KESAKSIAN :
MENCARI SEORANG TEMAN SEJATI
KEVIN
OSHIRO
Salah satu
kenangan masa kecil Kevin Oshiro berhubungan dengan sebuah peristiwa yang
terjadi ketika ia berusia empat tahun. Ia sedang duduk di sebelah meja yang
biasa digunakan untuk minum kopi di ruang tamu apartemen keluarganya, sedang
menggunting halaman-halaman koran TV Guide yang lama menjadi potongan kecil-kecil.
Ia sedang berpura-pura memasak.
Ibu sedang
duduk di bangku membaca atau menonton televisi atau semacam itu. Ayah masuk ke
ruangan dan bertanya tentang apa yang sedang saya lakukan. “Aku sedang memasak,”
saya menjawab. Ini adalah bawang bombay, dan aku akan menumisnya!” “Itu sungguh
konyol!” Ayah meledak. “Anak perempuan memasak, bukan anak laki-laki! Ada apa
denganmu?” Saya sangat marah. Ssaya ingat ibu mencoba memberikan komentar untuk
meredakan tegangan. Ayah marah, dan ibu merasa tidak nyaman. Tetapi, saya
sangat marah
Peristiwa
ini, yang terpendam dalam ingatan Kevin, mulai menjadi proses pemisahan dari
ayahnya yang berlanjut sampai ia dewasa. Dan menurut pendapat Kevin, hal itu
menjadi salah satu dari lima kunci yang turut menyebabkan disorientasi seksual
dan perilaku homoseksual yang dilakukannya. Mengapa Kevin menutup hati terhadap
ayahnya sejak kecil? Ia menjelaskan, “Saya tidak dapat balas melawan karena
saya akan semakin mendapat caci maki atau tamparan. Jadi, lebih baik tidak
mengatakan apa pun. Sebaliknya, yang dapat saya lakukan adalah mengeluarkan
dirinya dari hidup saya. Saya tidak ingat seberapa sadar saya membuat keputusan
itu, namun saya tahu itulah yang tepatnya terjadi saat itu.”
Terlalu
Muda untuk Mengerti
Tahun
keempat Kevin adalah tahun yang berisi peristiwa-peristiwa penting. Kira-kira
pada saat yang bersamaan dengan insiden yang sangat penting dengan ayahnya itu
erjadi, seorang teman laki-laki berusia delapan tahun memperkosanya,
memperkenalkan sebuah pola aktivitas seksual di antara anak laki-laki yang
berlanjut sampai dewasa. Di dalam diri Kevin , dua peristiwa ini menimbulkan
suatu hasrat akan kasih sayang laki-laki dan kepercayaan bahwa seks merupakan
bukti kasih sayang.
Saat ia
duduk di kelas tiga SD, pengalaman seksual Kevin melibatkan anak laki-laki
lain. Bahkan pada usia yang masih dini, sensasi fisik dari
pengalaman-pengalamannya menyenangkan dan diperbesar oleh kegembiraan melakukan
sesuatu yang terlarang. Tidak mengherankan jika Kevin sudah mulai memiliki
perasaan berbeda dengan
anak
laki-laki lain sejak SD. Ia hanya terlalu muda dan masih belum bisa memahami
apa yang telah terjadi pada dirinya.
Ketika SMP,
seperti sebagian besar laki-laki yang bergumul dengan homoseksualitas, Kevin
merasa bahwa ia sepertinya “berada di luar sedang melihat ke dalam.” Ia
merindukan seorang teman yang bisa membuatnya merasa aman dan berharga. Kerinduannya
memiliki persahabatan membawanya menuju beberapa hubungan ketergantungan emosional yan sangat mendalam.
Namun tak lama kemudian, ia merasa takut mendekati anak laki-laki lain untuk
berhubungan seks karena kerinduannya memiliki nama buruk yang melekat :
homoseksualitas.
Di masa SMU
dan akademi kadang kala ia berkencan dengan gadis-gadis, tetapi ia ingat bahwa pengalamannya
dengan gadis-gadis lebih terasa tidak nyaman daripada menyenangkan. Ia
mendapati dirinya berusaha keras melakukan apa yang biasa dilakukan laki-laki
normal, bukannya melakukan sesuatu yang menarik atau diinginkan. Sebesar
keinginannya untuk menyesuaikan diri, ia tahu bahwa apabila ia mendatangi para
gadis ia akan pura-pura sedang berusaha mengerjakan sesuatu. Pola yang sama
berlanjut hingga kuliah. Lalu, setelah ia lulus dan memasuki dunia kerja,
kehidupan Kevin berubah dramatis.
Suatu
malam, pada suatu pesta kantor saya mabuk. Saya menuju sebuah toko buku untuk
orang dewasa dan berhubungan seks dengan seorang homoseksual. Saya pulang perasaan
jijik terhadap diri saya sendiri. “Apa yang telah saya lakukan?” saya merintih.
Kenyataan bahwa saya senang dengan pengalaman tersebut membuat saya ngeri
melebihi apa pun. Tahun berikutnya, saya berusaha melawan hasrat seksual saya,
namun akhirnya saya menceritakannya kepada satu-satunya teman saya saat itu –
seorang pemabuk yang lesbian. Ia dengan antusian
memperkenalkan
saya pada budaya gay di Los Angeles. Saat itu bulan Januari 1982.
Semula saya
merasa bahagia. Dengan menuruti semua hasrat, konflik internal saya berakhir.
Kini, saya bisa menjadi diri saya yang sebenarnya, pikir saya. Akan tetapi,
lingkaran alkohol, disko, dan seks terus-menerus menghalangi saya untuk melihat
apa yang sesungguhnya dilakukan homoseksualitas terhadap hidup saya. Tidak
adanya
pergumulan memberiksan saya sebuah ilusi kebebasan. Saya menganggap kesenangan
dari mengejar dan
dikejar
memuaskan saya. Kenyatannya , adrenalin dengan cepat melumpuhkan rasa kesepian saya
yang semakin
bertambah
dan keputusasaan untuk menemukan seseorang yang benar-benar mencintai saya.
Dengan
segera, Kevin menjadi kecanduan terhadap kenikmatan hidup di bar-bar, toko
buku, dan tempat pemandian (spa) homoseksual. Seks memberikan rasa petualangan
yang terselubung. Meskipun AIDS mengancam hidupnya, ia sengaja menjauhkan diri
untuk mempelajari segala sesuatu tentang AIDS. Namun, ia masih merasa ada
sesuatu yang hilang dari hidupnya. Sesuatu yang tidak dapat ia identifikasikan
dengan tepat. Apakah perasaannya tersebut ada hubungannya dengan masalah
spiritualitas? Dengan Allah? Semula ia merasa tidak yakin.
Mencari
Sesuatu yang Lebih
Kakek nenek
Kevin dari pihak ayah adalah penganut Budha, sebuah agama yang tidak pernah
dibicarakan keluarga. Sementara itu, keluarga dari pihak ibu terlibat dalam
Salvation Army (sebuah lembaga pelayanan di Amerika). Ibunya pernah
menceritakan kisah-kisah pelayanan kakeknya sebagai seorang penginjil jalanan
dan bagaimana keluarganya selalu melayani orang-orang miskin. Walaupun tidak
satu pun dari orangtuanya memiliki hubungan dengan Allah, Kevin dengan
ragu-ragu teringat bahwa ia pernah mendengar cerita-cerita Alkitab, pergi ke
liburan rutin Sekolah Minggu sewaktu kecil, dan datang ke acara pertemuan
kelompok pemuda gereja sewaktu remaja. Meskipun demikian, beriman secara
pribadi kepada Allah tidak pernah menjadi tujuan hidupnya. Sewaktu kuliah,
salah seorang sahabatnya yang merupakan seorang Kristen yang taat dan
sungguhsungguh menceritakan hubungan spiritualnya kepada Kevin. Anak muda ini
sudah mengenal Kristus sejak SMU dan membaca Alkitab serta berdoa setiap malam
sebelum tidur. Beberapa tahun kemudian, Kevin ingat :
Saya merasa
sangat sulit untuk mencoba berdoa. Tidak ada pengenalan kembali tentang Yesus
dalam ingatan; saya hanya berpikir bahwa pekerjaan baru akan memecahkan semua
masalah saya. Allah, dalam kemurahan hatiNya, menarik saya kepadaNya. Ia
memulainya dengan membawa beberapa teman baru ke dalam hidup saya. Saya segera
mengetahui bahwa mereka aalah orang-orang Kristen. Aneh! Pikir saya. Bukankah kekristenan
hanya diperuntukkan bagi orang-orang bermasalah yang membutuhkan sebuah
penopang. Tetapi, mereka bukan orang-orang yang sedang mengalami depresi atau
orang-orang yang bodoh. Sebaliknya, mereka justru memiliki sesuatu yang tidak
pernah saya lihat sebelumnya: damai sejahtera. Damai sejahtera Allah adalah
sesuatu yang tidak harus mereka katakan. Damai sejahtera Allah adalah sesuatu
yang mereka jalani. Itu adalah bagian dari napas mereka. Dan, dari mereka saya
merasakan suatu penerimaan yang aneh dan tidak diharapkan. Kini, tentu saja,
saya tidak menceritakan keterlibatan saya dalam homoseksualitas kepada mereka.
Yang penting adalah Tuhan menunjukkan diriNya kepada saya melalui kebaikan mereka.
Bahkan sampai sekarang, sewaktu saya menoleh, saya berpikir bahwa apabila saya
membutuhkan pertolongan dan terbuka untuk berbicara tentang segala sesuatu,
mereka akan lebih dari bersedia mendengarkan dan menolong dengan cara apa pun
yang mampu mereka lakukan. Namun, mereka tidak melakukan paksaan apa pun.
Mereka hanya menjalaninya.
Teman-teman
ini mengundang Kevin untuk bergabung bersama mereka dalam sebuah perkumpulan bisnis
di New Orleans. Kedengarannya menyenangkan bagi Kevin, dan ia pergi serta
sangat berharap untuk mendapatkan beberapa kegiatan seks di kota yang terkenal
dengan kebebasan semangatnya itu. Akan tetapi, hasilnya tidak seperti yang
diharapkan. Sebaliknya, pada hari Sabtu malam, salah seorang koordinator acara berkata,”Datanglah
ke gereja di hotel pada hari Minggu pagi. Ini akan menjadi hal terpenting yang
Anda lakukan sepanjang akhir pekan.”
Kevin
berpikir, “Baiklah, saya sudah membayarkan uang saya; pergi ke sana tidak akan
menyakitkan. Jadi, pada hari Minggu pagi Kevin berpakaian rapi dan muncul di
ballroom hotel. Ia tidak yakin siapa yang berbicara atau apa yang dibicarakan.
Tetapi pada akhir kebaktian, pembicara itu bertanya, “Apakah Anda percaya bahwa
Anda berada di sini bukan secara kebetulan, melainkan karena Allah membuat Anda
datang ke sini?” Kevin tahu, baginya jawaban bagi pertanyaan itu adalah ya. “Sekarang,”
orang itu melanjutkan,”jika Anda ingin mengetahui bagaimana memiliki hubungan
pribadi dengan Yesus Kristus, silakan maju dan seseorang akan berbicara kepada
Anda dan menjelaskan bagaimana Anda dapat melakukannya.”
Malam itu,
Kevin memohon Yesus untuk menjadi Tuhan dan Juru Selamatnya. Dan kadang-kadang,
Kevin masih menikmati gaya hidup gay-nya, membuat celah kecil antara kehidupan
spiritualnya yang baru dengan perilaku homoseksualnya. Namun, sewaktu ia
membaca firman Allah dan mendengarkan berbagai khotbah, perlahan-lahan semakin
jelas baginya bahwa rencana Allah atas hidupnya tidak termasuk homoseksualitas.
Dan sejak saat itu, ia siap untuk berserah sepenuhnya kepada Allah.
Jawaban Doa
“Tuhan,”
Kevin berdoa, “firmanMu mengatakan homoseksualitas adalah salah, tetapi
perasaan saya mengatakan sebaliknya. Tolong tunjukkan kepada saya apa yang
benar, dan saya akan taat kepadaMu.”
Beberapa
hari kemudian, saya pergi ke sebuah kebaktian pada pertengahan minggu. Seorang
pemuda bernama Martin memberikan kesaksian bagaimana Allah telah melepaskannya
dari prostitusi laki-laki. Saya terkesan dengan kisahnya. “Saya adalah gay.”
Saya memberitahunya setelah kebaktian. “Namun, saya tidak dapat berbuat apa pun
karena saya terlahir demikian.” Martin menunjukkan beberapa ayat Alkitab
tentang homoseksualitas. “Dan,, beberapa orang di antara kamu demikianlah
dahulu,” ia membaca dari I Korintus 6:11.
“Apakah
Anda mengetahui perubahan Rasul Paulus?” ia bertanya. “Jika Allah dapat
mengubah seseorang
seburuk
Paulus, tidakkah menurut Anda Ia mampu berbuat sesuatu dalam hidup Anda?”
Kemudian, saya tahu
bahwa Allah
sedang menjawab doa permohonan saya.
Bulan
berikutnya sungguh merupakan bulan buruk. Walaupun saya memutuskan menjauhi homoseksuaitas,
saya terus menyerah pada hasrat saya. Akhirnya, saya berteriak dengan frustasi
kepada Allah :
“Aku tidak
tahan. Apa yang seharusnya kulakukan? Aku berusaha berubah, tetapi aku tidak
dapat melakukannya!”
“Memang
benar,” ia berkata dengan tenang. Tidak lama kemudian, janjia Allah untuk
menyelesaikan pekerjaan
yang Ia
mulai dalam hidup saya mulai dapat dipahami sepenuhnya. Sebagaimana yang
tertulis dalam Filipi 1:6, “Ia
yang
memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada
akhirnya pada hari Kristus
Yesus.”
Segera
sesudah itu, Kevin menemukan nama sebuah pelayanan para mantan gay di halaman
belakang sebuah buku, dan mereka membalas dengan mendorongnya untuk menghubungi
sebuah kelompok lokal, Desert Stream. Pertemuan-pertemuan kelompok tersebut
memberikan sebuah tempat perlindungan baginya, tempat ia merasa aman untuk
berbicara tentang pergumulannya dengan jujur. Program itu bekerja jauh
melampaui semua yang pernah diharapkan atau dibayangkannya karena, sedikit demi
sedikit, Allah mulai memulihkan masalahmasalah yang saling berhubungan yang
membentuk akar homoseksualitasnya.
Dan, apakah
akar-akar tersebut? Kevin mengindetifikasikan lima faktor yang diyakininya
turut menyebabkan disorientasi seksualnya.
Faktor
pertama adalah pemerkosaan yang dilakukan teman bermain yang lebih tua. Itu
berarti menyeberangi perbatasan yang seharusnya diseberangi oleh pasangan
suami-isteri ketika dewasa.
Faktor
kedua adalah apa yang digambarkan Kevin sebagai “pemisahan defensif” dari
ayahnya. Seorang ayah, tentu saja seharusnya menjadi model utama dari
kemaskulinan anak laki-lakinya. Namun hal itu bukanlah satu-satunya kerusakan
yang menyebabkan pemisahan itu. Isolasi mengakibatkan kesepian, kesepian memperbesar
kerinduannya terhadap keakraban. Inilah yang kemudian menciptakan tekanan
seksual.
Faktor
ketiga adalah luka emosional yang mendalam dan terlalu dini, yang disebabkan
teman perempuan sekelas. Inilah faktor penyebab Kevin bersumpah untuk tidak
mempercayai atau terikat secara emosional dengan lawan jenis.
Faktor
keempat adalah rasa malu etnik. Ketika Kevin masih kecil, hanya ada segelintir
keluarga Asia di lingkungan rumahnya. Sewaktu ia masuk SD, ia menjadi korban
kata-kata rasioan untuk orang-orang Jepang yang menyakitkan. Pelecehan ini
memperburuk perasaan bahwa ada sesuatu yang buruk tentang dirinya, sesuatu yang
rendah dan
memalukan.
Faktor
kelima adalah perasaan ketakutan yang terpendam yang menyebar ke seluruh aspek
gambaran diri Kevin. Ia menjelaskan, “Ada semacam perasaan bahwa saya tidak
baik sebagai laki-laki. Saya tidak atletis, dan saya merasa tidak nyaman berada
di sekeliling anak laki-laki. Sewaktu saya memikirkan hal itu, saya hanyalah
sebuah gumpalan ketakutan yang sangat besar. Dan saya menjalani ketakutan ini
selama bertahun-tahun. Menurut saya, sebagian daya tarik homoseksualitas,
selain merupakan sebuah kerinduan untuk berhubungan dengan maskulinitas, juga
merupakan kerinduan yang mendalam untuk memperoleh kekuatan atau identitas atau
kekuasaan dalam diri orang lain.
Pelajaran
Tentang Pengampunan
Salah satu
pelajaran kunci yang dipelajari Kevin sewaktu ia meneliti masa lalunya dan
faktor yang membawanya menuju homoseksualitas adalah karena Allah telah
mengampuninya, ia juga perlu mengampuni mereka yang telah melukainya. Orang
pertama yang muncul dalam pikirannya adalah ayahnya.
Pengampunan
merupakan fondasi pemulihan hubungan kita dengan Allah. Jadi, sebagaimana saya menerima
pengampunanNya, Allah juga mengingatkan saya tentang sumpah di masa kecil – “Aku
tidak akan pernah menjadi seperti Ayah” – yang menghalangi saya menerima
identitas maskulin. Saya melepaskan dosa-dosa masa lalu ini dan mulai merasakan
hadirat Allah dengan cara yang baru, sebagai Bapa yang penuh kasih. Pada waktu
yang bersamaan, saya khususnya harus mengampuni ayah untuk setiap kesalahan
yang dilakukannya. Dan, ketika saya mengucapkan,”mengampuni”, saya tidak sedang
berbicara tentang meremehkan semua yang pernah ia lakukan atau katakan, atau
yang tidak ia lakukan atau katakan. Saya sedang berbicara tentang melepaskan
dirinya dari pengharapan saya bahwa ia mau mengakui atau memperbaiki masa lalu.Melepaskan
semua tuntutan pribadi sungguh melegakan. Itu membukakan pintu bagi saya untuk
mampu mulai melihat ayah lebih seperti yang Allah inginkan.
Ketika ia
memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang hubungannya dengan orangtuanya, Kevin
akhirnya melihat bahwa ia dulu selalu percaya ibunya lebih memberikan dukungan
daripada ayahnya. Ibunya terlibat jauh – kadang-kadang malah hampir terlibat
terlalu jauh – dalam hidup, kebutuhan-kebutuhan, dan pergumulan-pergumulannya.
Namun sekali proses pengampunan terjadi, Kevin menyadari ayahnya juga sangat mendukungnya.
Meskipun ia tidak selalu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan peretujuannya
atau menyenangkan dirinya sendiri, ayahnya tidak pernah ketinggalan dalam
menghadiri konser band atau pameran hasil karya siswa atau konferensi
orangtua-guru. “Hal yang tidak menguntungkan saat itu adalah,” Kevin berkata,” saya
terhalangi. Saya hanya tidak dapat melihatnya.” Sekarang hubungan dengan
orangtuanya sangat berbeda dengan apa yang pernah dibayangkannya.
Saya dengan
tulus senang mengunjungi mereka. Sesungguhnya, saya memiliki kesempatan untuk melakukan
sejumlah hal yang berbeda setahun belakangan ini. Saya pikir salah satu
perbedaan besar dalam hubungan kami sekarang adalah saya tidak merasakan adanya
suatu kebutuhan tertentu untuk tampil sempurna di hadapan mereka. Entah kapan,
akhirnya dapat dimengerti sepenuhnya bahwa mereka sungguh-sungguh menyayangi
saya apa adanya, bukan hanya ketika saya menjadi “anak yang baik”. Mereka
benar-benar menyayangi saya, dengan segala kekurangan saya. Penyingkapan
tersebut memberi saya kebebasan untuk menikmati kebersamaan dengan mereka dan
tidak selalu siap untuk membela diri. Niat untuk berkunjung tidak lagi menjadi
sesuatu yang saya rasakan sebagai suatu paksaan. Sekarang, saya ingin berada di
dekat mereka. Hal itu memang benar terutama saat mereka bertambah tua. Saya
melihat mereka mulai bergerak lebih lamban. Saya melihat kerapuhan pada fisik
mereka yang bahkan sedikit menakutkan. Dengan demikian, hal itu semakin
membangkitkan kerinduan dalam diri saya untuk berada di dekat mereka.
Ketika
hubungan Kevin dengan orangtuanya bertambah baik dan menjalin persahabaan
dengan orangorang yang menceritakan pergumulannya serta ingin memperoleh
pemahaman dari hal-hal yang mengendalikannya, ia menemukan kekuatan untuk
menghentikan kebiasaannya berhubungan seks dengan sesame jenis. Sekali ia
menghentikan perilaku homoseksualnya, ia menjadi terobsesi dengan ketakutan
bahwa ia akan kambuh. Ketakutannya untuk jatuh kembali pada kebiasaan seksual
dilawan oleh seorang teman, yang bertanya kepadanya, “Siapa yang akan Anda
percayai – dosa Anda atau Yesus?” Saat itu , Kevin menyadari bahwa ia tidak
lagi menjadi budak dari kemauan dan hasratnya. Ada beberapa situasi yang sangat
berbahaya pada tahun pertama tersebut, namun godaan tidak lagi merupakan
pendahuluan otomatis dari dosa.
Pada akhir
tahun 1987, Kevin pindah ke daerah San Fransisco untuk bekerja di Love in
Aciton, lembaga pelayanan mantan gay yang lain. Tidak lama kemudian, ia bergabung
sebagai staf Exodus dan akhirnya menjadi direktur konferensi. Ia menjabat
posisi tersebut selama tiga tahun. Ia masih tetap melajang, dan meskipun ketertarikannya
terhadap lawan jenis bertambah, ia belum menemukan pasangan hidup yang cocok. “Saya
belum melihat seseorang secara serius saat ini. Tetapi siapa tahu, hal itu
mungkin akan berubah pada saat buku ini terbit.”
Peperangan
Terus-Menerus dengan Godaan
Hidup tidak
selalu mudah bagi mereka yang telah lepas dari perilaku homoseksual dan meninggalkan
kehidupan gay. Mengejar hidup yang kudus melibatkan komitmen, disiplin mental,
dan kepercayaan. Kevin mencatat bebeapa usaha yang sudah ia lakukan : “Belajar
membangun hubungan yang sehat dengan sesama jenis. Belajar tentang batas-batas.
Bertobat dari sumpah lama yang pernah dibuat. Bertobat dari pemisahan yang bersifat
defensif. Bersedia menjalin persahabatan dengan laki-laki dan perempuan, dan
bahkan mengambil risiko untuk berkencan dengan lawan jenis. Mencapai penerimaan
diri.” Dan, apakah semua godaan itu pergi? Kevin menjawab :
Saya
inginmengatakan bahwa semua godaan itu telah hilang dan saat ini saya adalah
contoh yang baik bagi pemulihan dari homoseksualitas. Tetapi, itu bukan
kenyataannya. Godaan sudah berubah sehingga ketika saya pertama kali mulai
pergi ke Desert Stream, tidak ada jeda waktu untuk memikirkan dan mengaitkan
godaan yang datang dengan dosa. Sewaktu godaan itu datang, saya langsung pergi
dan mengikuti hasrat saya. Dengan berlalunya waktu, tentu saja, semakin banyak
waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan ulang dan menahan
godaan.
Sepertinya saya sedang berlari menuju tepi tebing yang curam, dan, dengan
berlalunya waktu, semakin banyak pagar dan rintangan yang dipasang antara
godaan dan tebing tersebut. Sampai saat ini, tebing itu masih ada. Dan, saya
sangat menyadari bahwa, seperti Raja Daud, jika saya berada di tempat yang
tidak seharusnya dan melakukan apa yang seharusnya tidak saya lakukan, saya
dengan mudah dapat memulai rantai serangkaian kejadian di mana saya mudah untuk
tidak berpikir panjang, seperti yang dilakukan Daud. Jika hal itu bisa terjadi
pada dirinya, pasti juga bisa terjadi pada diri saya. Jadi intinya adalah melakukan
semua hal yang sehat. Tetap berhubungan dengan Tuhan. Tetap bersosialisasi
dengan teman-teman dan jemaat gereja dan menjauhi tempat-tempat godaan. Ddan
juga, menjaga agar sesedikit mungkin mengeluh.
Menurut
saya, masih memiliki sedikit pergumulan dengan hal itu merupakan salah satu
cara yang dipakai Allah dalam membantu saya untuk tetap berhati-hati dengan
orang lain dan kelemahan mereka. Semoga hal itu membantu saya untuk memiliki
sedikit lebih banyak belas kasihan dari yang sudah saya miliki.
Pada tahun
1992, setelah menjalani serangkaian kekecewaan, Kevin mengalami kehancuran
emosional. Ia mendapati dirinya merasa sangat marah dengan Allah dan dengan
sejumlah orang, sehingga ia ingin memberontak
dan kembali
terlibat dalam homoseksual. Saat itu ia berpkir dan mengevaluasi apakah,
homoseksualitas memiliki sesuatu untuk ditawarkan kepadanya. Bagaimana mungkin
kehidupan Kristennya yang baru bisa dibandingkan dengan cara hidupnya yang lama?
“Walaupun Yesus tidak begitu saja menghapus semua masalah dan luka hati,” Kevin
kemudian berkata,”saya memperoleh kesimpulan kritis: dibandingkan dengan luka
hati, ketidakberdayaan dan kemarahan yang saya rasakan, hidup bersama Tuhan
masih lebih baik daripada hari-hari terbaik ketika saya mengejar homoseksualitas.”
Kini Kevin bekerja pada perusahaan teknologi tinggi di California Utara dan
menemukan pelayanan utamanya dalam dunia bisnis. Akan tetapi, ia menghabiskan
waktu bertahun-tahun bekerja di antara mereka yang bergumul dengan hasrat dan
daya tarik homoseksual. Apa yang ingin ia katakan kepada mereka yang masih
terus bergumul dengan masalah gender?
Saya akan
mengajukan beberapa pertanyaan : Jika godaan dan perasaan tidak sepenuhnya
hilang, apakah Anda akan terus mengejar hubungan dengan Tuhan? Apakah Anda akan
lari keluar? Ataukah, Anda akan mengubah teologi Anda untuk memenuhi hasrat
Anda? Apakah kesembuhan Anda yang sempurna dan absolute merupakan harga yang
telah Dia bayar bagi kasih Anda? “Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan
dan memisahkan kita ke dalam Kerajaan AnakNya yang kekasih; di dalam Dia kita
memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa” (Kol 1:13-14). Ia mengingatkan
kita melalui Roh Kudus, firmanNya, dan orang lain bahwa tidak satu pun dari
kita yang menempati rangking elit di antara orang berdosa. Ia juga mengingatkan
kita bahwa kita kudus hanya karena belas kasihanNya dan diangkat anak hanya
karena kebaikanNya. Kini saya merasa aman dan memiliki tujuan dan kasih yang
murni melalui Yesus Kristus. Ia telah menjadi Teman Sejati yang selama ini saya
cari - tetapi saya tidak pernah temukan – dalam komunitas gay. Bukankah Ia juga
akan menjadi Teman Sejati bagi Anda?
Bagi yang suka membaca cerpen dapat membaca http://pertobatansodomgomora.blogspot.com/2013/01/bukan-cinta-biasa-cerpen.html (cerpen yang berlatar belakang sodom gomora). Selamat membaca.
Bagi yang suka membaca cerpen dapat membaca http://pertobatansodomgomora.blogspot.com/2013/01/bukan-cinta-biasa-cerpen.html (cerpen yang berlatar belakang sodom gomora). Selamat membaca.