Dalam buku Who Put My Life on
Fast-Forward, penulisnya. Phil Callaway bercerita tentang pengalaman seorang
temannya, Doug Nichols.
Setelah Nichols menjalani operasi kanker usus pada
bulan April 1993,dokter dengan sedih berkata kepadanya : “Maafkah saya , Doug,
engkau hanya mempunyai 30 persen peluang untuk kembali pulih.”
“Maksud dokter, saya punya 70 persen peluang untuk
meninggal?” tanya Doug sambil tersenyum.
“Saya tidak berkata begitu,” kata dokternya sambil
keheranan dengan sikapnya, “ teatpi perkiraan terbaik saya adalah Anda paling
banyak hanya punya waktu 3 bulan lagi untuk hidup.”
Nichols menjawab, “Yah, apapun yang terjadi saya
punya 100% peluang untuk masuk surga.”
Ternyata 3 bulan kemudian Doug tidak mati, hanya
radiasi dan kemoterapi membuatnya sangat menderita kesakitan.
Suatu malam dalam berita TV, ia dan isterinya
mendengar pemberitaan tentang perang saudara di Rwanda. Di sana terjadi
pembantaian yang sukar untuk dapat dipercaya. Karena selain jumlah orang yang
dibantai sangat besar – lebih dari 1 juta orang – juga karena pembantaian itu
kebanyakan dilakukan oleh para tetangga dan sahabat-sahabat mereka sendiri.
Ribuan penduduk Rwanda melarikan diri menyeberangi perbatasan menuju Zaire dan
tinggal bergerombol di kamp-kamp pengungsi yang kotor dan sangat minim sarana.
Penyakit seperti kolera berjangkit dengan cepat. Dimana-mana korban berjatuhan,
dalam waktu hanya 3 hari saja sudah 50.000 jiwa meninggal dunia. Mendengar
semua itu hari Doug dan isterinya , Margareth, merasa hancur. Tetapi apa daya
mereka?
Ternyata kemudian mereka memutuskan untuk pergi
bersama dengan tim dokter dan perawat berangkat ke Rwanda. Di sana Doug
berkenalan dengan seorang pemimpin Kristen Rwanda. Orang itu mempekerjakan 300
orang pengungsi sebagai pemikul usungan untuk mengangkut orang yang sakit –
sehingga dokter dapat memberikan pertolongan – ataupun untuk mengubur mereka
yang meninggal setiap harinya.
Suatu hari pemimpin itu mendekati Doug dengan wajah
cemas, “Tuan Nichols kita menghadapi masalah. Para pemikul usungan dengan marah
meminta uang tambahan upah mereka. Mereka mengancam akan mogok kerja jika
tuntutan mereka tidak dipenuhi. Sementara uang telah habis. Dan jika mereka
tidak bekerja, korban yang meninggal dunia akan menjadi berlipat ganda.”
Doug meminta agar diperbolehkan berbicara langsung
kepada para pengusung itu. Sambil berjalan menuju sebuah tempat bekas gedung
sekolah tua yang telah habis terbakar. Doug berpikir apa yang akan ia katakan
untuk meredakan kemarahan orang itu dan membuat mereka mau kembali bekerja walau
tanpa upah tambahan.
Inilah kata-kata yang Doug sampaikan kepada para
pengusung yang berjumlah sekitar 300 orang itu. “Saya tidak mungkin dapat
memahami penderitaan yang kalian alami, dan sekarang menyaksikan isteri dan
anak-anak kalian meninggal akibat kolera; saya juga tidak akan pernah dapat
memahami seperti apa itu rasanya. Mungkin kalian menginginkan lebih banyak uang
untuk membeli makanan, air, serta obat-obatan bagi keluarga kalian; saya juga
belum pernah berada dalam posisi seperti itu. Tidak ada kejadian tragis yang
pernah terjadi dalam kehidupan saya yang setera dengan apa yang telah kalian
derita. Satu-satunya yang pernah menimpa saya adalah bahwa saya mengidap
kanker...” Ketika Doug akan melanjutkan kata-katanya, penterjemahnya berhenti
dan berpaling kepada Doug dan bertanya kepadanya. Terjadilah dialog seperti ini
:
“Maaf Anda bilang Anda mengidap kanker?” “Ya.”
“Dan Anda datang ke sini? Apa dokter Anda mengatakan
Anda boleh datang ke sini?”
“Ia mengatakan pada saya bahwa jika saya pergi ke
Afrika, saya mungkin akan mati dalam waktu 3 hari.” “Dokter anda mengatakan itu dan anda masih tetap
datang juga? Untuk apa? Dan bagaimana jika anda meninggal?”
“Saya ada di sini karena Tuhan menyuruh kami datang
dan melakukan sesuatu untuk orang-orang di dalam namaNya. Saya bukan pahlawan.
Jika saya mati, kuburkan saja saya di lapangan di mana kalian menguburkan orang
mati lainnya.”
Penterjemah itu mulai menangis. Lalu dengan air mata
masih mengalir di wajahnya ia berpaling kepada para pengusung dan mulai
berpidato, “Pria ini mengidap kanker. Ia datang kemari dan rela mati demi
rakyat kita. Sementara itu kita mogok kerja hanya demi mendapat sedikit uang
tambahan? Kita seharusnya malu.”
Tiba-tiba semua orang mulai berlutut dan menangis.
Seorang pria merangkak menghampiri Doug dan memeluknya. Tanpa banyak bicara,
mereka satu per satu kembali bekerja tanpa bersuara. Dengan kembalinya mereka
bekerja, ribuan nyawa terselamatkan dan banyak yang mendengar tentang Yesus
Kristus.
Belakangan ketika penterjemah itu menceritakan
kembali semuanya, Doug berpikir dalam hati. “Apa yang kulakukan? Tidak ada.
Bukan kemampuanku untuk merawat orang sakit, bukan keahlianku mengorganisir.
Yang aku lakukan hanyalah mengidap kanker. Tetapi Allah memakai kelemahan itu
untuk menggerakan hati orang-orang.”