Jeannie Lancaster, Chicken
Soup for the Soul. Bangit dari Masa Sulit.
Sudahkah kau menerima kebaikan? Teruskanlah kebaikan
itu! Menghapus air mata satu demi satu orang, sampai kebaikan itu muncul di surga—Teruskanlah
kebaikan itu! Henry Burton.
Orangtuaku bercerai
pada tahun 1963, saat aku berusia sebelas tahun. Setahun kemudian, ayahku tidak
lagi memberikan duungan financial apa pun bagiku maupun ketiga kakak
perempuanku. Ibuku sendirian, bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya
yang semuanya perempuan, dengan satu anak yang mengalami keterlambatan
perkembangan yang parah.
Masa-masa itu jelas sangat
menantang. Aku masih ingat telepon-telepon ancaman dari penagih utang, suara
tangis ibuku pada larut malam, dan malam-malam ketika pancake tepung dan air merupakan makan malam kami yang sedikit.
Tetapi, satu kenangan yang muncul dengan kuat, lebih dari yang lain, adalah
momen ketika aku belajar makna berbagi dan mengasihi.
Untuk menafkahi keluarga kami,
ibuku bekerja pada siang hari di sebuah kantor surat kabar setempat. Sebagai
tambahan, beberapa malam dalam seminggu dia menjual baju-baju perempuan di
pesta-pesta pribadi.
Saat menyetir pulang pada suatu
malam, dia berhenti di lampu merah. Lelah seusai kerja membuatnya tidak melihat
mobil yang mengebut di belakangnya. Si pengemudi tidak memperhatikan lampu
merah. Mobil itu menabrak bagian belakang mobil ibuku dengan kecepatan 96
kilometer per jam.
Barangkali, kelelahan yang telah
menyelamatkan nyawa ibuku malam itu. Tubuhnya, letih dan lemas, terlempar dari
kursi si pengemudi ke bagian belakang mobil. Mobilnya sendiri hancur menjadi
serpihan besi di sekitarnya.
Ajaib, ibuku selamat hanya
dengan memar dan benjol. Baju-baju yang hendak dijual telah bertindak sebagai
pengaman. Tetapi, mobilnya tidak selamat, sementara pengemudi mobil yang
menabrak adalah pria muda yang tidak memiliki asuransi. Aku ingat ekspresi
putus asa di wajah ibuku, khawatir bagaimana mungkin dia bisa mengumpulkan uang
untuk membeli mobil baru.
Keesokan harinya, aku melihat
tetangga kami, keluarga Clayton, berjalan menuruni bukit dari rumah mereka.
Mereka memberikan amplop kepaa ibuku berisi 500 dolar. Aku masih ingat ibuku
yang tangguh dengan harga diri tinggi, menolak pemberian itu, berkata dia tidak
bisa menerima uang mereka. Tidak mungkin ibuku bisa membayar kembali uang
tersebut.
Mr. Clayton tersenyum mendengar
protes-protesnya, lalu memberikan pernyataan yang berkesan. “Jangan khawatir
soal membayar kembali. Kelak, jika situasi membaik, tolonglah orang lain yang
sedang membutuhkan. Itu saja imbalan yang dibutuhkan.”
Ibuku mengingat-ingat pesan ini.
Setahun kemudian dia pulang dari perjalanan panjang dengan bus ke kota
tetangga, tempatnya menjual iklan untuk penerbit setempat. Saat berjalan masuk,
dia melihat seorang perempuan muda memeluk bayinya yang menangis. Mereka duduk
meringkuk di lantai. Ibuku menggiring mereka ke dapur kami dan langsung memasak
hidangan sederhana untuk makan malam sang tamu.
Dengan berjalannya malam, kisah
si perempuan muda pun mengalir. Dia melarikan diri dari suami yang suka
menyiksa sambil membawa bayi mereka serta sedikit barang. Uangnya hanya cukup
untuk pergi sejauh kota kami. Saat bertemu dengan mereka di bus, ibuku tahu apa
yang harus dilakukan.
Ibuku menyiapkan sofat kami
sebagai tempat tidurnya. Setelah itu, aku melihat ibuku membuka dompetnya dan
memberikan perjalanan ke kota berikutnya dengan bus. AKu tahu hanya itulah uang
ibuku. Tetapi, aku melihat tekad dan kebahagiaan di wajahnya saat memberikan
uang itu. Aku mendengarkan saat si ibu muda menelpon orangtuanya sambil
menangis, mengabarkan bahwa dia akan pulang.
Selama bertahun-tahun, keluarga
kami terus berada dalam kondisi sulit. Namun, lagi dan lagi, aku melihat ibuku
menolong orang lain, bagaimanapun caranya, apakah itu dengan uang, waktu,
akupun bentuk bantuan lainnya.
Beberapa decade telah berlaku
sejak tetangga kami datang menuruni bukit membawa hadiah. AKu mencoba mengikuti
contoh mereka dan ibuku, menolong kecil-kecilan di sana-sini. Aku berharap
kelak anak-anakku akan melihat pelajaran yang kupetik bertahun-tahun lalu dari
tetangga kami yang baik hati, dan dari ibuku. Kuharap, mereka akan melihat
bahwa, di tengah situasi sulit, kebaikan dan kemurahan hati akan membuat
perbedaan besar.