Satu Desember 1997 kumulai seperti hari-hari sekolah
lainnya – tidak ada yang luar biasa. Aku dan saudara kembarku Mandy,
merencanakan untuk membuat PR pulang sekolah seperti biasanya. Setelah itu aku
akan mempelajari buku pedoman mengemudi supaya bisa memperoleh SIM pada tanggal
24 Desember, hari ulang tahun kami.
Mandy
dan aku duduk di kelas dua di Heath High School. Kami mengambil mata pelajaran
peradaban dunia, aljabar, jurnalisme, bahasa Inggris, paduan suara, band. Kami
juga mulai mengikuti kelompok doa pagi.
Namun
sekitar pk 7.45 pagi itu, ketika kelompok kami yang terdiri dari 35 siswa
selesai kebaktian, teman sekelas kami, Michael Carneal, tiba-tiba melepaskan
tembakan. Mula-mula Mandy dan aku berpikir ia hanya main-main untuk menarik perhatian.
Letupan senjatanya terdengar redup, seperti di TV. Namun ketika sebuah peluru
melayang dan menyerempet rambut Mandy, sadarlah ia kalau itu peluru asli. Mandy
menjatuhkan tubuhnya di ataku.
Aku
telah tertembak, namun aku tidak segera menyadarinya. Aku tidak merasa sakit,
hanya merasa ada yang menindih. Aku tercengang, terkejut, dan bingung. Aku
tidak dapat memercayai apa yang baru saja terjadi. Sampai sekarang pun
peristiwa itu masih sulit untuk dipercaya.
Setelah
penembakan itu, ambulans membawaku ke Rumah Sakit Lourdes dekat sekolah. Dokter
memberi tahu bahwa peluru telah menembus bahu kiriku dan menghancurkan urat
syarat tulang belakang. Akibatnya, aku lumpuh mulai pinggang ke bawah. Mereka
memberi tahu kalau aku tidak akan dapat berjalan lagi.
Aku
merasa sangat kesakitan pada minggu pertama di Lourdes karena mual, cairan di
paru-paru, pembengkakan di sekitar urat syaraf tulang belakang. Ketika
keadaanku sudah lebih baik, mereka mulai melakukan terapi. Mula-mula mereka
menggunakan meja yang miring agar aku terbiasa menegakkan tubuh kembali. Lalu
akau mulai melakukan latihan-latihan untuk memperkuat lengan dan tubuh bagian
atas. AKu juga mulai belajar menggunakan kursi roda.
Mula-mula,
memakai baju sendiri membutuhkan 45 menit. Belajar mengerjakan segala sesuatu
secara normal sangat sulit hingga hal itu membuatku merasa jemu atau lebih.
Kemudian
pada bulan Februari, aku dibawa ke Rumah Sakit Rehabilitasi Cardinal di
Lexington sejauh kira-kira 400 km, untuk melanjutkan terapi khusus. Aku pergi bersama keluargaku, ibuku Joyce,
ayahku Ray, kakak perempuanku Christie, dan Mandy. Kami menyewa sebuah apartemen. Aku mulai menjalani terapi
fisik setiap hari, termasuk latihan aerobic untuk mempercepat denyut jantungku.
Salah satu dari latihan itu adalah sepeda lengan, yang cara kerjanya sama
dengan sepeda yang menggunakan kaki. Perbedaannya adalah latihan ini dilakukan
dengan lengan untuk memperkerkuat lengan itu.
Latihan
harian lainnya adalah terapi pekerjaan. Melalui terapi itu aku belajar berdiri
dari kursi rodaku dan berjalan ke bak mandi, serta memakai sepatu.
Yang
paling menyenangkan dari terapi harianku adalah terapi rekreasi. Aku bermain
basket, melempar Frisbees, dan berenang. Aku juga harus berdiri selama setengah
jam sehari, sehingga Mandy dan aku akan melewatkan waktu dengan bermain kartu.
Syukurlah
aku dapat meninggalkan Cardinal Hill pada waktunya untuk menyelesaikan tahun
keduaku di Heath. Terapi fisik berlanjut setiap hari – bahkan di sekolah. Para
ahli terapi datang ke sekolah setiap pk 11 untuk menolongku meregangkan kaki.
Duduk di kursi roda dalam waktu lama membuat kakiku terasa kaku.
Kembali
ke sekolah terasa menyenangkan karena setiap orang memperlakukanku seolah-olah
aku tidak menggunakan kursi roda. Berkeliling menggunakan kursi roda membuatku
merasa sangat frustasi. Kebanyakan tempat tidak dapat dimasuki kursi roda.
Hal-hal yang dulunya mudah sekarang terasa sulit. Aku bahkan tidak pernah
memikirkan hal itu sebelumnya.
Aku
memikirkan Michael dan bertanya-tanya mengapa ia menembak kami. Mandy dan aku
sama-sama mengenalnya; kami berlatih band bersamanya, beberapa kali naik bus
yang sama dalam perjalanan. Bergurau dengannya. Kami memiliki banyak teman yang
sama. Di Heath setiap siswa saling mengenal. Tak seorang pun di antara kami
berpikir bahwa Michael adalah anak yang aneh atau berbahaya.
Perbuatan
Michael hari itu mencelakakan begitu banyak orang. Tetapi aku merasa yakin
bahwa membencinya adalah hal yang sia-sia. Aku tidak dapat menghakiminya atau
memutuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepadanya. Tuhanlah yang akan
menghakiminya. Selain itu, membenci Michael tidak akan membuatku mampu berjalan
lagi atau membuat teman-teman sekolahku – Kayce, Jessica, dan Nicole – hidup kembali.
Kematian mereka masih terasa seperti mimpi.
Dari
ketiganya, Kayce adalah sahabatku yang terdekat. Setiap hari aku memikirkan
Kayce dan saat-saat bahagia yang telah kami lewati bersama-sama – pesta, band,
teman-teman. Aku tahu bahwa mereka bertiga ada di surge, namun aku tetap merasa
kehilangan Kayce. Tak sesuatu pun terjadi tanpa alasan – juga peristiwa ini –
dan bagaimana pun juga Tuhan akan membuat sesuatu yang baik dari peristiwa ini.
Aku yakin itu.
Aku
benar-benar kasihan kepada Michael. Tidak seperti Michael, aku dapat
melanjutkan kehidupanku. Aku memiliki banyak teman yang mendukungku setiap
hari. AKu tidak membenci Michael. Aku bisa memaafkannya. Aku sungguh tidak mau
membawa perasaan dendam yang mengerikan dalam hatiku.
Banyak
orang mengatakan kepadaku bahwa sikapku yang tabah telah menjadi inspirasi bagi
mereka. Kupikir itulah tujuanku.
Missy Jenkins
Mengejar Pelangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar