari bahunya untuk meringankan beban Sanderson. Jadinya, tentara itu memanggul dua senapan. Miliknya dan milik Sanderson. Si kepala merah yang tinggi besar itu tampak mendingan untuk sementara. Namun kemudian, ketika peleton itu terus bergerak, kerongkongannya seperti tercekat, matanya pucat, dan kakinya melemas. Segera kepalanya kembali bergoyang.
            Kali ini, tentara di sebelah kirinya meraihnya, membuka helmnya, mengepitnya di bawah lengannya dan terus berlari. Semua terus berlari. Langkah sepatu kami berderap-derap serempak di jalan yang kotor. Tap-tap-tap-tap-tap.
            Namun, Sanderson sakit parah. Benar-benar parah. Ia rebah. Tetapi, tunggu. Dua tentara di belakangnya mengangkat ransel di punggungnya, kemudian masing-masing memanggul Sanderson dengan tangan yang bebaas. Sanderson mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Membusungkan dadanya. Pasukan itu terus berlari. Terus menelusuri jalan hingga garis akhir.
            Kami berangkat bersama. Kami pulang bersama. Dengan begitu, kami semua menjadi lebih kuat.
            Bersama-sama memang selalu lebih baik.