Pdt. Kim Clement bercerita tentang suatu hari berada
di Perth, Australia, atas undangan seorang gembala. Hanya serombongan kecil
pengunjung yang menghadiri kebaktian pertama. Tetapi, mereka lapar akan firman
Tuhan. Kemudian, Tuhan bekerja luar biasa sehingga pengunjung berdatangan dari
mana-mana. Ada pencurahan Roh Allah yang ajaib sehingga dalam waktu beberapa
malam saja bangunan itu penuh sesak.
Beberapa pendeta di wilayah itu menyaksikan Tuhan
bekerja. Lalu, mereka datang mengunjungi saya. Mereka berkata, “Kami yakin
harus mengubah kebaktian ini menjadi kampanye yang meliputi seluruh kota.
Maukah Anda tinggal di Perth jika kami dapat mengaturnya?”
“Ya,” saya berkata kepada mereka. “Allah akan segera
melakukan sesuatu yang adikodrati.” Pusat hiburan di Perth berkapasitas 6.000
kursi. Dan mereka mengatur untuk memindahkan kebaktian ke sana.
“Kami dapat mengurangi tempat duduk sampai 4.000,”
ujar salah seorang pendeta. “Penginjilan akbar yang dulu kami adakan dapat
menarik 2.200 pengunjung.”
“Saya mempunyai berita kejutaan bagi Anda,” saya
berkata kepada mereka.
“Jika Allah mengirimkan firmanNya, khalayak akan
berdatangan. Buka saja sepenuhnya. Kita akan memenuhi tempat ini.”
Selama dua minggu sejak tiba di Perth, saya telah
merasakan beban yang berat untuk Australia Barat, sehingga saya telah melakukan
puasa penuh disertai doa. Saya tidak menyentuh makanan apa pun dan hanya minum
air. “Tuhan” saya berdoa,”kirimkanlah firmanMu. Kirimkanlah firmanMu.”
Pada hari kami pindah ke pusat hiburan, halaman depan
surat kabar memberitakannya. Bunyinya : saya telah datang untuk menjangkau
mereka yang tak terjangkau dan menjamah mereka yang tak terjamah. Ribuan orang
tercurah ke gelanggang itu sampai setiap kursi terisi.
Saat melangkah menuju panggung, saya dapat merasa
aliran khusus dari kuasa Allah. Itu bagaikan sengatan listrik. Walaupun tubuh
saya lemah karena puasa, saya merasa perkasa. Selagi paduan suara yang besar jumlahnya sedang menyanyi, saya
berdoa,”Tuhan, lakukanlah sesuatu yang luar biasa mala mini. Kami perlu
menjangkau kota ini untukMu.” Saya berharap Allah akan memberi saya perkataan
nubuat untuk seseorang yang terkenal di antara hadirin. “Bawalah seseorang yang
tenar masuk ke kerajaanMu,” saya berdoa,”itu
akan menjadi teladan.”
Saya berpikir mungkin seorang senator, bintang film,
tokoh olahraga, atau wartawan televise akan merupakan sosok idaman. Saya ingin
melihat sesuatu yang sangat berkesan sehingga hadirin akan pulang sambil
berkata, “Dapatkah engkau percaya akan kejadian mala mini?” Saya seharusnya
tahu bahwa Allah tidak berbicara karena hasrat saya, melainkan kehendakNya yang
mutlak berdaulat.
Sementara kebaktian berlangsung, paduan suara
menyanyikan “Sungai Besar AnugrahNya” dan saya berkhotbah selama setengah jam
di bawah urapan yang kuat. Kuasa Tuhan sedemikian memenuhi gedung pertemuan itu
sehingga orang-orang diselamatkan, disembuhkan dan dibaptis dalam Roh Kudus.
Tetapi saya terus berdoa, “Tuhan, aku tahu Engkau mempunyai perkataan nubuatan
untuk seseorang istimewa yang ada di sini mala mini. Tunjukkanlah kepadaku pria
atau wanita yang akan menerima perkataanMu.”
Selagi mencari petunjuk Tuhan, saya memperhatikan
sekelompok orang yang berpakaian rapi duduk bersama-sama. Lalu saya
pikir,pastilah ini salah satu dari mereka. “Tuhan, apakah Engkau mempunyai
sepatah kata khusus yang dapat kuberikan?” Tetapi, tidak ada apa-apa yang
muncul.
Kemudian, saya merasakan desakan dalam roh saya yang
berkata,”Lihatlah di belakang gedung pertemuan. Apakah engkau melihat tempat
duduk di ujung baris belakang? Ke sanalah Aku mau engkau pergi.” Saya berpikir,
apakah saya tidak salah mendengar suara Tuhan? Siapakah tokoh sedemikian
penting yang mau duduk di baris belakang?
Sementara berjalan melalui aula besar itu, saya
menoleh ke kanan kiri. Saya mencari seseorang yang akan menjadi sasaran
penerimaan perkataan Tuhan yang akan saya ucapkan. Tetapi, yang diucapkanNya
hanyalah,”Aku tidak akan mengatakan apa pun kepadamu sebelum engkau pergi ke
tempat duduk terakhir pada baris belakang.” Hadirin memalingkan kepala dan
memperhatikan saya dengan penuh perhatian ketika saya terus berjalan. Mereka
ingin tahu orang yang akan saya temui dan mengucapkan nubuat. Ketika tiba di
dinding belakang dari gedung itu, saya melihat kursi yang telah ditunjuk Tuhan
kepada saya. Kemudian, ketika saya melihat orang yang duduk di situ, saya
berpikir, ini mustahil! Mengapa Allah mau saya berbicara kepada orang ini?
Di hadapan saya ada seorang remaja belasan tahun
berambut terurai yang kemejanya koyak. Saya berusaha mengabaikan bau badannya
saat menatap matanya. Pandangan matanya hampa dan terluka oleh rasa sakit.
Untuk sesaat saya terpaku. Kemudian, Allah berkata kepada saya,”Ingatlah
dirimu. Itulah engkau.” Saya mendadak melihat diri saya sebagai pemuda yang
sia-sia, kecanduan heroin, ditikam dan berdarah, meregang nyawa di suatu jalan
di Porth Elisabeth. Saya teringat seseorang datang menolong dan menuntun saya
kepada Juruselamat. Tahun-tahun obat bius, music rock dan pembangkangan telah
lenyap ketika Tuhan menusuk hati saya. Kini tiba giliran saya untuk
menyelamatkan orang lain.
Saya memanggil nama pemuda itu. Ia kecut hati bagaikan
seorang anak yang ketakutan. “Marilah ikut saya,” saya berkata seraya mengantar
dia menuju panggung. Ketika berdiri di depan hadirin, saya merangkul dia dan
berkata,”Allah menyuruh saya berkata kepadamu,hari ini Allah telah menjadi
Bapamu.” Pemuda itu mulai menangis. Dia meminta Kristus untuk masuk dalam
hatinya. Saya mengetahui kemudian bahwa tiga hari sebelum kebaktian itu
berlangsung, kisah dramatis telah terbentang dalam kehidupan pemuda berusia 16
tahun ini.
Dia tinggal di kota kelahirannya, Sydney, kota
terbesar di Australia. Sydney berjarak 3.000 km dari Perth! Ayahnya adalah
pemabuk dan pecandu narkotika yang parah. Ibunya telah meninggal akibat
pemukulan yang mengerikan. Ayahnya telah didakwa sebagai pelakunya. Putranya
yang juga ketagihan narkotika, telah pulang pada suatu hari dan dipukul
habis-habisan oleh ayahnya. Dia benar-benar ditendang ke luar dari pintu
rumahnya. Tulangnya patah. Tubuhnya berlumuran darah. Ayahnya berteriak,”Aku
tidak mau melihat mukamu lagi! Sama sekali tidak! Hari ini aku tidak mengakui
engkau sebagai anak! Aku bukan ayahmu lagi!”
Pemuda ini mengambil sebagian obat bius terakhir yang
dimilikinya, melangkah ke rumah seorang temannya, dan meminjam sepucuk senjata.
Ia memasukkan beberapa butir peluru ke dalam larasnya dan berkata kepada
dirinya,”Sudah berakhir.” Ia siap untuk mencabut nyawanya sendiri. Tetapi
sebagai gantinya, tanpa alasan sama sekali, ia menyusuri jalan raya dan mulai
berjalan kaki melintasi Australia.
Tiga hari kemudian, masih seorang diri, ia mendapati
dirinya duduk di tepi jalan di pusat kota Perth. Ia masih mempertimbangkan
untuk bunuh diri.
Perth adalah kota yang berangin. Tiba-tiba selembar Koran
tertiup angin ke dekatnya. Ia merenggutnya. Ia berniat menggulungnya untuk
merokok. Saat merobek koran itu, ia melihat kata “yang tak terjangkau” tertera
di halaman itu. Di sebelahnya terdapat gambar saya. Kata itu tampak menonjol di
koran itu. Tak terjangkau, pikrinya, itulah aku. Remaja jorok dan kumal itu
berkata kepada dirinya, “Aku mau menemui orang ini, sekalipun ini adalah hal
terakhir yang akan kulakukan. Barangkali dia mempunyai pesan untukku.”
Dia melihat kembali koran itu. Artikel menyebutkan
bahwa saya akan berada di Pusat Hiburan. Dia menggerling dan dengan segera
melihat nama gedung itu di seberang jalan. Pusat Hiburan. Pintu-pintunya baru
saja dibuka untuk kebaktian pertama.
Ia berjalan masuk dan mengambil tempat duduk pada
baris belakang. Saat menantikan kebaktian pertama dimulai, ia berpikir, entah
apakah Allah mengenal atau peduli akan diriku. Entah apakah Yesus itu ada,
tetapi aku berharap Allah mau berbuat sesuatu untukku.
Kini, sambil berdiri di panggung, ia disambut dalam
keluarga Allah. Orang-orang Kristen di kota itu menerimanya sebagai warga
mereka. Ia dipenuhi RohKudus, dikuatkan dalam firman, dan memulai pelayanan
kepada kaum muda di jalan-jalan kota Perth. Tuhan tahu siap orang terpenting di
dalam kebaktian itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar