Dorothy Canfield Fisher dari A Harvest of Stories
Stories for the family’s heart
Bertahun-tahun yang lalu, waktu nenek buyutku masih
seorang yang riang gembira dengan wajahnya yang penuh keriput, ia mendengar
bahwa di salah satu pertanian di gunung di sisi lereng yang curam, seorang
istri petani di sana tidak pernah turun ke desa untuk membeli barang-barang
atau pergi ke gereja karena ia takut orang-orang akan mentertawakannya. Ibunya adalah seorang
Indian, dan warna kulitnya sangat gelap. Mereka adalah rakyat biasa yang tidak
memiliki banyak uang, dan ia berpikir kalau pakaiannya tidak cukup layak untuk
pergi ke gereja. Ia menjauhi orang-orang karena ia malu dan langsung masuk ke
dalam rumah dan bersembunyi begitu ada orang asing yang berhenti di
pertaniannya.
Setelah
nenek buyutku mendengar tentang hal itu, ia meminta anak lelakinya
mengantarkannya ke pertanian keluarga Hunter dengan kereta keluarga yang kecil
dan usang. Ny. Hunter sedang menjemur pakaian saat nenek buyutku masuk ke
ladangnya. Sebelum ia sempat menghindar dan bersembunyi, nenek buyutku turun
dari keretanya yang pendek dan kecil dan berkata,”Mari aku bantu!” Dalam waktu
satu menit , dengan mulut penuh dengan penjepit baju, ia berdiri dekat Ny.
Hunter, menjepit seprai , handuk dan kemeja-kemeja pria. “Wow, bersih sekali
kau mencucinya!” ia berkomentar tentang baju-baju yang sedang dijepitnya. “Semuanya
putih seperti susu yang baru saja diperas! Bagaimana caranya kau membuat sabun?
Apa kau memasukkan garam ke dalamnya?”
Tidak
lama, seember besar baju basah telah selesai digantung. Istri petani gunung
yang berkulit gelap dan berambut hitam itu tidak merasa malu saat berjalan
bersama dengan nenek buyutku. Mereka berbincang-bincang di dapur sambil mencuci
piring-piring bekas makan pagi, dan duduk bersama di samping keranjang benang
jahit. Pertanyaan tentang gereja akhirnya keluar, dan dilanjutkan dengan
pembicaraan tentang topic yang lainnya.
Sebelum nenek buyutku pamit pulang, Ny. Hunter berkata kalau ia akan
pergi ke gereja hari Minggu berikutnya, kalau nenek buyutku juga pergi
bersamanya dan duduk berdampingan dengannya.
Merasa
cukup yakin, hari Minggu berikutnya, nenek buyutku, nenek dan bibiku berdiri di
depan serambi muka rumah keluarga Hunter. Mereka semua memakai baju yang pantas
untuk pergi ke gereja, mengenakan topi yang indah dan membawa buku doa. Mereka
tersenyum pada Ny. Hunter saat Tn. Hunter mengantarnya ke luar rumah.
Ny.
Hunter mengenakan topi menutupi rambutnya yang hitam legam. Waktu itu hari agak
dingin, ia mengenakan mantel, sepatunya hitam mengkilap sepertinya baru saja
disemir. Ia seorang wanita desa asli sehingga cara berpakaiannya sangat
mengikuti tradisi, yaitu memakai baju celemek, ia mengenakan celemek warna biru
yang kaku (karena selalu diberi kanji saat mencuci) menutupi mantelnya, dan
mengikat talinya ke belakang.
Bibiku
yang waktu itu masih gadis kecil berkata kalau ia dan nenek sangat heran
melihat caranya berpakaian, apalagi ditambah dengan celemek itu. Mata mereka
terbelalak dan mereka bersiap-siap untuk menutup mulut mereka untuk
menyembunyikan senyum. Di luar dugaan, ternyata nenek buyut segera menggamit
lengan nenek dan bibi dan bergegas pulang ke rumah, setelah sebelumnya berkata
pada Ny. Hunter, “Wah, kami lupa mengenakan baju celemek kami. Tungguh kami,
ya. Kami tidak akan lama.”
Di
dalam rumah, nenek buyut dengan segera memakaikan celemek ke nenek dan bibiku.
Ia sendiri mengenakan celemek yang terbesar yang ia punya dan mengikat talinya ke
belakang. Kemudian mereka pergi ke gereja bersama dengan Ny. Hunter, mereka
berempat semuanya memakai celemek.
Orang-orang
yang sudah duduk di dalam gereja semuanya terkejut begitu melihat mereka,
tetapi nenek buyutku memasang ekspresi muka yang galak yang kadang-kadang ia
tunjukkan, dan mereka tidak berani mengatakan apa-apa dan juga anak-anak mereka
berhenti tertawa mengikik.
Pada
akhir kebaktian, semua menghampiri N. Hunter dan berjabat tangan. Mereka tahu
kalau mereka tidak melakukannya, nenek buyutku pasti akan marah. Mereka berkata
pada Ny. Hunter kalau mereka senang Ny. Hunter mau datang ke gereja dan mereka
berharap ia akan sering datang. Setelah hari itu, Ny. Hunter selalu hadir di
gereja setiap hari Minggu. – tanpa menggunakan celemek; karena satu kali di
minggu berikutnya, nenek buyutku secara tidak sengaja berkata kalau tidak perlu
mengenakan baju celemek pada hari-hari Minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar