Yesus Gembala yang Baik.

Jumat, 24 April 2009

Anak Yang Hilang


Seorang pemuda akan diwisuda. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang sarjana sebagai ganjaran dari jerih payahnya selama beberapa tahun mengenyam bangku pendidikan. Beberapa bulan yang lalu dia melewati sebuah showroom, dan saat itu dia jatuh cinta kepada sebuah mobil sport. Selama beberapa bulan dia selalu membayangkan, nanti pada saat wisuda ayahnya pasti akan menghadiahkan mobil itu untuknya. Karena dia adalah anak semata wayang dan ayahnya sangat sayang padanya, dia sangat yakin akan mendapatkan mobil itu. Dia pun berangan-angan mengendarai mobil itu dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Bahkan, semua mimpinya itu dia ceritakan ke teman-temannya.
Saat wisuda pun tiba. Siang itu, setelah wisuda, dia melangkah pasti ke arah ayahnya. Sang ayah tersenyum, dan dengan berlinang air mata karena terharu dia mengungkapkan betapa dia membanggakan anaknya, dan betapa dia mencintai anaknya itu. Lalu, dia pun mengeluarkan sebuah bingkisan.... , namun bukan sebuah kunci! Dengan hati yang hancur sang anak menerima bingkisan itu. Dengan sangat kecewa dia membuka kado itu. Dalam bungkusan rapi kertas kado itu ia menemukan sebuah Alkitab yang bersampulkan kulit asli, di kulit itu terukir indah namanya dengan tinta mas.
Pemuda itu menjadi sangat marah. Dengan suara yang meninggi dia berteriak, ”Yaahh... Ayah memang sangat mencintai saya, dengan semua uang ayah, ayah belikan Alkitab ini untukku?” Lalu ia membanting Alkitab itu dan lari meninggalkan ayahnya.
Ayahnya tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya hancur. Dia berdiri mematung disaksikan beribu pasang mata yang hadir di acara wisuda itu.
Tahun demi tahun berganti. Sang anak telah menjadi seorang yang sukses. Dengan modal otaknya yang cemerlang dia berhasil menjadi seorang kaya dan terpandang. Dia mempunyai rumah yang besar dan mewah, dengan seorang istri yang cantik dan anak-anak yang cerdas.
Sementara itu, ayahnya semakin tua dan tinggal sendiri. Sejak hari wisuda itu, anaknya pergi meninggalkan dia dan tak pernah menghubungi dia. Dia berharap suatu saat dapat bertemu anaknya itu, hanya untuk meyakinkan dia betapa ia sangat mengasihi anaknya. Sang anak pun kadang rindu dan ingin bertemu dengan sang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi pada hari wisudanya, dia menjadi sakit hati. Dia masih menyimpan dendam.
Sampai suatu hari datang sebuah telegram dari kantor kejaksaan yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal. Sebelum meninggal, dia mewariskan semua hartanya kepada anak satu-satunya. Sang anak disuruh menghadap Jaksa Wilayah dan bersama-sama ke rumah ayahnya untuk mengurus semua harta peninggalannya.
Saat melangkah masuk ke rumah itu, mendadak hatinya menjadi sangat sedih, mengingat semua kenangan semasa dia tinggal di situ. Dia merasa sangat menyesal telah bersikap buruk terhadap ayahnya.
Dengan bayangan-bayangan masa lalu yang menari-nari di matanya, dia menelusuri semua barang di rumah itu. Ketika dia membuka brankas ayahnya, dia menemukan Alkitab itu, masih terbungkus dengan kertas yang sama beberapa puluh tahun yang lalu. Dengan airmata berlinang, dia lalu memungut Alkitab itu dan mulai membuka halamannya.
Di halaman pertama Alkitab itu, dia membaca tulisan tangan ayahnya, ”Dan kamu yang jahat tahu memberikan yang baik kepada anakmu, apalagi Bapamu yang di surga akan memberikan apa yang kamu minta kepadaNya?” Selesai dia membaca tulisan itu, sesuatu jatuh dari bagian belakang Alkitab itu. Dia memungutnya, ternyata... sebuah kunci mobil! Di gantungan kunci mobil itu tercetak nama dealer, sama dengan dealer mobil sport yang dulu dia idamkan! Dia membuka halaman terakhir Alkitab itu, dan menemukan di situ terselip STNK dan surat-surat lainnya, namanya tercetak di situ. Dan sebuah kuitansi pembelian mobil, tanggalnya tepat sehari sebelum hari wisuda itu.
Dia berlari menuju garasi, dan di sana dia menemukan sebuah mobil yang berlapiskan debu selama bertahun-tahun, meskipun mobil itu sudah sangat kotor karena tidak disentuh bertahun-tahun, dia masih mengenal jelas mobil itu, mobil sport yang dia dambakan bertahun-tahun lalu. Dengan buru-buru dia menghapus debu pada jendela mobil dan melongok ke dalam bagian dalam mobil itu masih baru, plastik membungkus jok mobil dan setirnya, di atas dashboardnya ada sebuah foto, foto ayahnya, sedang tersenyum bangga.
Mendadak dia menjadi lemas, lalu terduduk di samping mobil itu, air matanya tidak terhentikan, mengalir terus mengiringi rasa menyesalnya.
Inilah kekuatan cinta sang Ayah. Meski secara manusia menyakitkan memiliki anak ”durhaka”, namun sang Ayah tetap mencinta si anak. Cinta yang tidak bersyarat inilah yang dibutuhkan anak-anak. Cinta tak bersyarat tangguh dan kuat, tak lekang oleh waktu. Suatu saat cinta itu berbuah, si anak kembali menyesal dan bertobat. Cinta mengatasi pemberontakan. Cinta mengatasi pengkhianatan.

Dipungut OPH dari buku
Mencinta Hingga Terluka
Roswitha Ndraha & Julianto Simanjuntak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar