Yesus Gembala yang Baik.

Jumat, 26 Oktober 2012

Iman Yang Diuji





Angin dingin membelah udara malam ketika Wes Anderson masuk ke sedannya yang berwarna perak. Saat itu pukul 20:30, tanggal 7 March 1994. Pendeta Gereja Kristen Carmichael di Sacramento, California, yang bertubuh tegap dan berusia tiga puluh empat itu baru saja selesai memimpin rapat dengan sejumlah anggota dewan gereja.
 "Selamat menikmati malam yang indah, Pendeta," seorang umat gerejanya berseru kepadanya.
 "Aku akan menikmatinya, " jawab Wes. Kemudian dengan aksen Tennessee-nya yang kental dia menambahkan, "Semoga kita bertemu lagi hari Minggu."
 Ketika mendapat panggilan untuk mengabdi di gereja, Wes masih kuliah di jurusan pengadilan kriminal. Dia datang ke Carmichael pada tahun 1992, dan umatnya yang berjumlah 110 menyambut pria berwatak santai yang selalu tersenyum lebar itu dengan hangat.
 Wes meluncur pulang dengan mobilnya. Dia jalan, dia melihat seorang umatnya, Dorothy Hearst yang berumur tujuh puluh delapan tahun, nyaris bertabrakan dengan dua mobil lainnya. Wes berhenti untuk menolong. Dia lega ketika dia tahu wanita itu selamat, hanya sedikit gemetaran. Tiba-tiba sinar lampu mobil melesat cepat ke arah mereka. "Dorothy!" teriak Wes. "Dia akan menabrak kita!" Wes mendorong wanita itu ke samping, tepat ketika sebuah station wagon menyeruduk pinggangnya dan menggencetnya hingga menempel pada mobil Dorothy. Kaki kanannya serasa meledak oleh rasa nyeri yang tak tertahankan. Sesaat kemudian dia tergeletak di aspal, mengerang-erang. Kaki kanannya remuk.
 Ketika ambulan sampai di Medical Center, University of California, Davis, seorang dokter menyorongkan formulir pernyataan kesediaan operasi ke tangan pendeta itu. "Tak ada cara lain," katanya. "Kaki kanan Anda harus diamputasi."
 Tak lama setelah dioperasi, Wes merasa nyeri dan kaku di kaki kanannya. Dia mengulurkan tangan untuk mengelusnya, tetapi seketika itu menariknya lagi. Tak ada apa-apa.
 Nyeri semu---sensasi fisik yang dialami orang yang baru diamputasi ketika sinyal-sinyal di otak mengisyaratkan bahwa kaki itu masih ada---akan datang dan pergi bagaikan hantu penyiksa. Berkali-kali dia merintih karena rasa nyeri yang tajam menusuk-nusuk kakinya yang tak ada lagi. Semua ini gara-gara James Allen Napier---pengemudi mabuk yang hanya diganjar delapan bulan penjara.

Sementara hari demi hari berlalu, Wes tenggelam dalam depresi. Serangkaian operasi menyisakan sepotong tungkai penuh carut marut bekas luka. Carut marut merah silang menyilang di perutnya, bekas-bekas yang menunjukkan bagian yang diambil lapisan kulitnya.
 "Ini tidak adil," dia mengeluh kepada Mike Cook, kawannya dan pendeta Gereja Sylvan Oaks, satu kongregasi dengan Gereja Kristen Carmichael. "Suatu saat aku ingin punya istri dan anak. Wanita seperti apa yang mau mencintaiku yang penuh carut marut bekas luka ini?"
 "Hidup memang tidak adil," Mike menanggapi. "Tapi apakah hidup harus adil? Kau sendiri melihat hal-hal buruk menimpa orang-orang baik. Ingat, Wes, kau sudah menyelamatkan satu nyawa. Aku tahu, memang sulit untuk percaya, Tuhan pasti punya rencana."
 Wes membuang muka. Dia juga selalu menasihati umatnya untuk tetap berteguh iman menghadapi saat-saat penuh cobaan. "Tuhan selalu punya rencana," sering itu dia katakan kepada mereka. "Percayalah kepada kehendakNya. " Tetapi, kata-kata yang semula diyakininya mengandung kekuatan, tiba-tiba kini menjadi tidak berarti.

Seorang reporter dari Sacramento Bee menelpon, minta izin untuk menulis pengalaman Wes. Insting Wes mengatakan tidak; dia tidak ingin digambarkan sebagai pahlawan. Reporter itu berjanji akan menuliskan apa yang terjadi, seringkas dan sederhana mungkin. Akhirnya Wes menyerah. Siapa tahu, pikirnya. Mungkin pengalamanku akan berguna bagi seseorang.

 Virgina Bruegger melemparkan Sacramento Bee tanggal 16 March 1994 ke tumpukan di samping tempat tidurnya. Seperti biasa, dia melewatkan satu hari penuh kesibukan. Mula-mula mobilnya tak bisa distarter; Kemudian dia ketinggalan bus. Sejak satu setengah tahun lalu, wanita usia tiga puluh delapan tahun yang sudah bercerai itu selalu sibuk. Jadwalnya padat: kuliah, belajar, dan magang untuk meraih gelar sarjana muda Sains Perilaku di University of California, Davis. Sekarang, ketika menghadapi ujian tengah semester di tahun terakhirnya, uangnya yang pas-pasan dia cukup-cukupkan sampai mepet.
 Malam itu ketika dia sedang bersiap untuk belajar di meja dapur, Steven, putranya yang berumur enam belas, tiba-tiba sakit karena keracunan makanan. Pukul tiga pagi itu, dengan letih Virgina masuk ke kamarnya. Tiba-tina ia merasa sangat tertekan. Apakah aku sudah melakukan yang benar? pikirnya. Apakah aku  bisa mendapat pekerjaan setelah lulus?.
 Berita utama di koran menarik perhatiannya: "Pendeta Kehilangan Kaki Karena Menyelamatkan Wanita dari Tabrakan." Dia mengambil koran itu lalu membacanya.
 Ya,Tuhan, katanya dalam hati, malang benar pria ini. Virgina berhenti pada kutipan mengenai alasan pendeta itu untuk menceritakan pengalamannya- --yaitu bahwa pengalamannya mungkin akan menolong orang untuk "hidup benar secara spiritual."
 Dia seperti bicara langsung kepadaku, kata Virgina dalam hati. Dia dididik dan dibesarkan dalam lingkup keluarga yang saleh, di Bushton, sebuah kota kecil di Kansas. Tetapi sejak bercerai, Virgina semakin menjauh meninggalkan imannya' sampai sekarang, dia nyaris tidak pernah berdoa.

Waktu matahari terbit memancarkan cahayanya, beberapa jam lagi dia harus mengikuti jadwal kuliah yang padat. Hari ini tidak, pikir Virgina. Ada bisikan di hatinya, menyuruhnya menemui pria itu.
Antara sadar dan tidak setelah dioperasi untuk ketujuh kalinya dalam sepuluh hari terakhir, Wes tidak tahu bagaimana sebaiknya dia menanggapi wanita yang muncul di pintu kamarnya sambil membawa satu pot ivy. Matanya yang cokelat berbinar terlihat malu-malu. Tapi.... ketika wanita itu tersenyum--- seluruh wajahnya berubah menjadi cerah berbinar.
"Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih," Virgina memulai sambil mencari-cari kata-kata yang tepat. Apa yang kukatakan kepadanya? dia terheran-heran sendiri. Lusinan kartu ungkapan simpati terserak di meja kecil di samping tempat tidur dan digantungkan pada dinding di atas tempat tidur. Bunga-bunga kiriman kawannya, keluarga, dan umat Wes mekar semarak di setiap sudut. Pengalamannya menyentuh hati banyak orang, tidak hanya dirinya.
"Saya membaca artikel itu di koran. Saya harus menceritakan kepada Anda bagaimana pengalaman Anda itu mempengaruhi saya, kata Virgina. "Pengalaman itu mengubah pandangan saya tentang apa yang telah saya alami. Saat ini hidup saya boleh dikatakan berat."
Apakah aku kedengaran cengeng? Virgina menduga-duga. Pria ini benar-benar mendapat cobaan yang berat---bukan sekedar karena dikirimi surat tagihan, atau karena harus menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Ekspresi Wes meredakan kegelisahannya. "Pengalaman Anda membuat saya sadar bahwa saya harus meluruskan kembali hubungan saya dengan Tuhan."
Wes mengamati wanita yang tak dikenalnya itu. Sejak dirawat di rumah sakit, Wes nyaris tidak pernah tidak kesakitan. Sekarang pikirnya tidak lagi terpusat pada dirinya sendiri, melainkan lebih kepada bagaimana dia bisa menolong orang lain. "Anda punya gereja? dia bertanya.
Virgina menggeleng. Pertanyaan yang sangat sederhana. Dia langsung bicara ke pokok masalah, pikirnya, lalu mengulurkan tangannya untuk menyalami pria itu. Wes menyambutnya, tetapi dia menarik tangannya agak terlalu cepat. Kuharap aku tidak terlalu lancang, pikir Virgina.
Wes tidak bermaksud menghindar. Itu insting; dia masih merasa terluka, dan dia letih sekali. Sungguh aneg, wanita ini berterima kasih kepadanya. Entah bagaimana, dialah yang merasa terhibur.

Seminggu setelah bertemu Wes, Virgina menemukan sebuah gereja kecil dekat rumahnya, lalu mengabari Wes. Dua minggu kemudian dia mengunjungi Wes untuk kedua kalinya; mereka bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Mereka juga mendiskusikan bagaimana Wes akan menjalani fisioterapinya.
Dia enak diajak ngobrol, pikir Virgina dalam perjalanan pulang. Beberapa hari sekali, dia mengirim kabar kepada Wes atau singgah mengunjunginya.
Kira-kira dua bulan sesudah kecelakaan itu, Virgina menelpon Wes. "Aku boleh pulang hari ini!" kata Wes, suaranya nyaris tak dapat meredam kegembiraannya.
Setelah meletakkan telepon, Virgina dilingkupi perasaan yang tak dapat dijelaskan. Dia cepat-cepat naik mobilnya, dan memacunya ke rumah sakit.
"Mengapa kau kesini?" tanya Wes kaget.
"Aku tidak tahu," jawab Virgina, agak gugup. "Aku merasa aku harus berada disini."
"Hmmm, aku senang kau datang," kata Wes sambil tersenyum.

Ketika mereka mendekati gereja Wes yang arsitekturnya berbentuk A, mata pria itu mulai berkaca-kaca. Pada pagar besi hitam, lusinan pita kuning melambai-lambai seperti bunga-bunga berwarna cerah. Murid-murid sekolah dasar di kompleks gereja itu melompat-lompat, melambai-lambai ke arah mobilnya. Spanduk-spanduk dibentangkan, bertuliskan : "Kami mencintaimu! Selamat datang, Pak Anderson."
Mata Virgina juga berkaca-kaca.

Di bulan Juni, mengenakan topi dan toga, dengan bangga Virgina menyusuri lorong di antara deretan kursi-kursi auditorium untuk menerima ijazahnya. Wes tak bisa hadir karena tugas-tugas gereja, tapi dia mengirimkan bunga sebagai ucapan selamat. Beberapa malam kemudian, kedua sahabat itu makan malam bersama orangtua mereka. Mereka punya banyak kesamaan. Orangtua mereka telah menikah lebih dari empat puluh tahun; mereka sama-sama dibesarkan dalam tradisi Gereja Metodis.

Sampai di rumah, Wes mengancingkan kancing terakhir kemejanya dan bersiap-siap untuk berangkat ke gereja. Tiba-tiba dia merasa tubuhnya jatuh terguling ke lantai, jatuh menekan tunggul sisa pahanya. Dia menjerit kesakitan. Sembilan hari kemudian dia terbaring di tempat tidur. Dulu, dia selalu bangga akan dirinya yang kuat dan independen. Sekarang, keraguan dan depresi membelenggu dirinya.

Dia mulai mempertanyakan hubungannya dengan Virgina. "Aku sangat menyukainya, " kata Wes kepada Mike. "Aku hanya khawatir, jangan-jangan dia hanya iba kepadaku. Maksudku, aku memang bukan bintang film Hollywood, tapi lihatlah penampilanku sekarang."
"Wes, sebagai manusia, kau masih tetap sama, tak kurang harganya dari sebelum kecelakaan itu," kata Mike. "Yang penting adalah apa yang ada di dalam dirimu."

Sudah beberapa hari Virgina tidak mendengar kabar dari Wes. Dia berpikir-pikir tentang pertemuan mereka yang terakhir, waktu mereka melihat-lihat Woods National Monuments. Apakah aku melakukan sesuatu yang keliru? Virgina menduga-duga. Mereka berbincang-bincang secara terbuka tentang perceraiannya delapan tahun lalu dan perjuangannya untuk memperoleh hidup yang lebih baik bagi dirinya dan Steven. Setiap kali berkencan dengan seorang pria, Virgina selalu khawatir memikirkan arah dan kelanjutan hubungan mereka. Dengan Wes, kekhawatiran seperti itu tak pernah mengusiknya. Dia tidak sama dengan pria-pria yang pernah kukenal, pikir Virgina.

Wes akhirnya menelpon dan mengajak Virgina menonton pekan raya. Dia membuat Virgina kaget karena menjemput wanita itu dengan mobilnya yang telah diadaptasi untuk kakinya yang tinggal satu. Mereka duduk-duduk di bawah langit bertabur bintang, menikmati atraksi kembang api. "Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, kapan bisa bertemu lagi denganmu," kata Virgina.
 "Maaf," kata Wes. "Masalahnya aku tak biasa berkencan. Kalau aku berkencan dengan seseorang, aku selalu menganggap hubungan kami serius. Aku menghargai persahabatan kita , aku takkan pernah merusaknya. Aku hanya...."
 Wes menunduk. Inilah saatnya dia bilang 'sebaiknya kita berkawan saja'.
 "Kau harus tahu bahwa aku peduli padamu sebagai seorang pribadi," lanjut Virgina, "bukan karena kau punya satu atau dua kaki. Bagiku, kau seorang pria utuh, seorang pribadi yang utuh."
 Wes mendengarkan, terpana. "Aku mencintaimu, " katanya, suaranya parau penuh emosi.
 "Aku juga mencintaimu, " Virgina menanggapi. Untuk pertama kalinya mereka berciuman.

Paskah tahun itu, Wes dan Virgina bahu membahu mempersiapkan kebaktian pagi di udara terbuka. Dengan susah payah Wes menapakkan kaki palsunya di rumput yang basah. Tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan; jatuh terjerembap, disergap amarah, frustasi dan keraguan.
 Virgina segera berlari kepadanya, tetapi Wes tidak mengangkat wajahnya, takut tidak siap melihat apa yang akan dilihatnya. Ketakutan? Rasa iba? Dia tak pernah meragukan ketulusan Virgina, tetapi kini, saat ini, dia merasa sangat rapuh. Seorang pria dewasa, namun tak berdaya.
 Pada saat itulah dia memahami kekeliruannya. Aku memusatkan perhatian pada tubuhku, padahal yang seharusnya disembuhkan adalah jiwaku.
 Virgina dan seorang kawan membantu Wes bangkit berdiri. Tubuh Wes gemetar, dia malu sekali. Tetapi, untunglah dia tidak takut. Inilah diriku, dia menyadari. Seorang lelaki yang kadang-kadang jatuh terjerembap, tetapi bangkit lagi. Setiap kali akan bertambah kuat.

Pada tanggal 27 May 1995, Wes masuk ke Gereja Kristen Carmichael lewat pintu di samping altar, mengenakan toxedo putih dan memegang tongkat hitam. Dia memandang ke pintu utama ketika Virgina, dalam balutan gaun putih berjalan ke arahnya, didampingi kedua orangtuanya.
 Gereja penuh. Mike Cook memimpin upacara perkawinan. "Dua lebih baik daripada satu," kata Mike, yang membaca Ecclesiastes. "Jika yang satu jatuh, kawannya akan meolong bangkit. Sungguh malang orang yang jatuh tapi tak punya kawan untuk membantunya bangkit."
 Setelah upacara selesai, Wes berdiri di anak tangga teratas, menghadap umatnya. Sambil menggandeng tangan Virgina, dia berjalan, selangkah demi selangkah, sampai ke anak tangga paling bawah.
 Lebih dari setahun sebelumnya, Wes menebak-nebak apa rencana Tuhan atas dirinya.
 Sekarang dia tahu.

Bryan Smith.
 (Bryan Smith adalah reporter Chicago Sun-Times dan kontributor yang produktif untuk majalah Reader's Digest. Tahun 1989 dia lulus dari University of Maryland. Mr. Smith mendapat banyak penghargaan di bidang tulis menulis. Sun-Times menominasikan tulisannya untuk mendapat Hadiah Pulitzer.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar