Yesus Gembala yang Baik.

Senin, 25 Juli 2016

Ketika Pernikahan Impian Mulai Pudar

Dr. Gary & Barbara Rosberg

                Tujuh tahun dalam pernikahan kami, hidup saya tidak jelas. Saya bekerja keras untuk menjadi pencari nafkah yang baik untuk istri saya (Barb) dan dua putri kami yang masih kecil (Sarah dan Missy). Saya bekerja purna waktu sebagai direktur sebuah lembaga pemasyarakatan. Pada saat yang sama, saya kuliah untuk meraih gelar doktor dalam bidang konseling dan banyak menghabiskan waktu setiap malam untuk belajar di perpustakaan universitas.
                Biasanya , saya merasa sudah bekerja melampaui batas. Sementara saya sibuk ke sana kemari di antara aktivitas keluarga, kerja, belajar dan kerohanian, saya berdoa setiap hari untuk memohon kekuatan dan hikmat, sambil merindukan saat-saat ketika saya dapat berfokus sepenuh waktu untuk memberi konseling keluarga. Bahkan yang lebih penting adalah, saya ingin memiliki lebih banyak waktu untuk bersama dengan Barb, Sarah, dan Missy – keluarga saya, buah hati saya. Pekerjaan dan disertasi doktor menjadi jadwal saya. Saya berusaha memanfaatkan sedikit waktu di sana sini untuk membantu Barb, tetapi sebaik-baiknya yang dapat saya kerjakan, saya hanyalah ayah dan suami paruh waktu.
                Jujur saja, saya beranggapan bahwa saya cukup bai dalam peran saya saat itu. Lalu, suatu hari saya sedang duduk di kursi kesayangan saya untuk menyiapkan tahap akhir gelar doktor saya, ketika putri saya yang berusia lima tahun, Sarah mengumumkan kehadirannya dengan sebuah pertanyaan, “Ayah, Ayah mau melihat gambar keluargaku?”
                Saya benar-benar merasa stres dan kekurangan waktu oleh karena tugas satu minggu yang dipadatkan pada akhir pekan. “Sarah, Ayah sedang sibuk. Kembali sebentar lagi, sayang.” Sarah dengan taat meninggalkan saya dengan pekerjaan saya.
                Sepuluh menit kemudian ia datang kembali ke ruang keluarga. “Ayah, aku ingin tunjukkan gambarku.”
                Saya merasa sangat jengkel. “Sarah, Ayah bilang kembali lagi nanti. Ini penting.”
                Tiga menit kemudian ia berlari ke ruang keluarga, mendekat hingga nyaris menyentuh hidung saya. Ia membentak dengan sekuat tenaga, yang dapat dikerahkan oleh seorang anak berumur lima tahun,”Ayah mau lihat atau tidak?”
                “Tidak,” saya katakan dengan tegas,”Ayah tidak mau!”
                Ia langsung keluar dari ruangan dan meninggalkan saya sendiri. Entah bagaimana, berada sendirian saat itu tidak senyaman seperti yang saya harapkan. Saya merasa seperti orang dungu. Saya pun bangkit dan menghampiri pintu depan. “Sarah,” saya memanggil,”bisa ke sini sebentar? Ayah ingin melihat gambarmu.”
                Ia taat tanpa berbantah dan melompat ke atas pangkuan saya.
                Gambarnya sungguh bagus. Ia bahkan memberinya judul. Di sebelah atas, dengan huruf cetaknya yang terbaik, ia menulis : KELUARGA KAMI YANG TERBAIK.
                “Coba ceritakan kepada Ayah,” kata saya.
                “Ini Ibu (sosok garis dengan rambut panjang keriting berwarna kuning). Ini Katie (anjing kami). Ini Missy (adiknya berupa sosok garis yang berbaring di jalan di depan rumah, kira-kira tiga kali lebih besar daripada siapa pun dalam gambar itu).” Sungguh suatu wawasan yang sangat bagus bagaimana ia memandang keluarga kami.
                “Ayah suka gambarmu, Sayang,” saya berkata kepadanya. “Ayah akan menggantungnya di dinding ruang makan, dan setiap malam waktu Ayah pulang dari kerja dan mengajar (yang biasanya sekitar pukul sepuluh malam), Ayah akan melihatnya.”
                Ia percaya apa yang saya katakan, wajahnya berseri-seri, lalu keluar untuk bermain. Saya kembali menekuni buku-buku saya. Namun, karena sejumlah alasan, saya terus membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Sesuatu membuat saya gelisah, sesuatu mengenai gambar Sarah. Ada sesuatu yang hilang.
                Saya kembali ke pintu depan. “Sarah,” saya memanggil dia,”kamu bisa kembali ke sini sebentar? Ayah ingin lihat gambarmu lagi.”
                Sarah merayap naik ke pangkuan saya lagi. Sekarang dengan memejamkan mata, saya dapat mengingat penampilannya. Pipi yang memerah karena bermain di luar rumah. Rambut dikucir dua. Sepatu tenis model kue stroberi. Boneka kain bernama Nellie yang lunglai dijepit di lengannya.
                Saya bertanya kepada gadis kecil saya, tetapi saya tidak yakin bahwa saya ingin mendengar jawabannya. “Sayang, Ayah lihat Ibu, Sarah dan Missy. Katie, anjing kita  juga ada dalam gambar, serta matahari, rumah, tupai, dan burung. Tapi, Sarah, Ayah di mana?”
                “Ayah di perpustakaan,” jawabnya.
                Dengan pernyataan sederhana itu, puteri kecil saya membuat saya terhenyak. Sambil mengangkat tubuhnya dari atas pangkuan saya dengan lembut , saya menyuruh dia bermain kembali di bawah sinar matahari musim semi. Saya duduk melorot di kursi, termenung. Bahkan sementara saya mengetik kata-kata ini, saya masih dapat merasakan kegalauan saya waktu itu. Sarah telah menghantam saya dengan telak. Saya tidak ada dalam gambar keluarganya karena saya berada di perpustakaan untuk belajar. Saya terlalu sibuk untuk menjadi ayahnya di rumah.
                Walaupun saya tidak ingat Barb pernah mengekspresikan pemikiran itu, ia mungkin telah berusaha menyampaikan kepada saya selama berbulan-bulan. Semua peringatan yang telah saya terima dari seminar, buku, dan sahabat untuk menjaga “gaya hidup yang seimbang” – Tuhan yang utama, keluarga yang kedua, pekerjaan yang ketiga – belum menembus otak saya yang hanya memikirkan karier. Namun, pernyataan Sarah yang sederhana mendapat perhatian saya secara total.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar