Carla Muir
Seorang gadis muda
duduk bersama temannya di gereja pada hari Minggu pagi yang cerah. Setelah
memimpin khotbah tentang “Hati yang bersyukur”, pendeta mempersilahkan bila ada
di antara jemaat yang hendak berbagi cerita tentang sesuatu yang disyukurinya.
Gadis tamu tadai mendengarkan dengan serius saat beberapa jemaat menceritakan
berkat yang mereka miliki. Seorang bapak berusia kurang lebih lima puluhan maju
ke muka sebagai pembicara terakhir. Ia terus-menerus menceritakan tentang
istrinya yang baik. Ia berbicara dengan kalimat yang bersemangat dan penuh iman
kepada Allah.
Sebagai penutup, ia menyampaikan
rasa terima kasih pada istrinya yang telah bersedia menikahinya tiga puluh
tahun yang lalu. Kesaksiannya disambut dengan “amin” oleh para jemaat sebagai
tanda setuju bahwa ia sangat beruntung menikahdengan wanita yang menjadi
istrinya saat ini. Gadis tahu yang baru pertama kali mengunjungi gereja
tersebut mulai melihat sekelilingnya, mencari wanita luhur yang diceritakan
oleh bapak tersebut. Karena gereja tersebut besar, akhirnya ia pun menyerah dan
mulai bertanya pada temannya siapakah wanita yang dimaksud.
“Oh itu, semua
orang telah mengenalnya dan aku akan menunjukkan padamu bila aku melihatnya.”
Setelah menyanyikan ua lagu dan doa penutup, kebaktian pun selesai. Ketika
mereka berjalan perlahan di antara dua barisan bangku, temannya menunjuk dan
berkata, “Itu dia, di sudut sana.” Di sana berdiri seorang wanita yang menarik dengan baju biru, tertawa dan
berbincang-bincang dengan wanita berkursi roda. Wanita berbaju biru menundukkan
kepalanya sambil tersenyum memeluk sang wanita berkursi roda.
“Jadi ia adalah
istri baik yang diceritakan oleh bapak tersebut,” kata sang gadis tamu sambil
memperhatikan wanita berbaju bir. “Ya, ialah orangnya! Jawab sang teman mengagumi
wanita yang duduk di kursi roda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar