Yesus Gembala yang Baik.

Sabtu, 04 Juni 2016

Tiga Surat dari Teddy


Oleh : Elizabeth Silance Ballard
Dari Buku : Kisah Kasih Allah

Surat Teddy datang hari ini. Setelah membacanya, saya akan menyimpannya dalam laci lemari kayu beserta barang-barang lain yang penting bagi hidup saya.
            “Saya ingin Ibu yang pertama kali tahu.”
            Saya tersenyum membaca kata-kata pertama yang ditulisnya dan hati saya melambung oleh kebanggaan yang sepertinya tidak layak saya terima. Saya sudah tidak pernah bertemu dengan Teddy Stallard sejak ia masih duduk di kelas lima, lima belas tahun lalu. Saat itu adalah awal karier saya, dan saya sudah mengajar selama dua tahun.
            Sejak hari pertama masuk kelas, saya tak suka pada Teddy. Para guru (meski setiap orang berbeda) tidak dianjurkan memiliki perasaan tertentu di kelas, terutama tidak boleh menunjukkan rasa tak suka pada anak, siapa pun itu.
            Namun setiap tahun ada saja satu atau dua anak yang menjadi kesayangan, karena para guru juga manusia, dan wajar bila kita cenderung menyukai orang yang cerdas, cantik, cakap, pintar. Kadang-kadang – tidak terlalu sering memang- akan selalu ada satu-dua anak yang tidak disukai guru.
            Tadinya saya pikir akan mampu mengatasi perasaan itu, sampai Teddy masuk dalam hidup saya. Saya tidak menganakemaskan seorang murid pun pada tahun itu, tetapi yang pasti Teddy adalah murid yang tidak saya sukai.
            Ia kotor. Bukan hanya sesekali, tetapi selalu kotor. Rambutnya panjang menutupi telinga, sampai ia harus memegangi atau mengikatnya saat menulis di kelas. (Hal ini terjadi sebelum model rambut seperti itu menjadi tren di kalangan anak muda!) Ditambah lagi, ia punya bau badan yang khas.
            Ia punya banyak kelemahan fisik, dan kecerdasannya pun jauh dari harapan. Sebelum akhir minggu pertama, saya sudah tahu bahwa ia jauh tertinggal dibandingkan murid lain. Masih pula ia lambat mengejar ketinggalannya! Sebab itu, say amulai menjaga jarak dengannya.
            Setiap guru pasti akan mengatakan bahwa lebih menyenangkan mengajar anak cerdas. Tentu saja, karena itu lebih memuaskan ego seseorang. Namun, setiap guru yang baik harus tetap memperhatikan anak cerdas itu , agar terus tertantang dan belajar, sementara pada saat yang sama si guru juga mengerahkan upayanya untuk membantu anak yang lebih lambat. Setiap guru dapat melakukan hal itu. Sebagian besar guru melakukannya, tetapi saya tidak, tidak untuk tahun itu.
            Kenyataannya, saya memusatkan perhatian pada para murid terbarik dan membiarkan mereka mengerjakan hal terbaik yang mampu mereka lakukan. Dengan agak malu untuk mengakui, saya merasa sedikit senang saat menggunakan pulpen merah saya. Apalagi setiap kali memeriksa pekerjaan Teddy, tanda silang (yang banyak jumlahnya) selalu saya buat lebih besar dan lebih merah daripada yang seharusnya.
            “Pekerjaan yang buruk!” tulis saya dengan mantap.
            Meski saya tidak mencemooh anak itu secara langsung, tetapi sikap saya menunjukkannya dengan jelas, karena dengan cepat ia menjadi orang “kelas kambing” di kelas itu, orang yang disingkirkan : tidak menarik dan tidak pantas dikasihi.
            Ia tahu saya tak menyukainya, tapi ia tidak tahu sebabnya. Demikian pula saya. Sesungguhnya, baik dulu maupun sekarang, saya tidak tahu mengapa saya tidak menyukainya. Yang saya tahu, ia adalah anak kecil yang tidak dipedulikan oleh siapa pun, dan saya tak melakukan apa-apa untuk membantunya.
            Hari terus bergulir. Kami melewati Pesta Musim Gugur, liburan hari Pengucapan Syukur, dan saya masih terus menorehkan tanda merah dengan pulpen saya.
            Saat liburan Natal semakin dekat, saya tahu bahwa Teddy tidak akan ernah naik ke kelas enam.
            Untuk membenarkan diri sendiri, saya terus memandangi nilai-nilainya. Ia mendapat nilai yang rendah selama empat tahun pertama belajar, tetapi ia tak pernah tidak naik kelas. Bagaimana itu bisa terjadi, saya tak tahu. Sampai akhirnya saya melihat sebuah catatan khusus di rapornya.
            Kelas satu : Teddy berjanji untuk memperbaiki prestasi dan sikapnya. Ia menghadapi situasi keluarga yang menyedihkan. Kelas dua : Teddy dapat melakukan yang lebih baik. Ibunya sakit parah. Ia hanya mendapat sedikit perhatian di rumah. Kelas tiga : Teddy adalah anak yang menyenangkan. Ibunya meninggal pada akhir tahun. Kelas empat : sangat lambat, tetapi berkelakuan baik. Ayahnya tak punya perhatian.
            Ya, para guru telah meluluskannya empat kali, tetapi ia pasti mengulang kelas lima ini! Ini demi kebaikannya! Saya berkata kepada diri sendiri.
            Dan, tibalah hari terakhir sebelum libur. Pohon kecil kami yang ada di atas meja baca dihiasi dengan kertas dan rantai pop-corn. Banyak hadiah di bawahnya, menanti saat istimewa itu.
            Para guru selalu mendapat hadiah saat Natal, tetapi hadiah saya tahun itu tampaknya lebih besar dan lebih bermacam-macam daripada sebelumnya. Tak ada murid yang tidak membawa hadiah. Setiap hadiah yang dibuka menimbulkan jeritan kesukaan, dan pemberinya akan menerima ucapan terima kasih yang berlebihan.
            Hadiah Teddy bukan yang terakhir saya ambil; karena ada di tengah tumpukan. Dibungkus kertas cokelat, dan direkatkan dengan plester. Lalu ia menggambar pohon Natal dan lonceng merah di depannya.
            “Buat Bu Thompson , dari Teddy.” Demikianlah pesannya.
            Kelas benar-benar hening. Dan, untuk pertama kalinya saya merasa menjadi pusat perhatian. Saya malu karena mereka semua berdiri menatap saya membuka hadiah itu.
            Saat saya melepaskan plester terakhir, dua benda jatuh ke meja: sebuah gelang dengan beberapa batu permata yang hilang dan sebotol kecil minyak wangi yang isinya tinggal setengah.
            Saya mendengar suara tertawa dan bisik-bisik, dan tiba-tiba saya memandang Teddy.
            “Bukankah ini sangat indah?” tanya saya sambil memasang gelang. “Teddy, kau bisa menolong Ibu mengencangkannya?”
            Ia tersipu malu saat mengikatkan gelang itu, dan saya mengangkat pergelangan tangan supaya mereka bisa mengaguminya.
            Beberapa anak merasa heran dan ragu, tetapi saat saya mengoleskan minyak wangi itu di belakang telinga saya, semua anak perempuan berbaris untuk mengoleskannya juga.
            Saya melanjutkan membuka hadiah hingga tumpukan paling bawah. Kemudian kami menikmati bekal makanan kami, sampai akhirnya bel berbunyi.
            Anak-anak pun bubar sambil berseru, “Sampai jumpa tahun depan!” dan “Selamat Natal!” Namun, Teddy tetap duduk di bangkunya.
            Ketika mereka semua sudah keluar, ia berjalan menghampiri saya, sambil mendekap hadiah dan buku-buku di dadanya.
            “Ibu harum seperti Mama,” katanya lembur. “Gelang Mama juga tampak cantik dipakai Ibu. Saya senang Ibu menyukainya.”
            Lalu ia segera keluar. Saya mengunci pintu, duduk di meja, dan menangis. Saya berketetapan untuk memperbaiki semua yang selama ini telah saya rampas dengan sengaja dari diri Teddy – menjadi seorang guru yang peduli.
            Saya meluangkan waktu setiap sore bersama Teddy, dari akhir libur Natal sehingga akhir masa sekolah. Terkadang saya membantunya belajar. Kadang ia bekerja sendiri sementara saya merencanakan pelajaran dan tugas-tugas mendatang.        
            Perlahan namun pasti, ia mengejar ketertinggalannya. Bahkan , nilai rata-rata akhirnya termasuk yang tertinggi di kelas. Dan meskipun saya tahu ia akan pindah kelak, saya tidak khawatir. Teddy telah menjadi pribadi yang sanggup bertahan menghadapi tahun-tahun yang akan datang, ke mana pun ia pergi. Ia telah menikmati satu langkah sukses, dan selanjutnya, seperti yang telah diajarkan di pelatihan guru: “Kesuksesan yang satu menciptakan kesuksesan berikutnya.”
            Saya tidak mendengar kabar dari Teddy hingga tujuh tahun kemudian, saat surat pertamanya muncul di kotak surat.

            Bu Thompson yang baik,
            Saya ingin Ibu yang pertama tahu, bahwa saya akan lulus sebagai peringkat kedua di kelas saya bulan depan.
            Salam kasih,
            Teddy Stallard

            Saya mengiriminya kartu ucapan selamat dan paket kecil berisi pulpen dan pensil. Saya bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya setelah lulus nanti.
            Empat tahun kemudian, surat Teddy tiba.

            Bu Thompson yang baik,
            Saya ingin Ibu yang pertama kali tahu berita ini. Saya baru dapat informasi bahwa saya akan menjadi lululusan terbaik di kelas saya. Universitas    bukanlah hal yang mudah , tapi saya menyukainya.
            Salam hangat,
            Teddy Stallard.

            Saya mengiriminya sepasang manset perak murni bertatahkan huruf timbul dan selembar kartu, dengan kebanggaan yang dalam atas prestasinya! Dan sekarang, surat Teddy yang ketiga.

            Bu Thompson yang baik,
            Saya ingin Ibu yang pertama kali tahu. Saya sekarang adalah Theodore Stallard, MD. Cukup keren, kan?!
            Saya akan menikah pada tanggal 27 Juli. Saya ingin mengundang Ibu untuk datang dan duduk di tempat Mama – seandainya ia masih hidup. Saya sudah tak punya keluarga lagi karena Ayah sudah meninggal tahun lalu.
            Salam hangat,
            Teddy Stallard

            Saya tidak tahu hadiah apa yang pantas bagi seorang dokter yang baru lulus dari sekolah kedokteran. Namun, saya rasa kado masih bisa menanti, tetapi kartu ucapan selamat harus segera dikirimkan.

            Ted yang baik,
            Selamat! Kamu sudah berhasil, dan kamu melakukannya sendiri! Hari istimewa ini datang bukan karena saya dan bukan karena kita, tetapi karena usahamu yang keras.
            Tuhan memberkatimu. Saya akan hadir pada hari pernikahanmu, saat lonceng pernikahan berdentang!


            Elizabeth Silance Ballard.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar