Sewaktu aku duduk di SMA, aku sangat membenci kelas
ilmu pemerintahan pada jam kelima. Gurunya membosankan, dan tak ada teman
dekatku yang mengikuti pelajaran itu. Anak laki-laki yang duduk di depanku juga
sangat menjengkelkan. Tingginya sekitar dua meter, rambutnya panjang, memakai
sandal “hippie” dari kuliat, dan tawanya sangat besar, hampir sebesar badannya.
Mike tidak saja suka menakuti-nakutiku, ia juga suka menggodaku, dan aku sangat
membenci hal itu.
Aku
adalah gadis kristiani saleh yang bertubuh kecil. Aku tidak pernah pergi ke
pesta dansa sekolah, sedangkan Mike adalah raja pesta dansa sekolah, sedangkan
Mike adalah raja pesta yang setiap hari Senin menceritakan tingkahnya yang
gila-gilaan dengan suara keras, lalu tertawa apabila wajahku memerah atau
membalikkan badan. Aku sangat membenci sura tawanya.
Aku
mulai membawa Alkitabku ke kelas ilmu pemerintahan dalam semester itu. Alkitab
itu bersampul tipis, Good News for Modern
Man, dan aku telah membuat sampul luar dari bahan bergambar bunga merah
muda untuk Alkitab itu. Sekelompok kecil murid yang beragama kristiani
mengadakan pertemuan setiap jam makan siang, dan aku menyediakan Alkitab
bersampul itu untuk pertemuan tersebut. Kami dikenal sebagai Jesus Geeks. Melihat jumlah kelompok
yang sangat kecil, sungguh mengherankan bahwa murid-murid lain tahu siapa kami
dan untuk apa kami berkumpul. Terutama murid-murid yang seperti Mike.
“Apakah
Jesus Geeks berdoa untukku hari ini?”
ejek Mike suatu hari ketika aku masuk ke kelas ilmu pemerintahan tepat sesudah
makan siang.
Aku
tidak menjawab, tetapi ini tidak menjadi masalah baginya karena perkataannya
segera disambut gelak tawa yang diinginkannya dari teman-temannya yang duduk di
sekeliling kami. Aku menyelinap ke tempat dudukku dan berharap guru segera
memulai pelajaran.
“Apa
ini?” kata Mike. Dengan tidak sopan ia merebut Alkitab yang kusembunyikan
dengan hati-hati dan membolak-balik halamannya.
Aku
segera merebutnya kembali, tetapi tangannya yang panjang memegang Alkitab itu
di atas kepalanya sambil membolak-balik halamannya, lalu dengan penuh
kegembiraan ia berkata, “Oh, sungguh indah Alkitab warna merah muda ini!” Ia
membawa Alkitab itu berkeliling dan menunjukkannya kepada teman-temannya, dan
mereka menanggapi dengan gelak tawa dan ejeken seperti yang diharapkannya.
Karena
merasa terpojok, aku merebut Alkitabku dan melontarkan kata-kata paling bodoh
yang pernah kuucapkan, “Mengapa kamu tidak menyerahkan diri untuk diselamatkan
dan tidak menggangguku?”
Tentu
saja perkataan itu membuat Mike dan semua temannya tertawa terbahak-bahak, dan
menarik perhatian kelas ke deretan belakang sehingga guru meminta kami semua
untuk tenang.
Ketika
Alkitab itu sampai kembali ke tanganku yang gemetar, aku mengejapkan mata untuk
menahan air mataku dan meletakkan Alkitab di pangkuanku selama sisa pelajaran
itu.
Esok
harinya aku bergumul apakah akan membawa Alkitabku ke sekolah atau tidak. Aku
tahu bahwa Mike mungkin akan menggunakannya untuk mengejekku lagi. Aku tidak
tahu mengapa akhirnya aku membawanya. Pada pertemuan makan siang aku meminta
beberapa teman untuk berdoa bagiku dan Mike. Teman-teman memberiku
semangat dan mempersenjataiku dengan jawaban-jawaban
yang cerdik dan sarana bersaksi sederhana lainnya yang dapat kugunakan untuk
menghadapi Mike.
Aku
masuk ke kelas ilmu pemerintahan dengan keyakinan bahwa Allah akan mengubahku
menjadi seorang saksi yang berani. Seperti telah kuduga, Mike merebut Alkitabku
sebelum aku sempat duduk.
“Mari
kita lihat inspirasi rohani untuk hari ini,” katanya. Ia membuka Alkitab itu
secara serampangan, lalu membaca beberapa ayat lepas yang dengan sendirinya
tidak memiliki arti dan terdengar menggelikan. Para pendukungnya tertawa, dan
ia dengan cepat membuka bacaan lain dan membacanya dengan nada pengkhotbah yang
sangat dramatis.
Semua
jawaban yang cerdik dan kesaksian yang berani yang telah diajarkan kepadaku
tiba-tiba terlupakan. AKu duduk mematung seolah telah menjadi bisu, dan merasa
sangat gelisah karena mengecewakan Tuhan seperti ini. Perasaanku semakin tidak
keruan ketika Mike membaca sebuah ayat lain dengan nada seorang pengkhotbah dan
melontarkan lelucon yang membuat semua temannya tertawa.
Tanpa
kusadari air mata mengaliri wajahku. Bagaimana hal ini bisa terjadi? AKu
benar-benar tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku duduk mematung, sadar
sepenuhnya bahwa aku pasti tampak seperti orang bodoh yang tidak mampu yang
berbicara dan hanya bisa menangis terisak-isak.
Ketika
Mike membuka halaman berikutnya, sepintas ia memandangku, dan ekspresi wajahnya
berubah. Ia tidak lagi membaca sebuah ayat untuk dijadikan bahan ejekan,
malahan menutup Alkitabku ddan dengan nada bergurau mengatakan bahwa inspirasi
untuk hari itu sudah cukup. Ia meletakkan Alkitabku kembali di atas buku ilmu
pemerintahan. Aku menundukkan kepala denganperasaan malu dan mengusap air
mataku.
Ketika
kelas itu mengadakan reuni , aku mengatakan kepada suamiku bahwa aku tidak
ingin datang. Aku hanya mempunya beberapa teman di SMA, dan tidak pernah
berpacaran dengan siapa pun atau menjadi anggota dari klub apa pun. Tetapi
suamiku berpikir bahwa sebaiknya kami datang karena kami telah kehilangan
kesempatan untuk pergi ke reuni kelasnya, jadi kami pergi ke sana.
Pada
malam reuni itu, dengan enggan aku bersama suamiku naik lift menuju ruangan
yang telah ditentukan. Pintu lift terbuka, dan di hadapannya berdiri seorang
pria tinggi dan sangat tampan dan setelah yang mahal. Seorang wanita berambut
pirang yang cantik menggenggam lengannya.
“Robin!”
sapa pria itu sambil menyalami tanganku dengan antusias begitu aku melangkah
keluar dari lift. “Aku sungguh berharap kamu datang!” Lalu ia mundur, menoleh
pada wanita di sampingnya dan berkata,”Inilah gadis yang kuceritakan kepadamu.”
Suamiku
menoleh kepadaku dan berbisik,”Katamu kau tidak punya pacar di SMA?”
“Tidak!”
bisikku. “Aku sama sekali tidak kenal pria ini!”
“Kau
tidak ingat aku?” tanya pria misterius itu sambil tersenyum lebar. “Aku ingat
kamu, dan aku menuruti nasihatmu.”
Aku
memandang pria itu, suamiku, kemudian istri pria itu. Wanita itu tiba-tiba
membuatku teringat akan sesuatu. “Sayang,” katanya kepada suaminya, “inikah
gadis yang mengatakan kepadamu supaya kamu menyerahkan diri untuk diselamatkan
dan tidak mengganggunya?”
Pria
itu menjawab dengan suara tawa yang sangat nyaring, dan aku segera tahu bahwa
ia adalah Mike. Setelah perkenalan singkat, Mike menceritakan bagaimana akhirna
ia menjadi seorang kristiani pada tahun-tahun awal kuliahnya. “Ketika aku dalam
keadaan terdesak,” Mike berkata,”aku ingat kamu dan beberapa anggota Jesus Geeks lainnya di SMA, lalu aku
mencari beberapa kelompok semacam itu di kampusku. Mereka membimbingku kepada
Tuhan.”
Aku merasa malu mengingat
kemampuanku besaksi yang sangat buruk di SMA dan menggumam mengenai hal-hal
bodoh yang telah kuucapkan kepadanya selama kelas ilmu pemerintahan – betapa hal
itu membuat orang justru menjauhkan diri.
Mika
tertawa, tetapi sekarang suara tawanya terdengar hangat di telingaku. Dengan
lembut ia menggelengkan kepalanya, “Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang
kamu katakana, melainkan ketika kamu menangis. Hari itu aku melihat sesuatu
yang tidak pernah kusadari sebelumnya : seorang gadis yang sangat mengasihi
Tuhan. Untuk waktu yang lama aku teringat akan air matamu, karena hanya
seseorang yang benar-benar mengasihi dapat menangis seperti itu.”
Robin Jones Gunn