Yesus Gembala yang Baik.

Senin, 19 November 2012

Air Mata Harapan

Nancy Sullivan Geng
The September 1991 Reader’s Digest

Lauri dan aku mengajak anak-anak pergi ke taman untuk merayakan ulang tahunku yang ke-35. Sementara kami mengeluarkan makanan dari keranjang piknik yang kami bawa, anak-anak terlihat bahagia, mereka tertawa, melompat dan berlarian kian kemari. Dengan segelas air, Lauri dan saya bersulang atas persahabatan kami. Saat itu barulah kusadari bahwa Lauri mengenakan anting baru bermatakan Kristal biru diuntai dengan baru warna-warni serta mutiara merah muda. Selama tiga belas tahun persahabatan kami, Lauri kukenal sebagai wanita yang sangat menyukai anting, dari anting satu berganti ke anting lainnya. Lauri mulai bercerita tentang suatu peristiwa di masa kecil, kisah nyata yang berkuasa mengubah hidupnya.
                Saat itu musim panas, Lauri masih di kelas enam SD. Semua murid bersemangat menghias kelas. Berbagai hiasan warna-warni tergantung pada dinding dan jendela kelas. Guru Lauri yang bernama Lake berdiri di depan kelas, rambutnya tergerai sampai ke pundak, dan mata birunya yang penuh perhatian bersinar cerah. Tapi yang menarik perhatian Lauri ialah anting emas berhiaskan mutiara berbentuk airmata. “Walau dari barisan bangku belakang saya masih dapat melihat sinar matahari yang dipantulkan oleh anting tersebut,” kenang Lauri.
                Ibu Lake mengingatkan murid-murid tentang hari pertemuan orang tua di akhir tahun ajaran. Orang tua diajak berpartisipasi untuk mengetahui perkembangan sang anak di sekolah. Pada papan tulis tercantum urutan nama murid-murid, dengan waktu pertemuan 20 menit untuk setiap orang tua. Nama Lauri tercantum di urutan terakhir tapi Lauri tidak peduli karena seperti biasa orang tuanya tidak akan datang walau surat undangan telah dikirim dan ibu Lake telah menelepon ke rumah.
                Ayah Lauri adalah seorang alkoholik kelas berat. Kian hari keadaannya kian parah. Beberapa malam terakhir Lauri tidak dapat tidur karena suara keras sang ayah mencerca ibu bercampur dengan tangisan pilu sang ibu, disertai dentuman pintu dibanting.
                Di hari Natal tahun lalu, Lauri dan adik perempuanna menghadiahkan sang ayah pengkilat sepatu dari hasil tabungan mereka bekerja sebagai penjaga bayi. Mereka membungkusnya dengan kertas kado berwarna merah-hijau dan mengikatnya dengan pita emas. Ketika mereka memberikan pada sang ayah di malam Natal, Lauri mematung dalam diam saat sang ayah melempar hadiah tersebut hingga terpecah menjadi tiga bagian.
                Sejak pagi Lauri mengawasi temannya satu per satu dipanggil keluar oleh ibu Lake menuju ruang pertemuan di mana sang orang tua telah menunggu. Kebanyakan orang tua segera menyambut sang anak dengan senyum bangga, bahkan ada di antara mereka yang memeluk sang anak. Lauri berusaha menyibukkan dirinya dengan tugas yang ada tapi ia tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari percakapan yang berlangsung di ruang pertemuan. Lauri berusaha membayangkan perasaan yang  mungkin timbul bila orang tuanya datang memberi sambutan padanya.
                Setelah semua murid dipanggil tinggallah Lauri seorang diri di kelas. Ketika ibu Lake membuka pintu, Lauri menyelinap masuk ke dalam ruang pertemuan dan duduk di kursi yang tersedia. Meja di hadapannya tertutup penuh dengan data-data murid, sehingga pandangannya terhalang oleh data-data tersebut.
                Dengan tersenyum ibu Lake menatap Lauri yang tertunduk malu karena orangtuanya tidak hadir. Tapi Lauri melipat tangannya dan menatap ke lantai. Setelah menggeser bangku mendekati muridnya, ibu Lake mengangkat wajah Lauri sehingga mata mereka dapat saling menatap. “Pertama-tama aku ingin kau tahu bahwa aku mengasihimu.” Ibu Lake memulai percapakannya. Lauri mengangkat wajahnya menatap ibu Lake. Di wajahnya terpancar sesuatu yang jarang dilihatnya: belas kasih, pengertian dan kelemahlembutan.
                “Kedua,”lanjut ibu Lake, “Bukanlah kesalahanmu bila orangtuamu tidak hadir hari ini.” Sekali lagi Lauri menatap wajah ibu Lake, tidak seorang pun pernah bicara seperti itu padanya.
                “Ketiga,” lanjut ibu Lake,”Engkau layak menghadiri pertemuan ini walau orangtuamu tidak hadir dan engkau berhak mengetahui bahwa engkau anak baik dengan prestasi yang memuaskan.”
                Lalu ibu Lake menunjukkan angka yang telah diraih Lauri. Satu per satu hasil karya yang telah dibuat oleh Lauri diperlihatkan kembali bahkan lukisan cat air yang pernah dibuat oleh Lauri masih disimpannya. Ibu Lake memuji hasil karya dan kesungguhan Lauri. Lauri tidak tahu pasti kapan munculnya harapan di hatinya tapi ia tahu bahwa perkataan ibu Lake telah membawa harapan yang mengubah hidupnya. Ini pertama kalinya Lauri merasakan bahwa ia dikasihi.
                Sesaat kemudian wajah ibu Lake terlihat kabur karena airmata yang mengembang memenuhi mata Lauri. Yang terlihat Lauri hanyalah sinar yang dipantulkan oleh anting mutiara yang dipakai ibu Lake. Mutiara yang pada awalnya merupakan suatu kotoran yang sangat mengganggu bagi tiram, telah diubah menjadi suatu benda yang indah. Iulah harapan Lauri, ia ingin hidupnya yang “hina” diubah menjadi sesuatu yang indah. Dalam ketenangan alam kami merenung bersama. Bagi saya anting yang dipakai Lauri mengandung arti yang sangat dalam tentang suatu kenyataan.
                Ayahku juga seorang alkoholik dan aku dibesarkan dalam lingkungan yang sama. Itulah sebabnya aku selalu mengubur kisah masa kecilku. Tapi Lauri telah menolongku melihat bahwa Allah telah mengaruniakan kemilau permata kehidupan yang indah pada setiap manusia. Tidak ada kata terlambat untuk memancarkan kilauan permata dari suatu harga diri yang baru ditemukan. Selanjutnya kami disibukkan dengan anak-anak yang ribut kelaparan. Acara piknik bergulir dengan kesibukan bermain dan mengurus makanan anak-anak.
                Di tengah semua kesibukan tersebut, Lauri memberiku sebuah kotak kecil dibungkus dengan kertas bercorak bunga dengan pita emas sebagai hadiah ulangtahunku. Saya membukanya. Di dalamnya kudapati sepasang anting!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar