Kay Day, Chicken
Soup for the Soul. Bangit dari Masa Sulit.
Ingat, kita semua akan tersandung. Itulah mengapa
lebih baik berjalan sambil bergandengan tangan. (Emily Kimbrough)
Aroma rumput yang
baru dipangkas menggelitik hidungku saat aku menatap suamiku berjalan ke
arahku. Dia menggenggam sepucuk surat. Kematikan alat pemotong itu.
“Mereka mengirimkan
orang ke sini untuk mengambil barang-barang ktia,” katanya.
“Siapa? Barang-barang
apa?”
“Gara-gara pajak,
mereka pikir kita berutang, dan sekarang menaruh hak gadai atas aset-aset kita.”
“Aset apa?” tanyaku.
“Apa yang bisa mereka ambil, yang layak untuk menempuh perjalanan ke sini?”
Kuambil surat itu
dan kulihat sekilas segel resmi Negara. Perjuangan panjang untuk membebaskan
diri kami sepertinya sia-sia. Sistem yang kurang sempurna membuat Negara, yang
belum lama kami tinggali, mencoba menagih pajak yang telah kami bayarkan.
Apel-apel merah muda
bermekaran di sekitar kami – pertanda keceriaan yang kontras dengan momen
tersebut. Kami seharusnya bahagia; status paiit yang kami ajukan tujuh tahun
yang lalu akhirnya diangkat dari laporan kredit kami. Tetapi, kami malah
tercebur di dalam ceruk utang tanpa pilihan lain, selain sekali lagi mengajukan
pailit. Kami begitu ingin menghindari hal tersebut. Jadi, surat ini layaknya
sekop yang berderak di atas tanah. Kami sedang dikubur hidup-hidup.
Bunyi dering telepon
terdengar dari seberang halaman Aku tak memedulikannya. Paling-paling, hanya
aku dan kreditur yang sudah hafal isi pembicaraan mereka. Ancaman tuntutan hokum.
Ancaman pemotongan Aku tidak punya energy untuk menghadapi mereka.
“Aku akan pergi
sebentar,” kata suamiku dan dia berlalu, pintu pagar menutup keras di
belakangnya. Pandanganku terselubung air mata. Tekanan hidup mempengaruhi
pernikahan kami, anak-anak – segalanya.
Stres itu tak
tertahankan. Tetapi, beban yang lebih berat datang dari rasa malu dan
penyesalan yang kami rasakan karena, sekali lagi, kami berada dalam situasi
ini. Kami telah membuat keputusan-keputusan kredit yang buruk meskipun telah
bertekad untuk menghindarinya. Kami tidak ingin melalaikan tanggung jawab,
namun sepertinya tidak ada jalan lain.
Beberapa hari
kemudian, di tengah-tengah studi Alkitab, aku meminta para ibu berdoa untuk
kami. Aku ingin Tuhan menjawab kebutuhan kami dan memberikan kebijaksanaan
untuk mengatasi keadaan ini.
Setelahnya, dua
teman baik mendatangiku. Masing-masing menyelipkan secarik kertas ke dalam
tanganku. Aku ingin melihat, tetapi mereka melarangku.
“Bawalah pulang.
Kami ingin membantu.”
“Oh, aku tidak bisa,”
kataku. Aku malu sampai berada di titik aku memerlukan uang dari orang lain.
Namun, aku hanya perlu sekali memandang ke arah teman-temanku untuk mengetahui
bahwa aku memang tidak punya pilihan lain. Kupeluk mereka dan kudoakan karunia
bagi mereka.
Di mobil, kubuka
kedua lembar cek tersebut. Kedua perempuan itu sudah tua. Satu orang
menghabiskan hari-harinya merawat suaminya yang mengalami kelumpuhan quadriplegic, sementara yang satu hidup
dari uang pensiun perusahaan telepon. Apa yang mereka berikan jauh melebihi
kemampuan mereka. Aku menangis sepanjang perjalanan pulang.
Suamiku sedang duduk
bersama setumpuk tagihan di hadapannya ketika aku tiba.
“Lihat,” kataku
sambil menyodorkan cek-cek itu. Suamiku mengambil keduanya sembari menatap
wajahku.
Dia melihat nilainya
kemudian terkesiap. “Mengapa mereka melakukan ini?”
Kupikir, harga dirinya
pastilah terluka, sama seperti harga diriku.
“Aku hanya meminta
mereka berdoa untuk kita, dan mereka memberikan ini.”
Dia menatap
kertas-kertas itu untuk beberapa saat. “Uang ini akan bisa untuk membayar
tagihan listrik. Sekarang, mereka tidak bisa memotong listrik kita.”
Aku menarik napas
dan membisikkan doa terima kasih. Teman-temanku telah memberikan sesuatu yang
lebih berharga ketimbang uang; mereka memberikan harapan.
Dengan bantuan Tuhan
, kami mampu memanjat keluar dari keterpurukan, dan kami lebih kuat dalam
menempuh perjalanan selanjutnya. Harapan dari dua teman pemurahlah yang telah
memberikan kami kekuatan untuk mengangkat kepala dan memulai perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar