Peran utama itu seharusnya diberikan
kepadaku. Semua temanku sependapat denganku. Setidaknya, peran itu tak
seharusnya diberikan kepada Helen, murid baru yang aneh itu. Ia jarang
berbicara, dan selalu memandang ke bawah seolah hidup ini teramat berat. Kami
tak pernah menanyakannya, karena mungkin ia tidak suka memberi penjelasan.
Hidupnya tidak mungkin menderita, karena ia mengenakan baju-baju yang sangat
bagus. Belum pernah ia memakai pakaian yang sama lebih dari dua kali selama dua
bulan belajar di sekolah kami.
Namun yang paling menjengkelkan adalah saat ia muncul pada
tes awal pemilihan peran dan menyanyikan lagu untuk peran yang kumainkan. Semua
siswa tahu bahwa peran utama itu adalah untukku, karena aku terlibat dalam
semua kegiatan music di sekolah dan tahun ini kami berada di tingkat akhir.
Teman-teman sedang menungguku sehingga aku tidak sempat
melihat audisi Helen. Kejutan itu terjadi dua hari kemudian saat kami bergegas
memeriksa papan bulletin drama untuk pembagian peran di sekolah kami.
Kami membolak-balik lembaran-lembaran di papan itu dengan
cepat untuk mencari namaku. Ketika kami menemukannya, tangisku langsung
meledak. Helen terpilih sebagai pemeran utama! Aku terpilih menjadi ibu Helen
dan pemeran pengganti. Pemeran pengganti? Tak seorang pun dapat memercayainya.
Saat-saat latihan terasa sangat lama. Tampaknya Helen
tidak menyadari bahwa kami berusaha keras tidak memedulikannya.
Kuakui Helen memiliki suara yang indah. Bagaimana pun ia
tampak berbeda di panggung. Tidak begitu ceria, tapi sangat tenang dan teguh.
Pada malam pembukaan kami merasa gugup. Semua siswa sibuk
berjalan ke sana ke mari di belakang panggung dan menunggu tirai terangkat ,
kecuali Helen. Ia tampak tenggelam dalam dunianya sendiri yang tenang.
Pertunjukan itu sukses. Pengaturan waktu kami sangat
sempurna, suara kami mengalun dan berpadu dengan manis. Helen dan aku keluar
masuk panggung, menjalin cerita di antara kami. Aku berperan sebagai ibu sakit
yang berdoa untuk putrinya yang suka melawan, sedangkan Helen berperan sebagai
anak perempuan yang saat ibunya meninggal menyadari ada sesuatu yang lebih
berarti dalam hidup ini selain kehidupan itu sendiri.
Akhirnya kami sampai pada adegan terakhir yang dramatis.
Aku terbaring di kamar tidur yang gelap. Tempat tidur di panggung yang
menyangga tubuhku terasa tidak nyaman, membuatku sulit untuk tenang. Aku merasa
tidak sabar, dan ingin agar Helen cepat-cepat menyelesaikan pertunjukan ini.
Helen
disorot dengan lampu sampai ke belakang panggung, putri yang berduka itu mulai
memahami makna sesungguhnya dari himme yang dinyanyikannya saat ibunya
meninggal.
“Sangat besar anugerahMu…” Suara Helen menggema,
mengungkapkan kepedihan atas kematian ibunya dan pengharapan akan janji-janji
Tuhan.
“… memberi aku selamat…” Sesuatu yang nyata mulai terjadi
pada diriku sementara Helen menyanyi. Ketidaksabaranku tiba-tiba lenyap.
“…dulu aku sesat, kini ditemukan…” Hatiku sangat
tersentuh sehingga ingin menangis.
“…buta dicelikkan.” Rohku mulai berbalik di dalam diriku
dan aku berpaling kepada Allah. Pada saat itulah, aku menyadari kasih dan
kerinduanNya kepada diriku.
Suara
Helen berkumandang seiring doa pada nada terakhir Tirai ditutup.
Benar-benar hening. Sama sekali tak terdengar suara.
Helen berdiri di belakang tirai yang tertutup dengan kepada tertunduk, dan
diam-diam menangis.
Terdengar tepuk tangan dan sorak-sorai yang bergemuruh.
Dan tatkala tirai terangkat, Helen melihat penonton berdiri sambil bertepuk
tangan.
Kami semua membungkuk untuk memberi penghormatan. Aku
memeluk Helen dengan hati yang tulus. Hatiku telah terbuka terhadap Kasih yang
Agung.
Pertunjukkan usai. Kostum digantung, make-up dibersihkan,
lampu dipadamkan. Para pemain meninggalkan panggung dalam kelompok-kelompok
seperti biasanya, saling memberi selamat.
Semua pemain kecuali Helen. Semua pemain kecuali aku.
“Helen, nyanyianmu terasa amat nyata bagiku.” Aku
ragu-ragu, perasaanku begitu terharu. “Nyanyianmu membuatku merasa sangat dekat
dengan Tuhan.” Helen menahan napas. Tatapannya bertemu dengan mataku.
“Itu yang dikatakan Ibu kepadaku pada malam ketika ia
meninggal.” Air mata menetes di pipinya. Hatiku sangat tersentuh. “Ibu merasa
sangat kesakitan. Lagu ‘Sangat Besar AnugerahMu’ selalu membuat hatinya
terhibur. Ibu mengatakan aku harus selau ingat bahwa Tuhan telah menjanjikan
apa yang baik untukku dan bahwa anugerahNya akan mengantarnya pulang.”
Wajahnya tampak sangat bercahaya, kasih ibunya terpancar.
“Sebelum Ibu meninggal ia berbisik, ‘Menyanyilah agar Ibu merasa dekat dengan
Tuhan, Helen.’ Malam itu dan malam ini, aku menyanyi untuk Ibu.”
Cynthia Hamond
Dari Buku Mengejar Pelangi
(kompilator Alice Gray)
Penerbit : Gloria Graffa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar