Oleh : Stu Weber
Dari Buku : Kisah Kasih Allah
Kami biasa lari setiap pagi, tetapi ini adalah sebuah kisah yang lain dari
biasanya. Kami sudah berkeringat sejak sebelum fajar menyingsing, namun
sekarang keringat itu sudah mengering dari setiap pori-pori kulit kami. Dalam
pelatihan fisik di sekolah tentara Amerika Serikat itu, kami benar-benar merasa
diperas. Kelelahan. Namun, memang tiada pagi tanpa peluh di sana.
Kami berlari dengan
seragam lengkap. Seperti biasa, kami mengucapkan kata-kata, “Kalian keluar
bersama, bekerja bersama, bekerja sebagai tim, dan kembalilah bersama. Jika kau
belum bersama kami, jangan malu untuk bergabung!”
Di tengah perjalanan,
menembus tabis rasa sakit, haus, dan lelah, otak saya memikirkan sesuatu yang
aneh tentang bentuk barisan kami. Di dua baris di depan saya, saya memerhatikan
seorang teman tampak sempoyongan.
Seorang yang tinggi besar
dan berpotongan rambut pendek berwarna merah bernama Sanderson, tampak sudah
tidak lagi berlari serentak dengan kami. Lengannya tampak terkulai. Kemudian
kepalanya mulai bergoyang-goyang. Pria ini sedang berusaha bertahan.
Hampir-hampir ia tak berdaya lagi.
Sambil tetap berlari,
tentara di sebelah kanan Sanderson mengangkat senapan dari bahunya untuk
meringankan beban Sanderson. Jadinya, tentara itu memanggul dua senapan.
Miliknya dan milik Sanderson. Si kepala merah yang tinggi besar itu tampak
mendingan untuk sementara. Namun kemudian, ketika peleton itu terus bergerak,
kerongkongannya seperti tercekat, matanya pucat, dan kakinya melemas. Segera
kepalanya kembali bergoyang.
Kali ini, tentara di
sebelah kirinya meraihnya, membuka helmnya, mengepitnya di bawah lengannya dan
terus berlari. Semua terus berlari. Langkah sepatu kami berderap-derap serempak
di jalan yang kotor. Tap-tap-tap-tap-tap.
Namun, Sanderson sakit
parah. Benar-benar parah. Ia rebah. Tetapi, tunggu. Dua tentara di belakangnya
mengangkat ransel di punggungnya, kemudian masing-masing memanggul Sanderson
dengan tangan yang bebaas. Sanderson mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya.
Membusungkan dadanya. Pasukan itu terus berlari. Terus menelusuri jalan hingga
garis akhir.
Kami berangkat bersama.
Kami pulang bersama. Dengan begitu, kami semua menjadi lebih kuat.
Bersama-sama memang selalu
lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar