Saya adalah seorang guru di sekolah dasar, saya
mengajar di jam sore hari. Salah seorang murid saya setiap hari datang
terlambat ke sekolah. Tas dan bajunya selalu kotor. Setiap kali saya bertanya
tentang baju dan tasnya dia hanya terdiam. Saya masih bersabar dengan keadaan
pakaiannya.
Tetapi kesabaran saya benar-benar diuji dengan
sikapnya yang setiap hari datang terlambat. Pada mulanya saya hanya memberi
nasehat. Dia hanya menundukkan kepala tanpa berkata-kata kecuali anggukan yang
seolah-olah dipaksakan. Kali kedua saya memarahinya, dia masih juga mengangguk
tetapi masih juga datang terlambat keesokan
harinya.
Kali ketiga, saya terpaksa menjalankan janji saya
untuk memukulnya kalau masih terlambat. Anehnya dia hanya menyerahkan
punggungnya untuk dipukul. Air matanya saja yang berjatuhan tanpa berucap
sepatah katapun dari mulutnya.
Keesokan harinya dia masih juga terlambat, dan saya memukulnya
lagi. Namun ia masih tetap datang ke sekolah dan masih tetap datang terlambat.
Suatu hari saya berencana untuk menyelidikinya ke
rumahnya. Setelah mendapat alamatnya, saya melanjutkan niat saya. Dia tinggal
di sebuah kawasan bukit yang tidak begitu jauh dari sekolah. Keadaan rumahnya
sungguh sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan tidak layak huni.
Saya melihat murid saya itu sedang berdiri di depan
rumahnya dalam keadaan gelisah. Seorang wanita yang mungkin ibunya juga
kelihatan. Kurang lebih pukul 1.30 siang, seorang anak lelaki sedang
berlari-lari sekuat tenaga menuju rumah itu. Sambil berlari dia membuka baju
sekolahnya. Sampai di depan rumah, baju dan tasnya diserahkan kepada murid saya
yang langsung bergegas memakainya. Sebelum pakaian sekolahnya sempurna
dikenakan, dia sudah berlari ke arah sekolah.
Saya kembali ke sekolah dengan penuh penyesalan. Saya
memanggil anak itu sambil menahan air mata yang mulai tergenang. "Maafkan
ibu. Tadi ibu pergi ke rumah kamu dan memperhatikan kamu dari kejauhan. Siapa
yang berlari memberi kamu baju tadi?"
Dia terkejut dan wajahnya berubah. "Itu kakak
saya. Kami bergantian baju dan tas sebab tidak ada baju lain lagi. Hanya baju
dan tas itu yang ada. Maafkan saya, ibu." jawabnya.
"Kenapa kamu tidak memberitahu ibu dan kenapa
kamu biarkan saja ketika ibu memukul kamu?"
"Ibu saya berpesan, jangan meminta-minta pada
orang, jangan ceritakan kemiskinan kita pada orang. Kalau ibu guru mau memukul,
serahkan saja punggung kamu."
Sambil menahan air mata yang mulai berguguran, saya
memeluk anak itu, "Maaf ibu..." Kejadian itu cukup menyadarkan saya.
Setelah itu saya mencoba membantunya sekuat yang aku mampu.
Dipetik dari pengalaman seorang guru.
Sumber : Unknown