Yesus Gembala yang Baik.

Minggu, 13 Oktober 2013

Orang Baik Hati

Jeannie Lancaster, Chicken Soup for the Soul. Bangit dari Masa Sulit.

Sudahkah kau menerima kebaikan? Teruskanlah kebaikan itu! Menghapus air mata satu demi satu orang, sampai kebaikan itu muncul di surga—Teruskanlah kebaikan itu! Henry Burton.

Orangtuaku bercerai pada tahun 1963, saat aku berusia sebelas tahun. Setahun kemudian, ayahku tidak lagi memberikan duungan financial apa pun bagiku maupun ketiga kakak perempuanku. Ibuku sendirian, bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya yang semuanya perempuan, dengan satu anak yang mengalami keterlambatan perkembangan yang parah.
                Masa-masa itu jelas sangat menantang. Aku masih ingat telepon-telepon ancaman dari penagih utang, suara tangis ibuku pada larut malam, dan malam-malam ketika pancake tepung dan air merupakan makan malam kami yang sedikit. Tetapi, satu kenangan yang muncul dengan kuat, lebih dari yang lain, adalah momen ketika aku belajar makna berbagi dan mengasihi.
                Untuk menafkahi keluarga kami, ibuku bekerja pada siang hari di sebuah kantor surat kabar setempat. Sebagai tambahan, beberapa malam dalam seminggu dia menjual baju-baju perempuan di pesta-pesta pribadi.
                Saat menyetir pulang pada suatu malam, dia berhenti di lampu merah. Lelah seusai kerja membuatnya tidak melihat mobil yang mengebut di belakangnya. Si pengemudi tidak memperhatikan lampu merah. Mobil itu menabrak bagian belakang mobil ibuku dengan kecepatan 96 kilometer per jam.
                Barangkali, kelelahan yang telah menyelamatkan nyawa ibuku malam itu. Tubuhnya, letih dan lemas, terlempar dari kursi si pengemudi ke bagian belakang mobil. Mobilnya sendiri hancur menjadi serpihan besi di sekitarnya.
                Ajaib, ibuku selamat hanya dengan memar dan benjol. Baju-baju yang hendak dijual telah bertindak sebagai pengaman. Tetapi, mobilnya tidak selamat, sementara pengemudi mobil yang menabrak adalah pria muda yang tidak memiliki asuransi. Aku ingat ekspresi putus asa di wajah ibuku, khawatir bagaimana mungkin dia bisa mengumpulkan uang untuk membeli mobil baru.
                Keesokan harinya, aku melihat tetangga kami, keluarga Clayton, berjalan menuruni bukit dari rumah mereka. Mereka memberikan amplop kepaa ibuku berisi 500 dolar. Aku masih ingat ibuku yang tangguh dengan harga diri tinggi, menolak pemberian itu, berkata dia tidak bisa menerima uang mereka. Tidak mungkin ibuku bisa membayar kembali uang tersebut.
                Mr. Clayton tersenyum mendengar protes-protesnya, lalu memberikan pernyataan yang berkesan. “Jangan khawatir soal membayar kembali. Kelak, jika situasi membaik, tolonglah orang lain yang sedang membutuhkan. Itu saja imbalan yang dibutuhkan.”
                Ibuku mengingat-ingat pesan ini. Setahun kemudian dia pulang dari perjalanan panjang dengan bus ke kota tetangga, tempatnya menjual iklan untuk penerbit setempat. Saat berjalan masuk, dia melihat seorang perempuan muda memeluk bayinya yang menangis. Mereka duduk meringkuk di lantai. Ibuku menggiring mereka ke dapur kami dan langsung memasak hidangan sederhana untuk makan malam sang tamu.
                Dengan berjalannya malam, kisah si perempuan muda pun mengalir. Dia melarikan diri dari suami yang suka menyiksa sambil membawa bayi mereka serta sedikit barang. Uangnya hanya cukup untuk pergi sejauh kota kami. Saat bertemu dengan mereka di bus, ibuku tahu apa yang harus dilakukan.
                Ibuku menyiapkan sofat kami sebagai tempat tidurnya. Setelah itu, aku melihat ibuku membuka dompetnya dan memberikan perjalanan ke kota berikutnya dengan bus. AKu tahu hanya itulah uang ibuku. Tetapi, aku melihat tekad dan kebahagiaan di wajahnya saat memberikan uang itu. Aku mendengarkan saat si ibu muda menelpon orangtuanya sambil menangis, mengabarkan bahwa dia akan pulang.
                Selama bertahun-tahun, keluarga kami terus berada dalam kondisi sulit. Namun, lagi dan lagi, aku melihat ibuku menolong orang lain, bagaimanapun caranya, apakah itu dengan uang, waktu, akupun bentuk bantuan lainnya.
                Beberapa decade telah berlaku sejak tetangga kami datang menuruni bukit membawa hadiah. AKu mencoba mengikuti contoh mereka dan ibuku, menolong kecil-kecilan di sana-sini. Aku berharap kelak anak-anakku akan melihat pelajaran yang kupetik bertahun-tahun lalu dari tetangga kami yang baik hati, dan dari ibuku. Kuharap, mereka akan melihat bahwa, di tengah situasi sulit, kebaikan dan kemurahan hati akan membuat perbedaan besar.


Harapan

Kay Day, Chicken Soup for the Soul. Bangit dari Masa Sulit.

Ingat, kita semua akan tersandung. Itulah mengapa lebih baik berjalan sambil bergandengan tangan. (Emily Kimbrough)

Aroma rumput yang baru dipangkas menggelitik hidungku saat aku menatap suamiku berjalan ke arahku. Dia menggenggam sepucuk surat. Kematikan alat pemotong itu.
“Mereka mengirimkan orang ke sini untuk mengambil barang-barang ktia,” katanya.
“Siapa? Barang-barang apa?”
“Gara-gara pajak, mereka pikir kita berutang, dan sekarang menaruh hak gadai atas aset-aset kita.”
“Aset apa?” tanyaku. “Apa yang bisa mereka ambil, yang layak untuk menempuh perjalanan ke sini?”
Kuambil surat itu dan kulihat sekilas segel resmi Negara. Perjuangan panjang untuk membebaskan diri kami sepertinya sia-sia. Sistem yang kurang sempurna membuat Negara, yang belum lama kami tinggali, mencoba menagih pajak yang telah kami bayarkan.
Apel-apel merah muda bermekaran di sekitar kami – pertanda keceriaan yang kontras dengan momen tersebut. Kami seharusnya bahagia; status paiit yang kami ajukan tujuh tahun yang lalu akhirnya diangkat dari laporan kredit kami. Tetapi, kami malah tercebur di dalam ceruk utang tanpa pilihan lain, selain sekali lagi mengajukan pailit. Kami begitu ingin menghindari hal tersebut. Jadi, surat ini layaknya sekop yang berderak di atas tanah. Kami sedang dikubur hidup-hidup.
Bunyi dering telepon terdengar dari seberang halaman Aku tak memedulikannya. Paling-paling, hanya aku dan kreditur yang sudah hafal isi pembicaraan mereka. Ancaman tuntutan hokum. Ancaman pemotongan Aku tidak punya energy untuk menghadapi mereka.
“Aku akan pergi sebentar,” kata suamiku dan dia berlalu, pintu pagar menutup keras di belakangnya. Pandanganku terselubung air mata. Tekanan hidup mempengaruhi pernikahan kami, anak-anak – segalanya.
Stres itu tak tertahankan. Tetapi, beban yang lebih berat datang dari rasa malu dan penyesalan yang kami rasakan karena, sekali lagi, kami berada dalam situasi ini. Kami telah membuat keputusan-keputusan kredit yang buruk meskipun telah bertekad untuk menghindarinya. Kami tidak ingin melalaikan tanggung jawab, namun sepertinya tidak ada jalan lain.
Beberapa hari kemudian, di tengah-tengah studi Alkitab, aku meminta para ibu berdoa untuk kami. Aku ingin Tuhan menjawab kebutuhan kami dan memberikan kebijaksanaan untuk mengatasi keadaan ini.
Setelahnya, dua teman baik mendatangiku. Masing-masing menyelipkan secarik kertas ke dalam tanganku. Aku ingin melihat, tetapi mereka melarangku.
“Bawalah pulang. Kami ingin membantu.”
“Oh, aku tidak bisa,” kataku. Aku malu sampai berada di titik aku memerlukan uang dari orang lain. Namun, aku hanya perlu sekali memandang ke arah teman-temanku untuk mengetahui bahwa aku memang tidak punya pilihan lain. Kupeluk mereka dan kudoakan karunia bagi mereka.
Di mobil, kubuka kedua lembar cek tersebut. Kedua perempuan itu sudah tua. Satu orang menghabiskan hari-harinya merawat suaminya yang mengalami kelumpuhan quadriplegic, sementara yang satu hidup dari uang pensiun perusahaan telepon. Apa yang mereka berikan jauh melebihi kemampuan mereka. Aku menangis sepanjang perjalanan pulang.
Suamiku sedang duduk bersama setumpuk tagihan di hadapannya ketika aku tiba.
“Lihat,” kataku sambil menyodorkan cek-cek itu. Suamiku mengambil keduanya sembari menatap wajahku.
Dia melihat nilainya kemudian terkesiap. “Mengapa mereka melakukan ini?”
Kupikir, harga dirinya pastilah terluka, sama seperti harga diriku.
“Aku hanya meminta mereka berdoa untuk kita, dan mereka memberikan ini.”
Dia menatap kertas-kertas itu untuk beberapa saat. “Uang ini akan bisa untuk membayar tagihan listrik. Sekarang, mereka tidak bisa memotong listrik kita.”
Aku menarik napas dan membisikkan doa terima kasih. Teman-temanku telah memberikan sesuatu yang lebih berharga ketimbang uang; mereka memberikan harapan.
Dengan bantuan Tuhan , kami mampu memanjat keluar dari keterpurukan, dan kami lebih kuat dalam menempuh perjalanan selanjutnya. Harapan dari dua teman pemurahlah yang telah memberikan kami kekuatan untuk mengangkat kepala dan memulai perjalanan.