Yesus Gembala yang Baik.

Selasa, 23 Oktober 2012

Faith Like Potatoes




Angus Buchan, Jan Greenough, Val Waldeck
Bab 1 Iman Seperti Kentang

“Ke neraka bersama El Nino!” Saya menatap kerumunan manusia yang berkumpul di Stadion King’s park dan saya tahu bahwa saya mendapatkan perhatian mereka sepenuhnya. “Ke nereaka bersama dengan tanda-tanda kekeringan, ketakutan dan kekhawatiran! Kita tidak sedang mendengarkan kebohongan iblis. Kita sedang mendengarkan janji-janji Allah!” Orang-orang yang menyaksikan saya menatap dalam keheningan. Mereka datang ke Durban pada bulan September 1977 untuk menghadiri Peace Gathering yang diselenggarakan olehShalom Ministries, dan sebagai petani mereka sangat memahami cuaca : bahwa cuaca dapat mendatangkan kebaikan atau kehancuran.
            El Nino datang setiaptiga sampai tujuh tahun sekali. Arus air yang hangat di Pasifik Timur memicu kondisi cuaca yang tidak biasa di seluruh dunia, menimbulkan hujan lebat di beberapa tempat dan periode musim kering yang bertambah panjang di tempat lain – khususnya di Afrika Selatan. Tahun ini semua tanda menunjukkan bahwa El Nino yang datang adalah El Nino paling kuat selama kurun waktu 50 tahun, dan akibatnya musim kering akan menjadi sangat buruk. Surat kabar, televisi, dan radio sepertinya tidak membahas soal lain. Bahkan , Agricultural Union (serikat Tani) telah menyerah pada ketakutan-ketakutan yang timbul. “Jangan menanam tanaman-tanaman mahal,” saran mereka. “Hematlah pengeluaran Anda. Tanamlah tanaman yang Anda tahu pasti akan tumbuh. Ini akan menjadi tahun musim kering, jadi harus dilakukan penyusunan kekuatan.” Hadirin di depan saya mengetahui hal tersebut. Mereka juga mengetahui bahwa saya adalah seorang petani, jadi mereka sangat yakin bahwa saya serius. “Tahun ini kita akan menanam kentang! Kita akan pulang dan menanami lahan kita – setiap inici tanah milik kita – dengan gandum, kacang-kacangan kering, dan kentang. Kita akan mempercayakan segeala kebutuhan kita kepada Allah!”
            Malam itu saat mengendarai mobil menuju ke rumah , saya bertanya-tanya apakah saya sudah bersikap terlalu berani. “Aku dan mulut besarku,”pikir saya. “Jika ini bukan benar-benar kehendak Allah , maka kali ini aku ada dalam kesulitan besar.” Jika saya salah, itu bisa berarti seluruh pertanian saya akan lenyap. Saya berdoa dengan sungguh-sungguh: “Tuntun aku, Tuhan. Aku membutuhkan pimpinan yang khusus dariMu sekarang.” Dapat dipastikan, keyakinan itu masuk ke dalam hati saya: Saya bermaksud untuk menanami sepuluh hektar tanah saya dengan kentang. “Baiklah, Tuhan, aku akan melakukannya,” kata saya. “Jumlahnya sepuluh hektar.” Saya dipenuhi dengan keyakinan untuk mempercayai Allah berapa pun harganya. Ya atau tidak sama sekali.
            Sebagaimana diketahui oleh setiap petani, menanam kentang adalah pekerjaan yang sangat mahal. Selain harus membeli benih, dibutuhkan juga ekstra pupuk. Bila Anda menanam gandum (dikenal sebagai maizena atau jagung manis di Inggris), Anda hanya akan mengeluarkan sekitar 350 sampai 400 kilo pupuk per hektar, tetapi untuk kentang dibutuhkan setidaknya satu ton. Program penyemprotan untuk pencegahan hama penyakit menghabiskan biaya 6.000 Rand (sekitar 500 poundsterling). Belum lagi biaya tenaga kerja, dan Anda akan mulai memahami bahwa menanam kentang adalah sebuah investasi yang besar – itu bukan sesuatu yang Anda kerjakan bila Anda sedang berhati-hati. Teman-teman saya sesama petani merasa khawatir. “Dengar, Angus,” kata salah seorang dari mereka. “Aku dengar kau ingin menanam kentang. Tolong jangan lakukan itu… kau akan hancur. Aku sudah melihat terlalu banyak petani menjadi bangkrut. Kau sudah ada di sini selama 20 tahun dan kami tidak ingin kehilangan dirimu. Mengapa tidak mencoba beternak ayam atau yang lainnya?” “Aku harus melakukannya,” jawab saya. “Aku harus melakukan apa yang Allah perintahkan kepadaku.”
            “Tetapi kau belum pernah menanam kentang sebelumnya. Kau belum mempunyai pengalaman. Kau belum memiliki irigrasi. Musim kering terbesar di sepanjang sejarah akan segera datang. Jangan lakukan itu!” Saya tidak dapat dibujuk , walaupun saat itu sudah mendekati dari akhir musim menanam, dan saya tahu akan sulit untuk mendapatkan kentang, dan apa yang akhirnya kita dapatkan bukanlah yang terbaik. Kantung-kantungnya sudah begitu buruk sehingga ketika kami mengangkatnya, benih-benih kentang berjatuhan, dan kami melihat bahwa tunas-tunas kecil sudah mulai bermunculan. Namun, kami tetap membeli segala sesuatu yang dapat kami lakukan, dan menanam semuanya. Enam kereta kecil berisi benih kentang digiring menuju ke tanah seluas sepuluh hektar itu.
            Kami juga menanam gandung dan kacang kering di atas sisa tanah yang ada, tetapi yang paling kami perhatikan adalah kentang-kentangnya – kentang tersebut meru[akan gambaran investasi yang sangat besar. Kentang membutuhkan banyak air, karena kentang sendirimenyerap air sebanyak 90 persen, dan musim kering itu benar-benar merupakan sebuah ujian atas iman saya. Kadang-kadang hujan mulai turun, dan semangat kami akan bangkit – lalu hujan berhenti, semuanya akan menjadi kering dan berdebu, kemudian iblis akan menuduh saya. “Sekarang kau membuat dirimu mengalami kesulitan besar! Darimana uang akan didapatkan tahun itu?” Ia tak pernah melewatkan satu kesempatan pun untuk melemahkan saya, dan kami harus berjalan dengan iman di setiap langkah kami.
            Normalnya, pada tahun kering, para petani menanam tanaman yang menggunakan sedikit pupuk, sedikit pengeluaran, dan sedikit dalam segala hal. Dan tentu saja, hasilnya akan sedikit. Salah seorang tetangga saya hanya menanam kacang kedelai, tanaman dengan panenan kecil yang memerlukan sedikit kelembaban, dan merupakan sebuah taruhan aman bagi tahun kering. Namun, ia tidak memperoleh banyak keuntungan : kacang kedelai juga membuat petani hanya mendapat kembali modal yang kecil. Itu memang masuk akal. Tuhan berkata,”Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Kor 9:6). Teman-teman saya, Jeff, Peter dan Dieter, sesama orang percaya sekaligus rekan petani setempat, tahu banyak tentang kentang, dan mereka mampir setiap hari untuk memeriksa ladang. Kami benar-benar memperlakukan kentang-kentang tersebut seperti bayi! Kami menyiraminya, menjaganya tetap bersih, memberikan pelayanan Roll-Royce. Semua orang menonton dengan heran, namun kami sedang mempercayai Allah.
            Sementara itu, semua orang Kristen di seluruh desa telah mendengar tentang ladang saya dan mendoakannya. Saya bertanya-tanya apakah saya harus membuat beberapa rencana antisipasi. Saya tidak mempunyai peralatan irigasi sehingga saya meminta seorang petani setempat untuk meminjami saya dua buah pipa untuk disambungkan ke saluran saya, supaya dapat memperoleh air tambahan. Ia memberikan kepada saya dua belas alat penyiram – tidak mencukupi  untuk lahan seluas sepuluh hektar. Saya kembali bergantung pada Allah, dan Dia tidak pernah mengecewakan kami. Setiap kali ladang mulai kelihatan terlalu kering, saya akan menyambungkan pipa-pipa  dan menyalakan alat-alat penyiram – kemudian turunlah hujan, sehingga saya harus mematikan aliran air lalu meminta ampun pada Allah! Itu terjadi berulang-ulang : Tuhan menjagai setiap inci dari tanaman-tanaman tersebut.
            Itu adalah pertama kali saya menanam kentang, jadi saya tidak begitu yakin apa yang harus diharapkan. Namun demikian, saat kami mulai menuai, para ahli memberi tahu saya bahwa saya mendapatkan panenan yang melimpah ruah. Kentang-kentang itu adalah yang terbaik di seluruh desa. Bahkan, itu adalah satu-satunya kentang yang ada di desa karena sebagian besar petani takut untuk menanamnya. Secara umum telah terjadi kekurangan, jadi kami tidak mengalami kesulitan untuk menjual kentang mukjizat kami dengan harga yang bagus.
Ada sebuah panti jompo di dekat pertanian saya, dan saya sering berbicara di sana. Setiap kali saya berkunjung,orang-orang tua ingin tahu bagaimana cerita tentang kentang-kentang itu. Suatu hari saya mengambil bagaimana cerita tentang kentang-kentang itu. Suatu hari saya mengambil beberapa kentang yang benar-benar besar dari dalam tanah, mencucinya kemudian menaruhnya dalam sebuah kantung bersama sejumlah gandum. Saat saya selesai berkhotbah, saya mengeluarkannya dan meletakkannya di atas meja. “Inilah yang telah Yesus lakukan,” kata saya. “Seperti inilah Dia menghargai iman kami. Allah kita adalah Allah atas perkara yang mustahil, dan El Nino tidak mempunyai kuasa seperti ini.”
Banyak pekerja di pertanian kami adalah orang Kristen dan mereka biasanya harus menanggung banyak ejekan dari teman-teman karena iman mereka kepada Kristus. Sekarang mereka mempunyai jawaban. “Di manakah El Nino yang setiap hari diceritakan oleh orang-orang pintar di radio?” tanya mereka. “Sekarang kalian bisa melihat sendiri bahwa kami melayani Allah yang hidup.” Kentang-kentang itu menarik imaginasi orang-orang Kristen di seluruh desa. Suatu hari, saya berbicara dalam kelompok pendeta kulit hitam di Magaliesberg dan mereka berkata, “Mulai sekarang, setiap kali kami makan kentang, kami akan mengingat ini : “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh mencari Dia”(Ibrani 11:6)
Peter Marshall, pengkhotbah Injili yang besar, suatu kali mengatakan bahwa kita membutuhkan “iman seperti kentang” – iman yang polos, sederhana, dan nyata yang akan memelihara kita dalam kehidupan setiap hari. Setiap kali saya mengambil kentang, saya teringat kata-kata itu. Itulah jenis iman yang saya inginkan. Saat kita memiliki iman dan bertindak berdasarkan iman itu, Allah akan menolong kita, tidak peduli apa pun keadaan kita. Allah adalah Raja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar