Corrie Ten Boom dan keluarganya mengalami kekejaman selama tahun-tahun terakhir perang dunia II. Ia dan keluarganya dikirim oleh Nazi ke kamp pembantaian di Ravensbruck, Jerman. Akhirnya, hanya Corrie yang selamat. Sesudah perang, ia menjadi penulis terkenal dan sering berbicara tentang kasih Allah. Namun, dalam hatinya, ia masih merasakan kepahitan terhadap Nazi atas apa yang sudah mereka perbuat terhadap dirinya dan keluarganya. Dua tahun sesuah perang, Corrie berbicara di Munich, Jerman, tentang topik pengampunan Allah. Sesudah kebaktian, ia melihat seorang pria yang ikut menyiksa dirinya bersama keluarganya berjalan ke arahnya. Beginilah kisahnya :
Pria yang sedang berjalan menghampirinya adalah seorang penjaga – salah seorang dari penjaga yang paling keji. Sekarang orang ini ada di hadapan Corrie dengan tangan terulur. Pria itu berkata, ”Pesan yang bagus, Ibu! Betapa senangnya mengatakan bahwa, seperti Anda katakan, semua dosa kita sudah dibuang ke dasar laut!” Dan saya, yang baru saja berbicara dengan fasih tentang pengampunan. Saya tak kuasa menerima salamnya. Saya hanya, meraba-raba buku saya, bukannya menyambut tangan yang terulur itu. Tentu saja orang ini tidak akan mengingat saya – bagaimana mungkin ia ingat seorang tahanan di antara ribuan wanita itu? Namun, saya ingat kepadanya dan cambuk kulit yang mengayun dari ikat pinggangnya. Darah saya serasa membeku.
”Anda menyebutkan Ravensbruck dalam ceramah Anda,” orang itu berkata. ”Saya dulu menjadi penjaga di sana.” Tidak, ia tidak ingat saya. ”Tapi, sejak saat itu,” ia melanjutkan,”saya menjadi orang Kristen. Saya tahu Allah sudah mengampuni saya untuk hal-hal keji yang saya lakukan di sana. Tetapi, saya ingin mendengar dari bibir Anda juga ibu,” sekali lagi tangan itu terulur ”maukah Anda mengampuni saya?”
Saya berdiri terdiam di sana, saya tidak sanggup mengampuni.Betsie saudaraku meninggal di tempat itu, dapatkah orang ini menghapus kepahitannya hanya dengan meminta maaf? Tidak lebih dari beberapa detik orang itu berdiri di sana dengan tangan terulur, tetapi bagi saya rasanya berjam-jam sementara saya bergumul dengan perkara paling sulit yang harus saya lakukan.
Karena saya harus melakukannya, saya tahu itu. Pesan bahwa Allah mengampuni didahului dengan kondisi : bahwa kita harus mengampuni mereka yang sudah menyakiti kita. ”Jika engkau tidak mengampuni kesalahan yang lain,” Yesus berkata,”maka Bapamu yang di surga tidak akan mengamuni dosamu juga.”
Saya tahu itu bukan hanya sebagai perintah Allah, tetapi juga sebagai pengalaman sehari-hari. sesederhana itukah? Dan saya masih berdiri di sana dengan hati yang membeku. Namun, pengampunan bukanlah emosi, saya juga tahu itu. Pengampunan adalah tindakan dari kehendak, dan kehendak dapat berfungsi lepas dari suhu hati saat itu. ”Yesus, tolong saya!” Saya berdoa dalam hati. ”Saya dapat mengangkat tangan saya. Saya dapat berbuat sejauh itu. Engkaulah yang memberikan perasaan itu.”
Dengan kaku dan seperti mesin, saya pun mengulurkan tangan untuk menyambut tangan yang terulur itu. Ketika saya melakukannya, terjadi suatu peristiwa yang luar biasa. Ada aliran yang timbul dimulai dari bahu saya, merambat turun ke lengan saya. Lalu menyebar ke tangan kami yang saling menggenggam. Kemudian, kehangatan yang menyembuhkan ini tampak membanjiri seluruh diri saya sehingga mata saya banjir air mata. ”Saya mengampunimu, Saudara,” saya berseru,”dengan segenap hati saya.”
Untuk waktu yang lama kami saling menggenggam tangan satu sama lain, mantan penjaga dan mantan tahanan. say tidak pernah mengetahui kasih Allah begitu kuat, seperti yang saya saya rasakan saat itu. Namun, meskipun begitu , saya sadar itu bukan kasih saya. Saya sudah berusaha dan tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Itu adalah kuasa Roh Kudus seperti tercatat dalam Roma 5:5 ”...karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”
Memaafkan selalu memberi orang kesempatan kedua. Mengampuni adalah jalan terbaik orang dapat melihat cinta kasih Kristus dalam diri kita yang sesungguhnya. Mengampuni adalah sisi mutiara kasih Kristus yang paling tampak sinarnya bagi kita yang melihatnya.
Dipungut OPH dari buku
Mencinta Hingga Terluka
Roswitha Ndraha & Julianto Simanjuntak
Pria yang sedang berjalan menghampirinya adalah seorang penjaga – salah seorang dari penjaga yang paling keji. Sekarang orang ini ada di hadapan Corrie dengan tangan terulur. Pria itu berkata, ”Pesan yang bagus, Ibu! Betapa senangnya mengatakan bahwa, seperti Anda katakan, semua dosa kita sudah dibuang ke dasar laut!” Dan saya, yang baru saja berbicara dengan fasih tentang pengampunan. Saya tak kuasa menerima salamnya. Saya hanya, meraba-raba buku saya, bukannya menyambut tangan yang terulur itu. Tentu saja orang ini tidak akan mengingat saya – bagaimana mungkin ia ingat seorang tahanan di antara ribuan wanita itu? Namun, saya ingat kepadanya dan cambuk kulit yang mengayun dari ikat pinggangnya. Darah saya serasa membeku.
”Anda menyebutkan Ravensbruck dalam ceramah Anda,” orang itu berkata. ”Saya dulu menjadi penjaga di sana.” Tidak, ia tidak ingat saya. ”Tapi, sejak saat itu,” ia melanjutkan,”saya menjadi orang Kristen. Saya tahu Allah sudah mengampuni saya untuk hal-hal keji yang saya lakukan di sana. Tetapi, saya ingin mendengar dari bibir Anda juga ibu,” sekali lagi tangan itu terulur ”maukah Anda mengampuni saya?”
Saya berdiri terdiam di sana, saya tidak sanggup mengampuni.Betsie saudaraku meninggal di tempat itu, dapatkah orang ini menghapus kepahitannya hanya dengan meminta maaf? Tidak lebih dari beberapa detik orang itu berdiri di sana dengan tangan terulur, tetapi bagi saya rasanya berjam-jam sementara saya bergumul dengan perkara paling sulit yang harus saya lakukan.
Karena saya harus melakukannya, saya tahu itu. Pesan bahwa Allah mengampuni didahului dengan kondisi : bahwa kita harus mengampuni mereka yang sudah menyakiti kita. ”Jika engkau tidak mengampuni kesalahan yang lain,” Yesus berkata,”maka Bapamu yang di surga tidak akan mengamuni dosamu juga.”
Saya tahu itu bukan hanya sebagai perintah Allah, tetapi juga sebagai pengalaman sehari-hari. sesederhana itukah? Dan saya masih berdiri di sana dengan hati yang membeku. Namun, pengampunan bukanlah emosi, saya juga tahu itu. Pengampunan adalah tindakan dari kehendak, dan kehendak dapat berfungsi lepas dari suhu hati saat itu. ”Yesus, tolong saya!” Saya berdoa dalam hati. ”Saya dapat mengangkat tangan saya. Saya dapat berbuat sejauh itu. Engkaulah yang memberikan perasaan itu.”
Dengan kaku dan seperti mesin, saya pun mengulurkan tangan untuk menyambut tangan yang terulur itu. Ketika saya melakukannya, terjadi suatu peristiwa yang luar biasa. Ada aliran yang timbul dimulai dari bahu saya, merambat turun ke lengan saya. Lalu menyebar ke tangan kami yang saling menggenggam. Kemudian, kehangatan yang menyembuhkan ini tampak membanjiri seluruh diri saya sehingga mata saya banjir air mata. ”Saya mengampunimu, Saudara,” saya berseru,”dengan segenap hati saya.”
Untuk waktu yang lama kami saling menggenggam tangan satu sama lain, mantan penjaga dan mantan tahanan. say tidak pernah mengetahui kasih Allah begitu kuat, seperti yang saya saya rasakan saat itu. Namun, meskipun begitu , saya sadar itu bukan kasih saya. Saya sudah berusaha dan tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Itu adalah kuasa Roh Kudus seperti tercatat dalam Roma 5:5 ”...karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”
Memaafkan selalu memberi orang kesempatan kedua. Mengampuni adalah jalan terbaik orang dapat melihat cinta kasih Kristus dalam diri kita yang sesungguhnya. Mengampuni adalah sisi mutiara kasih Kristus yang paling tampak sinarnya bagi kita yang melihatnya.
Dipungut OPH dari buku
Mencinta Hingga Terluka
Roswitha Ndraha & Julianto Simanjuntak
luar biasa..
BalasHapus