Yesus Gembala yang Baik.

Rabu, 21 November 2012

Sapu Tangan Putih




Patricia St John
(Stories to Share)

Laki-laki itu terduduk di samping tempat-tempat pemberhentian busa dan menatap pada bebatuan. Beberapa orang yang lewat menatapnya – wajahnya yang tidak dicukur, bahu yang turun, dan sepatu yang rusak, tapi ia tidak peduli pada pandangan orang-orang yang lalu lalang tersebut karena ia sedang menghidupi kembali hidupnya. Ia tidak lagi menjadi pengemis lapar yang tidur di jalan kereta seperti kemarin malam.
                Ia adalah anak laki-laki yang tinggal di rumah kecil berbatu bata merah di seberang jalan, lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Mungkin mereka telah menghancurkan rumah tersebut, tapi ia berharap mereka tidak menghancurkan taman bunga yang ada. Aneh, bagaimana ia masih dapat mengingat taman yang ada. Aneh, bagaimana ia masih dapat mengingat taman bunga tersebut, dan ayunan yang dibuat ayah untuknya, serta jalan setapak di mana ia belajar mengendarai sepeda. Orang tuanya harus menabung selama berbulan-bulan untk membeli sepeda tersebut.
                Laki-laki tersebut mengangkat bahunya dan gelisah karena ingatan tersebut melukainya, dan ingatannya melayang ke sepuluh tahun lalu. Sepedanya telah berubah menjadi motor dan ia mulai jarang pulang. Ia mempunyai pekerjaan dan banyak teman. Ayah dan ibu terlihat sedih dan tua sedangkan kehidupan di pub lebih menarik perhatiannya. Ia tidak ingin mengingat kejadian tahun-tahun tersebut serta hutang yang membawa ia pulang ke rumah. Orang tuanya saat itu membuatkan ia secangkir teh dan ia tidak sanggup mengutarakan maksud kedatangannya. Tapi ia tahu dengan pasti di mana ayahnya menyimpan uang tabungannya. Kemudian ketika kedua orang tuanya berada di taman, sangatlah mudah baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
                Itu adalah saat terakhir kali ia melihat mereka. Setelah kejadian itu Ia tidak ingin pulang lagi, dan orang tuanya kehilangan jejaknya. Ia pergi ke luar negeri, dan mereka tidak tahu tentang hidup yang dihabisinya selama bertahun-tahun di penjara. Tapi selama di penjara ia berpikir banyak tentang mereka. Kadang-kadang saat terbangun di tengah malam, ia mulai berpikir, bila ia bebas akan pulang menjumpai mereka – jika mereka masih hidup dan  jika mereka masih ingin melihat dirinya.
                Ketika masa penjara usai, ia mendapatkan pekerjaan di kota. Tapi ia tidak dapat menetap. Rasanya ada yang menarik dirinya untuk pulang dan ia tidak dapat lari dari keinginan tersebut Setiap saat ia berjalan, ada sesuatu yang mengingatkan dirinya kumpulan bunga di taman, seorang anak laki-laki bermain ayunan, pulang sekolah sambil berlari ia tidak dapat melupakan rumah kecil berbatu bara merah.
                Ia tidak ingin pulang tanpa uang sepeserpun , oleh sebab itu, ia berusaha mendapat tumpangan dan berjalan kai menempuh perjalanan yang sangat panjang. Ia sebenarnya dapat tiba lebih awal, tapi dua puluh mil dari tempat yang dituju tiba-tiba ia merasa tidak akan menerima kemurahan. Hak apa yang ia miliki untuk pulang? Mungkinkah mereka memaafkan laki-laki kurus yang membalas kebaikan orang tua yang telah begitu mengasihinya dengan kekecewaan yang sangat? Ia membeli makanan dan menghabiskan waktunya duduk di bawah pohon Surat yang telah dikirimnya sore itu cukup singkat, tapi telah memakan waktu berjam-jam untuk menulisnya. Surat itu berakhir dengan kalimat :
Aku tahu bahwa tidak beralasan bagiku untuk berharap bahwa kamu masih ingin bertemu denganku… jadi terserah pada kalian AKu akan datang ke ujung jalan Kamis pagi. Bila kalian ingin aku pulang, gantungkan sapu tangan putih di jendela kamar saya. Jika aku menemukan sapu tangan tersebut, maka aku akan pulang. Jika tidak, aku akan mengucapkan selamat tinggal dan melanjutkan perjalananku.
                Dan sekarang adalah Kamis pagi. Ia telah tiba di ujung jalan. Tapi untuk mencapai rumahnya ia tidak ingin terburu-buru. Ia hanya duduk di pinggir pemberhentian bus sambil menatap pada bebatuan. Ia tidak dapat menunda selamanya. Lagipula meerka mungkin sudah pindah. Jika saputangan tidak di sana ia akan mengadakan penelitian sebelum ia meninggalkan kotanya. Ia masih tidak mempunyai keberanian untuk menghadapi kenyataan bila orang tuanya tidak lagi menginginkannya.
                Ia bangkit dengan rasa sakit karena tidur di udara terbuka. Jalanan masih cukup gelap. Sedikit bergetar ia berjalan perlahan menuju pohon oak di mana ia dapat dengan jelas melihat rumahnya. Ia tidak akan mengangkat mukanya sampai ia tiba di sana. Ia berdiri di bawah pohon dengan mata tertutup. Lalu dengan napas panjang ia membuka matanya. Dan ia terbelalak melihat apa yang ada di hadapannya.
                Matahari telah bersinar menyinari rumah berbatu bata merah, tapi rumah itu tidak lagi merah, karena semua dinding telah berubah putih. Pada setiap jendela tergantung seprei, sarung bantal, handuk , serbet, sapu tangan dan taplak meja; dan horden putih tergantung dari jendela loteng atas sampai ke bawah. Rumah tersebut terlihat bagaikan rumah salju bercahaya terkena sinar matahari pagi. Orang tuanya ternyata tidak mau mengambil resiko.
                Melihat apa yang telah dilakukan oleh orang tuanya, laki-laki tersebut menangis lega. Lalu ia berlari melintasi jalan dan langsung menuju rumah lewat pintu yang telah terbuka lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar