Yesus Gembala yang Baik.

Sabtu, 02 Februari 2013

Kesaksian Kevin Oshiro : Dipulihkan dari Gay



KESAKSIAN : MENCARI SEORANG TEMAN SEJATI
KEVIN OSHIRO

Salah satu kenangan masa kecil Kevin Oshiro berhubungan dengan sebuah peristiwa yang terjadi ketika ia berusia empat tahun. Ia sedang duduk di sebelah meja yang biasa digunakan untuk minum kopi di ruang tamu apartemen keluarganya, sedang menggunting halaman-halaman koran TV Guide yang lama menjadi potongan kecil-kecil. Ia sedang berpura-pura memasak.
Ibu sedang duduk di bangku membaca atau menonton televisi atau semacam itu. Ayah masuk ke ruangan dan bertanya tentang apa yang sedang saya lakukan. “Aku sedang memasak,” saya menjawab. Ini adalah bawang bombay, dan aku akan menumisnya!” “Itu sungguh konyol!” Ayah meledak. “Anak perempuan memasak, bukan anak laki-laki! Ada apa denganmu?” Saya sangat marah. Ssaya ingat ibu mencoba memberikan komentar untuk meredakan tegangan. Ayah marah, dan ibu merasa tidak nyaman. Tetapi, saya sangat marah

Peristiwa ini, yang terpendam dalam ingatan Kevin, mulai menjadi proses pemisahan dari ayahnya yang berlanjut sampai ia dewasa. Dan menurut pendapat Kevin, hal itu menjadi salah satu dari lima kunci yang turut menyebabkan disorientasi seksual dan perilaku homoseksual yang dilakukannya. Mengapa Kevin menutup hati terhadap ayahnya sejak kecil? Ia menjelaskan, “Saya tidak dapat balas melawan karena saya akan semakin mendapat caci maki atau tamparan. Jadi, lebih baik tidak mengatakan apa pun. Sebaliknya, yang dapat saya lakukan adalah mengeluarkan dirinya dari hidup saya. Saya tidak ingat seberapa sadar saya membuat keputusan itu, namun saya tahu itulah yang tepatnya terjadi saat itu.”

Terlalu Muda untuk Mengerti
Tahun keempat Kevin adalah tahun yang berisi peristiwa-peristiwa penting. Kira-kira pada saat yang bersamaan dengan insiden yang sangat penting dengan ayahnya itu erjadi, seorang teman laki-laki berusia delapan tahun memperkosanya, memperkenalkan sebuah pola aktivitas seksual di antara anak laki-laki yang berlanjut sampai dewasa. Di dalam diri Kevin , dua peristiwa ini menimbulkan suatu hasrat akan kasih sayang laki-laki dan kepercayaan bahwa seks merupakan bukti kasih sayang.
Saat ia duduk di kelas tiga SD, pengalaman seksual Kevin melibatkan anak laki-laki lain. Bahkan pada usia yang masih dini, sensasi fisik dari pengalaman-pengalamannya menyenangkan dan diperbesar oleh kegembiraan melakukan sesuatu yang terlarang. Tidak mengherankan jika Kevin sudah mulai memiliki perasaan berbeda dengan
anak laki-laki lain sejak SD. Ia hanya terlalu muda dan masih belum bisa memahami apa yang telah terjadi pada dirinya.
Ketika SMP, seperti sebagian besar laki-laki yang bergumul dengan homoseksualitas, Kevin merasa bahwa ia sepertinya “berada di luar sedang melihat ke dalam.” Ia merindukan seorang teman yang bisa membuatnya merasa aman dan berharga. Kerinduannya memiliki persahabatan membawanya menuju beberapa hubungan  ketergantungan emosional yan sangat mendalam. Namun tak lama kemudian, ia merasa takut mendekati anak laki-laki lain untuk berhubungan seks karena kerinduannya memiliki nama buruk yang melekat : homoseksualitas.
Di masa SMU dan akademi kadang kala ia berkencan dengan gadis-gadis, tetapi ia ingat bahwa pengalamannya dengan gadis-gadis lebih terasa tidak nyaman daripada menyenangkan. Ia mendapati dirinya berusaha keras melakukan apa yang biasa dilakukan laki-laki normal, bukannya melakukan sesuatu yang menarik atau diinginkan. Sebesar keinginannya untuk menyesuaikan diri, ia tahu bahwa apabila ia mendatangi para gadis ia akan pura-pura sedang berusaha mengerjakan sesuatu. Pola yang sama berlanjut hingga kuliah. Lalu, setelah ia lulus dan memasuki dunia kerja, kehidupan Kevin berubah dramatis.

Suatu malam, pada suatu pesta kantor saya mabuk. Saya menuju sebuah toko buku untuk orang dewasa dan berhubungan seks dengan seorang homoseksual. Saya pulang perasaan jijik terhadap diri saya sendiri. “Apa yang telah saya lakukan?” saya merintih. Kenyataan bahwa saya senang dengan pengalaman tersebut membuat saya ngeri melebihi apa pun. Tahun berikutnya, saya berusaha melawan hasrat seksual saya, namun akhirnya saya menceritakannya kepada satu-satunya teman saya saat itu – seorang pemabuk yang lesbian. Ia dengan antusian
memperkenalkan saya pada budaya gay di Los Angeles. Saat itu bulan Januari 1982.
Semula saya merasa bahagia. Dengan menuruti semua hasrat, konflik internal saya berakhir. Kini, saya bisa menjadi diri saya yang sebenarnya, pikir saya. Akan tetapi, lingkaran alkohol, disko, dan seks terus-menerus menghalangi saya untuk melihat apa yang sesungguhnya dilakukan homoseksualitas terhadap hidup saya. Tidak
adanya pergumulan memberiksan saya sebuah ilusi kebebasan. Saya menganggap kesenangan dari mengejar dan
dikejar memuaskan saya. Kenyatannya , adrenalin dengan cepat melumpuhkan rasa kesepian saya yang semakin
bertambah dan keputusasaan untuk menemukan seseorang yang benar-benar mencintai saya.

Dengan segera, Kevin menjadi kecanduan terhadap kenikmatan hidup di bar-bar, toko buku, dan tempat pemandian (spa) homoseksual. Seks memberikan rasa petualangan yang terselubung. Meskipun AIDS mengancam hidupnya, ia sengaja menjauhkan diri untuk mempelajari segala sesuatu tentang AIDS. Namun, ia masih merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Sesuatu yang tidak dapat ia identifikasikan dengan tepat. Apakah perasaannya tersebut ada hubungannya dengan masalah spiritualitas? Dengan Allah? Semula ia merasa tidak yakin.

Mencari Sesuatu yang Lebih
Kakek nenek Kevin dari pihak ayah adalah penganut Budha, sebuah agama yang tidak pernah dibicarakan keluarga. Sementara itu, keluarga dari pihak ibu terlibat dalam Salvation Army (sebuah lembaga pelayanan di Amerika). Ibunya pernah menceritakan kisah-kisah pelayanan kakeknya sebagai seorang penginjil jalanan dan bagaimana keluarganya selalu melayani orang-orang miskin. Walaupun tidak satu pun dari orangtuanya memiliki hubungan dengan Allah, Kevin dengan ragu-ragu teringat bahwa ia pernah mendengar cerita-cerita Alkitab, pergi ke liburan rutin Sekolah Minggu sewaktu kecil, dan datang ke acara pertemuan kelompok pemuda gereja sewaktu remaja. Meskipun demikian, beriman secara pribadi kepada Allah tidak pernah menjadi tujuan hidupnya. Sewaktu kuliah, salah seorang sahabatnya yang merupakan seorang Kristen yang taat dan sungguhsungguh menceritakan hubungan spiritualnya kepada Kevin. Anak muda ini sudah mengenal Kristus sejak SMU dan membaca Alkitab serta berdoa setiap malam sebelum tidur. Beberapa tahun kemudian, Kevin ingat :

Saya merasa sangat sulit untuk mencoba berdoa. Tidak ada pengenalan kembali tentang Yesus dalam ingatan; saya hanya berpikir bahwa pekerjaan baru akan memecahkan semua masalah saya. Allah, dalam kemurahan hatiNya, menarik saya kepadaNya. Ia memulainya dengan membawa beberapa teman baru ke dalam hidup saya. Saya segera mengetahui bahwa mereka aalah orang-orang Kristen. Aneh! Pikir saya. Bukankah kekristenan hanya diperuntukkan bagi orang-orang bermasalah yang membutuhkan sebuah penopang. Tetapi, mereka bukan orang-orang yang sedang mengalami depresi atau orang-orang yang bodoh. Sebaliknya, mereka justru memiliki sesuatu yang tidak pernah saya lihat sebelumnya: damai sejahtera. Damai sejahtera Allah adalah sesuatu yang tidak harus mereka katakan. Damai sejahtera Allah adalah sesuatu yang mereka jalani. Itu adalah bagian dari napas mereka. Dan, dari mereka saya merasakan suatu penerimaan yang aneh dan tidak diharapkan. Kini, tentu saja, saya tidak menceritakan keterlibatan saya dalam homoseksualitas kepada mereka. Yang penting adalah Tuhan menunjukkan diriNya kepada saya melalui kebaikan mereka. Bahkan sampai sekarang, sewaktu saya menoleh, saya berpikir bahwa apabila saya membutuhkan pertolongan dan terbuka untuk berbicara tentang segala sesuatu, mereka akan lebih dari bersedia mendengarkan dan menolong dengan cara apa pun yang mampu mereka lakukan. Namun, mereka tidak melakukan paksaan apa pun. Mereka hanya menjalaninya.

Teman-teman ini mengundang Kevin untuk bergabung bersama mereka dalam sebuah perkumpulan bisnis di New Orleans. Kedengarannya menyenangkan bagi Kevin, dan ia pergi serta sangat berharap untuk mendapatkan beberapa kegiatan seks di kota yang terkenal dengan kebebasan semangatnya itu. Akan tetapi, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebaliknya, pada hari Sabtu malam, salah seorang koordinator acara berkata,”Datanglah ke gereja di hotel pada hari Minggu pagi. Ini akan menjadi hal terpenting yang Anda lakukan sepanjang akhir pekan.”
Kevin berpikir, “Baiklah, saya sudah membayarkan uang saya; pergi ke sana tidak akan menyakitkan. Jadi, pada hari Minggu pagi Kevin berpakaian rapi dan muncul di ballroom hotel. Ia tidak yakin siapa yang berbicara atau apa yang dibicarakan. Tetapi pada akhir kebaktian, pembicara itu bertanya, “Apakah Anda percaya bahwa Anda berada di sini bukan secara kebetulan, melainkan karena Allah membuat Anda datang ke sini?” Kevin tahu, baginya jawaban bagi pertanyaan itu adalah ya. “Sekarang,” orang itu melanjutkan,”jika Anda ingin mengetahui bagaimana memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus, silakan maju dan seseorang akan berbicara kepada Anda dan menjelaskan bagaimana Anda dapat melakukannya.”
Malam itu, Kevin memohon Yesus untuk menjadi Tuhan dan Juru Selamatnya. Dan kadang-kadang, Kevin masih menikmati gaya hidup gay-nya, membuat celah kecil antara kehidupan spiritualnya yang baru dengan perilaku homoseksualnya. Namun, sewaktu ia membaca firman Allah dan mendengarkan berbagai khotbah, perlahan-lahan semakin jelas baginya bahwa rencana Allah atas hidupnya tidak termasuk homoseksualitas. Dan sejak saat itu, ia siap untuk berserah sepenuhnya kepada Allah.

Jawaban Doa
“Tuhan,” Kevin berdoa, “firmanMu mengatakan homoseksualitas adalah salah, tetapi perasaan saya mengatakan sebaliknya. Tolong tunjukkan kepada saya apa yang benar, dan saya akan taat kepadaMu.”
Beberapa hari kemudian, saya pergi ke sebuah kebaktian pada pertengahan minggu. Seorang pemuda bernama Martin memberikan kesaksian bagaimana Allah telah melepaskannya dari prostitusi laki-laki. Saya terkesan dengan kisahnya. “Saya adalah gay.” Saya memberitahunya setelah kebaktian. “Namun, saya tidak dapat berbuat apa pun karena saya terlahir demikian.” Martin menunjukkan beberapa ayat Alkitab tentang homoseksualitas. “Dan,, beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu,” ia membaca dari I Korintus 6:11.
“Apakah Anda mengetahui perubahan Rasul Paulus?” ia bertanya. “Jika Allah dapat mengubah seseorang
seburuk Paulus, tidakkah menurut Anda Ia mampu berbuat sesuatu dalam hidup Anda?” Kemudian, saya tahu
bahwa Allah sedang menjawab doa permohonan saya.
Bulan berikutnya sungguh merupakan bulan buruk. Walaupun saya memutuskan menjauhi homoseksuaitas, saya terus menyerah pada hasrat saya. Akhirnya, saya berteriak dengan frustasi kepada Allah :
“Aku tidak tahan. Apa yang seharusnya kulakukan? Aku berusaha berubah, tetapi aku tidak dapat melakukannya!”
“Memang benar,” ia berkata dengan tenang. Tidak lama kemudian, janjia Allah untuk menyelesaikan pekerjaan
yang Ia mulai dalam hidup saya mulai dapat dipahami sepenuhnya. Sebagaimana yang tertulis dalam Filipi 1:6, “Ia
yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus
Yesus.”

Segera sesudah itu, Kevin menemukan nama sebuah pelayanan para mantan gay di halaman belakang sebuah buku, dan mereka membalas dengan mendorongnya untuk menghubungi sebuah kelompok lokal, Desert Stream. Pertemuan-pertemuan kelompok tersebut memberikan sebuah tempat perlindungan baginya, tempat ia merasa aman untuk berbicara tentang pergumulannya dengan jujur. Program itu bekerja jauh melampaui semua yang pernah diharapkan atau dibayangkannya karena, sedikit demi sedikit, Allah mulai memulihkan masalahmasalah yang saling berhubungan yang membentuk akar homoseksualitasnya.
Dan, apakah akar-akar tersebut? Kevin mengindetifikasikan lima faktor yang diyakininya turut menyebabkan disorientasi seksualnya.

Faktor pertama adalah pemerkosaan yang dilakukan teman bermain yang lebih tua. Itu berarti menyeberangi perbatasan yang seharusnya diseberangi oleh pasangan suami-isteri ketika dewasa.

Faktor kedua adalah apa yang digambarkan Kevin sebagai “pemisahan defensif” dari ayahnya. Seorang ayah, tentu saja seharusnya menjadi model utama dari kemaskulinan anak laki-lakinya. Namun hal itu bukanlah satu-satunya kerusakan yang menyebabkan pemisahan itu. Isolasi mengakibatkan kesepian, kesepian memperbesar kerinduannya terhadap keakraban. Inilah yang kemudian menciptakan tekanan seksual.

Faktor ketiga adalah luka emosional yang mendalam dan terlalu dini, yang disebabkan teman perempuan sekelas. Inilah faktor penyebab Kevin bersumpah untuk tidak mempercayai atau terikat secara emosional dengan lawan jenis.

Faktor keempat adalah rasa malu etnik. Ketika Kevin masih kecil, hanya ada segelintir keluarga Asia di lingkungan rumahnya. Sewaktu ia masuk SD, ia menjadi korban kata-kata rasioan untuk orang-orang Jepang yang menyakitkan. Pelecehan ini memperburuk perasaan bahwa ada sesuatu yang buruk tentang dirinya, sesuatu yang
rendah dan memalukan.

Faktor kelima adalah perasaan ketakutan yang terpendam yang menyebar ke seluruh aspek gambaran diri Kevin. Ia menjelaskan, “Ada semacam perasaan bahwa saya tidak baik sebagai laki-laki. Saya tidak atletis, dan saya merasa tidak nyaman berada di sekeliling anak laki-laki. Sewaktu saya memikirkan hal itu, saya hanyalah sebuah gumpalan ketakutan yang sangat besar. Dan saya menjalani ketakutan ini selama bertahun-tahun. Menurut saya, sebagian daya tarik homoseksualitas, selain merupakan sebuah kerinduan untuk berhubungan dengan maskulinitas, juga merupakan kerinduan yang mendalam untuk memperoleh kekuatan atau identitas atau kekuasaan dalam diri orang lain.

Pelajaran Tentang Pengampunan
Salah satu pelajaran kunci yang dipelajari Kevin sewaktu ia meneliti masa lalunya dan faktor yang membawanya menuju homoseksualitas adalah karena Allah telah mengampuninya, ia juga perlu mengampuni mereka yang telah melukainya. Orang pertama yang muncul dalam pikirannya adalah ayahnya.
Pengampunan merupakan fondasi pemulihan hubungan kita dengan Allah. Jadi, sebagaimana saya menerima pengampunanNya, Allah juga mengingatkan saya tentang sumpah di masa kecil – “Aku tidak akan pernah menjadi seperti Ayah” – yang menghalangi saya menerima identitas maskulin. Saya melepaskan dosa-dosa masa lalu ini dan mulai merasakan hadirat Allah dengan cara yang baru, sebagai Bapa yang penuh kasih. Pada waktu yang bersamaan, saya khususnya harus mengampuni ayah untuk setiap kesalahan yang dilakukannya. Dan, ketika saya mengucapkan,”mengampuni”, saya tidak sedang berbicara tentang meremehkan semua yang pernah ia lakukan atau katakan, atau yang tidak ia lakukan atau katakan. Saya sedang berbicara tentang melepaskan dirinya dari pengharapan saya bahwa ia mau mengakui atau memperbaiki masa lalu.Melepaskan semua tuntutan pribadi sungguh melegakan. Itu membukakan pintu bagi saya untuk mampu mulai melihat ayah lebih seperti yang Allah inginkan.

Ketika ia memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang hubungannya dengan orangtuanya, Kevin akhirnya melihat bahwa ia dulu selalu percaya ibunya lebih memberikan dukungan daripada ayahnya. Ibunya terlibat jauh – kadang-kadang malah hampir terlibat terlalu jauh – dalam hidup, kebutuhan-kebutuhan, dan pergumulan-pergumulannya. Namun sekali proses pengampunan terjadi, Kevin menyadari ayahnya juga sangat mendukungnya. Meskipun ia tidak selalu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan peretujuannya atau menyenangkan dirinya sendiri, ayahnya tidak pernah ketinggalan dalam menghadiri konser band atau pameran hasil karya siswa atau konferensi orangtua-guru. “Hal yang tidak menguntungkan saat itu adalah,” Kevin berkata,” saya terhalangi. Saya hanya tidak dapat melihatnya.” Sekarang hubungan dengan orangtuanya sangat berbeda dengan apa yang pernah dibayangkannya.

Saya dengan tulus senang mengunjungi mereka. Sesungguhnya, saya memiliki kesempatan untuk melakukan sejumlah hal yang berbeda setahun belakangan ini. Saya pikir salah satu perbedaan besar dalam hubungan kami sekarang adalah saya tidak merasakan adanya suatu kebutuhan tertentu untuk tampil sempurna di hadapan mereka. Entah kapan, akhirnya dapat dimengerti sepenuhnya bahwa mereka sungguh-sungguh menyayangi saya apa adanya, bukan hanya ketika saya menjadi “anak yang baik”. Mereka benar-benar menyayangi saya, dengan segala kekurangan saya. Penyingkapan tersebut memberi saya kebebasan untuk menikmati kebersamaan dengan mereka dan tidak selalu siap untuk membela diri. Niat untuk berkunjung tidak lagi menjadi sesuatu yang saya rasakan sebagai suatu paksaan. Sekarang, saya ingin berada di dekat mereka. Hal itu memang benar terutama saat mereka bertambah tua. Saya melihat mereka mulai bergerak lebih lamban. Saya melihat kerapuhan pada fisik mereka yang bahkan sedikit menakutkan. Dengan demikian, hal itu semakin membangkitkan kerinduan dalam diri saya untuk berada di dekat mereka.

Ketika hubungan Kevin dengan orangtuanya bertambah baik dan menjalin persahabaan dengan orangorang yang menceritakan pergumulannya serta ingin memperoleh pemahaman dari hal-hal yang mengendalikannya, ia menemukan kekuatan untuk menghentikan kebiasaannya berhubungan seks dengan sesame jenis. Sekali ia menghentikan perilaku homoseksualnya, ia menjadi terobsesi dengan ketakutan bahwa ia akan kambuh. Ketakutannya untuk jatuh kembali pada kebiasaan seksual dilawan oleh seorang teman, yang bertanya kepadanya, “Siapa yang akan Anda percayai – dosa Anda atau Yesus?” Saat itu , Kevin menyadari bahwa ia tidak lagi menjadi budak dari kemauan dan hasratnya. Ada beberapa situasi yang sangat berbahaya pada tahun pertama tersebut, namun godaan tidak lagi merupakan pendahuluan otomatis dari dosa.
Pada akhir tahun 1987, Kevin pindah ke daerah San Fransisco untuk bekerja di Love in Aciton, lembaga pelayanan mantan gay yang lain. Tidak lama kemudian, ia bergabung sebagai staf Exodus dan akhirnya menjadi direktur konferensi. Ia menjabat posisi tersebut selama tiga tahun. Ia masih tetap melajang, dan meskipun ketertarikannya terhadap lawan jenis bertambah, ia belum menemukan pasangan hidup yang cocok. “Saya belum melihat seseorang secara serius saat ini. Tetapi siapa tahu, hal itu mungkin akan berubah pada saat buku ini terbit.”

Peperangan Terus-Menerus dengan Godaan
Hidup tidak selalu mudah bagi mereka yang telah lepas dari perilaku homoseksual dan meninggalkan kehidupan gay. Mengejar hidup yang kudus melibatkan komitmen, disiplin mental, dan kepercayaan. Kevin mencatat bebeapa usaha yang sudah ia lakukan : “Belajar membangun hubungan yang sehat dengan sesama jenis. Belajar tentang batas-batas. Bertobat dari sumpah lama yang pernah dibuat. Bertobat dari pemisahan yang bersifat defensif. Bersedia menjalin persahabatan dengan laki-laki dan perempuan, dan bahkan mengambil risiko untuk berkencan dengan lawan jenis. Mencapai penerimaan diri.” Dan, apakah semua godaan itu pergi? Kevin menjawab :
Saya inginmengatakan bahwa semua godaan itu telah hilang dan saat ini saya adalah contoh yang baik bagi pemulihan dari homoseksualitas. Tetapi, itu bukan kenyataannya. Godaan sudah berubah sehingga ketika saya pertama kali mulai pergi ke Desert Stream, tidak ada jeda waktu untuk memikirkan dan mengaitkan godaan yang datang dengan dosa. Sewaktu godaan itu datang, saya langsung pergi dan mengikuti hasrat saya. Dengan berlalunya waktu, tentu saja, semakin banyak waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan ulang dan menahan
godaan. Sepertinya saya sedang berlari menuju tepi tebing yang curam, dan, dengan berlalunya waktu, semakin banyak pagar dan rintangan yang dipasang antara godaan dan tebing tersebut. Sampai saat ini, tebing itu masih ada. Dan, saya sangat menyadari bahwa, seperti Raja Daud, jika saya berada di tempat yang tidak seharusnya dan melakukan apa yang seharusnya tidak saya lakukan, saya dengan mudah dapat memulai rantai serangkaian kejadian di mana saya mudah untuk tidak berpikir panjang, seperti yang dilakukan Daud. Jika hal itu bisa terjadi pada dirinya, pasti juga bisa terjadi pada diri saya. Jadi intinya adalah melakukan semua hal yang sehat. Tetap berhubungan dengan Tuhan. Tetap bersosialisasi dengan teman-teman dan jemaat gereja dan menjauhi tempat-tempat godaan. Ddan juga, menjaga agar sesedikit mungkin mengeluh.
Menurut saya, masih memiliki sedikit pergumulan dengan hal itu merupakan salah satu cara yang dipakai Allah dalam membantu saya untuk tetap berhati-hati dengan orang lain dan kelemahan mereka. Semoga hal itu membantu saya untuk memiliki sedikit lebih banyak belas kasihan dari yang sudah saya miliki.

Pada tahun 1992, setelah menjalani serangkaian kekecewaan, Kevin mengalami kehancuran emosional. Ia mendapati dirinya merasa sangat marah dengan Allah dan dengan sejumlah orang, sehingga ia ingin memberontak
dan kembali terlibat dalam homoseksual. Saat itu ia berpkir dan mengevaluasi apakah, homoseksualitas memiliki sesuatu untuk ditawarkan kepadanya. Bagaimana mungkin kehidupan Kristennya yang baru bisa dibandingkan dengan cara hidupnya yang lama? “Walaupun Yesus tidak begitu saja menghapus semua masalah dan luka hati,” Kevin kemudian berkata,”saya memperoleh kesimpulan kritis: dibandingkan dengan luka hati, ketidakberdayaan dan kemarahan yang saya rasakan, hidup bersama Tuhan masih lebih baik daripada hari-hari terbaik ketika saya mengejar homoseksualitas.” Kini Kevin bekerja pada perusahaan teknologi tinggi di California Utara dan menemukan pelayanan utamanya dalam dunia bisnis. Akan tetapi, ia menghabiskan waktu bertahun-tahun bekerja di antara mereka yang bergumul dengan hasrat dan daya tarik homoseksual. Apa yang ingin ia katakan kepada mereka yang masih terus bergumul dengan masalah gender?
Saya akan mengajukan beberapa pertanyaan : Jika godaan dan perasaan tidak sepenuhnya hilang, apakah Anda akan terus mengejar hubungan dengan Tuhan? Apakah Anda akan lari keluar? Ataukah, Anda akan mengubah teologi Anda untuk memenuhi hasrat Anda? Apakah kesembuhan Anda yang sempurna dan absolute merupakan harga yang telah Dia bayar bagi kasih Anda? “Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memisahkan kita ke dalam Kerajaan AnakNya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa” (Kol 1:13-14). Ia mengingatkan kita melalui Roh Kudus, firmanNya, dan orang lain bahwa tidak satu pun dari kita yang menempati rangking elit di antara orang berdosa. Ia juga mengingatkan kita bahwa kita kudus hanya karena belas kasihanNya dan diangkat anak hanya karena kebaikanNya. Kini saya merasa aman dan memiliki tujuan dan kasih yang murni melalui Yesus Kristus. Ia telah menjadi Teman Sejati yang selama ini saya cari - tetapi saya tidak pernah temukan – dalam komunitas gay. Bukankah Ia juga akan menjadi Teman Sejati bagi Anda?


Bagi yang suka membaca cerpen dapat membaca http://pertobatansodomgomora.blogspot.com/2013/01/bukan-cinta-biasa-cerpen.html (cerpen yang berlatar belakang sodom gomora). Selamat membaca.