Yesus Gembala yang Baik.

Selasa, 07 Juni 2016

Sekeping Pecahan Porselen


Bettie B. Youngs
Dari Buku : Kisah Kasih Allah

Suatu ketika, saat saya masih berusia kira-kira sembilan tahunan, Ibu pergi ke kota dan menugaskan saya menjaga saudara perempuan dan laki-laki saya. Begitu Ibu berangkat, saya berlari memasuki kamar tidurnya dan membuka lemari rias untuk menggeledak isinya.
            Di laci atas, di bawah pakaian dewasa yang halus dan berbau wangi, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil dari kayu. Saya begitu terpesona melihat perhiasan di dalamnya – cincin rubi peninggalan bibi kesayangan Ibu; anting-anting mutiara yang tadinya milik Nenek; bando pernikahan Ibu yang dilepasnya ketika membantu Ayah bekerja di pertanian.
            Saya mencoba semua perhiasan itu, sambil berangan-angan membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang wanita cantik seperti Ibu dan memiliki sendiri benda-benda indah seperti itu.
            Kemudian, saya melihat sesuatu yang terselip di balik laken merah lapisan penutupnya. Setelah mengangkat kain itu, saya menemukan kepingan kecil pecahan dari porselen.
            Saya memungutnya. Sungguh aneh, mengapa Ibu menyimpan pecahan kecil seperti itu? Saya mengamatinya di bawah kilauan cahaya lampu, namun hal itu tak memberi jawaban.
            Beberapa bulan kemudian, saat saya menyiapkan meja untuk makan malam, tetangga kami, Marge, mengetuk pintu. Ibu yang sedang sibuk di perapian, menyuruhnya untuk langsung masuk. Sambil melirik ke meja makan, Marge berkata,”Wah, tampaknya kau sedang menunggu tamu. Kalau begitu lain kali saja aku mampir lagi.”
            “Oh, tak apa-apa, masuk sajalah,” jawab Ibu. “Kami tidak sedang menunggu siapa pun.”
            “Tapi, bukankah itu adalah perlengkapan porselen terbaikmu?” tanya Marge. “Aku takkan pernah membiarkananak-anak menangani piring-piring terbaikku!”
            Ibu tertawa,”Malam ini aku menyajikan menu favorit keluarga. Kalau kau memakai peralatan makan terbaik untuk menjamu tamu istimewa, mengapa untuk keluarga sendiri kau tidak melakukan hal yang sama?”
            “Tapi, peralatan makan perselenmu cantik!” jawab Marge.
            “Yah, begitulah” kata Ibu, “sedikit piring pecah hanyalah harga yang murah untuk membayar sukacita yang dirasakan ketika kami menggunakannya.” Lalu, ia menambahkan, “Di samping itu, setiap kepingan dan retakan selalu ada kisahnya sendiri.”
            Sambil meraih ke lemari makanan, Ibu menarik keluar sebuah piring yang sudah pecah namun disatukan kembali. “Yang ini pecah pada hari ketika kami membawa Mark pulang dari rumah sakit,” katanya. “Betapa dingin dan kencangnya angin sore itu! Judy baru berumur enam tahun, tapi ia ingin membantu. Ia menjatuhkan piring itu ketika sedang membawanya ke bak cucian.”
            “Mulanya aku jengkel, tapi kemudian aku berkata kepada diri sendiri,’Aku tak akan membiarkan piring pecah itu menghubah kebahagiaan yang kami rasakan saat menyambut bayi baru kami.’ Di samping itu kami semua justru menikmati saat-saat merekatkan kepingan-kepingan piring itu kembali menjadi satu!”
            Marge tampaknya tidak begitu percaya.
            Ibu kembali menuju lemari makan dan mengeluarkan sebuah piring lagi. Sambil memegangnya ia berkata,”Kau lihat pecahan di pinggiran ini? Ini terjadi ketika aku berumur 17 tahun.”
            Suaranya melembut “Suatu hari di musim gugur saudara-saudara lelakiku membantu menanta jerami terakhir di musim gugur. Mereka juga mempekerjakan seorang lelaki muda untuk membantu kami. Pemuda itu ramping, memiliki lengan yang kokoh dan rambut pirang yang lebat. Ia juga memiliki senyum yang menawan.”
            “Saudara-saudara lelakiku menyukainya dan mengundangnya makan malam. Ketika kakakku memintanya duduk di sebelahku, aku menjadi grogi, sampai-sampai hampir pingsan.”
            Tiba-tiba ketika tersadar ia sedang bercerita kepada putrinya yang masih dan tetangganya, Ibu tersipu-sipu dan pergi cepat-cepat. “Lalu, ia mengulurkan piringnya kepadaku dan meminta tolong. Namun, aku begitu gugup sehingga ketika menerimanya, piring itu tergelincir dan membentur mangkuk tempat masakan.”
            “Kedengarannya seperti kenangan yang memalukan,” kata Marge.
            “Oh, justru tidak,” tukas ibu saya. “Ketika pemuda itu hendak pulang, ia berjalan mendekat, memegang tanganku dan menaruh kepingan porselen itu di telapak tanganku. Tanpa sepatah kata pun. Ia hanya menyunggingkan senyumnya yang menawan itu.”
            “Satu tahun kemudian aku menikah dengannya. Dan, sampai hari ini, kalau aku melihat piring ini, dengan rasa cinta aku mengenang saat berjumpa dengannya.”
            Karena melihat saya membelalakan mata, Ibu mengedipkan matanya. Kemudian, dengan hati-hati ia meletakkan piring itu kembali, di balik piring-piring yang lain, di tempatnya masing-masing.
            Saya belum melupakan piring yang sebagian kepingannya hilang itu. Begitu aku kesempatan, saya pun bergegas ke kamar Ibu dan mengeluarkan kotak perhiasan kayu itu lagi. Di sana keping pecahan porselen itu masih ada.
            Saya mengamat-amatinya dengan cermat, lalu berlari ke lemari dapur, menarik kursi, menaikinya, dan mengeluarkan sebuah piring. Tepat seperti yang saya duga, kepingan yang disimpan Ibu dengan hati-hati itu merupakan pecahan dari piring yang dipecahkannya ketika bertemu ayah.
            Sekarang saya jadi lebih tahu, dan lebih hormat, sehingga dengan hati-hati saya mengembalikan kepingan itu ke tempatnya, di antara batu-batu permata.
            Kisah cinta yang dimulai dengan kepingan itu sekarang telah berusia 54 tahun. Baru-baru ini salah satu saudara perempuan saya meminta agar kelak cincin antik berbatu rubi itu boleh menjadi miliknya. Saudari saya yang lain meminta anting-anting mutiara nenek.
            Sedangkan saya, saya ingin harta ibu yang paling berharga, suatu kenang-kenangan rasa cinta yang luar biasa; kepingan porselen itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar