Rian B. Anderson
Standard Vol. VIII No.8 (Desember 2012)
Menjelang Natal tahun 1881, saya berusia lima berlas
tahun dan merasa seakan-akan dunia telah runtuh karena belum cukup uang untuk
membeli senapa yang saya inginkan di hari Natal.
Kami
melakukan tugas-tugas lebih awal malam
itu untuk beberapa alasan. Ayah saya membutuhkan sedikit waktu ekstra sehingga
kami bisa membaca Alkitab bersama. Setelah makan malam, saya melepaskan sepatu
boot dan meletakannya di depan perapian dan menunggu ayah membaca Alkitab tua
miliknya. Saat itu saya masih mengasihani diri sendiri dan sejujurnya, saya
tidak mempunyai suasana hati yang baik
untuk membaca Alkitab. Pembacaan itu tidak jadi, ayah saya membungkus
kembali Alkitab itu dan pergi ke luar. Saya tidak bisa memahami hal itu karena
kami sudah melakukan semua tugas-tugas yang ada.
Ayah
saya masuk lagi ke rumah tampak ada salju yang menempel di jenggotnya. “Ayo,
Matt,” katanya, “Pakai baju yang tebal, di luar sangat dingin malam ini.”
Saya
marah saat itu. BUkan hanya tidak mendapatkan senapan untuk Natal, sekarang
ayah menyuruh saya keluar dalam keadaan yang begitu dingin, dan tanpa alasan
rasional yang jelas. Lagi pula kami sudah melakukan semua pekerjaan, dan saya
tidak bisa memikirkan hal lain yang perlu dilakukan, apalagi pada malam seperti
ini. Tapi akrena ayah saya sangat tidak sabar ketika ia meminta kami melakukan
sesuatu, saya bangun dan memakai sepatu boot, topi, mantel dan sarung tangan.
Ibu saya menunjukkan senyuman yang misterius saat saya membuka pintu keluar
rumah. Pasti ada sesuatu tapi saya tidak tahu apa itu.
Di
luar, saya menjadi lebih kecewa lagi. Di depan rumah kereta yang besar sudah
terpasang. Apapun itu tampaknya bukanlah pekerjaan yang kecil. Karena kami
tidak pernah memasang kereta ini kecuali untuk mengangkut beban yang besar.
Saya sudah duduk di kursi, kendali ada di tangan ayah saya. Sejujurnya saya
enggan naik di sampingnya, rasa dingin sungguh menggigit, saya sungguh tidak
senang.
Ayah
saya menarik kereta dan berhenti di depan gudang kayu. Dia turun dan saya
mengikutinya dari belakang. Ia masuk ke
gudang kayu dan keuar dengan setumpuk kayu yang saya bawa turun dari gunung di
sepanjang musim panas, dan kemudian menggergajinya menjadi balok dan papan di
sepanjang musim gugur. Apa yang ia lakukan? Akhirnya saya menanyakan
kepadanya,”Ayah, apa yang ayah lakukan?” “Kamu ingat janda Jensen?” tanyanya.
Janda Jensen tinggal dua mil dari jalanan. Suaminya meninggal satu tahun lebih
yang lalu dan meninggalkan untuknya tiga orang anak, yang tertua berusia
delapan tahun. “Ya,” kata saya, “ada apa?”
“Hari ini saat ayah menunggang kuda, si kecil Jakey
keluar dari rumah mencari potongan kayu. Mereka kehabisan kayu bakar, Matt.”
Itu penjelasan ayah saya yang kemudian berbalik untuk mengeluarkan kayu
lainnya. Saya mengikutinya.
Kami
memuati kereta kuda dengan begitu tinggi, saya sangsi apakah kuda kami akan
mampu menariknya. Kemudian kami pergi ke toko dan ayah membeli daging ham dan
bacon yang berukuran besar. Ia menyerahkan semua daging itu pada saya dan
menyuruh saya untuk meletakkan dan menunggu di kereta. Ketika kembali, ia
memikul sekarung tepung di atas bahu kanan dan sepatu di tangan kirinya. “Apa
yang ada di kantong kecil itu ayah?” tanya saya. “Sepatu. Mereka kehabisan
sepatu. Jakey kecil membelitkan karung goni di kakinya ketika sedang berada di
tumpukan kayu pagi ini. Ayah juga membawakan permen untuk mereka. Rasanya tidak
cukup merayakan Natal tanpa permen kecil.”
Saya
tidak habis pikir mengapa ayah saya berbuat demikian? Kami tidak punya
banyak materi menurut standar duniawi.
Kami memang punya tumpukan kayu yang
besar, meskipun yang tersisa kini masih dalam bentuk gelondongan yang harus
saya gergaji sebelum dapat digunakan. Kami juga memiliki cadangan daging dan
tepung. Tapi saya tahu kami sedang tidak punya uang. Jadi mengapa ayah saya
membelikan sepatu dan permen untuk mereka? Lagi pula janda Jensen memiliki
tetangga yang lebih dekat daripada kami; keluarga itu seharusnya bukan menjadi
tanggung jawab kami.
Kami
berada di sisi yang gelap dari rumah janda Jensen yang sunyi dan lalu
membongkar kayu-kayu itu sepelan mungkin. Kemudian kami membawa daging, tepung
dan sepatu menuju ke pintu. Kami mengetuk pintu yang kemudian terbuka sedikit
dan terdengar suara yang malu-malu berkata,”Siapa ya?” “Saya Miles Lucas , dan
anak saya, Matt. Bisakah kami mampir sebentar?”
Janda
Jensen mempersilahkan kami masuk. Dia mengenakan selimut yang dibelitkan ke
bahunya. Anak-anak dibungkus dengan selimut lainnya dan duduk di depan perapian
dengan api sangat kecil yang hampir tidak memberi kehangatan. Janda Jensen
meraba-raba untuk mencari korek api dan akhirnya menyalakan lampu.
“Kami
membawa beberapa barang untuk kalian,” kata ayah saya sambil meletakkan karung
tepung di lantai. Sementara saya meletakkan daging di atas meja. Ia pun
menyerahkan kantong yang berisi sepatu.
Janda Jensen ragu-ragu membukanya dan mengambil keluar sepasang sepatu
sekaligus. Ada sepasang untuk janda Jensen dan masing-masing satu pasang untuk
anak-anak; sepatu yang kuat, yang terbaik dan tahan lama. Saya mengamati ibu
itu dengan cermat. Ia menggigit bibir
bawahnya agar tidak gemetar dan kemudian air mata memenuhi mata dan
mulai mengalir di pipinya. Ia menatap ayah saya seperti ingin katakan sesuatu,
tapi tidak bisa keluar dari mulutnya.
“Kamu
juga membawakan kayu untuk Anda,” kata ayah saya yang berpaling pada saya dan
berkata,”Matt bawa kayu secukupnya agar api dapat bertahan. Tambah besar api
itu sehingga menghangatkan tempat ini.” Saya bukan orang yang sama lagi ketika keluar untuk membawa kayu bakar. Saya merasa ada benjolan yang amat besar di
tenggorokan saya dan sebenarnya saya sangat benci untuk mengakuinya, ada air
mata di mata saya juga. Di dalam benak saya, saya melihat ketika anak-anak itu
berkerumun di sekitar perapian dan ibu
mereka yang berdiri di sana dengan air mata yang mengalir di pipi dan sambil
bersyukur di dalam hatinya. Hati saya berbunga-bunga dan sukacita yang tidak
pernah saya rasakan sebelumnya memenuhi jiwa saya. Saya telah berkali-kali
memberikan hadiah Natal sebelumnya, tetapi tidak pernah mengalami yang begitu
berbeda. Saya bisa melihat bahwa kami benar-benar secara literal menyelamatkan
nyawa orang-orang itu.
Segera
sukacita dalam diri saya dan semua orang yang melonjak. Anak-anak mulai tertawa
saat ayah saya menyerahkan sepotong permen untuk anak-anak dan janda Jensen
memandang dengan senyum yang mungkin tidak terlintas di wajahnya untuk waktu
yang lama. Akhirnya ia berpaling kepada kami dan berkata,”Tuhan memberkati
kalian, saya tahu Tuhan telah mengutus kalian. Saya dan anak-anak telah berdoa
semoga Dia mengutus salah satu malaikatNya untuk menyiapkan kebutuhan kami.”
Tanpa bisa saya cegah, benjolan itu kembali ke tenggorokan saya dan air mata
menggenang di mata saya lagi. Saya tidak pernah memikirkan ayah saya dengan istilah
itu sebelumnya, tapi setelah janda Jensen menyebutkan itu, saya bisa melihat
bahwa itu mungkin benar. Saya rasa orang yang lebih baik daripada ayah saya
tidak akan pernah ada di bumi ini. Saya mulai teringat saat-saat ia pergi dan
pulang membawa oleh-oleh untuk ibu saya dan saya dan juga orang lainnya. Daftar
itu kelihatannya tidak habis-habisnya.
Ayah
saya bersikeras agar semua orang mencoba sepatu mereka masing-masing sebelum
kami pergi. Saya terkejut karena semua sepatu cocok dan saya heran bagaimana ia
tahu ukuran sepatu yang harus ia beli. Saya menduga, jika ia melakukan tugas
Tuhan, Tuhan yang akan memastikan ukuran yang tepat. Air mata mengalir di wajah janda Jensen lagi
ketika kami berdiri untuk pamit pulang. Ayah saya meraih anak-anak itu di
lengannya yang besar dan memberi mereka pelukan . Mereka menempel kepadanya dan
tidak ingin kita pergi. Saya bisa melihat betapa mereka kehilangan kasih sayang
ayah mereka dan saya bersyukur karena masih mempunyai seorang ayah.
Di
pintu depan ayah saya berkata, “Isteri saya meminta saya untuk mengundang Anda
dan anak-anak untuk makan malam Natal besok. Ayam kalkun akan terlalu besar
bagi kami bertiga, dan seorang pria akan cepat naik darah jika makan kalkun
terlalu banyak. Kami akan datang menjemput kalian pada jam sebelas. Akan sangat
menyenangkan dikelilingi oleh beberapa anak-anak kecil itu lagi.”
Saya
adalah anak bungsu. Dua orang saudara laki-laki dan dua saudara perempuan saya
telah menikah dan semua sudah pindah. Janda Jensen mengangguk dan berkata,”Terima
kasih, Pak Miles. Semoga Tuhan memberkati bapak, saya tahu Dia pasti akan
melakukannya.”
Ketika
berada di kereta kuda, saya merasakan kehangatan yang berasal dari dalam. Saya
bahkan tidak menyadari dinginnya udara di luar. Ayah saya berkata,”Matt, ayah
ingin kamu tahu sesuatu. Ibumu dan ayah telah menyelipkan sedikit uang di
sana-sini sepanjang tahun untuk membelikan senapan bagi kamu, tapi belum
terlalu cukup. Lalu kemarin seorang pria yang sedikit berhutang uang selama
bertahun-tahun datang untuk membuat segala sesuatu menjadi sempurna. Ibu mu dan
ayah benar-benar bergembira, kami berpikir bahwa sekarang kita bisa mendapatkan
senapan itu, dan ayah pergi ke kota pagi ini untuk membelinya, tetapi dalam
perjalanan ayah melihat di kecil Jakey menggaruk-garuk badannya di tumpukan
kayu dengan kakinya yang dibungkus karung goni dan ayah tahu apa yang harus
ayah lakukan. Matt, ayah telah menghabiskan semua uang untuk sepatu dan permen
kecil bagi anak-anak itu. Ayah harap kamu mengerti.”
Saya
mengerti, dan mata saya menjadi basah dengan air mata lagi. Saya sangat
memahami, dan saya sangat senang ayah saya melakukan hal itu. Sekarang senapan
tampak sangat rendah di dalam daftar prioritas saya. Ayah saya telah memberikan
pada saya lebih banyak. Dia telah memberi saya ekspresi wajah janda Jensen dan
senyum berseri-seri dari tiga anaknya.
Selama
sisa hidup saya, setiap kali saya melihat salah satu keluarga Jensens, atau
membelah balok kayu, saya ingat, dan singat yang membawa kembali sukacita yang
sama yang saya rasakan ketika duduk di samping ayah saya saat mengendarai
kereta pulang ke rumah malam itu. Ayah saya telah memberikan kepada saya lebih
daripada senapan pada malam itu, dia telah memberi pada saya Natal yang terbaik
dalam hidup saya.