Patricia St John
(Stories to Share)
Laki-laki itu
terduduk di samping tempat-tempat pemberhentian busa dan menatap pada bebatuan.
Beberapa orang yang lewat menatapnya – wajahnya yang tidak dicukur, bahu yang
turun, dan sepatu yang rusak, tapi ia tidak peduli pada pandangan orang-orang
yang lalu lalang tersebut karena ia sedang menghidupi kembali hidupnya. Ia
tidak lagi menjadi pengemis lapar yang tidur di jalan kereta seperti kemarin
malam.
Ia adalah anak laki-laki yang
tinggal di rumah kecil berbatu bata merah di seberang jalan, lebih dari dua
puluh tahun yang lalu. Mungkin mereka telah menghancurkan rumah tersebut, tapi
ia berharap mereka tidak menghancurkan taman bunga yang ada. Aneh, bagaimana ia
masih dapat mengingat taman yang ada. Aneh, bagaimana ia masih dapat mengingat
taman bunga tersebut, dan ayunan yang dibuat ayah untuknya, serta jalan setapak
di mana ia belajar mengendarai sepeda. Orang tuanya harus menabung selama
berbulan-bulan untk membeli sepeda tersebut.
Laki-laki tersebut mengangkat
bahunya dan gelisah karena ingatan tersebut melukainya, dan ingatannya melayang
ke sepuluh tahun lalu. Sepedanya telah berubah menjadi motor dan ia mulai
jarang pulang. Ia mempunyai pekerjaan dan banyak teman. Ayah dan ibu terlihat
sedih dan tua sedangkan kehidupan di pub lebih menarik perhatiannya. Ia tidak
ingin mengingat kejadian tahun-tahun tersebut serta hutang yang membawa ia
pulang ke rumah. Orang tuanya saat itu membuatkan ia secangkir teh dan ia tidak
sanggup mengutarakan maksud kedatangannya. Tapi ia tahu dengan pasti di mana
ayahnya menyimpan uang tabungannya. Kemudian ketika kedua orang tuanya berada
di taman, sangatlah mudah baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Itu adalah saat terakhir kali ia
melihat mereka. Setelah kejadian itu Ia tidak ingin pulang lagi, dan orang
tuanya kehilangan jejaknya. Ia pergi ke luar negeri, dan mereka tidak tahu
tentang hidup yang dihabisinya selama bertahun-tahun di penjara. Tapi selama di
penjara ia berpikir banyak tentang mereka. Kadang-kadang saat terbangun di
tengah malam, ia mulai berpikir, bila ia bebas akan pulang menjumpai mereka –
jika mereka masih hidup dan jika mereka
masih ingin melihat dirinya.
Ketika masa penjara usai, ia
mendapatkan pekerjaan di kota. Tapi ia tidak dapat menetap. Rasanya ada yang
menarik dirinya untuk pulang dan ia tidak dapat lari dari keinginan tersebut
Setiap saat ia berjalan, ada sesuatu yang mengingatkan dirinya kumpulan bunga
di taman, seorang anak laki-laki bermain ayunan, pulang sekolah sambil berlari
ia tidak dapat melupakan rumah kecil berbatu bara merah.
Ia tidak ingin pulang tanpa uang
sepeserpun , oleh sebab itu, ia berusaha mendapat tumpangan dan berjalan kai
menempuh perjalanan yang sangat panjang. Ia sebenarnya dapat tiba lebih awal,
tapi dua puluh mil dari tempat yang dituju tiba-tiba ia merasa tidak akan
menerima kemurahan. Hak apa yang ia miliki untuk pulang? Mungkinkah mereka
memaafkan laki-laki kurus yang membalas kebaikan orang tua yang telah begitu
mengasihinya dengan kekecewaan yang sangat? Ia membeli makanan dan menghabiskan
waktunya duduk di bawah pohon Surat yang telah dikirimnya sore itu cukup
singkat, tapi telah memakan waktu berjam-jam untuk menulisnya. Surat itu
berakhir dengan kalimat :
Aku tahu bahwa tidak beralasan bagiku untuk
berharap bahwa kamu masih ingin bertemu denganku… jadi terserah pada kalian AKu
akan datang ke ujung jalan Kamis pagi. Bila kalian ingin aku pulang, gantungkan
sapu tangan putih di jendela kamar saya. Jika aku menemukan sapu tangan
tersebut, maka aku akan pulang. Jika tidak, aku akan mengucapkan selamat
tinggal dan melanjutkan perjalananku.
Dan sekarang adalah Kamis pagi.
Ia telah tiba di ujung jalan. Tapi untuk mencapai rumahnya ia tidak ingin
terburu-buru. Ia hanya duduk di pinggir pemberhentian bus sambil menatap pada
bebatuan. Ia tidak dapat menunda selamanya. Lagipula meerka mungkin sudah
pindah. Jika saputangan tidak di sana ia akan mengadakan penelitian sebelum ia
meninggalkan kotanya. Ia masih tidak mempunyai keberanian untuk menghadapi
kenyataan bila orang tuanya tidak lagi menginginkannya.
Ia bangkit dengan rasa sakit
karena tidur di udara terbuka. Jalanan masih cukup gelap. Sedikit bergetar ia
berjalan perlahan menuju pohon oak di mana ia dapat dengan jelas melihat
rumahnya. Ia tidak akan mengangkat mukanya sampai ia tiba di sana. Ia berdiri
di bawah pohon dengan mata tertutup. Lalu dengan napas panjang ia membuka
matanya. Dan ia terbelalak melihat apa yang ada di hadapannya.
Matahari telah bersinar
menyinari rumah berbatu bata merah, tapi rumah itu tidak lagi merah, karena
semua dinding telah berubah putih. Pada setiap jendela tergantung seprei,
sarung bantal, handuk , serbet, sapu tangan dan taplak meja; dan horden putih
tergantung dari jendela loteng atas sampai ke bawah. Rumah tersebut terlihat
bagaikan rumah salju bercahaya terkena sinar matahari pagi. Orang tuanya ternyata
tidak mau mengambil resiko.
Melihat apa yang telah dilakukan
oleh orang tuanya, laki-laki tersebut menangis lega. Lalu ia berlari melintasi
jalan dan langsung menuju rumah lewat pintu yang telah terbuka lebar.