Nancy Sullivan Geng
The September 1991 Reader’s Digest
Lauri dan aku mengajak anak-anak pergi ke taman untuk
merayakan ulang tahunku yang ke-35. Sementara kami mengeluarkan makanan dari
keranjang piknik yang kami bawa, anak-anak terlihat bahagia, mereka tertawa,
melompat dan berlarian kian kemari. Dengan segelas air, Lauri dan saya
bersulang atas persahabatan kami. Saat itu barulah kusadari bahwa Lauri
mengenakan anting baru bermatakan Kristal biru diuntai dengan baru warna-warni
serta mutiara merah muda. Selama tiga belas tahun persahabatan kami, Lauri
kukenal sebagai wanita yang sangat menyukai anting, dari anting satu berganti
ke anting lainnya. Lauri mulai bercerita tentang suatu peristiwa di masa kecil,
kisah nyata yang berkuasa mengubah hidupnya.
Saat
itu musim panas, Lauri masih di kelas enam SD. Semua murid bersemangat menghias
kelas. Berbagai hiasan warna-warni tergantung pada dinding dan jendela kelas.
Guru Lauri yang bernama Lake berdiri di depan kelas, rambutnya tergerai sampai
ke pundak, dan mata birunya yang penuh perhatian bersinar cerah. Tapi yang
menarik perhatian Lauri ialah anting emas berhiaskan mutiara berbentuk airmata.
“Walau dari barisan bangku belakang saya masih dapat melihat sinar matahari
yang dipantulkan oleh anting tersebut,” kenang Lauri.
Ibu
Lake mengingatkan murid-murid tentang hari pertemuan orang tua di akhir tahun
ajaran. Orang tua diajak berpartisipasi untuk mengetahui perkembangan sang anak
di sekolah. Pada papan tulis tercantum urutan nama murid-murid, dengan waktu
pertemuan 20 menit untuk setiap orang tua. Nama Lauri tercantum di urutan
terakhir tapi Lauri tidak peduli karena seperti biasa orang tuanya tidak akan
datang walau surat undangan telah dikirim dan ibu Lake telah menelepon ke
rumah.
Ayah
Lauri adalah seorang alkoholik kelas berat. Kian hari keadaannya kian parah.
Beberapa malam terakhir Lauri tidak dapat tidur karena suara keras sang ayah
mencerca ibu bercampur dengan tangisan pilu sang ibu, disertai dentuman pintu
dibanting.
Di
hari Natal tahun lalu, Lauri dan adik perempuanna menghadiahkan sang ayah
pengkilat sepatu dari hasil tabungan mereka bekerja sebagai penjaga bayi.
Mereka membungkusnya dengan kertas kado berwarna merah-hijau dan mengikatnya
dengan pita emas. Ketika mereka memberikan pada sang ayah di malam Natal, Lauri
mematung dalam diam saat sang ayah melempar hadiah tersebut hingga terpecah
menjadi tiga bagian.
Sejak
pagi Lauri mengawasi temannya satu per satu dipanggil keluar oleh ibu Lake
menuju ruang pertemuan di mana sang orang tua telah menunggu. Kebanyakan orang
tua segera menyambut sang anak dengan senyum bangga, bahkan ada di antara
mereka yang memeluk sang anak. Lauri berusaha menyibukkan dirinya dengan tugas
yang ada tapi ia tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari percakapan yang
berlangsung di ruang pertemuan. Lauri berusaha membayangkan perasaan yang mungkin timbul bila orang tuanya datang
memberi sambutan padanya.
Setelah
semua murid dipanggil tinggallah Lauri seorang diri di kelas. Ketika ibu Lake
membuka pintu, Lauri menyelinap masuk ke dalam ruang pertemuan dan duduk di
kursi yang tersedia. Meja di hadapannya tertutup penuh dengan data-data murid,
sehingga pandangannya terhalang oleh data-data tersebut.
Dengan
tersenyum ibu Lake menatap Lauri yang tertunduk malu karena orangtuanya tidak
hadir. Tapi Lauri melipat tangannya dan menatap ke lantai. Setelah menggeser
bangku mendekati muridnya, ibu Lake mengangkat wajah Lauri sehingga mata mereka
dapat saling menatap. “Pertama-tama aku ingin kau tahu bahwa aku mengasihimu.”
Ibu Lake memulai percapakannya. Lauri mengangkat wajahnya menatap ibu Lake. Di
wajahnya terpancar sesuatu yang jarang dilihatnya: belas kasih, pengertian dan
kelemahlembutan.
“Kedua,”lanjut
ibu Lake, “Bukanlah kesalahanmu bila orangtuamu tidak hadir hari ini.” Sekali
lagi Lauri menatap wajah ibu Lake, tidak seorang pun pernah bicara seperti itu
padanya.
“Ketiga,”
lanjut ibu Lake,”Engkau layak menghadiri pertemuan ini walau orangtuamu tidak
hadir dan engkau berhak mengetahui bahwa engkau anak baik dengan prestasi yang
memuaskan.”
Lalu
ibu Lake menunjukkan angka yang telah diraih Lauri. Satu per satu hasil karya
yang telah dibuat oleh Lauri diperlihatkan kembali bahkan lukisan cat air yang
pernah dibuat oleh Lauri masih disimpannya. Ibu Lake memuji hasil karya dan
kesungguhan Lauri. Lauri tidak tahu pasti kapan munculnya harapan di hatinya
tapi ia tahu bahwa perkataan ibu Lake telah membawa harapan yang mengubah
hidupnya. Ini pertama kalinya Lauri merasakan bahwa ia dikasihi.
Sesaat
kemudian wajah ibu Lake terlihat kabur karena airmata yang mengembang memenuhi
mata Lauri. Yang terlihat Lauri hanyalah sinar yang dipantulkan oleh anting
mutiara yang dipakai ibu Lake. Mutiara yang pada awalnya merupakan suatu
kotoran yang sangat mengganggu bagi tiram, telah diubah menjadi suatu benda
yang indah. Iulah harapan Lauri, ia ingin hidupnya yang “hina” diubah menjadi
sesuatu yang indah. Dalam ketenangan alam kami merenung bersama. Bagi saya
anting yang dipakai Lauri mengandung arti yang sangat dalam tentang suatu
kenyataan.
Ayahku
juga seorang alkoholik dan aku dibesarkan dalam lingkungan yang sama. Itulah
sebabnya aku selalu mengubur kisah masa kecilku. Tapi Lauri telah menolongku
melihat bahwa Allah telah mengaruniakan kemilau permata kehidupan yang indah
pada setiap manusia. Tidak ada kata terlambat untuk memancarkan kilauan permata
dari suatu harga diri yang baru ditemukan. Selanjutnya kami disibukkan dengan
anak-anak yang ribut kelaparan. Acara piknik bergulir dengan kesibukan bermain
dan mengurus makanan anak-anak.
Di
tengah semua kesibukan tersebut, Lauri memberiku sebuah kotak kecil dibungkus
dengan kertas bercorak bunga dengan pita emas sebagai hadiah ulangtahunku. Saya
membukanya. Di dalamnya kudapati sepasang anting!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar