Yesus Gembala yang Baik.

Sabtu, 08 Desember 2012

Anjing Yang Setia Berbakti di Gereja

Ada seorang wanita yang berkobar imannya sesudah ia diselamatkan oleh Tuhan Yesus. Nyonya ini ingin sekali agar suaminya juga menerima Yesus sebagi Juruselamat, namun ia selalu mengeraskan hati. Sekalipun demikian nyonya ini terus berdoa untuk keselamatan jiwa suaminya.
                Keluarga ini memelihara seekor anjing yang sangat mereka sayangi. Setiap minggu, kalau nyonya itu pergi ke kebaktian di gereja, anjing itu ikut dan duduk di bawah bangku hingga kebaktian selesai. Hal ini terjadi tiap-tiap minggu.
                Kemudian terjadilah hal yang menyedihkan. Nyonya ini meninggal dunia. Selain suami itu merasa sedih, anjing mereka pun merasa kehilangan majikannya. Sesudah kematian nyonya itu, tuan ini memperhatikan bahwa sudah beberapa hari Minggu anjing kesayangan mereka menghilang di waktu pagi dan baru kembali beberapa jam kemudian. Oleh karena ingin mengetahui ke mana anjing itu pergi, tuan ini membuat keputusan untuk mengintai kejadian aneh itu. Diam-diam ia mengikuti anjing itu. Di tengah jalan anjing itu melihat majikannya, lalu dengan gembira  ia berjalan terus, hingga mereka tiba di pintu gereja pada waktu baru ada satu-dua orang yang sudah duduk di dalam. Anjing itu menuju tempat di mana nyonya majikannya selalu duduk, diam di bawah bangku. Tuan ini duduk juga, dengan maksud untuk mengawasi anjing kesayangannya itu.
                Akan tetapi ketika Firman Tuhan diberitakan, Roh Kudus telah bekerja di dalam hati tuan itu, sehingga ia bertoba dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Ia sangat terharu, karena pada hari itu doa istrinya telah dikabulkan. Dan Tuhan telah memakai kesetiaan anjing mereka untuk membawanya ke gereja.

“Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.” Kisah 16:31

Selalu Ada Alasan (Ditembak)

Satu Desember 1997 kumulai seperti hari-hari sekolah lainnya – tidak ada yang luar biasa. Aku dan saudara kembarku Mandy, merencanakan untuk membuat PR pulang sekolah seperti biasanya. Setelah itu aku akan mempelajari buku pedoman mengemudi supaya bisa memperoleh SIM pada tanggal 24 Desember, hari ulang tahun kami.
                Mandy dan aku duduk di kelas dua di Heath High School. Kami mengambil mata pelajaran peradaban dunia, aljabar, jurnalisme, bahasa Inggris, paduan suara, band. Kami juga mulai mengikuti kelompok doa pagi.
                Namun sekitar pk 7.45 pagi itu, ketika kelompok kami yang terdiri dari 35 siswa selesai kebaktian, teman sekelas kami, Michael Carneal, tiba-tiba melepaskan tembakan. Mula-mula Mandy dan aku berpikir ia hanya main-main untuk menarik perhatian. Letupan senjatanya terdengar redup, seperti di TV. Namun ketika sebuah peluru melayang dan menyerempet rambut Mandy, sadarlah ia kalau itu peluru asli. Mandy menjatuhkan tubuhnya di ataku.
                Aku telah tertembak, namun aku tidak segera menyadarinya. Aku tidak merasa sakit, hanya merasa ada yang menindih. Aku tercengang, terkejut, dan bingung. Aku tidak dapat memercayai apa yang baru saja terjadi. Sampai sekarang pun peristiwa itu masih sulit untuk dipercaya.
                Setelah penembakan itu, ambulans membawaku ke Rumah Sakit Lourdes dekat sekolah. Dokter memberi tahu bahwa peluru telah menembus bahu kiriku dan menghancurkan urat syarat tulang belakang. Akibatnya, aku lumpuh mulai pinggang ke bawah. Mereka memberi tahu kalau aku tidak akan dapat berjalan lagi.
                Aku merasa sangat kesakitan pada minggu pertama di Lourdes karena mual, cairan di paru-paru, pembengkakan di sekitar urat syaraf tulang belakang. Ketika keadaanku sudah lebih baik, mereka mulai melakukan terapi. Mula-mula mereka menggunakan meja yang miring agar aku terbiasa menegakkan tubuh kembali. Lalu akau mulai melakukan latihan-latihan untuk memperkuat lengan dan tubuh bagian atas. AKu juga mulai belajar menggunakan kursi roda.
                Mula-mula, memakai baju sendiri membutuhkan 45 menit. Belajar mengerjakan segala sesuatu secara normal sangat sulit hingga hal itu membuatku merasa jemu atau lebih.
                Kemudian pada bulan Februari, aku dibawa ke Rumah Sakit Rehabilitasi Cardinal di Lexington sejauh kira-kira 400 km, untuk melanjutkan terapi khusus.  Aku pergi bersama keluargaku, ibuku Joyce, ayahku Ray, kakak perempuanku Christie, dan Mandy. Kami menyewa  sebuah apartemen. Aku mulai menjalani terapi fisik setiap hari, termasuk latihan aerobic untuk mempercepat denyut jantungku. Salah satu dari latihan itu adalah sepeda lengan, yang cara kerjanya sama dengan sepeda yang menggunakan kaki. Perbedaannya adalah latihan ini dilakukan dengan lengan untuk memperkerkuat lengan itu.
                Latihan harian lainnya adalah terapi pekerjaan. Melalui terapi itu aku belajar berdiri dari kursi rodaku dan berjalan ke bak mandi, serta memakai sepatu.
                Yang paling menyenangkan dari terapi harianku adalah terapi rekreasi. Aku bermain basket, melempar Frisbees, dan berenang. Aku juga harus berdiri selama setengah jam sehari, sehingga Mandy dan aku akan melewatkan waktu dengan bermain kartu.
                Syukurlah aku dapat meninggalkan Cardinal Hill pada waktunya untuk menyelesaikan tahun keduaku di Heath. Terapi fisik berlanjut setiap hari – bahkan di sekolah. Para ahli terapi datang ke sekolah setiap pk 11 untuk menolongku meregangkan kaki. Duduk di kursi roda dalam waktu lama membuat kakiku terasa kaku.
                Kembali ke sekolah terasa menyenangkan karena setiap orang memperlakukanku seolah-olah aku tidak menggunakan kursi roda. Berkeliling menggunakan kursi roda membuatku merasa sangat frustasi. Kebanyakan tempat tidak dapat dimasuki kursi roda. Hal-hal yang dulunya mudah sekarang terasa sulit. Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.
                Aku memikirkan Michael dan bertanya-tanya mengapa ia menembak kami. Mandy dan aku sama-sama mengenalnya; kami berlatih band bersamanya, beberapa kali naik bus yang sama dalam perjalanan. Bergurau dengannya. Kami memiliki banyak teman yang sama. Di Heath setiap siswa saling mengenal. Tak seorang pun di antara kami berpikir bahwa Michael adalah anak yang aneh atau berbahaya.
                Perbuatan Michael hari itu mencelakakan begitu banyak orang. Tetapi aku merasa yakin bahwa membencinya adalah hal yang sia-sia. Aku tidak dapat menghakiminya atau memutuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepadanya. Tuhanlah yang akan menghakiminya. Selain itu, membenci Michael tidak akan membuatku mampu berjalan lagi atau membuat teman-teman sekolahku – Kayce, Jessica, dan Nicole – hidup kembali. Kematian mereka masih terasa seperti mimpi.
                Dari ketiganya, Kayce adalah sahabatku yang terdekat. Setiap hari aku memikirkan Kayce dan saat-saat bahagia yang telah kami lewati bersama-sama – pesta, band, teman-teman. Aku tahu bahwa mereka bertiga ada di surge, namun aku tetap merasa kehilangan Kayce. Tak sesuatu pun terjadi tanpa alasan – juga peristiwa ini – dan bagaimana pun juga Tuhan akan membuat sesuatu yang baik dari peristiwa ini. Aku yakin itu.
                Aku benar-benar kasihan kepada Michael. Tidak seperti Michael, aku dapat melanjutkan kehidupanku. Aku memiliki banyak teman yang mendukungku setiap hari. AKu tidak membenci Michael. Aku bisa memaafkannya. Aku sungguh tidak mau membawa perasaan dendam yang mengerikan dalam hatiku.
                Banyak orang mengatakan kepadaku bahwa sikapku yang tabah telah menjadi inspirasi bagi mereka. Kupikir itulah tujuanku.

Missy Jenkins
Mengejar Pelangi

Pelajaran Jam Kelima

Sewaktu aku duduk di SMA, aku sangat membenci kelas ilmu pemerintahan pada jam kelima. Gurunya membosankan, dan tak ada teman dekatku yang mengikuti pelajaran itu. Anak laki-laki yang duduk di depanku juga sangat menjengkelkan. Tingginya sekitar dua meter, rambutnya panjang, memakai sandal “hippie” dari kuliat, dan tawanya sangat besar, hampir sebesar badannya. Mike tidak saja suka menakuti-nakutiku, ia juga suka menggodaku, dan aku sangat membenci hal itu.
                Aku adalah gadis kristiani saleh yang bertubuh kecil. Aku tidak pernah pergi ke pesta dansa sekolah, sedangkan Mike adalah raja pesta dansa sekolah, sedangkan Mike adalah raja pesta yang setiap hari Senin menceritakan tingkahnya yang gila-gilaan dengan suara keras, lalu tertawa apabila wajahku memerah atau membalikkan badan. Aku sangat membenci sura tawanya.
                Aku mulai membawa Alkitabku ke kelas ilmu pemerintahan dalam semester itu. Alkitab itu bersampul tipis, Good News for Modern Man, dan aku telah membuat sampul luar dari bahan bergambar bunga merah muda untuk Alkitab itu. Sekelompok kecil murid yang beragama kristiani mengadakan pertemuan setiap jam makan siang, dan aku menyediakan Alkitab bersampul itu untuk pertemuan tersebut. Kami dikenal sebagai Jesus Geeks. Melihat jumlah kelompok yang sangat kecil, sungguh mengherankan bahwa murid-murid lain tahu siapa kami dan untuk apa kami berkumpul. Terutama murid-murid yang seperti Mike.
                “Apakah Jesus Geeks berdoa untukku hari ini?” ejek Mike suatu hari ketika aku masuk ke kelas ilmu pemerintahan tepat sesudah makan siang.
                Aku tidak menjawab, tetapi ini tidak menjadi masalah baginya karena perkataannya segera disambut gelak tawa yang diinginkannya dari teman-temannya yang duduk di sekeliling kami. Aku menyelinap ke tempat dudukku dan berharap guru segera memulai pelajaran.
                “Apa ini?” kata Mike. Dengan tidak sopan ia merebut Alkitab yang kusembunyikan dengan hati-hati dan membolak-balik halamannya.
                Aku segera merebutnya kembali, tetapi tangannya yang panjang memegang Alkitab itu di atas kepalanya sambil membolak-balik halamannya, lalu dengan penuh kegembiraan ia berkata, “Oh, sungguh indah Alkitab warna merah muda ini!” Ia membawa Alkitab itu berkeliling dan menunjukkannya kepada teman-temannya, dan mereka menanggapi dengan gelak tawa dan ejeken seperti yang diharapkannya.
                Karena merasa terpojok, aku merebut Alkitabku dan melontarkan kata-kata paling bodoh yang pernah kuucapkan, “Mengapa kamu tidak menyerahkan diri untuk diselamatkan dan tidak menggangguku?”
                Tentu saja perkataan itu membuat Mike dan semua temannya tertawa terbahak-bahak, dan menarik perhatian kelas ke deretan belakang sehingga guru meminta kami semua untuk tenang.
                Ketika Alkitab itu sampai kembali ke tanganku yang gemetar, aku mengejapkan mata untuk menahan air mataku dan meletakkan Alkitab di pangkuanku selama sisa pelajaran itu.
                Esok harinya aku bergumul apakah akan membawa Alkitabku ke sekolah atau tidak. Aku tahu bahwa Mike mungkin akan menggunakannya untuk mengejekku lagi. Aku tidak tahu mengapa akhirnya aku membawanya. Pada pertemuan makan siang aku meminta beberapa teman untuk berdoa bagiku dan Mike. Teman-teman memberiku semangat  dan mempersenjataiku dengan jawaban-jawaban yang cerdik dan sarana bersaksi sederhana lainnya yang dapat kugunakan untuk menghadapi  Mike.
                Aku masuk ke kelas ilmu pemerintahan dengan keyakinan bahwa Allah akan mengubahku menjadi seorang saksi yang berani. Seperti telah kuduga, Mike merebut Alkitabku sebelum aku sempat duduk.
                “Mari kita lihat inspirasi rohani untuk hari ini,” katanya. Ia membuka Alkitab itu secara serampangan, lalu membaca beberapa ayat lepas yang dengan sendirinya tidak memiliki arti dan terdengar menggelikan. Para pendukungnya tertawa, dan ia dengan cepat membuka bacaan lain dan membacanya dengan nada pengkhotbah yang sangat dramatis.
                Semua jawaban yang cerdik dan kesaksian yang berani yang telah diajarkan kepadaku tiba-tiba terlupakan. AKu duduk mematung seolah telah menjadi bisu, dan merasa sangat gelisah karena mengecewakan Tuhan seperti ini. Perasaanku semakin tidak keruan ketika Mike membaca sebuah ayat lain dengan nada seorang pengkhotbah dan melontarkan lelucon yang membuat semua temannya tertawa.
                Tanpa kusadari air mata mengaliri wajahku. Bagaimana hal ini bisa terjadi? AKu benar-benar tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku duduk mematung, sadar sepenuhnya bahwa aku pasti tampak seperti orang bodoh yang tidak mampu yang berbicara dan hanya bisa menangis terisak-isak.
                Ketika Mike membuka halaman berikutnya, sepintas ia memandangku, dan ekspresi wajahnya berubah. Ia tidak lagi membaca sebuah ayat untuk dijadikan bahan ejekan, malahan menutup Alkitabku ddan dengan nada bergurau mengatakan bahwa inspirasi untuk hari itu sudah cukup. Ia meletakkan Alkitabku kembali di atas buku ilmu pemerintahan. Aku menundukkan kepala denganperasaan malu dan mengusap air mataku.
                Ketika kelas itu mengadakan reuni , aku mengatakan kepada suamiku bahwa aku tidak ingin datang. Aku hanya mempunya beberapa teman di SMA, dan tidak pernah berpacaran dengan siapa pun atau menjadi anggota dari klub apa pun. Tetapi suamiku berpikir bahwa sebaiknya kami datang karena kami telah kehilangan kesempatan untuk pergi ke reuni kelasnya, jadi kami pergi ke sana.
                Pada malam reuni itu, dengan enggan aku bersama suamiku naik lift menuju ruangan yang telah ditentukan. Pintu lift terbuka, dan di hadapannya berdiri seorang pria tinggi dan sangat tampan dan setelah yang mahal. Seorang wanita berambut pirang yang cantik menggenggam lengannya.
                “Robin!” sapa pria itu sambil menyalami tanganku dengan antusias begitu aku melangkah keluar dari lift. “Aku sungguh berharap kamu datang!” Lalu ia mundur, menoleh pada wanita di sampingnya dan berkata,”Inilah gadis yang kuceritakan kepadamu.”
                Suamiku menoleh kepadaku dan berbisik,”Katamu kau tidak punya pacar di SMA?”
                “Tidak!” bisikku. “Aku sama sekali tidak kenal pria ini!”
                “Kau tidak ingat aku?” tanya pria misterius itu sambil tersenyum lebar. “Aku ingat kamu, dan aku menuruti nasihatmu.”
                Aku memandang pria itu, suamiku, kemudian istri pria itu. Wanita itu tiba-tiba membuatku teringat akan sesuatu. “Sayang,” katanya kepada suaminya, “inikah gadis yang mengatakan kepadamu supaya kamu menyerahkan diri untuk diselamatkan dan tidak mengganggunya?”
                Pria itu menjawab dengan suara tawa yang sangat nyaring, dan aku segera tahu bahwa ia adalah Mike. Setelah perkenalan singkat, Mike menceritakan bagaimana akhirna ia menjadi seorang kristiani pada tahun-tahun awal kuliahnya. “Ketika aku dalam keadaan terdesak,” Mike berkata,”aku ingat kamu dan beberapa anggota Jesus Geeks lainnya di SMA, lalu aku mencari beberapa kelompok semacam itu di kampusku. Mereka membimbingku kepada Tuhan.”
                Aku merasa malu mengingat kemampuanku besaksi yang sangat buruk di SMA dan menggumam mengenai hal-hal bodoh yang telah kuucapkan kepadanya selama kelas ilmu pemerintahan – betapa hal itu membuat orang justru menjauhkan diri.
                Mika tertawa, tetapi sekarang suara tawanya terdengar hangat di telingaku. Dengan lembut ia menggelengkan kepalanya, “Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang kamu katakana, melainkan ketika kamu menangis. Hari itu aku melihat sesuatu yang tidak pernah kusadari sebelumnya : seorang gadis yang sangat mengasihi Tuhan. Untuk waktu yang lama aku teringat akan air matamu, karena hanya seseorang yang benar-benar mengasihi dapat menangis seperti itu.”

Robin Jones Gunn
Mengejar Pelangi

Ujian Yang Kecil Saja

Pada suatu hari seorang kondektur bis kota memberikan uang kembali yang berlebih kepada seorang pendeta muda. Sesudah menerima uang kembali dan menghitung apakah benar jumlahnya, diketahuilah bahwa uang kembali itu terlalu banyak. Untuk beberapa saat ia merasa bingung akan apa yang harus diperbuatnya: mengembalikan yang lebih itu kepada kondektur, atau membiarkan saja? Peperangan batin itu dapat diatasinya, lalu ia mengatakan kepada kondektur tersebut bahwa ia telah memberi terlalu banyak uang kembali.
                Kondektur itu memandang muka pendeta muda itu lalu berkata : “Saya telah hadir dalam kebaktian malam tadi dan mendengar khotbah yang dibawakan oleh tuan. Tadi saya sengaja berbuat hal itu, mengembalikan lebih dari jumlah yang seharusnya saya berikan hanya untuk mengetahui apakah tuan sendiri berbuat apa yang tuan khotbahkan dari atas mimbar.”
                Muka pendeta muda menjadi merah sedikit, namun hatinya dipenuhi dengan damai oleh karena ia telah menang dalam menghadapi ujian yang kelihatan seolah-olah kecil saja.

“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak 1:12)