Yesus Gembala yang Baik.

Sabtu, 08 Desember 2012

Pelajaran Jam Kelima

Sewaktu aku duduk di SMA, aku sangat membenci kelas ilmu pemerintahan pada jam kelima. Gurunya membosankan, dan tak ada teman dekatku yang mengikuti pelajaran itu. Anak laki-laki yang duduk di depanku juga sangat menjengkelkan. Tingginya sekitar dua meter, rambutnya panjang, memakai sandal “hippie” dari kuliat, dan tawanya sangat besar, hampir sebesar badannya. Mike tidak saja suka menakuti-nakutiku, ia juga suka menggodaku, dan aku sangat membenci hal itu.
                Aku adalah gadis kristiani saleh yang bertubuh kecil. Aku tidak pernah pergi ke pesta dansa sekolah, sedangkan Mike adalah raja pesta dansa sekolah, sedangkan Mike adalah raja pesta yang setiap hari Senin menceritakan tingkahnya yang gila-gilaan dengan suara keras, lalu tertawa apabila wajahku memerah atau membalikkan badan. Aku sangat membenci sura tawanya.
                Aku mulai membawa Alkitabku ke kelas ilmu pemerintahan dalam semester itu. Alkitab itu bersampul tipis, Good News for Modern Man, dan aku telah membuat sampul luar dari bahan bergambar bunga merah muda untuk Alkitab itu. Sekelompok kecil murid yang beragama kristiani mengadakan pertemuan setiap jam makan siang, dan aku menyediakan Alkitab bersampul itu untuk pertemuan tersebut. Kami dikenal sebagai Jesus Geeks. Melihat jumlah kelompok yang sangat kecil, sungguh mengherankan bahwa murid-murid lain tahu siapa kami dan untuk apa kami berkumpul. Terutama murid-murid yang seperti Mike.
                “Apakah Jesus Geeks berdoa untukku hari ini?” ejek Mike suatu hari ketika aku masuk ke kelas ilmu pemerintahan tepat sesudah makan siang.
                Aku tidak menjawab, tetapi ini tidak menjadi masalah baginya karena perkataannya segera disambut gelak tawa yang diinginkannya dari teman-temannya yang duduk di sekeliling kami. Aku menyelinap ke tempat dudukku dan berharap guru segera memulai pelajaran.
                “Apa ini?” kata Mike. Dengan tidak sopan ia merebut Alkitab yang kusembunyikan dengan hati-hati dan membolak-balik halamannya.
                Aku segera merebutnya kembali, tetapi tangannya yang panjang memegang Alkitab itu di atas kepalanya sambil membolak-balik halamannya, lalu dengan penuh kegembiraan ia berkata, “Oh, sungguh indah Alkitab warna merah muda ini!” Ia membawa Alkitab itu berkeliling dan menunjukkannya kepada teman-temannya, dan mereka menanggapi dengan gelak tawa dan ejeken seperti yang diharapkannya.
                Karena merasa terpojok, aku merebut Alkitabku dan melontarkan kata-kata paling bodoh yang pernah kuucapkan, “Mengapa kamu tidak menyerahkan diri untuk diselamatkan dan tidak menggangguku?”
                Tentu saja perkataan itu membuat Mike dan semua temannya tertawa terbahak-bahak, dan menarik perhatian kelas ke deretan belakang sehingga guru meminta kami semua untuk tenang.
                Ketika Alkitab itu sampai kembali ke tanganku yang gemetar, aku mengejapkan mata untuk menahan air mataku dan meletakkan Alkitab di pangkuanku selama sisa pelajaran itu.
                Esok harinya aku bergumul apakah akan membawa Alkitabku ke sekolah atau tidak. Aku tahu bahwa Mike mungkin akan menggunakannya untuk mengejekku lagi. Aku tidak tahu mengapa akhirnya aku membawanya. Pada pertemuan makan siang aku meminta beberapa teman untuk berdoa bagiku dan Mike. Teman-teman memberiku semangat  dan mempersenjataiku dengan jawaban-jawaban yang cerdik dan sarana bersaksi sederhana lainnya yang dapat kugunakan untuk menghadapi  Mike.
                Aku masuk ke kelas ilmu pemerintahan dengan keyakinan bahwa Allah akan mengubahku menjadi seorang saksi yang berani. Seperti telah kuduga, Mike merebut Alkitabku sebelum aku sempat duduk.
                “Mari kita lihat inspirasi rohani untuk hari ini,” katanya. Ia membuka Alkitab itu secara serampangan, lalu membaca beberapa ayat lepas yang dengan sendirinya tidak memiliki arti dan terdengar menggelikan. Para pendukungnya tertawa, dan ia dengan cepat membuka bacaan lain dan membacanya dengan nada pengkhotbah yang sangat dramatis.
                Semua jawaban yang cerdik dan kesaksian yang berani yang telah diajarkan kepadaku tiba-tiba terlupakan. AKu duduk mematung seolah telah menjadi bisu, dan merasa sangat gelisah karena mengecewakan Tuhan seperti ini. Perasaanku semakin tidak keruan ketika Mike membaca sebuah ayat lain dengan nada seorang pengkhotbah dan melontarkan lelucon yang membuat semua temannya tertawa.
                Tanpa kusadari air mata mengaliri wajahku. Bagaimana hal ini bisa terjadi? AKu benar-benar tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku duduk mematung, sadar sepenuhnya bahwa aku pasti tampak seperti orang bodoh yang tidak mampu yang berbicara dan hanya bisa menangis terisak-isak.
                Ketika Mike membuka halaman berikutnya, sepintas ia memandangku, dan ekspresi wajahnya berubah. Ia tidak lagi membaca sebuah ayat untuk dijadikan bahan ejekan, malahan menutup Alkitabku ddan dengan nada bergurau mengatakan bahwa inspirasi untuk hari itu sudah cukup. Ia meletakkan Alkitabku kembali di atas buku ilmu pemerintahan. Aku menundukkan kepala denganperasaan malu dan mengusap air mataku.
                Ketika kelas itu mengadakan reuni , aku mengatakan kepada suamiku bahwa aku tidak ingin datang. Aku hanya mempunya beberapa teman di SMA, dan tidak pernah berpacaran dengan siapa pun atau menjadi anggota dari klub apa pun. Tetapi suamiku berpikir bahwa sebaiknya kami datang karena kami telah kehilangan kesempatan untuk pergi ke reuni kelasnya, jadi kami pergi ke sana.
                Pada malam reuni itu, dengan enggan aku bersama suamiku naik lift menuju ruangan yang telah ditentukan. Pintu lift terbuka, dan di hadapannya berdiri seorang pria tinggi dan sangat tampan dan setelah yang mahal. Seorang wanita berambut pirang yang cantik menggenggam lengannya.
                “Robin!” sapa pria itu sambil menyalami tanganku dengan antusias begitu aku melangkah keluar dari lift. “Aku sungguh berharap kamu datang!” Lalu ia mundur, menoleh pada wanita di sampingnya dan berkata,”Inilah gadis yang kuceritakan kepadamu.”
                Suamiku menoleh kepadaku dan berbisik,”Katamu kau tidak punya pacar di SMA?”
                “Tidak!” bisikku. “Aku sama sekali tidak kenal pria ini!”
                “Kau tidak ingat aku?” tanya pria misterius itu sambil tersenyum lebar. “Aku ingat kamu, dan aku menuruti nasihatmu.”
                Aku memandang pria itu, suamiku, kemudian istri pria itu. Wanita itu tiba-tiba membuatku teringat akan sesuatu. “Sayang,” katanya kepada suaminya, “inikah gadis yang mengatakan kepadamu supaya kamu menyerahkan diri untuk diselamatkan dan tidak mengganggunya?”
                Pria itu menjawab dengan suara tawa yang sangat nyaring, dan aku segera tahu bahwa ia adalah Mike. Setelah perkenalan singkat, Mike menceritakan bagaimana akhirna ia menjadi seorang kristiani pada tahun-tahun awal kuliahnya. “Ketika aku dalam keadaan terdesak,” Mike berkata,”aku ingat kamu dan beberapa anggota Jesus Geeks lainnya di SMA, lalu aku mencari beberapa kelompok semacam itu di kampusku. Mereka membimbingku kepada Tuhan.”
                Aku merasa malu mengingat kemampuanku besaksi yang sangat buruk di SMA dan menggumam mengenai hal-hal bodoh yang telah kuucapkan kepadanya selama kelas ilmu pemerintahan – betapa hal itu membuat orang justru menjauhkan diri.
                Mika tertawa, tetapi sekarang suara tawanya terdengar hangat di telingaku. Dengan lembut ia menggelengkan kepalanya, “Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang kamu katakana, melainkan ketika kamu menangis. Hari itu aku melihat sesuatu yang tidak pernah kusadari sebelumnya : seorang gadis yang sangat mengasihi Tuhan. Untuk waktu yang lama aku teringat akan air matamu, karena hanya seseorang yang benar-benar mengasihi dapat menangis seperti itu.”

Robin Jones Gunn
Mengejar Pelangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar