Dr. Gary & Barbara Rosberg
Tujuh tahun dalam
pernikahan kami, hidup saya tidak jelas. Saya bekerja keras untuk menjadi
pencari nafkah yang baik untuk istri saya (Barb) dan dua putri kami yang masih
kecil (Sarah dan Missy). Saya bekerja purna waktu sebagai direktur sebuah
lembaga pemasyarakatan. Pada saat yang sama, saya kuliah untuk meraih gelar
doktor dalam bidang konseling dan banyak menghabiskan waktu setiap malam untuk
belajar di perpustakaan universitas.
Biasanya , saya merasa
sudah bekerja melampaui batas. Sementara saya sibuk ke sana kemari di antara
aktivitas keluarga, kerja, belajar dan kerohanian, saya berdoa setiap hari
untuk memohon kekuatan dan hikmat, sambil merindukan saat-saat ketika saya
dapat berfokus sepenuh waktu untuk memberi konseling keluarga. Bahkan yang
lebih penting adalah, saya ingin memiliki lebih banyak waktu untuk bersama
dengan Barb, Sarah, dan Missy – keluarga saya, buah hati saya. Pekerjaan dan
disertasi doktor menjadi jadwal saya. Saya berusaha memanfaatkan sedikit waktu
di sana sini untuk membantu Barb, tetapi sebaik-baiknya yang dapat saya
kerjakan, saya hanyalah ayah dan suami paruh waktu.
Jujur saja, saya
beranggapan bahwa saya cukup bai dalam peran saya saat itu. Lalu, suatu hari
saya sedang duduk di kursi kesayangan saya untuk menyiapkan tahap akhir gelar
doktor saya, ketika putri saya yang berusia lima tahun, Sarah mengumumkan
kehadirannya dengan sebuah pertanyaan, “Ayah, Ayah mau melihat gambar
keluargaku?”
Saya benar-benar
merasa stres dan kekurangan waktu oleh karena tugas satu minggu yang dipadatkan
pada akhir pekan. “Sarah, Ayah sedang sibuk. Kembali sebentar lagi, sayang.”
Sarah dengan taat meninggalkan saya dengan pekerjaan saya.
Sepuluh menit kemudian
ia datang kembali ke ruang keluarga. “Ayah, aku ingin tunjukkan gambarku.”
Saya merasa sangat
jengkel. “Sarah, Ayah bilang kembali lagi nanti. Ini penting.”
Tiga menit kemudian ia
berlari ke ruang keluarga, mendekat hingga nyaris menyentuh hidung saya. Ia
membentak dengan sekuat tenaga, yang dapat dikerahkan oleh seorang anak berumur
lima tahun,”Ayah mau lihat atau tidak?”
“Tidak,” saya katakan
dengan tegas,”Ayah tidak mau!”
Ia langsung keluar
dari ruangan dan meninggalkan saya sendiri. Entah bagaimana, berada sendirian
saat itu tidak senyaman seperti yang saya harapkan. Saya merasa seperti orang
dungu. Saya pun bangkit dan menghampiri pintu depan. “Sarah,” saya memanggil,”bisa
ke sini sebentar? Ayah ingin melihat gambarmu.”
Ia taat tanpa
berbantah dan melompat ke atas pangkuan saya.
Gambarnya sungguh
bagus. Ia bahkan memberinya judul. Di sebelah atas, dengan huruf cetaknya yang
terbaik, ia menulis : KELUARGA KAMI YANG TERBAIK.
“Coba ceritakan kepada
Ayah,” kata saya.
“Ini Ibu (sosok garis
dengan rambut panjang keriting berwarna kuning). Ini Katie (anjing kami). Ini
Missy (adiknya berupa sosok garis yang berbaring di jalan di depan rumah,
kira-kira tiga kali lebih besar daripada siapa pun dalam gambar itu).” Sungguh
suatu wawasan yang sangat bagus bagaimana ia memandang keluarga kami.
“Ayah suka gambarmu,
Sayang,” saya berkata kepadanya. “Ayah akan menggantungnya di dinding ruang
makan, dan setiap malam waktu Ayah pulang dari kerja dan mengajar (yang
biasanya sekitar pukul sepuluh malam), Ayah akan melihatnya.”
Ia percaya apa yang
saya katakan, wajahnya berseri-seri, lalu keluar untuk bermain. Saya kembali
menekuni buku-buku saya. Namun, karena sejumlah alasan, saya terus membaca
paragraf yang sama berulang-ulang. Sesuatu membuat saya gelisah, sesuatu
mengenai gambar Sarah. Ada sesuatu yang hilang.
Saya kembali ke pintu
depan. “Sarah,” saya memanggil dia,”kamu bisa kembali ke sini sebentar? Ayah
ingin lihat gambarmu lagi.”
Sarah merayap naik ke
pangkuan saya lagi. Sekarang dengan memejamkan mata, saya dapat mengingat
penampilannya. Pipi yang memerah karena bermain di luar rumah. Rambut dikucir
dua. Sepatu tenis model kue stroberi. Boneka kain bernama Nellie yang lunglai
dijepit di lengannya.
Saya bertanya kepada
gadis kecil saya, tetapi saya tidak yakin bahwa saya ingin mendengar
jawabannya. “Sayang, Ayah lihat Ibu, Sarah dan Missy. Katie, anjing kita juga ada dalam gambar, serta matahari, rumah,
tupai, dan burung. Tapi, Sarah, Ayah di mana?”
“Ayah di perpustakaan,”
jawabnya.
Dengan pernyataan
sederhana itu, puteri kecil saya membuat saya terhenyak. Sambil mengangkat
tubuhnya dari atas pangkuan saya dengan lembut , saya menyuruh dia bermain
kembali di bawah sinar matahari musim semi. Saya duduk melorot di kursi,
termenung. Bahkan sementara saya mengetik kata-kata ini, saya masih dapat
merasakan kegalauan saya waktu itu. Sarah telah menghantam saya dengan telak.
Saya tidak ada dalam gambar keluarganya karena saya berada di perpustakaan
untuk belajar. Saya terlalu sibuk untuk menjadi ayahnya di rumah.
Walaupun saya tidak
ingat Barb pernah mengekspresikan pemikiran itu, ia mungkin telah berusaha
menyampaikan kepada saya selama berbulan-bulan. Semua peringatan yang telah
saya terima dari seminar, buku, dan sahabat untuk menjaga “gaya hidup yang
seimbang” – Tuhan yang utama, keluarga yang kedua, pekerjaan yang ketiga –
belum menembus otak saya yang hanya memikirkan karier. Namun, pernyataan Sarah
yang sederhana mendapat perhatian saya secara total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar