Yesus Gembala yang Baik.

Sabtu, 04 Juni 2016

Tiga Surat dari Teddy


Oleh : Elizabeth Silance Ballard
Dari Buku : Kisah Kasih Allah

Surat Teddy datang hari ini. Setelah membacanya, saya akan menyimpannya dalam laci lemari kayu beserta barang-barang lain yang penting bagi hidup saya.
            “Saya ingin Ibu yang pertama kali tahu.”
            Saya tersenyum membaca kata-kata pertama yang ditulisnya dan hati saya melambung oleh kebanggaan yang sepertinya tidak layak saya terima. Saya sudah tidak pernah bertemu dengan Teddy Stallard sejak ia masih duduk di kelas lima, lima belas tahun lalu. Saat itu adalah awal karier saya, dan saya sudah mengajar selama dua tahun.
            Sejak hari pertama masuk kelas, saya tak suka pada Teddy. Para guru (meski setiap orang berbeda) tidak dianjurkan memiliki perasaan tertentu di kelas, terutama tidak boleh menunjukkan rasa tak suka pada anak, siapa pun itu.
            Namun setiap tahun ada saja satu atau dua anak yang menjadi kesayangan, karena para guru juga manusia, dan wajar bila kita cenderung menyukai orang yang cerdas, cantik, cakap, pintar. Kadang-kadang – tidak terlalu sering memang- akan selalu ada satu-dua anak yang tidak disukai guru.
            Tadinya saya pikir akan mampu mengatasi perasaan itu, sampai Teddy masuk dalam hidup saya. Saya tidak menganakemaskan seorang murid pun pada tahun itu, tetapi yang pasti Teddy adalah murid yang tidak saya sukai.
            Ia kotor. Bukan hanya sesekali, tetapi selalu kotor. Rambutnya panjang menutupi telinga, sampai ia harus memegangi atau mengikatnya saat menulis di kelas. (Hal ini terjadi sebelum model rambut seperti itu menjadi tren di kalangan anak muda!) Ditambah lagi, ia punya bau badan yang khas.
            Ia punya banyak kelemahan fisik, dan kecerdasannya pun jauh dari harapan. Sebelum akhir minggu pertama, saya sudah tahu bahwa ia jauh tertinggal dibandingkan murid lain. Masih pula ia lambat mengejar ketinggalannya! Sebab itu, say amulai menjaga jarak dengannya.
            Setiap guru pasti akan mengatakan bahwa lebih menyenangkan mengajar anak cerdas. Tentu saja, karena itu lebih memuaskan ego seseorang. Namun, setiap guru yang baik harus tetap memperhatikan anak cerdas itu , agar terus tertantang dan belajar, sementara pada saat yang sama si guru juga mengerahkan upayanya untuk membantu anak yang lebih lambat. Setiap guru dapat melakukan hal itu. Sebagian besar guru melakukannya, tetapi saya tidak, tidak untuk tahun itu.
            Kenyataannya, saya memusatkan perhatian pada para murid terbarik dan membiarkan mereka mengerjakan hal terbaik yang mampu mereka lakukan. Dengan agak malu untuk mengakui, saya merasa sedikit senang saat menggunakan pulpen merah saya. Apalagi setiap kali memeriksa pekerjaan Teddy, tanda silang (yang banyak jumlahnya) selalu saya buat lebih besar dan lebih merah daripada yang seharusnya.
            “Pekerjaan yang buruk!” tulis saya dengan mantap.
            Meski saya tidak mencemooh anak itu secara langsung, tetapi sikap saya menunjukkannya dengan jelas, karena dengan cepat ia menjadi orang “kelas kambing” di kelas itu, orang yang disingkirkan : tidak menarik dan tidak pantas dikasihi.
            Ia tahu saya tak menyukainya, tapi ia tidak tahu sebabnya. Demikian pula saya. Sesungguhnya, baik dulu maupun sekarang, saya tidak tahu mengapa saya tidak menyukainya. Yang saya tahu, ia adalah anak kecil yang tidak dipedulikan oleh siapa pun, dan saya tak melakukan apa-apa untuk membantunya.
            Hari terus bergulir. Kami melewati Pesta Musim Gugur, liburan hari Pengucapan Syukur, dan saya masih terus menorehkan tanda merah dengan pulpen saya.
            Saat liburan Natal semakin dekat, saya tahu bahwa Teddy tidak akan ernah naik ke kelas enam.
            Untuk membenarkan diri sendiri, saya terus memandangi nilai-nilainya. Ia mendapat nilai yang rendah selama empat tahun pertama belajar, tetapi ia tak pernah tidak naik kelas. Bagaimana itu bisa terjadi, saya tak tahu. Sampai akhirnya saya melihat sebuah catatan khusus di rapornya.
            Kelas satu : Teddy berjanji untuk memperbaiki prestasi dan sikapnya. Ia menghadapi situasi keluarga yang menyedihkan. Kelas dua : Teddy dapat melakukan yang lebih baik. Ibunya sakit parah. Ia hanya mendapat sedikit perhatian di rumah. Kelas tiga : Teddy adalah anak yang menyenangkan. Ibunya meninggal pada akhir tahun. Kelas empat : sangat lambat, tetapi berkelakuan baik. Ayahnya tak punya perhatian.
            Ya, para guru telah meluluskannya empat kali, tetapi ia pasti mengulang kelas lima ini! Ini demi kebaikannya! Saya berkata kepada diri sendiri.
            Dan, tibalah hari terakhir sebelum libur. Pohon kecil kami yang ada di atas meja baca dihiasi dengan kertas dan rantai pop-corn. Banyak hadiah di bawahnya, menanti saat istimewa itu.
            Para guru selalu mendapat hadiah saat Natal, tetapi hadiah saya tahun itu tampaknya lebih besar dan lebih bermacam-macam daripada sebelumnya. Tak ada murid yang tidak membawa hadiah. Setiap hadiah yang dibuka menimbulkan jeritan kesukaan, dan pemberinya akan menerima ucapan terima kasih yang berlebihan.
            Hadiah Teddy bukan yang terakhir saya ambil; karena ada di tengah tumpukan. Dibungkus kertas cokelat, dan direkatkan dengan plester. Lalu ia menggambar pohon Natal dan lonceng merah di depannya.
            “Buat Bu Thompson , dari Teddy.” Demikianlah pesannya.
            Kelas benar-benar hening. Dan, untuk pertama kalinya saya merasa menjadi pusat perhatian. Saya malu karena mereka semua berdiri menatap saya membuka hadiah itu.
            Saat saya melepaskan plester terakhir, dua benda jatuh ke meja: sebuah gelang dengan beberapa batu permata yang hilang dan sebotol kecil minyak wangi yang isinya tinggal setengah.
            Saya mendengar suara tertawa dan bisik-bisik, dan tiba-tiba saya memandang Teddy.
            “Bukankah ini sangat indah?” tanya saya sambil memasang gelang. “Teddy, kau bisa menolong Ibu mengencangkannya?”
            Ia tersipu malu saat mengikatkan gelang itu, dan saya mengangkat pergelangan tangan supaya mereka bisa mengaguminya.
            Beberapa anak merasa heran dan ragu, tetapi saat saya mengoleskan minyak wangi itu di belakang telinga saya, semua anak perempuan berbaris untuk mengoleskannya juga.
            Saya melanjutkan membuka hadiah hingga tumpukan paling bawah. Kemudian kami menikmati bekal makanan kami, sampai akhirnya bel berbunyi.
            Anak-anak pun bubar sambil berseru, “Sampai jumpa tahun depan!” dan “Selamat Natal!” Namun, Teddy tetap duduk di bangkunya.
            Ketika mereka semua sudah keluar, ia berjalan menghampiri saya, sambil mendekap hadiah dan buku-buku di dadanya.
            “Ibu harum seperti Mama,” katanya lembur. “Gelang Mama juga tampak cantik dipakai Ibu. Saya senang Ibu menyukainya.”
            Lalu ia segera keluar. Saya mengunci pintu, duduk di meja, dan menangis. Saya berketetapan untuk memperbaiki semua yang selama ini telah saya rampas dengan sengaja dari diri Teddy – menjadi seorang guru yang peduli.
            Saya meluangkan waktu setiap sore bersama Teddy, dari akhir libur Natal sehingga akhir masa sekolah. Terkadang saya membantunya belajar. Kadang ia bekerja sendiri sementara saya merencanakan pelajaran dan tugas-tugas mendatang.        
            Perlahan namun pasti, ia mengejar ketertinggalannya. Bahkan , nilai rata-rata akhirnya termasuk yang tertinggi di kelas. Dan meskipun saya tahu ia akan pindah kelak, saya tidak khawatir. Teddy telah menjadi pribadi yang sanggup bertahan menghadapi tahun-tahun yang akan datang, ke mana pun ia pergi. Ia telah menikmati satu langkah sukses, dan selanjutnya, seperti yang telah diajarkan di pelatihan guru: “Kesuksesan yang satu menciptakan kesuksesan berikutnya.”
            Saya tidak mendengar kabar dari Teddy hingga tujuh tahun kemudian, saat surat pertamanya muncul di kotak surat.

            Bu Thompson yang baik,
            Saya ingin Ibu yang pertama tahu, bahwa saya akan lulus sebagai peringkat kedua di kelas saya bulan depan.
            Salam kasih,
            Teddy Stallard

            Saya mengiriminya kartu ucapan selamat dan paket kecil berisi pulpen dan pensil. Saya bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya setelah lulus nanti.
            Empat tahun kemudian, surat Teddy tiba.

            Bu Thompson yang baik,
            Saya ingin Ibu yang pertama kali tahu berita ini. Saya baru dapat informasi bahwa saya akan menjadi lululusan terbaik di kelas saya. Universitas    bukanlah hal yang mudah , tapi saya menyukainya.
            Salam hangat,
            Teddy Stallard.

            Saya mengiriminya sepasang manset perak murni bertatahkan huruf timbul dan selembar kartu, dengan kebanggaan yang dalam atas prestasinya! Dan sekarang, surat Teddy yang ketiga.

            Bu Thompson yang baik,
            Saya ingin Ibu yang pertama kali tahu. Saya sekarang adalah Theodore Stallard, MD. Cukup keren, kan?!
            Saya akan menikah pada tanggal 27 Juli. Saya ingin mengundang Ibu untuk datang dan duduk di tempat Mama – seandainya ia masih hidup. Saya sudah tak punya keluarga lagi karena Ayah sudah meninggal tahun lalu.
            Salam hangat,
            Teddy Stallard

            Saya tidak tahu hadiah apa yang pantas bagi seorang dokter yang baru lulus dari sekolah kedokteran. Namun, saya rasa kado masih bisa menanti, tetapi kartu ucapan selamat harus segera dikirimkan.

            Ted yang baik,
            Selamat! Kamu sudah berhasil, dan kamu melakukannya sendiri! Hari istimewa ini datang bukan karena saya dan bukan karena kita, tetapi karena usahamu yang keras.
            Tuhan memberkatimu. Saya akan hadir pada hari pernikahanmu, saat lonceng pernikahan berdentang!


            Elizabeth Silance Ballard.

Gaun Musim Semi


Oleh : Margaret Jensen
(Buku : Kisah Kasih Allah, Alice Gray)

Mary masih sangat muda. Hatinya dipenuhi impian tentang kasih kepada Allah dan pelayanan di ladang Tuhan. Sementara itu John suaminya, begitu gelisah dan tak sabaran dalam tugas penggembalaannya yang baru di sebuah tanah pertanian Wisconsin. Ia begitu menginginkan sebuah perpustakaan dan menantikan bantuan nyata dari New York atau Chicago, di mana ia mengikuti pendidikan calon pendeta. Otak John yang cemerlang sangat membutuhkan buku-buku. Mary selalu melihat keindahan dalam segala sesuatu – aroma ladang yang baru dibajak, kicauan burung, tanda pertama musim semi, bunga-bunga putih dan ungu. Mary bernyanyi dalam desiran angin dan tertawa bersama burung-burung. Namun, ia punya sebuah keinginan yang tersembunyi, yakni sebuah gaun baru untuk musim semi. Bukan gaun coklat atau hitam yang suram yang memang cocok untuknya sebagai istri pendeta, tetapi sebuah gaun dari kain yang sangat tipis, lembut, berlipit, dengan renda di sekeliling leher dan lengan, serta berpita besar.
            Namun... tak ada uang! Maka dengan cermat ia menyusun rencana. Ia akan menghemat dan menaruh uangnya dalam sebuah kotak sampai uang itu cukup untuk membeli sebuah lampu minyak tanah buat John dan bahan untuk membuat sebuah gaun baru. Ia akan memakai kembali renda dari baju beludru lamanya yang sudah tersimpan di peti. Kelak ia akan membuat sebuah gaun sutra beludru untuk gadis kecilnya, Louise.
            Lalu, mulailah pedal mesin jahit Mary berdengung bagaikan suara musik, karena Mary bernyanyi sambil menjahit. Louise yang berambut emas bermain dengan bekas gelondong benang dan penitu baju. Rumah kecil mereka yang bersih bersinar. Sebuah lampu baru mendapat kehormatan berada di atas meja baca John.
            Dengan hati riang, Mary menarik rambut coklatnya yang panjang ke bawah, dan menyikatnya di bawah terpaan cahaya mentari pagi. Lalu, ia mencoba gaun barunya, gaun dari kain yang tipis, warna merah muda yang lembut, dengan sedikit hiasan berwarna ungun dan renda. Selembar pita diikatkan di bagian punggungnya, dan Mary berputar-putar sampai Louise terpekik kegirangan. Saat itu sudah musim semi! Ia masih muda, baru 23 tahun, dan memiliki kehidupan baru serta Louise untuk ditimang-timang dan disayang. Gereja di tengah belantara, para pendatang yang mengerjakan lahan dengan muram, serta musim dingin yang panjang, telah mengasingkan seorang istri muda dalam dunia puisi dan lagunya. Namun, ia telah tumbuh untuk mengasihi orang-orang beriman dan berbagi sukaduka bersama mereka. Hari ini, ia menari dengan sukacita, bebas-lepas, dengan gaun bergelembungnya yang baru.
            Di tengah hangatnya mentari musim semi itu, Mary berbalik dan menghadapi John yang sedang marah. Ia begitu frustasi karena pengharapannya tak terpenuhi. “Pemborosan! Tidak ada perpustakaan, tidak ada buku – semua orang hanya membicarakan sapi, ayam, menabur benih dan panen.”
            Seperti gunung api yang meletus, John meledak oleh kemarahan dan merobek-robek baju baru Mary. Kemarahan John begitu meluap sehingga menimbulkan ketakutan yang besar. Ia pun keluar dan melampiaskan sisa kemarahannya pada ladang-ladang, sapi, dan ayam-ayam piaraan mereka. John seolah-olah ingin melompat dari Wisconsin ke New York, tempat perpustakaan favoritnya berada.
            Terpojok di sudut ruangan, Mary meraih Louise dan baju barunya yang telah terkoyak. Tubuhnya bergetar karena takut dan marah, sehingga ia justru tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tak dapat menangis. Ia hanya merasakan kekosongan yang sangat dan kerinduan kepada ibunya. Tak ada orang yang dapat ia datangi di tengah pertanian yang sunyi itu. Llau ia teringat pada Mazmur 34:5. “Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.” Kemudian ia meratap, begitu lama dan dalam, kepada Tuhan.”
            Mary pun berpikir untuk menjauh dari John. Ia berencana membuat kasur jerami di lotek dan mengajak Louise tidur bersamanya di sana. Ia akan membiarkan John tidur sendiri. Lalu ia melipat rok barunya dalam dos kecil, dan menyembunyikannya dalam peti. Kebetulan Pendeta Hansen akan berkunjung. Mary memutuskan untuk mencari kesempatan berbicara kepadanya dan menunjukkan rok barunya yang terkoyak-koyak. Ia akan meminta bantuan agar dapat meninggalkan John dan kembali pada ibunya. Lalu ia memakain bajunya yang berwarna suram, mengikat rambutnya dengan sederhana, seperti istri pendeta pada umumnya. Lalu ia menyiapkan makan malam. Ketika John pulang larut, makan malamnya sudah ada di tempat pemanas, sementara mary tertidur dengan Louise dalam pelukannya.
            Diam-diam John menyantap makan malamnya, dan mencari Mary. Saat menemukan mereka di Loteng, John meminta Mary kembali ke kamar dan menidurkan Louise dalam boksnya. Mary pun menurut saja. Kemarahan John telah reda, namun ia tak menyadari apa yang terjadi dalam lubuk hati istrinya.
            Hidup kembali berjalan seperti biasa, hanya Mary tak pernah lagi menyanyi. Langkah-langkah Mary pun kini diwarnai dengan kepahitan. Ia masih menunggu kesempatan yang tepat untuk menjalankan rencananya.
            Kedatangan Pendeta Hansen membawa sukacita besar bagi John karena keduanya dapat berdiskusi tentang buku-buku, teologi, dan konferensi gereja. Mary pun melayani mereka tanpa berkata banyak. Tak seorang pun menangkap kemarahan di balik wajah ramahnya, apalagi saat ia menyembah Allah bersama-sama jemaat yang setia. Yang jelas, ia hanya sedikit mendengar khotbah pendeta.
            Kebaktian yang terakhir hampir usai, namun Mary belum mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Pendeta Hansen. Ia harus segera berbicara siang ini, saat John hendak mengunjungi seorang jemaat, sementara Pendeta Hansen akan mempersiapkan khotbah untuk kebaktian sore. Jadi, ia memutuskan untuk mendengarkan khotbah pagi itu. Barangkali ia dapat menggunakan sedikit komentar Pendeta Hansen sebagai pembuka pembicaraan.
            “Bacaan kita hari ini diambil dari Markus 11:25. ‘Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah.’ Pengampunan bukan pilihan , tetapi kemauan, tindakan tegas, tanda ketaatan kepada perintah Allah. Setelah itu, barulah kita akan merasakan kedamaian. Ketika kita menyerahkan segala luka hari dan kekecewaan kita kepadanya, Allah akan mencurahkan kasih dan belas kasihan-Nya sehingga pemulihan akan terjadi.”
            Oh, tidak, seru Mary dalam hati. Aku tidak bisa memaafkan , dan aku tak mungkin melupakan kejadian itu.
            Selanjutnya sang pendeta berkata lagi, “Mungkin seseorang berpikir, aku tak mungkin melupakan, bahkan sekalipun aku dapat memaafkan. Benar. Anda memang mungkin tidak dapat melupakan kesalahan orang lain, tetapi Anda tak perlu dibuat sengsara oleh ingatan itu. Kasih dan pengampunan Allah akan menutupinya sampai kesannya benar-benar hilang. Saat Anda mengampuni, Anda harus menghancurkan bukti-bukti yang Anda miliki, dan ingatlah untuk tetap mengasihi.”
            John dan Pendeta Hansen pulang bersama penatua Olsen. Mary melangkah ke kereta, mengikat topi hitamnya dengan syal sambil memeluk Louise dengan hati-hati. Tatkala Dolly, kuda penarik kereta itu, mulai berjalan menuruni jalan, air mata Mary tumpah begitu deras.
            Ia tahu sekarang apa yang mesti ia lakukan. Ia akan menaati Allah. Lalu di suatu tempat, ia turun dan mengeluarkan dos tempat ia menyimpan gaun musim seminya yang robek-robek. Tangannya gemetar, rasanya ia tak mau melepaskannya.
            Ketika memanaskan makan malam, ia mengipas apinya dan menambah kayunya. Lalu ia menjerang air untuk membuat kopi dan menata meja. “Bukti itu harus segera dilenyapkan,” begitu suara hatinya. “Aku memaafkanmu, John.” Akhirnya ia mengambil gaunnya dengan satu tangan dan membuka perapian dengan tangan yang lain. Air mata Mary berkilat oleh cahaya api yang perlahan membakar habis gaun musim seminya.
            “Pengampunan yang sejati rela menghilangkan bukti,” kata-kata itu bergema sangat jelas di telinganya sehingga ia tak mendengar John masuk ke rumah. “Mary, apa yang kaulakukan?” Gemetar oleh tangis, Mary berkata,”Aku menghancurkan buktinya.”
            Kepada dirinya sendiri, ia berkata, “Persembahanku kepada Allah.”
            Lalu John pun teringat! Dengan wajah pucat dan tubuh bergetar, ia menggumam, “Maafkan aku.”
            Lima puluh delapan tahun kemudian, ketika John dipanggil Tuhan, Mary sangat kehilangan, dan ia bermimpi. Tiga malaikat mendatanginya dan berkata,”Datanglah, kita akan mengadakan pesta.” Dan , di tangan seorang dari mereka tampak sebuah gaun yang begitu indah, dipersiapkan untuknya.



Sang Pelukis


Oleh : Anonim
(Buku : Kisah Kasih Allah, Alice Gray)

Setelah menyelesaikan lukisannya yang terkenal berjudul Last Supper (Perjamuan Terakhir), Leonardo da Vinci meminta komentar dari seorang temannya. Sang teman melontarkan pujian-pujian terhadap karya besar itu dan secara khusus memuji cangkir anggur yang terletak di samping tangan Tuhan. Menanggapi hal itu, Leonardo kemudian justru menghapus cangkir itu dari lukisannya. “Tak ada sesuatu pun yang boleh mengalihkan perhatian kita dari Tuhan.”


Ia Butuh Putranya


Oleh : Anonim
(Buku : Kisah Kasih Allah, Alice Gray)

Seorang perawat menjagai seorang pemuda yang kelelahan dan cemas di samping tempat tidur seorang lelaki jompo.
            “Ini putramu datang,” bisiknya kepada si pasien. Perawat itu harus mengulangi kata-katanya beberapa kali sebelum mata si pasien terbuka. Ia dalam keadaan setengah sadar karena rasa sakit akibat serangan jantung dan dengan samar-samar ia melihat seorang lelaki muda dari balik alat bantu oksigennya.
            Ia meraih tangan pemuda itu yang segera menggenggam tangan si pria jompo. Melalui genggaman tangannya, si pemuda mengungkapkan dorongan yang membesarkan hati. Lalu si perawat membawakan sebuah kursi ke dekat tempat tidur itu. Sepanjang malam si pemuda duduk sambil memegang tangan pria jompo itu sambil menyampaikan kata-kata pengharapan yang lembut. Pria yang sedang menjelang ajal itu tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika ia memegang erat tangan putranya.
            Ketika fajar menjelang, si pasien mengembuskan napas penghabisan. Si pemuda meletakkan tangan yang telah digenggamnya semalaman itu ke tempat tidur, lalu ia pergi untuk memberi tahu perawat. Ketika perawat membereskan segalanya, si pemuda dengan sabar menunggu. Setelah menyelesaikan tugasnya, si perawat menyampaikan kata-kata belasungkawa kepada si pemuda. Namun pemuda itu menyela pembicaraannya.
            “Siapa ornag itu?” tanyanya.
            Perawat itu terkejut dan berkata,”Lo, saya kira ia ayahmu.”
            “Oh, itu bukan ayah saya,” jawabnya. “Seumur hidup saya belum pernah bertemu dengannya.”
            “Kalau begitu mengapa engkau diam saja waktu kuajak mendampinginya?” tanya si perawat.

            Pemuda itu menjawab,”Yang saya tahu adalah, ia membutuhkan kehadiran putranya, yang tidak ada di sini. Waktu saya menyadari bahwa sakitnya terlalu parah sehingga ia tidak bisa membedakan apakah saya putranya atau bukan, saya tahu bahwa ia sangat membutuhkan saya.”

Kesepian


Oleh : Anonim
(Buku : Kisah Kasih Allah, Alice Gray)

Bocah lelaki itu duduk berdempetan begitu rapat dengan seorang wanita bergaun abu-abu, sehingga setiap orang yakin ia anak wanita itu. Tak heran jika ketika anak itu tanpa sengaja menggerakkan sepatunya yang berlumpur ke rok berbahan halus yang dipakai seorang wanita di sebelah kirinya, wanita itu mencondongkan badannya dan berkata,”Maafkan saya, Ibu, tolong awasi putra kecil Anda. Ia mengotori rok saya dengan lumpur di sepatunya.”
            Wanita yang bergaun abu-abu itu agak tersipu-sipu dan mendorong anak itu menjauh.
            “Anak saya?”katanya. “Astaga, ia bukan anak saya.”
            Anak itu menggeliat dengan gelisah. Anak itu begitu kecil sehingga tidak bisa menjejakkan kakinya ke lantai, maka ia menjulurkan kakinya harus ke depan seperti gantungan, dan memandangi kakinya dengan malu.
            “Maaf, saya mengotori gaun Ibu,” katanya kepada wanita di sebelah kirinya. “Semoga bisa disikat bersih.”
            “Oh, tidak apa-apa,” jawab wanita itu. Kemudian, karena mata bocah itu masih menatapnya, ia menambahkan,”Apakah kamu pergi ke kota sendirian?”
            “Ya,Bu,” katanya. “Saya selalu bepergian sendiri. Tak ada yang bisa menemani saya. Ayah dan ibu saya sudah meninggal. Saya tinggal bersama Bibi Clara di Brooklyn, tapi katanya Bibi Anna juga punya kewajiban merawat saya, maka satu atau dua kali seminggu, kalau Bibi Clara capai dan ingin pergi ke suatu tempat untuk beristirahat, ia menyuruh saya tinggal bersama Bibi Anna. Sekarang saya akan ke sana. Kadang-kadang saya tidak menjumpainya di rumah, tapi kali ini saya harap ia ada di rumah, karena tampaknya hari akan hujan, dan saya tak ingin keluyuran di jalan pada saat hujan.”
            Wanita itu merasakan sesuatu menyekat di tenggorokkannya, dan berkata dengan suara gementar,”Engkau terlalu kecil untuk pergi sendiriain.”
            “Oh, itu tidak menjadi masalah buat saya,” kata bocah itu. “Saya tidak pernah tersesat. Hanya, kadang-kadang saya merasa kesepian waktu melakukan perjalanan jauh, sehingga ketika melihat seseorang yang saya suka dan saya rasa cocok menjadi anaknya, saya akan merapat kepadanya sehingga saya dapat berpura-pura seperti anakny. Pagi ini saya pura-pura menjadi anak ibu ini, sampai-sampai saya lupa menjaga kaki saya. Karena itulah, saya mengotori gaun Ibu.”

            Wanita itu merangkul bocah itu erat-erat sampai-sampai hampir menyakitinya. Ddan setiap wanita lain yang telah mendengar perkataan bocah yang begitu naif itu melihat bahwa tampak wanita itu tidak hanya akan membiarkan bocah itu mengusapkan sepatunya ke gaun terbaiknya, ia bahkan mengharapkan itu terjadi.

Untuk Tetangga Saya


Oleh : Ibu Teresa
(Buku : Kisah Kasih Allah, Alice Gray)

Suatu malam seorang lelaki datang ke rumah kami dan berkata, “Ada sebuah keluarga dengan delapan anak. Mereka belum makan selama beberapa hari.” Saya pun membawa sedikit makanan dan pergi ke sana.
                Ketika akhirnya saya sampai ke rumah keluarga itu, saya melihat wajah-wajah bocah kecil yang muram karena kelaparan. Namun, tak tampak derita atau kesedihan di wajah mereka, yang tampak hanya rasa sakit yang mendalam karena lapar.
                Saya memberikan nasi kepada Ibu mereka. Namun, ia malah membaginya menjadi dua, dan ke luar rumah sambil membawa setengah bagian nasi itu. Ketika ia kembali, saya bertanya,”Ibu dari mana?” Ia menjawab dengan lugu,”Ke rumah tetangga saya, mereka juga lapar!”

                ... Saya terkejut bukan karena ia memberikan nasi itu, karena orang miskin biasanya justru sangat dermawan, tetapi karena ia tahu bahwa tetangganya juga lapar. Padahal, lazimnya kalau kita menderita, kita menjadi begitu memusatkan perhatian pada diri sendiri sehingga tak sempat lagi memikirkan orang lain.