Yesus Gembala yang Baik.

Rabu, 23 Januari 2013

Hadiah Natal Terbaik

Rian B. Anderson
Standard Vol. VIII No.8 (Desember 2012)

Menjelang Natal tahun 1881, saya berusia lima berlas tahun dan merasa seakan-akan dunia telah runtuh karena belum cukup uang untuk membeli senapa yang saya inginkan di hari Natal.
                Kami melakukan tugas-tugas  lebih awal malam itu untuk beberapa alasan. Ayah saya membutuhkan sedikit waktu ekstra sehingga kami bisa membaca Alkitab bersama. Setelah makan malam, saya melepaskan sepatu boot dan meletakannya di depan perapian dan menunggu ayah membaca Alkitab tua miliknya. Saat itu saya masih mengasihani diri sendiri dan sejujurnya, saya tidak mempunyai suasana hati yang baik  untuk membaca Alkitab. Pembacaan itu tidak jadi, ayah saya membungkus kembali Alkitab itu dan pergi ke luar. Saya tidak bisa memahami hal itu karena kami sudah melakukan semua tugas-tugas yang ada.
                Ayah saya masuk lagi ke rumah tampak ada salju yang menempel di jenggotnya. “Ayo, Matt,” katanya, “Pakai baju yang tebal, di luar sangat dingin malam ini.”
                Saya marah saat itu. BUkan hanya tidak mendapatkan senapan untuk Natal, sekarang ayah menyuruh saya keluar dalam keadaan yang begitu dingin, dan tanpa alasan rasional yang jelas. Lagi pula kami sudah melakukan semua pekerjaan, dan saya tidak bisa memikirkan hal lain yang perlu dilakukan, apalagi pada malam seperti ini. Tapi akrena ayah saya sangat tidak sabar ketika ia meminta kami melakukan sesuatu, saya bangun dan memakai sepatu boot, topi, mantel dan sarung tangan. Ibu saya menunjukkan senyuman yang misterius saat saya membuka pintu keluar rumah. Pasti ada sesuatu tapi saya tidak tahu apa itu.
                Di luar, saya menjadi lebih kecewa lagi. Di depan rumah kereta yang besar sudah terpasang. Apapun itu tampaknya bukanlah pekerjaan yang kecil. Karena kami tidak pernah memasang kereta ini kecuali untuk mengangkut beban yang besar. Saya sudah duduk di kursi, kendali ada di tangan ayah saya. Sejujurnya saya enggan naik di sampingnya, rasa dingin sungguh menggigit, saya sungguh tidak senang.
                Ayah saya menarik kereta dan berhenti di depan gudang kayu. Dia turun dan saya mengikutinya dari belakang.  Ia masuk ke gudang kayu dan keuar dengan setumpuk kayu yang saya bawa turun dari gunung di sepanjang musim panas, dan kemudian menggergajinya menjadi balok dan papan di sepanjang musim gugur. Apa yang ia lakukan? Akhirnya saya menanyakan kepadanya,”Ayah, apa yang ayah lakukan?” “Kamu ingat janda Jensen?” tanyanya. Janda Jensen tinggal dua mil dari jalanan. Suaminya meninggal satu tahun lebih yang lalu dan meninggalkan untuknya tiga orang anak, yang tertua berusia delapan tahun. “Ya,” kata saya, “ada apa?”
“Hari ini saat ayah menunggang kuda, si kecil Jakey keluar dari rumah mencari potongan kayu. Mereka kehabisan kayu bakar, Matt.” Itu penjelasan ayah saya yang kemudian berbalik untuk mengeluarkan kayu lainnya. Saya mengikutinya.
                Kami memuati kereta kuda dengan begitu tinggi, saya sangsi apakah kuda kami akan mampu menariknya. Kemudian kami pergi ke toko dan ayah membeli daging ham dan bacon yang berukuran besar. Ia menyerahkan semua daging itu pada saya dan menyuruh saya untuk meletakkan dan menunggu di kereta. Ketika kembali, ia memikul sekarung tepung di atas bahu kanan dan sepatu di tangan kirinya. “Apa yang ada di kantong kecil itu ayah?” tanya saya. “Sepatu. Mereka kehabisan sepatu. Jakey kecil membelitkan karung goni di kakinya ketika sedang berada di tumpukan kayu pagi ini. Ayah juga membawakan permen untuk mereka. Rasanya tidak cukup merayakan Natal tanpa permen kecil.”
                Saya tidak habis pikir mengapa ayah saya berbuat demikian? Kami tidak punya banyak  materi menurut standar duniawi. Kami memang punya  tumpukan kayu yang besar, meskipun yang tersisa kini masih dalam bentuk gelondongan yang harus saya gergaji sebelum dapat digunakan. Kami juga memiliki cadangan daging dan tepung. Tapi saya tahu kami sedang tidak punya uang. Jadi mengapa ayah saya membelikan sepatu dan permen untuk mereka? Lagi pula janda Jensen memiliki tetangga yang lebih dekat daripada kami; keluarga itu seharusnya bukan menjadi tanggung jawab kami.
                Kami berada di sisi yang gelap dari rumah janda Jensen yang sunyi dan lalu membongkar kayu-kayu itu sepelan mungkin. Kemudian kami membawa daging, tepung dan sepatu menuju ke pintu. Kami mengetuk pintu yang kemudian terbuka sedikit dan terdengar suara yang malu-malu berkata,”Siapa ya?” “Saya Miles Lucas , dan anak saya, Matt. Bisakah kami mampir sebentar?”
                Janda Jensen mempersilahkan kami masuk. Dia mengenakan selimut yang dibelitkan ke bahunya. Anak-anak dibungkus dengan selimut lainnya dan duduk di depan perapian dengan api sangat kecil yang hampir tidak memberi kehangatan. Janda Jensen meraba-raba untuk mencari korek api dan akhirnya menyalakan lampu.
                “Kami membawa beberapa barang untuk kalian,” kata ayah saya sambil meletakkan karung tepung di lantai. Sementara saya meletakkan daging di atas meja. Ia pun menyerahkan kantong  yang berisi sepatu. Janda Jensen ragu-ragu membukanya dan mengambil keluar sepasang sepatu sekaligus. Ada sepasang untuk janda Jensen dan masing-masing satu pasang untuk anak-anak; sepatu yang kuat, yang terbaik dan tahan lama. Saya mengamati ibu itu dengan cermat. Ia menggigit bibir  bawahnya agar tidak gemetar dan kemudian air mata memenuhi mata dan mulai mengalir di pipinya. Ia menatap ayah saya seperti ingin katakan sesuatu, tapi tidak bisa keluar dari mulutnya.
                “Kamu juga membawakan kayu untuk Anda,” kata ayah saya yang berpaling pada saya dan berkata,”Matt bawa kayu secukupnya agar api dapat bertahan. Tambah besar api itu sehingga menghangatkan tempat ini.” Saya bukan orang yang sama lagi  ketika keluar untuk membawa kayu bakar.  Saya merasa ada benjolan yang amat besar di tenggorokan saya dan sebenarnya saya sangat benci untuk mengakuinya, ada air mata di mata saya juga. Di dalam benak saya, saya melihat ketika anak-anak itu berkerumun di  sekitar perapian dan ibu mereka yang berdiri di sana dengan air mata yang mengalir di pipi dan sambil bersyukur di dalam hatinya. Hati saya berbunga-bunga dan sukacita yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya memenuhi jiwa saya. Saya telah berkali-kali memberikan hadiah Natal sebelumnya, tetapi tidak pernah mengalami yang begitu berbeda. Saya bisa melihat bahwa kami benar-benar secara literal menyelamatkan nyawa orang-orang itu.
                Segera sukacita dalam diri saya dan semua orang yang melonjak. Anak-anak mulai tertawa saat ayah saya menyerahkan sepotong permen untuk anak-anak dan janda Jensen memandang dengan senyum yang mungkin tidak terlintas di wajahnya untuk waktu yang lama. Akhirnya ia berpaling kepada kami dan berkata,”Tuhan memberkati kalian, saya tahu Tuhan telah mengutus kalian. Saya dan anak-anak telah berdoa semoga Dia mengutus salah satu malaikatNya untuk menyiapkan kebutuhan kami.” Tanpa bisa saya cegah, benjolan itu kembali ke tenggorokan saya dan air mata menggenang di mata saya lagi. Saya tidak pernah memikirkan ayah saya dengan istilah itu sebelumnya, tapi setelah janda Jensen menyebutkan itu, saya bisa melihat bahwa itu mungkin benar. Saya rasa orang yang lebih baik daripada ayah saya tidak akan pernah ada di bumi ini. Saya mulai teringat saat-saat ia pergi dan pulang membawa oleh-oleh untuk ibu saya dan saya dan juga orang lainnya. Daftar itu kelihatannya tidak habis-habisnya.
                Ayah saya bersikeras agar semua orang mencoba sepatu mereka masing-masing sebelum kami pergi. Saya terkejut karena semua sepatu cocok dan saya heran bagaimana ia tahu ukuran sepatu yang harus ia beli. Saya menduga, jika ia melakukan tugas Tuhan, Tuhan yang akan memastikan ukuran yang tepat.  Air mata mengalir di wajah janda Jensen lagi ketika kami berdiri untuk pamit pulang. Ayah saya meraih anak-anak itu di lengannya yang besar dan memberi mereka pelukan . Mereka menempel kepadanya dan tidak ingin kita pergi. Saya bisa melihat betapa mereka kehilangan kasih sayang ayah mereka dan saya bersyukur karena masih mempunyai seorang ayah.
                Di pintu depan ayah saya berkata, “Isteri saya meminta saya untuk mengundang Anda dan anak-anak untuk makan malam Natal besok. Ayam kalkun akan terlalu besar bagi kami bertiga, dan seorang pria akan cepat naik darah jika makan kalkun terlalu banyak. Kami akan datang menjemput kalian pada jam sebelas. Akan sangat menyenangkan dikelilingi oleh beberapa anak-anak kecil itu lagi.”
                Saya adalah anak bungsu. Dua orang saudara laki-laki dan dua saudara perempuan saya telah menikah dan semua sudah pindah. Janda Jensen mengangguk dan berkata,”Terima kasih, Pak Miles. Semoga Tuhan memberkati bapak, saya tahu Dia pasti akan melakukannya.”
                Ketika berada di kereta kuda, saya merasakan kehangatan yang berasal dari dalam. Saya bahkan tidak menyadari dinginnya udara di luar. Ayah saya berkata,”Matt, ayah ingin kamu tahu sesuatu. Ibumu dan ayah telah menyelipkan sedikit uang di sana-sini sepanjang tahun untuk membelikan senapan bagi kamu, tapi belum terlalu cukup. Lalu kemarin seorang pria yang sedikit berhutang uang selama bertahun-tahun datang untuk membuat segala sesuatu menjadi sempurna. Ibu mu dan ayah benar-benar bergembira, kami berpikir bahwa sekarang kita bisa mendapatkan senapan itu, dan ayah pergi ke kota pagi ini untuk membelinya, tetapi dalam perjalanan ayah melihat di kecil Jakey menggaruk-garuk badannya di tumpukan kayu dengan kakinya yang dibungkus karung goni dan ayah tahu apa yang harus ayah lakukan. Matt, ayah telah menghabiskan semua uang untuk sepatu dan permen kecil bagi anak-anak itu. Ayah harap kamu mengerti.”
                Saya mengerti, dan mata saya menjadi basah dengan air mata lagi. Saya sangat memahami, dan saya sangat senang ayah saya melakukan hal itu. Sekarang senapan tampak sangat rendah di dalam daftar prioritas saya. Ayah saya telah memberikan pada saya lebih banyak. Dia telah memberi saya ekspresi wajah janda Jensen dan senyum berseri-seri dari tiga anaknya.
                Selama sisa hidup saya, setiap kali saya melihat salah satu keluarga Jensens, atau membelah balok kayu, saya ingat, dan singat yang membawa kembali sukacita yang sama yang saya rasakan ketika duduk di samping ayah saya saat mengendarai kereta pulang ke rumah malam itu. Ayah saya telah memberikan kepada saya lebih daripada senapan pada malam itu, dia telah memberi pada saya Natal yang terbaik dalam hidup saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar