Yesus Gembala yang Baik.

Rabu, 13 Juli 2016

Putra Pendeta

Suatu malam dalam sebuah kebaktian seorang pemudi merasakan sentuhan Allah di hatinya. Dia menanggapi panggilanNya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Pemudi ini memiliki masa lalu yang sangat kelam terkait alkohol, narkoba, dan prostitusi. Namun perubahan dalam dirinya tampak jelas. Seiring berjalannya waktu ia menjadi anggota gereja yang setia.

Dia akhirnya terlibat dalam pelayanan, mengajar muda-mudi.

Tidak lama kemudian pemudi ini terpikat dan jatuh hati kepada putra pendeta. Hubungan mereka bertumbuh dan mereka mulai merencanakan pernikahan.

Masalah pun dimulai. Lihatlah, sekitar setengah dari jemaat gereja berpikir pemudi seperti itu tidak tepat sebagai pasangan putra pendeta.

Timbullah perdebatan dan pertentangan di gereja sehingga mereka memutuskan untuk melakukan pertemuan.

Saat jemaat saling melontarkan argumennya , ketegangan pun meningkat, pertemuan menjadi tidak terkendali.

Pemudi itu sangat marah karena masa lalunya diungkit-ungkit.

Saat sang pemudi ia mulai menangis, putra pendeta berdiri. Dia tidak bisa menahan rasa sakit yang melanda calon istrinya. Dia mulai berbicara dan membuat pernyataan,

"Masa lalu tunangan saya bukan untuk diadili di sini . Apa yang engkau pertanyakan adalah kemampuan darah Yesus untuk membasuh dosa. Hari ini engaku telah mengadili darah Yesus. Apakah darah Kristus bisa membersihkan dosa atau tidak? "

Seluruh jemaat mulai menangis saat mereka menyadari bahwa mereka telah meragukan kuasa darah Tuhan Yesus Kristus.

Terlalu sering, bahkan sebagai orang Kristen, kita membawa masa lalu dan menggunakannya sebagai senjata melawan saudara-saudara kita.

Pengampunan adalah bagian yang sangat mendasar dari Injil Tuhan kita Yesus Kristus.

Jika darah Yesus tidak benar-benar menghapus dosa orang lain, maka darahNya juga tidak membersihkan dosa kita.

Jika itu terjadi, maka kita semua sedang berada dalam banyak masalah.

Apa yang bisa membasuh dosa-dosa saya? Tidak ada selain darah Yesus!

Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah. Mazmur 55:22


Selasa, 12 Juli 2016

Botol Air Panas


Botol Air Panas

Kisah Nyata oleh Helen Roseveare, Misionaris di Afrika

Suatu malam di Afrika Tengah, saya tengah berusaha keras menolong seorang ibu di bangsal tenaga kerja; namun terlepas dari semua yang bisa kami lakukan, ibu itu akhirnya meninggal dunia dan meninggalkan seorang bayi mungil yang lahir prematur dan seorang anak perempuan berusia dua tahun yang sedang menangis,.

Kami mengalami kesulitan untuk menjaga si bayi agar tetap hidup. Kami tidak punya mesin penghangat bayi (inkubator). Kami tidak punya listrik untuk menjalankan inkubator, dan tidak ada fasilitas untuk memberi makan bayi. Meskipun kami tinggal di daerah khatulistiwa, namun di malam hari seringkali kami merasa kedinginan dengan tiupan angin yang kencang.

Seorang siswa-kebidanan mengambil kotak untuk bayi tersebut dan kain katun untuk membungkus sang bayi. Seorang siswa lainnya menyalakan api dan mengisi botol air panas. Tak lama kemudian dia kembali dalam keadaan muram dan memberitahukan bahwa saat mengisinya botol itu meledak. Memang karet di botol itu mudah rusak dalam iklim tropis. "... Dan itu adalah botol air panas kita yang terakhir!" serunya. Seperti di Barat, tidak baik untuk menangisi apa yang telah terjadi; sedangkan di Afrika Tengah dianggap tidak baik menangisi botol air yang pecah. Botol air tidak tumbuh di pohon, dan tidak ada toko obat di jalan yang menuju hutan. Baiklah, "kataku," Letakkan bayi itu didekat api dalam jarak ter-aman; tidurlah di  antara bayi dan pintu untuk menjaganya dari angin. Tugasmu  menjaga agar bayi tetap hangat. "

Siang hari berikutnya, seperti yang saya lakukan hampir setiap hari, saya berdoa bersama para anak yatim piatu. Saya memberikan pokok-pokok doa untuk mereka dan bercerita tentang bayi mungil itu. Saya menjelaskan masalah untuk menjaga bayi tetap hangat dan keperluan botol air panas. Bayi bisa meninggal bila kedinginan. Saya juga menceritakan tentang kakak perempuannya yang masih berusia dua tahun yang sedang menangis karena ibunya meninggal. Saat berdoa, seorang gadis berusia sepuluh tahun, Ruth, berdoa apa adanya seperti anak-anak Afrika lainnya. "Tolong Tuhan," ia berdoa, "kirimkan kami sebuah botol air. Waktunya jangan besok karena tidak baik, Tuhan, bayinya akan mati, jadi tolonglah kirim siang ini." Mendengar keberaniannya berdoa saya  menarik napas dalam hati. Kemudian dia menambahkan doanya dengan cara sederhana "... Dan sementara Engkau mengurusnya, tolonglah Engkau mengirimkan boneka untuk gadis kecil ini agar dia tahu Engkau benar-benar mengasihinya" Seringkali dalam doa yang dipanjatkan anak-anak, saya jadi serba salah. Bisakah saya dengan jujur ​​mengatakan, "Amin?" Saya hanya tidak percaya bahwa Tuhan bisa melakukannya. Oh, ya, saya tahu Dia bisa melakukan segalanya: Alkitab mengatakan demikian, tetapi ada batasnya bukan? Satu-satunya cara Allah menjawab doa seperti ini adalah dengan mengirimkan bingkisan tersebut dari tanah kelahiran saya. Saat itu saya telah berada di Afrika selama hampir empat tahun, dan saya tidak pernah menerima bingkisan dari rumah. Lagi pula, kalau ada yang benar-benar mengirim bingkisan, siapa yang akan memberikan botol air panas? Saya kan tinggal di daerah khatulistiwa!

Siang menjelang sore, ketika saya sedang mengajar di sekolah pelatihan perawat, sebuah pesan tiba bahwa ada sebuah mobil di pintu depan rumah saya. Saat saya sampai di rumah, mobilnya sudah pergi, tapi di beranda, ada bingkisan seberat 22 pon yang sangat besar! Saya merasa mata saya basah dengan air mata. Saya tidak bisa membuka bingkisan itu sendirian; jadi saya mengirimnya ke panti asuhan. Bersama-sama kami melepaskan tali, dengan berhati-hati melepas simpulnya. Kami melipat kertasnya dengan hati-hati agar tidak terlalu merobeknya. Semangat mereka memuncak. Sekitar tiga atau empat puluh pasang mata terfokus pada kotak kardus besar. Dari atas, saya mengeluarkan kaus rajut berwarna cerah. Mata-mata itu berbinar saat saya melakukannya. Kemudian, ada perban rajut untuk penderita kusta, dan anak-anak mulai terlihat sedikit bosan. Selanjutnya ada sekotak kismis, - - itu bisa untuk membuat setumpuk kue kismis di akhir pekan. Saat aku memasukkan tangan lagi, saya dapat merasakannya ... benarkah? Saya memegang lalu menariknya keluar. Betul! Sebuah botol air panas dengan karet yang benar-benar baru!" Saya menangis. Saya tidak meminta Tuhan mengirimkannya. Saya tidak benar-benar percaya bahwa Ia dapat melakukannya. Ruth berada di barisan depan anak-anak. Dia bergegas maju dan berteriak nyaring, "Jika Tuhan mengirimkan botol air, Dia pasti mengirimkan  bonekanya juga!" Sambil mengobrak-abrik bagian bawah kotak, dia menarik boneka kecil yang berpakaian indah. Matanya berbinar: Dia tidak pernah ragu! Dengan menatap saya, dia bertanya, "Bolehkan saya pergi denganmu, Ma, dan memberikan boneka ini untuk gadis kecil itu agar dia tahu bahwa Yesus benar-benar mencintainya?"

Bingkisan itu telah berada dalam perjalanan selama lima bulan penuh, dikemas oleh para gadis mantan kelas Sekolah Minggu saya, yang pemimpinnya telah mendengar dan mentaati Allah yang memerintahkannya untuk juga mengirimkan botol air panas untuk daerah khatulistiwa! Salah seorang gadis itu telah memasukkan sebuah boneka untuk dikirim ke seorang anak Afrika - lima bulan sebelumnya untuk menjawab doa penuh percaya dari anak berusia sepuluh tahun agar membawanya "siang itu!" " Maka sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya; ketika mereka sedang berbicara, Aku sudah mendengarkannya." Yesaya 65:24
-----
Helen Roseveare, seorang misionaris dari Irlandia Utara, mencantumkan kisah nyata ini dalam bukunya "Iman yang Hidup" Dia telah menulis tentang kebangkitan rohani yang terjadi di tahun 1950 di daerah yang kemudian disebut Kongo Belgia. Dia terhubung dengan WEC (Penginjilan Dunia bagi Kristus) di www.wec-int.org/


Senin, 11 Juli 2016

57 Sen yang Mengubahkan


Dikisahkan oleh Pdt. Russell H. Conwell (1 Desember 1912)

Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, seorang gadis kecil bernama Hattie Mei Wiatt tinggal di sebuah rumah dekat gereja tempat kami melayani, sebuah gereja kecil dan penuh sesak. Karena terlalu penuhnya sampai digunakan sistem tiket yang biasanya sudah habis beberapa minggu sebelumnya. Suatu hari ketika datang ke gereja, saya melihat sejumlah anak berada di luar gereja. Mereka benar-benar mengganggu karena jemaat tidak bisa masuk akibat kerumunan anak-anak yang ingin masuk ke ruang Sekolah Minggu, dan si kecil Hattie Mei Wiatt telah membawa buku-buku dan persembahannya serta sedang berdiri di pintu. Tampaknya ia ragu-ragu untuk balik ke rumah saja atau menunggu dan mencoba masuk. Saya memeluknya dan kemudian mengangkatnya ke atas bahu saya, dan kemudian saat ia mendekap kepala saya (pelukan yang tidak bisa  saya lupakan), saya membawanya melewati kerumunan jemaat di aula ke ruang Sekolah Minggu, dan mendudukannya di kursi yang berada jauh di sudut gelap. Keesokan paginya saat ke gereja dari rumah, saya singgah di rumah mereka, dan saat itu ia sedang berjalan ke sekolah. Saat bertemu, saya berkata: "Hattie, kita akan segera memiliki ruang Sekolah Minggu yang lebih besar," dan dia berkata: ". Saya harap begitu karena ruang yang ada begitu ramai sehingga saya takut pergi ke sana sendirian." "Yah," jawab saya, "kalau kita mendapatkan dana, kita akan segera membangun ruangan yang bisa menampung seluruh anak-anak, dan kita akan mulai segera mencari dananya." Itu lebih merupakan angan-angan semata. Saya berharap dapat terus bercakap-cakap dengannya.

Dalam beberapa tahun ke depan, Hattie menderita sakit keras, dan mereka meminta saya untuk membesuknya. Saya datang dan berdoa bersamanya. Saya berdoa untuk kesembuhannya, namun hal itu tidak terjadi. Hattie Mei Wiatt meninggal. Dia telah mengumpulkan dana sebanyak 57 sen untuk menbangun  ruang anak-anak sekolah Minggu. Saat pemakaman selesai dan kamar tidur si gadis kecil dirapikan, sebuah dompet usang, kumal dan sobek-sobek ditemukan. Nampak sekali bahwa dompet itu kemungkinan ditemukan oleh si gadis kecil dari tempat sampah. Di dalamnya ditemukan uang receh sejumlah 57 sen dan secarik kertas bertuliskan tangan, yang jelas kelihatan ditulis oleh seorang anak kecil, yang isinya: "Uang ini untuk membantu pembangunan gereja agar gereja tersebut bisa diperluas sehingga lebih banyak anak bisa menghadiri Sekolah Minggu." Rupanya selama 2 tahun, sejak ia tidak bisa masuk ke gereja, si gadis kecil ini mengumpulkan dan menyimpan uangnya sampai terkumpul sejumlah 57 sen untuk maksud yang sangat mulia. Ibunya kemudian menyerahkan tas kecil dengan uang sebanyak 57 sen yang telah dikumpulkannya. Saya membawanya ke gereja dan menyatakan bahwa kami memperoleh berkat untuk pembangunan gedung sekolah minggu baru . Sumbangan itu diberikan oleh si kecil Hattie Mei Wiatt, yang telah pergi surga namun telah meninggalkan sumbangannya. Ketika sang pendeta membaca catatan kecil ini, matanya sembab dan ia sadar apa yang harus diperbuatnya. Dengan berbekal dompet tua dan secarik kertas ini, sang pendeta segera memotivasi para pengurus dan jemaat gerejanya untuk meneruskan maksud mulia si gadis kecil ini agar memperbesar bangunan gereja.

Saya kemudian menukarnya menjadi uang logam dan menawarkannya untuk dijual. Hasilnya didapat sekitar 250 dolar AS sebagai ganti 57 sen, dan 54 dari uang logam tersebut dikembalikan kepada saya oleh pembelinya. Saya kemudian membingkainya agar orang-orang dapat melihat dan menontonnya, dan kemudian menukar $ 250 menjadi uang logam, kami menerima cukup dana untuk membeli rumah berikutnya di sebelah utara gereja. Rumah itu dibeli oleh Komunitas Wiatt Mite, yang dibentuk dengan tujuan mengambil 57 sen itu dan memperbesarnya untuk membeli tanah bagi untuk menjadi ruang Sekolah Minggu.

Kemudian ketika jumlah anak sekolah minggu menjadi begitu besar, ruangannya sudah tidak memadai, akhirnya terlontar gagasan ke sidang jemaat kami, "Kita harus memiliki gedung gereja yang lebih besar dan ruang Sekolah Minggu yang lebih besar." Iman kepada Allah adalah ciri-ciri dari orang-orang ini, dan mereka mengatakan, "Kami dapat melakukannya," meskipun faktanya kami tidak punya uang sebelumnya. Namun keyakinan itu begitu kuat bahwa kami harus membangun gedung gereja yang lebih besar walaupun tampaknya tidak masuk akal untuk melakukannya.

Suatu kali saya mengunjungi Pak Baird dan bertanya apa yang ia rencanakan untuk lahan tempat gedung gereja sekarang berdiri. Dia rupanya ingin menjual tanah itu seharga 30.000 dolar AS. Sedangkan kami hanya punya 54 sen dan kami mungkin terlalu berlebihan karena mengira akan memiliki lahan itu. Terdorong oleh perkataan Pak Baird dan tanpa ada yang keberatan dari Dewan Diaken (Majelis), saya melakukan negosiasi dan bertanya apakah ia bisa tidak menjualnya selama lima tahun. Pak  Baird menjawab: "Saya telah memikirkan berulang-ulang tentang hal ini dan saya memutuskan untuk menjual lahan ini seharga 25.000 dolar AS alias lebih rendah 5.000 dolar dan saya rasa hal ini sangat berarti bukan? Saya akan mengambil 54 sen itu sebagai pembayaran pertama, dan engkau dapat mengambil pinjaman dengan jaminan lahan itu pada tingkat bunga 5%.  Saat kembali ke gereja dan melaporkan hal tersebut  mereka berkata : "Yah, kita bisa mengumpulkan uang lebih dari 54 sen" Dan saya pun pergi dan memberikan uang 54 sen itu kepada Pak Baird dan mengambil tanda terimanya untuk pembayaran lahan tersebut. Pak  Baird kemudian mengembalikan 54 sen itu sebagai hadiah. Jadi kami membeli lahan itu , dan terdorong untuk bersama Tuhan kami melanjutkan pembangunan gedungnya setahap demi setahap. Kami hampir tidak pernah bermimpi bahwa bertahun-tahun kemudian, setiap jemaat miskin ini mempersembahkan sekuat tenaga mereka, sehingga akhirnya kami bisa melunasi utang yang begitu besar. Saya harus menyatakan juga bahwa di rumah yang dibeli dengan menjual uang logam sebanyak 57 sen diselenggarakan oleh The Temple University.

Hattie Mei Wiatt adalah seorang siswi sekolah yang berasal dari keluarga yang rajin, menjaga kehormatan, jujur dan suka menabung. Ia bukan berasal dari keluarga yang kaya dan hebat, namun pikirkanlah bagaimana hidupnya berarti; pikirkanlah apa yang Tuhan lakukan dengannya dan uang 57 sen miliknya dahulu. Bila dibandingkan dengannya, banyak orang akan merasa malu. Pikirkanlah tentang  gereja yang besar ini; jumlah pertambahan anggota sebanyak lebih dari 5.600 - sejak saat itu. Pikirkanlah pengaruhnya keluar dan menyebar ke seluruh dunia. Pikirkan pengaruh sekolah Sabat terhadap bangunan hebat ini selama lebih dari dua puluh tahun. Kemudian pikirkan tentang lembaga tempat gereja bernaung. Pikirkan Rumah Sakit Samaria dan ribuan orang sakit yang telah sembuh dan ribuan orang miskin yang telah dilayani setiap tahun. Saya menerima laporan bulan Oktober dari Rumah Sakit Samaria Sabtu lalu bahwa selama satu bulan, 2.540 telah mengunjungi apotek. Dengan mengalikannya dengan angka dua belas untuk memperoleh rata-rata orang yang datang selama setahun. Ada lebih dari 30.000 orang setiap tahun pergi ke apotik dari satu rumah sakit, dan hal itu tidak termasuk bangsal untuk kaum miskin atau kamar pribadi. Lalu ada rumah sakit lainnya, Garrestson, yang juga diambil alih oleh jemaat gereja ini. Tanpa gereja ini, hal itu mungkin tidak bisa dimulai. Di sana jumlah orang yang dilayani dalam satu tahun sebanyak lebih dari 14.000 pasien yang terluka, rusak, dan sekarat. Pikirkan tentang pelayanan dari rumah sakit ini yang dimulai sebagai dampak pelayanan gereja ini dan didukung sejak awal oleh anggota jemaat gereja. Hal itu menjadi kisah perjalanan panjang dari kebaikan mereka.

Pikirkan bagaimana di rumah Wiatt dimulai kelas pertama dari Temple College. Masyarakat Wiatt Mite menyediakan kursi, buku-buku dan guru. Oleh karena itu dimulailah sekolah malam yang telah bertumbuh dan berkembang selama bertahun-tahun. Rumah itu yang dibeli seharga 54 sen kemudian dijual dan hasilnya diberikan ke Temple College karena kemungkinan terkena proyek pembuatan taman. Kami pindah dari gereja asal dan memberikannya ke Temple College, dan kampus menjualnya ke gereja lain dan menggunakan uang itu untuk mendirikan sebuah bangunan di sebelah kami di Broad Street. Pikirkan pengaruh uang 57 sen untuk sesaat. Hampir 80.000 orang muda telah mengikuti pendidikan di Temple College, dan pikirkan di mana mereka berada.

Setahun yang lalu, kami memperkirakan ada 500 pria dan wanita muda di departemen bisnis yang tidak mendapatkan apa-apa sebelum mereka menempuh pendidikan di sana , memperoleh pengajaran selama enam bulan  dan akhirnya mendapatkan upah yang memadai. Pikirkan pendapatan dan  kenikmatan tambahan, yang bahkan diberikan oleh  bagian terkecil, dan kemudian pikirkan Fakultas Hukum, Kedokteran, Kedokteran Gigi, Teologi, Seni Berumah Tangga, Sekolah umum dan Sekolah keguruan  - ada hampir 4.000  orang yang sekarang bekerja di berbagai bagian kota. Bayangkan bagaimana mereka pergi dan mengajar ribuan orang dan kemudian mereka pada gilirannya akan mengajar ribuan orang lainnya dalam hidup mereka.  Pikirkan bagaimana membersihkan dunia selama seabad yang dimulai dengan seorang guru, yang kemudian menggandakan dirinya mungkin seratus kali hampir setiap tahunnya. Dua tahun lalu, tahun terendah dalam pekerjaan itu, kami mengambil statistik mahasiswa Temple University. Kami memastikan ada 504 pemuda yang sedang belajar Injil dalam satu tahun. Sekarang, jika lulus (yang pasti terjadi) setidaknya seratus orang dalam setahun masuk ke dalam pelayanan. Pikirkan apa yang telah terjadi selama dua puluh tahun sejak persembahan Hattie May. Anggap saja - dua ribu orang memberitakan Injil karena Hattie Mei Wiatt menginvestasikan 57 sen  dan meletakkan dasarnya.

Manusia mungkin ada yang sangat fasih berbicara; mereka mungkin menyanyi dengan suara malaikat, namun mereka mungkin tidak berbicara seperti Hattie Mei Wiatt, karena dia ingin berbicara melalui hidupmu saat engkau pergi keluar dan melakukan secara berbeda sebelum engkau mendengar kisah ini . Hattie Mei Wiatt berbicara dengan nada kefasihan, manis, ilahi , kokoh dan berlangsung berabad-abad. Banyak orang yang hebat ; banyak orang diberi penghargaan atas apa yang tidak mereka lakukan, tapi di sini ada kehidupan yang dipenuhi dengan kekuatan untuk bergerak di setiap waktu.

Saat ini, jika berada di Philadelphia, lihatlah Temple Baptist Church, dengan kapasitas duduk untuk 3300 orang dan Temple University, tempat ribuan mahasiswa menempuh pendidikan. Lihat juga Rumah Sakit Good Samaritan dan sebuah bangunan istimewa untuk Sekolah Minggu yang lengkap dengan beratus-ratus pengajarnya, semuanya ini untuk memastikan jangan sampai ada satu anakpun yang tidak mendapat tempat di Sekolah Minggu. Di dalam salah satu ruangan bangunan ini, nampak terlihat foto si gadis kecil, yang dengan tabungannya sebesar 57 sen, namun dikumpulkan berdasarkan rasa cinta kasih terhadap sesama, yang telah membuat sejarah. Tampak pula berjajar rapi, foto sang pendeta baik hati yang telah mengulurkan tangan kepada si gadis kecil miskin ini, yaitu pendeta DR. Russel H.Conwell, penulis buku Acres of Diamonds -- suatu kisah nyata.

Kenyataan sejarah yang kolosal ini bisa memberikan petunjuk kepada kita semua, apa yang dapat DIA lakukan terhadap uang 57 sen.

Minggu, 10 Juli 2016

Belajar Menghargai


Suatu kali ada seorang pria yang suka membantu, baik, dan murah hati. Dia adalah jenis orang yang akan menolong orang lain tanpa meminta imbalan jasa. Dia melakukannya karena benar-benar ingin dan suka menolong. Suatu hari ketika sedang melangkah di jalan berdebu, pria ini melihat sebuah tas wanita, jadi dia mengambil dan melihat isi tas itu sudah kosong. Tiba-tiba seorang wanita muncul dengan seorang polisi yang kemudian menangkapnya.

Wanita itu terus bertanya di mana sang pria menyembunyikan uangnya, namun pria itu menjawab, "Tasnya kosong ketika saya menemukannya, Bu" Wanita itu berteriak, "Tolong kembalikan, uang itu untuk biaya sekolah anak saya." Melihat wanita itu begitu sedih, ia pun menyerahkan semua uangnya. Pria itu mengira sang wanita adalah orang tua tunggal. Pria itu berkata, "Ambillah. Maaf atas ketidaknyamanannya." Wanita itu pergi dan sang polisi menahan pria itu untuk interogasi lebih lanjut.

Wanita itu sangat gembira namun ketika ia menghitung uangnya, jumlahnya ternyata dua kali lipat sehingga dia terkejut. Suatu hari ketika wanita ini mau membayar uang sekolah anaknya, dia memperhatikan ada pria kurus sedang berjalan di belakangnya. Dia mengira pria itu ingin merampoknya, jadi dia mendekati seorang polisi yang ada di sana. Ternyata dialah polisi yang diajaknya dulu untuk mencari tasnya. Wanita itu melaporkan pria yang tengah mengikutinya, namun tiba-tiba mereka melihat pria itu jatuh. Mereka berlari ke arahnya, dan ternyata dialah pria yang ditahan beberapa hari lalu karena ‘mencuri’ tasnya.

Pria ini tampaknya sangat lemah sehingga sang wanita merasa bingung. Polisi itu kemudian berkata kepada sang wanita, "Dia tidak mengembalikan uangmu, tapi kemarin itu dia memberikan uangnya. Ia bukan seorang pencuri namun mendengar uang sekolah anakmu, ia merasa sedih sehingga memberimu uang miliknya. "Kemudian mereka berdua membantu sang pria berdiri, dan pria itu berkata kepada sang wanita," Lanjutkan perjalananmu dan bayarlah uang sekolah anakmu. Tadi saya melihatmu dan saya pun mengikutimu untuk memastikan bahwa tidak ada yang mencuri uang sekolah anakmu." Wanita itu hanya bisa terpana , tak mampu berbicara.

Moral: Hidup terkadang memberikan kita pengalaman yang unik yang mengherankan bahkan mengguncangkan. Kita kadang  salah menilai dan membuat kekeliruan dalam kemarahan, putus asa dan frustrasi. Namun, saat engkau memperoleh kesempatan kedua, perbaikilah kesalahanmu dan balaslah budinya. Berbaik dan bermurah hatilah. Belajarlah menghargai apa yang engkau peroleh.



Perjumpaan Anak Kecil dengan Tuhan


Suatu kali ada seorang anak kecil yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dia menyadari untuk bertemu denganNya akan menempuh perjalanan jauh dari rumahnya, sehingga ia mengemasi tasnya dan mengisinya dengan dengan kue Twinkies serta enam kaleng root beer lalu memulai perjalanan. Baru saja ia berjalan tiga blok dari rumahnya , ia melihat seorang wanita tua. Dia sedang duduk di taman dan kerjanya hanya menatap beberapa ekor merpati.

Anak itu duduk di sampingnya dan membuka tas yang dibawanya. Dia ingin mengambil sekaleng root beer saat ia melihat bahwa tampaknya wanita tua itu kelaparan sehingga ia pun menawarkan kue Twinkienya. Sang wanita tua itu dengan penuh syukur menerimanya dan tersenyum kepada si anak kecil. Senyumnya sangat menawan sehingga anak itu ingin melihatnya lagi, sehingga ia menawarkan root beer-nya. Sekali lagi sang wanita tua itu tersenyum padanya. Anak itu sangat senang! Siang itu mereka berdua duduk di sana sambil makan siang dan tersenyum, tetapi mereka tidak pernah mengatakan sepatah kata pun.

Saat hari mulai gelap, anak itu menyadari betapa lelah dirinya, dan ia bangkit untuk pergi, tapi sebelum melangkah lebih lanjut, ia berbalik dan berlari kembali ke wanita tua itu dan memeluknya. Wanita itu tersenyum lebar sekali. Ketika anak itu membuka pintu rumahnya beberapa waktu kemudian, ibunya terkejut dengan wajahnya yang bersukacita. Dia bertanya, "Apa yang kamu lakukan hari ini yang membuatmu begitu senang?" Dia menjawab, "Saya makan siang dengan Allah." Tapi, sebelum ibunya bisa menjawab, ia menambahkan, "Ma, tahu tidak? Dia punya senyum terindah yang pernah saya lihat! "

Sementara itu, sang wanita tua juga berseri-seri dengan sukacita dan kembali ke rumahnya. Anaknya terpesona melihat kedamaian di wajah ibunya dan ia bertanya, "Ibu, apa yang kamu lakukan sekarang yang membuat kamu begitu senang?" Dia menjawab, "Saya makan Twinkies di taman bersama Allah." Tapi, sebelum anaknya menjawab, wanita tua ini menambahkan, "Kau tahu, dia jauh lebih muda dari yang saya bayangkan."


Moral: Tuhan ada dimana-mana. Kita hanya perlu untuk berbagi kebahagiaan dan membuat orang lain tersenyum untuk merasakan kehadiranNya.

Kue Gosong


Mamaku selalu membuat makanan yang lezat. Namun suatu kali , ia menaruh kue yang gosong di hadapan papa. Gosong nya tidak hanya sedikit, tetapi hitam bagai arang. Melihat hal itu, saya menantikan apa yang akan dikatakan papa. Papa tampaknya tidak masalah dengan kue gosong itu dan menikmatinya. Dia bahkan menanyakan bagaimana kabar saya. Kemudian saya mendengar mama meminta maaf atas hidangan makan malam papa. Saya tidak pernah melupakan bagaimana tanggapan papa saat itu : Sayang, saya menyukai kue buatanmu. Sesudahnya saya dengan penasaran saya bertanya kepada papa apakah dia berbohong kepada mama. Papa meletakkan tangannya pada bahu saya dan berkata, “Mamamu melewati hari-hari yang keras dalam pekerjaannya sehingga membuatnya lelah. Kue yang gosong tidak akan melukai saya, namun kata-kata yang tajam bisa melukai hatinya.” Kita semua pernah melakukan kesalahan. Kita jangan membesar-besarkan kesalahan pasangan kita, sebaliknya kita harus mendukungnya. Itulah rahasia untuk memiliki hubungan jangka panjang dan bahagia.