Oleh : Margaret Jensen
(Buku : Kisah Kasih Allah, Alice Gray)
Mary masih sangat muda. Hatinya dipenuhi impian tentang kasih kepada Allah
dan pelayanan di ladang Tuhan. Sementara itu John suaminya, begitu gelisah dan
tak sabaran dalam tugas penggembalaannya yang baru di sebuah tanah pertanian
Wisconsin. Ia begitu menginginkan sebuah perpustakaan dan menantikan bantuan
nyata dari New York atau Chicago, di mana ia mengikuti pendidikan calon pendeta.
Otak John yang cemerlang sangat membutuhkan buku-buku. Mary selalu melihat
keindahan dalam segala sesuatu – aroma ladang yang baru dibajak, kicauan
burung, tanda pertama musim semi, bunga-bunga putih dan ungu. Mary bernyanyi
dalam desiran angin dan tertawa bersama burung-burung. Namun, ia punya sebuah
keinginan yang tersembunyi, yakni sebuah gaun baru untuk musim semi. Bukan gaun
coklat atau hitam yang suram yang memang cocok untuknya sebagai istri pendeta,
tetapi sebuah gaun dari kain yang sangat tipis, lembut, berlipit, dengan renda
di sekeliling leher dan lengan, serta berpita besar.
Namun... tak ada uang!
Maka dengan cermat ia menyusun rencana. Ia akan menghemat dan menaruh uangnya
dalam sebuah kotak sampai uang itu cukup untuk membeli sebuah lampu minyak
tanah buat John dan bahan untuk membuat sebuah gaun baru. Ia akan memakai
kembali renda dari baju beludru lamanya yang sudah tersimpan di peti. Kelak ia
akan membuat sebuah gaun sutra beludru untuk gadis kecilnya, Louise.
Lalu, mulailah pedal mesin
jahit Mary berdengung bagaikan suara musik, karena Mary bernyanyi sambil
menjahit. Louise yang berambut emas bermain dengan bekas gelondong benang dan
penitu baju. Rumah kecil mereka yang bersih bersinar. Sebuah lampu baru
mendapat kehormatan berada di atas meja baca John.
Dengan hati riang, Mary
menarik rambut coklatnya yang panjang ke bawah, dan menyikatnya di bawah
terpaan cahaya mentari pagi. Lalu, ia mencoba gaun barunya, gaun dari kain yang
tipis, warna merah muda yang lembut, dengan sedikit hiasan berwarna ungun dan
renda. Selembar pita diikatkan di bagian punggungnya, dan Mary berputar-putar
sampai Louise terpekik kegirangan. Saat itu sudah musim semi! Ia masih muda,
baru 23 tahun, dan memiliki kehidupan baru serta Louise untuk ditimang-timang
dan disayang. Gereja di tengah belantara, para pendatang yang mengerjakan lahan
dengan muram, serta musim dingin yang panjang, telah mengasingkan seorang istri
muda dalam dunia puisi dan lagunya. Namun, ia telah tumbuh untuk mengasihi
orang-orang beriman dan berbagi sukaduka bersama mereka. Hari ini, ia menari
dengan sukacita, bebas-lepas, dengan gaun bergelembungnya yang baru.
Di tengah hangatnya
mentari musim semi itu, Mary berbalik dan menghadapi John yang sedang marah. Ia
begitu frustasi karena pengharapannya tak terpenuhi. “Pemborosan! Tidak ada
perpustakaan, tidak ada buku – semua orang hanya membicarakan sapi, ayam,
menabur benih dan panen.”
Seperti gunung api yang
meletus, John meledak oleh kemarahan dan merobek-robek baju baru Mary.
Kemarahan John begitu meluap sehingga menimbulkan ketakutan yang besar. Ia pun
keluar dan melampiaskan sisa kemarahannya pada ladang-ladang, sapi, dan
ayam-ayam piaraan mereka. John seolah-olah ingin melompat dari Wisconsin ke New
York, tempat perpustakaan favoritnya berada.
Terpojok di sudut ruangan,
Mary meraih Louise dan baju barunya yang telah terkoyak. Tubuhnya bergetar
karena takut dan marah, sehingga ia justru tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tak
dapat menangis. Ia hanya merasakan kekosongan yang sangat dan kerinduan kepada
ibunya. Tak ada orang yang dapat ia datangi di tengah pertanian yang sunyi itu.
Llau ia teringat pada Mazmur 34:5. “Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab
aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.” Kemudian ia meratap, begitu
lama dan dalam, kepada Tuhan.”
Mary pun berpikir untuk
menjauh dari John. Ia berencana membuat kasur jerami di lotek dan mengajak
Louise tidur bersamanya di sana. Ia akan membiarkan John tidur sendiri. Lalu ia
melipat rok barunya dalam dos kecil, dan menyembunyikannya dalam peti.
Kebetulan Pendeta Hansen akan berkunjung. Mary memutuskan untuk mencari
kesempatan berbicara kepadanya dan menunjukkan rok barunya yang terkoyak-koyak.
Ia akan meminta bantuan agar dapat meninggalkan John dan kembali pada ibunya.
Lalu ia memakain bajunya yang berwarna suram, mengikat rambutnya dengan
sederhana, seperti istri pendeta pada umumnya. Lalu ia menyiapkan makan malam.
Ketika John pulang larut, makan malamnya sudah ada di tempat pemanas, sementara
mary tertidur dengan Louise dalam pelukannya.
Diam-diam John menyantap
makan malamnya, dan mencari Mary. Saat menemukan mereka di Loteng, John meminta
Mary kembali ke kamar dan menidurkan Louise dalam boksnya. Mary pun menurut
saja. Kemarahan John telah reda, namun ia tak menyadari apa yang terjadi dalam
lubuk hati istrinya.
Hidup kembali berjalan
seperti biasa, hanya Mary tak pernah lagi menyanyi. Langkah-langkah Mary pun
kini diwarnai dengan kepahitan. Ia masih menunggu kesempatan yang tepat untuk
menjalankan rencananya.
Kedatangan Pendeta Hansen
membawa sukacita besar bagi John karena keduanya dapat berdiskusi tentang
buku-buku, teologi, dan konferensi gereja. Mary pun melayani mereka tanpa
berkata banyak. Tak seorang pun menangkap kemarahan di balik wajah ramahnya,
apalagi saat ia menyembah Allah bersama-sama jemaat yang setia. Yang jelas, ia
hanya sedikit mendengar khotbah pendeta.
Kebaktian yang terakhir
hampir usai, namun Mary belum mendapat kesempatan untuk berbicara dengan
Pendeta Hansen. Ia harus segera berbicara siang ini, saat John hendak
mengunjungi seorang jemaat, sementara Pendeta Hansen akan mempersiapkan khotbah
untuk kebaktian sore. Jadi, ia memutuskan untuk mendengarkan khotbah pagi itu.
Barangkali ia dapat menggunakan sedikit komentar Pendeta Hansen sebagai pembuka
pembicaraan.
“Bacaan kita hari ini
diambil dari Markus 11:25. ‘Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah.’
Pengampunan bukan pilihan , tetapi kemauan, tindakan tegas, tanda ketaatan
kepada perintah Allah. Setelah itu, barulah kita akan merasakan kedamaian.
Ketika kita menyerahkan segala luka hari dan kekecewaan kita kepadanya, Allah
akan mencurahkan kasih dan belas kasihan-Nya sehingga pemulihan akan terjadi.”
Oh, tidak, seru Mary dalam
hati. Aku tidak bisa memaafkan , dan aku tak mungkin melupakan kejadian itu.
Selanjutnya sang pendeta
berkata lagi, “Mungkin seseorang berpikir, aku tak mungkin melupakan, bahkan
sekalipun aku dapat memaafkan. Benar. Anda memang mungkin tidak dapat melupakan
kesalahan orang lain, tetapi Anda tak perlu dibuat sengsara oleh ingatan itu.
Kasih dan pengampunan Allah akan menutupinya sampai kesannya benar-benar
hilang. Saat Anda mengampuni, Anda harus menghancurkan bukti-bukti yang Anda
miliki, dan ingatlah untuk tetap mengasihi.”
John dan Pendeta Hansen
pulang bersama penatua Olsen. Mary melangkah ke kereta, mengikat topi hitamnya
dengan syal sambil memeluk Louise dengan hati-hati. Tatkala Dolly, kuda penarik
kereta itu, mulai berjalan menuruni jalan, air mata Mary tumpah begitu deras.
Ia tahu sekarang apa yang
mesti ia lakukan. Ia akan menaati Allah. Lalu di suatu tempat, ia turun dan
mengeluarkan dos tempat ia menyimpan gaun musim seminya yang robek-robek.
Tangannya gemetar, rasanya ia tak mau melepaskannya.
Ketika memanaskan makan
malam, ia mengipas apinya dan menambah kayunya. Lalu ia menjerang air untuk
membuat kopi dan menata meja. “Bukti itu harus segera dilenyapkan,” begitu
suara hatinya. “Aku memaafkanmu, John.” Akhirnya ia mengambil gaunnya dengan
satu tangan dan membuka perapian dengan tangan yang lain. Air mata Mary
berkilat oleh cahaya api yang perlahan membakar habis gaun musim seminya.
“Pengampunan yang sejati
rela menghilangkan bukti,” kata-kata itu bergema sangat jelas di telinganya
sehingga ia tak mendengar John masuk ke rumah. “Mary, apa yang kaulakukan?”
Gemetar oleh tangis, Mary berkata,”Aku menghancurkan buktinya.”
Kepada dirinya sendiri, ia
berkata, “Persembahanku kepada Allah.”
Lalu John pun teringat!
Dengan wajah pucat dan tubuh bergetar, ia menggumam, “Maafkan aku.”
Lima puluh delapan tahun
kemudian, ketika John dipanggil Tuhan, Mary sangat kehilangan, dan ia bermimpi.
Tiga malaikat mendatanginya dan berkata,”Datanglah, kita akan mengadakan pesta.”
Dan , di tangan seorang dari mereka tampak sebuah gaun yang begitu indah,
dipersiapkan untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar