Yesus Gembala yang Baik.

Sabtu, 08 Desember 2012

Selalu Ada Alasan (Ditembak)

Satu Desember 1997 kumulai seperti hari-hari sekolah lainnya – tidak ada yang luar biasa. Aku dan saudara kembarku Mandy, merencanakan untuk membuat PR pulang sekolah seperti biasanya. Setelah itu aku akan mempelajari buku pedoman mengemudi supaya bisa memperoleh SIM pada tanggal 24 Desember, hari ulang tahun kami.
                Mandy dan aku duduk di kelas dua di Heath High School. Kami mengambil mata pelajaran peradaban dunia, aljabar, jurnalisme, bahasa Inggris, paduan suara, band. Kami juga mulai mengikuti kelompok doa pagi.
                Namun sekitar pk 7.45 pagi itu, ketika kelompok kami yang terdiri dari 35 siswa selesai kebaktian, teman sekelas kami, Michael Carneal, tiba-tiba melepaskan tembakan. Mula-mula Mandy dan aku berpikir ia hanya main-main untuk menarik perhatian. Letupan senjatanya terdengar redup, seperti di TV. Namun ketika sebuah peluru melayang dan menyerempet rambut Mandy, sadarlah ia kalau itu peluru asli. Mandy menjatuhkan tubuhnya di ataku.
                Aku telah tertembak, namun aku tidak segera menyadarinya. Aku tidak merasa sakit, hanya merasa ada yang menindih. Aku tercengang, terkejut, dan bingung. Aku tidak dapat memercayai apa yang baru saja terjadi. Sampai sekarang pun peristiwa itu masih sulit untuk dipercaya.
                Setelah penembakan itu, ambulans membawaku ke Rumah Sakit Lourdes dekat sekolah. Dokter memberi tahu bahwa peluru telah menembus bahu kiriku dan menghancurkan urat syarat tulang belakang. Akibatnya, aku lumpuh mulai pinggang ke bawah. Mereka memberi tahu kalau aku tidak akan dapat berjalan lagi.
                Aku merasa sangat kesakitan pada minggu pertama di Lourdes karena mual, cairan di paru-paru, pembengkakan di sekitar urat syaraf tulang belakang. Ketika keadaanku sudah lebih baik, mereka mulai melakukan terapi. Mula-mula mereka menggunakan meja yang miring agar aku terbiasa menegakkan tubuh kembali. Lalu akau mulai melakukan latihan-latihan untuk memperkuat lengan dan tubuh bagian atas. AKu juga mulai belajar menggunakan kursi roda.
                Mula-mula, memakai baju sendiri membutuhkan 45 menit. Belajar mengerjakan segala sesuatu secara normal sangat sulit hingga hal itu membuatku merasa jemu atau lebih.
                Kemudian pada bulan Februari, aku dibawa ke Rumah Sakit Rehabilitasi Cardinal di Lexington sejauh kira-kira 400 km, untuk melanjutkan terapi khusus.  Aku pergi bersama keluargaku, ibuku Joyce, ayahku Ray, kakak perempuanku Christie, dan Mandy. Kami menyewa  sebuah apartemen. Aku mulai menjalani terapi fisik setiap hari, termasuk latihan aerobic untuk mempercepat denyut jantungku. Salah satu dari latihan itu adalah sepeda lengan, yang cara kerjanya sama dengan sepeda yang menggunakan kaki. Perbedaannya adalah latihan ini dilakukan dengan lengan untuk memperkerkuat lengan itu.
                Latihan harian lainnya adalah terapi pekerjaan. Melalui terapi itu aku belajar berdiri dari kursi rodaku dan berjalan ke bak mandi, serta memakai sepatu.
                Yang paling menyenangkan dari terapi harianku adalah terapi rekreasi. Aku bermain basket, melempar Frisbees, dan berenang. Aku juga harus berdiri selama setengah jam sehari, sehingga Mandy dan aku akan melewatkan waktu dengan bermain kartu.
                Syukurlah aku dapat meninggalkan Cardinal Hill pada waktunya untuk menyelesaikan tahun keduaku di Heath. Terapi fisik berlanjut setiap hari – bahkan di sekolah. Para ahli terapi datang ke sekolah setiap pk 11 untuk menolongku meregangkan kaki. Duduk di kursi roda dalam waktu lama membuat kakiku terasa kaku.
                Kembali ke sekolah terasa menyenangkan karena setiap orang memperlakukanku seolah-olah aku tidak menggunakan kursi roda. Berkeliling menggunakan kursi roda membuatku merasa sangat frustasi. Kebanyakan tempat tidak dapat dimasuki kursi roda. Hal-hal yang dulunya mudah sekarang terasa sulit. Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.
                Aku memikirkan Michael dan bertanya-tanya mengapa ia menembak kami. Mandy dan aku sama-sama mengenalnya; kami berlatih band bersamanya, beberapa kali naik bus yang sama dalam perjalanan. Bergurau dengannya. Kami memiliki banyak teman yang sama. Di Heath setiap siswa saling mengenal. Tak seorang pun di antara kami berpikir bahwa Michael adalah anak yang aneh atau berbahaya.
                Perbuatan Michael hari itu mencelakakan begitu banyak orang. Tetapi aku merasa yakin bahwa membencinya adalah hal yang sia-sia. Aku tidak dapat menghakiminya atau memutuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepadanya. Tuhanlah yang akan menghakiminya. Selain itu, membenci Michael tidak akan membuatku mampu berjalan lagi atau membuat teman-teman sekolahku – Kayce, Jessica, dan Nicole – hidup kembali. Kematian mereka masih terasa seperti mimpi.
                Dari ketiganya, Kayce adalah sahabatku yang terdekat. Setiap hari aku memikirkan Kayce dan saat-saat bahagia yang telah kami lewati bersama-sama – pesta, band, teman-teman. Aku tahu bahwa mereka bertiga ada di surge, namun aku tetap merasa kehilangan Kayce. Tak sesuatu pun terjadi tanpa alasan – juga peristiwa ini – dan bagaimana pun juga Tuhan akan membuat sesuatu yang baik dari peristiwa ini. Aku yakin itu.
                Aku benar-benar kasihan kepada Michael. Tidak seperti Michael, aku dapat melanjutkan kehidupanku. Aku memiliki banyak teman yang mendukungku setiap hari. AKu tidak membenci Michael. Aku bisa memaafkannya. Aku sungguh tidak mau membawa perasaan dendam yang mengerikan dalam hatiku.
                Banyak orang mengatakan kepadaku bahwa sikapku yang tabah telah menjadi inspirasi bagi mereka. Kupikir itulah tujuanku.

Missy Jenkins
Mengejar Pelangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar