Oleh : Elizabeth Silance Ballard
Dari Buku : Kisah Kasih Allah
Surat Teddy datang hari ini. Setelah membacanya, saya akan menyimpannya
dalam laci lemari kayu beserta barang-barang lain yang penting bagi hidup saya.
“Saya ingin Ibu yang
pertama kali tahu.”
Saya tersenyum membaca
kata-kata pertama yang ditulisnya dan hati saya melambung oleh kebanggaan yang
sepertinya tidak layak saya terima. Saya sudah tidak pernah bertemu dengan
Teddy Stallard sejak ia masih duduk di kelas lima, lima belas tahun lalu. Saat
itu adalah awal karier saya, dan saya sudah mengajar selama dua tahun.
Sejak hari pertama masuk
kelas, saya tak suka pada Teddy. Para guru (meski setiap orang berbeda) tidak
dianjurkan memiliki perasaan tertentu di kelas, terutama tidak boleh
menunjukkan rasa tak suka pada anak, siapa pun itu.
Namun setiap tahun ada
saja satu atau dua anak yang menjadi kesayangan, karena para guru juga manusia,
dan wajar bila kita cenderung menyukai orang yang cerdas, cantik, cakap,
pintar. Kadang-kadang – tidak terlalu sering memang- akan selalu ada satu-dua
anak yang tidak disukai guru.
Tadinya saya pikir akan
mampu mengatasi perasaan itu, sampai Teddy masuk dalam hidup saya. Saya tidak
menganakemaskan seorang murid pun pada tahun itu, tetapi yang pasti Teddy
adalah murid yang tidak saya sukai.
Ia kotor. Bukan hanya
sesekali, tetapi selalu kotor. Rambutnya panjang menutupi telinga, sampai ia
harus memegangi atau mengikatnya saat menulis di kelas. (Hal ini terjadi
sebelum model rambut seperti itu menjadi tren di kalangan anak muda!) Ditambah
lagi, ia punya bau badan yang khas.
Ia punya banyak kelemahan
fisik, dan kecerdasannya pun jauh dari harapan. Sebelum akhir minggu pertama,
saya sudah tahu bahwa ia jauh tertinggal dibandingkan murid lain. Masih pula ia
lambat mengejar ketinggalannya! Sebab itu, say amulai menjaga jarak dengannya.
Setiap guru pasti akan
mengatakan bahwa lebih menyenangkan mengajar anak cerdas. Tentu saja, karena
itu lebih memuaskan ego seseorang. Namun, setiap guru yang baik harus tetap
memperhatikan anak cerdas itu , agar terus tertantang dan belajar, sementara
pada saat yang sama si guru juga mengerahkan upayanya untuk membantu anak yang
lebih lambat. Setiap guru dapat melakukan hal itu. Sebagian besar guru
melakukannya, tetapi saya tidak, tidak untuk tahun itu.
Kenyataannya, saya
memusatkan perhatian pada para murid terbarik dan membiarkan mereka mengerjakan
hal terbaik yang mampu mereka lakukan. Dengan agak malu untuk mengakui, saya
merasa sedikit senang saat menggunakan pulpen merah saya. Apalagi setiap kali
memeriksa pekerjaan Teddy, tanda silang (yang banyak jumlahnya) selalu saya
buat lebih besar dan lebih merah daripada yang seharusnya.
“Pekerjaan yang buruk!”
tulis saya dengan mantap.
Meski saya tidak mencemooh
anak itu secara langsung, tetapi sikap saya menunjukkannya dengan jelas, karena
dengan cepat ia menjadi orang “kelas kambing” di kelas itu, orang yang
disingkirkan : tidak menarik dan tidak pantas dikasihi.
Ia tahu saya tak
menyukainya, tapi ia tidak tahu sebabnya. Demikian pula saya. Sesungguhnya, baik
dulu maupun sekarang, saya tidak tahu mengapa saya tidak menyukainya. Yang saya
tahu, ia adalah anak kecil yang tidak dipedulikan oleh siapa pun, dan saya tak
melakukan apa-apa untuk membantunya.
Hari terus bergulir. Kami
melewati Pesta Musim Gugur, liburan hari Pengucapan Syukur, dan saya masih
terus menorehkan tanda merah dengan pulpen saya.
Saat liburan Natal semakin
dekat, saya tahu bahwa Teddy tidak akan ernah naik ke kelas enam.
Untuk membenarkan diri
sendiri, saya terus memandangi nilai-nilainya. Ia mendapat nilai yang rendah
selama empat tahun pertama belajar, tetapi ia tak pernah tidak naik kelas.
Bagaimana itu bisa terjadi, saya tak tahu. Sampai akhirnya saya melihat sebuah
catatan khusus di rapornya.
Kelas satu : Teddy
berjanji untuk memperbaiki prestasi dan sikapnya. Ia menghadapi situasi
keluarga yang menyedihkan. Kelas dua : Teddy dapat melakukan yang lebih baik.
Ibunya sakit parah. Ia hanya mendapat sedikit perhatian di rumah. Kelas tiga :
Teddy adalah anak yang menyenangkan. Ibunya meninggal pada akhir tahun. Kelas
empat : sangat lambat, tetapi berkelakuan baik. Ayahnya tak punya perhatian.
Ya, para guru telah
meluluskannya empat kali, tetapi ia pasti mengulang kelas lima ini! Ini demi
kebaikannya! Saya berkata kepada diri sendiri.
Dan, tibalah hari terakhir
sebelum libur. Pohon kecil kami yang ada di atas meja baca dihiasi dengan
kertas dan rantai pop-corn. Banyak hadiah di bawahnya, menanti saat istimewa
itu.
Para guru selalu mendapat
hadiah saat Natal, tetapi hadiah saya tahun itu tampaknya lebih besar dan lebih
bermacam-macam daripada sebelumnya. Tak ada murid yang tidak membawa hadiah.
Setiap hadiah yang dibuka menimbulkan jeritan kesukaan, dan pemberinya akan
menerima ucapan terima kasih yang berlebihan.
Hadiah Teddy bukan yang terakhir
saya ambil; karena ada di tengah tumpukan. Dibungkus kertas cokelat, dan
direkatkan dengan plester. Lalu ia menggambar pohon Natal dan lonceng merah di
depannya.
“Buat Bu Thompson , dari
Teddy.” Demikianlah pesannya.
Kelas benar-benar hening.
Dan, untuk pertama kalinya saya merasa menjadi pusat perhatian. Saya malu
karena mereka semua berdiri menatap saya membuka hadiah itu.
Saat saya melepaskan
plester terakhir, dua benda jatuh ke meja: sebuah gelang dengan beberapa batu
permata yang hilang dan sebotol kecil minyak wangi yang isinya tinggal
setengah.
Saya mendengar suara
tertawa dan bisik-bisik, dan tiba-tiba saya memandang Teddy.
“Bukankah ini sangat
indah?” tanya saya sambil memasang gelang. “Teddy, kau bisa menolong Ibu
mengencangkannya?”
Ia tersipu malu saat
mengikatkan gelang itu, dan saya mengangkat pergelangan tangan supaya mereka
bisa mengaguminya.
Beberapa anak merasa heran
dan ragu, tetapi saat saya mengoleskan minyak wangi itu di belakang telinga
saya, semua anak perempuan berbaris untuk mengoleskannya juga.
Saya melanjutkan membuka
hadiah hingga tumpukan paling bawah. Kemudian kami menikmati bekal makanan
kami, sampai akhirnya bel berbunyi.
Anak-anak pun bubar sambil
berseru, “Sampai jumpa tahun depan!” dan “Selamat Natal!” Namun, Teddy tetap
duduk di bangkunya.
Ketika mereka semua sudah
keluar, ia berjalan menghampiri saya, sambil mendekap hadiah dan buku-buku di
dadanya.
“Ibu harum seperti Mama,”
katanya lembur. “Gelang Mama juga tampak cantik dipakai Ibu. Saya senang Ibu
menyukainya.”
Lalu ia segera keluar.
Saya mengunci pintu, duduk di meja, dan menangis. Saya berketetapan untuk
memperbaiki semua yang selama ini telah saya rampas dengan sengaja dari diri
Teddy – menjadi seorang guru yang peduli.
Saya meluangkan waktu
setiap sore bersama Teddy, dari akhir libur Natal sehingga akhir masa sekolah.
Terkadang saya membantunya belajar. Kadang ia bekerja sendiri sementara saya
merencanakan pelajaran dan tugas-tugas mendatang.
Perlahan namun pasti, ia
mengejar ketertinggalannya. Bahkan , nilai rata-rata akhirnya termasuk yang
tertinggi di kelas. Dan meskipun saya tahu ia akan pindah kelak, saya tidak
khawatir. Teddy telah menjadi pribadi yang sanggup bertahan menghadapi
tahun-tahun yang akan datang, ke mana pun ia pergi. Ia telah menikmati satu
langkah sukses, dan selanjutnya, seperti yang telah diajarkan di pelatihan
guru: “Kesuksesan yang satu menciptakan kesuksesan berikutnya.”
Saya tidak mendengar kabar
dari Teddy hingga tujuh tahun kemudian, saat surat pertamanya muncul di kotak
surat.
Bu Thompson yang baik,
Saya ingin Ibu yang pertama tahu, bahwa saya akan lulus
sebagai peringkat kedua di kelas saya bulan depan.
Salam kasih,
Teddy Stallard
Saya mengiriminya kartu
ucapan selamat dan paket kecil berisi pulpen dan pensil. Saya bertanya-tanya
apa yang akan dilakukannya setelah lulus nanti.
Empat tahun kemudian,
surat Teddy tiba.
Bu Thompson yang baik,
Saya ingin Ibu yang pertama kali tahu berita ini. Saya
baru dapat informasi bahwa saya akan menjadi lululusan terbaik di kelas saya.
Universitas bukanlah hal yang mudah ,
tapi saya menyukainya.
Salam hangat,
Teddy Stallard.
Saya mengiriminya sepasang
manset perak murni bertatahkan huruf timbul dan selembar kartu, dengan
kebanggaan yang dalam atas prestasinya! Dan sekarang, surat Teddy yang ketiga.
Bu Thompson yang baik,
Saya ingin Ibu yang pertama kali tahu. Saya sekarang
adalah Theodore Stallard, MD. Cukup keren, kan?!
Saya akan menikah pada tanggal 27 Juli. Saya ingin
mengundang Ibu untuk datang dan duduk di tempat Mama – seandainya ia masih
hidup. Saya sudah tak punya keluarga lagi karena Ayah sudah meninggal tahun lalu.
Salam hangat,
Teddy Stallard
Saya tidak tahu hadiah apa
yang pantas bagi seorang dokter yang baru lulus dari sekolah kedokteran. Namun,
saya rasa kado masih bisa menanti, tetapi kartu ucapan selamat harus segera
dikirimkan.
Ted yang baik,
Selamat! Kamu sudah berhasil, dan kamu melakukannya
sendiri! Hari istimewa ini datang bukan karena saya dan bukan karena kita,
tetapi karena usahamu yang keras.
Tuhan memberkatimu. Saya akan hadir pada hari
pernikahanmu, saat lonceng pernikahan berdentang!
Elizabeth Silance Ballard.