Angus Buchan, Jan Greenough, Val Waldeck
Bab 1 Iman Seperti Kentang
“Ke neraka bersama El Nino!” Saya
menatap kerumunan manusia yang berkumpul di Stadion King’s park dan saya tahu
bahwa saya mendapatkan perhatian mereka sepenuhnya. “Ke nereaka bersama dengan
tanda-tanda kekeringan, ketakutan dan kekhawatiran! Kita tidak sedang
mendengarkan kebohongan iblis. Kita sedang mendengarkan janji-janji Allah!”
Orang-orang yang menyaksikan saya menatap dalam keheningan. Mereka datang ke
Durban pada bulan September 1977 untuk menghadiri Peace Gathering yang
diselenggarakan olehShalom Ministries, dan sebagai petani mereka sangat
memahami cuaca : bahwa cuaca dapat mendatangkan kebaikan atau kehancuran.
El
Nino datang setiaptiga sampai tujuh tahun sekali. Arus air yang hangat di
Pasifik Timur memicu kondisi cuaca yang tidak biasa di seluruh dunia,
menimbulkan hujan lebat di beberapa tempat dan periode musim kering yang
bertambah panjang di tempat lain – khususnya di Afrika Selatan. Tahun ini semua
tanda menunjukkan bahwa El Nino yang datang adalah El Nino paling kuat selama
kurun waktu 50 tahun, dan akibatnya musim kering akan menjadi sangat buruk.
Surat kabar, televisi, dan radio sepertinya tidak membahas soal lain. Bahkan ,
Agricultural Union (serikat Tani) telah menyerah pada ketakutan-ketakutan yang
timbul. “Jangan menanam tanaman-tanaman mahal,” saran mereka. “Hematlah
pengeluaran Anda. Tanamlah tanaman yang Anda tahu pasti akan tumbuh. Ini akan
menjadi tahun musim kering, jadi harus dilakukan penyusunan kekuatan.” Hadirin
di depan saya mengetahui hal tersebut. Mereka juga mengetahui bahwa saya adalah
seorang petani, jadi mereka sangat yakin bahwa saya serius. “Tahun ini kita
akan menanam kentang! Kita akan pulang dan menanami lahan kita – setiap inici
tanah milik kita – dengan gandum, kacang-kacangan kering, dan kentang. Kita
akan mempercayakan segeala kebutuhan kita kepada Allah!”
Malam
itu saat mengendarai mobil menuju ke rumah , saya bertanya-tanya apakah saya
sudah bersikap terlalu berani. “Aku dan mulut besarku,”pikir saya. “Jika ini
bukan benar-benar kehendak Allah , maka kali ini aku ada dalam kesulitan
besar.” Jika saya salah, itu bisa berarti seluruh pertanian saya akan lenyap.
Saya berdoa dengan sungguh-sungguh: “Tuntun aku, Tuhan. Aku membutuhkan
pimpinan yang khusus dariMu sekarang.” Dapat dipastikan, keyakinan itu masuk ke
dalam hati saya: Saya bermaksud untuk menanami sepuluh hektar tanah saya dengan
kentang. “Baiklah, Tuhan, aku akan melakukannya,” kata saya. “Jumlahnya sepuluh
hektar.” Saya dipenuhi dengan keyakinan untuk mempercayai Allah berapa pun
harganya. Ya atau tidak sama sekali.
Sebagaimana
diketahui oleh setiap petani, menanam kentang adalah pekerjaan yang sangat
mahal. Selain harus membeli benih, dibutuhkan juga ekstra pupuk. Bila Anda
menanam gandum (dikenal sebagai maizena atau jagung manis di Inggris), Anda
hanya akan mengeluarkan sekitar 350 sampai 400 kilo pupuk per hektar, tetapi
untuk kentang dibutuhkan setidaknya satu ton. Program penyemprotan untuk
pencegahan hama penyakit menghabiskan biaya 6.000 Rand (sekitar 500
poundsterling). Belum lagi biaya tenaga kerja, dan Anda akan mulai memahami
bahwa menanam kentang adalah sebuah investasi yang besar – itu bukan sesuatu
yang Anda kerjakan bila Anda sedang berhati-hati. Teman-teman saya sesama
petani merasa khawatir. “Dengar, Angus,” kata salah seorang dari mereka. “Aku
dengar kau ingin menanam kentang. Tolong jangan lakukan itu… kau akan hancur.
Aku sudah melihat terlalu banyak petani menjadi bangkrut. Kau sudah ada di sini
selama 20 tahun dan kami tidak ingin kehilangan dirimu. Mengapa tidak mencoba
beternak ayam atau yang lainnya?” “Aku harus melakukannya,” jawab saya. “Aku
harus melakukan apa yang Allah perintahkan kepadaku.”
“Tetapi
kau belum pernah menanam kentang sebelumnya. Kau belum mempunyai pengalaman.
Kau belum memiliki irigrasi. Musim kering terbesar di sepanjang sejarah akan
segera datang. Jangan lakukan itu!” Saya tidak dapat dibujuk , walaupun saat
itu sudah mendekati dari akhir musim menanam, dan saya tahu akan sulit untuk
mendapatkan kentang, dan apa yang akhirnya kita dapatkan bukanlah yang terbaik.
Kantung-kantungnya sudah begitu buruk sehingga ketika kami mengangkatnya,
benih-benih kentang berjatuhan, dan kami melihat bahwa tunas-tunas kecil sudah
mulai bermunculan. Namun, kami tetap membeli segala sesuatu yang dapat kami
lakukan, dan menanam semuanya. Enam kereta kecil berisi benih kentang digiring
menuju ke tanah seluas sepuluh hektar itu.
Kami
juga menanam gandung dan kacang kering di atas sisa tanah yang ada, tetapi yang
paling kami perhatikan adalah kentang-kentangnya – kentang tersebut meru[akan
gambaran investasi yang sangat besar. Kentang membutuhkan banyak air, karena
kentang sendirimenyerap air sebanyak 90 persen, dan musim kering itu benar-benar
merupakan sebuah ujian atas iman saya. Kadang-kadang hujan mulai turun, dan
semangat kami akan bangkit – lalu hujan berhenti, semuanya akan menjadi kering
dan berdebu, kemudian iblis akan menuduh saya. “Sekarang kau membuat dirimu
mengalami kesulitan besar! Darimana uang akan didapatkan tahun itu?” Ia tak
pernah melewatkan satu kesempatan pun untuk melemahkan saya, dan kami harus
berjalan dengan iman di setiap langkah kami.
Normalnya,
pada tahun kering, para petani menanam tanaman yang menggunakan sedikit pupuk,
sedikit pengeluaran, dan sedikit dalam segala hal. Dan tentu saja, hasilnya
akan sedikit. Salah seorang tetangga saya hanya menanam kacang kedelai, tanaman
dengan panenan kecil yang memerlukan sedikit kelembaban, dan merupakan sebuah
taruhan aman bagi tahun kering. Namun, ia tidak memperoleh banyak keuntungan :
kacang kedelai juga membuat petani hanya mendapat kembali modal yang kecil. Itu
memang masuk akal. Tuhan berkata,”Orang yang menabur sedikit, akan menuai
sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Kor
9:6). Teman-teman saya, Jeff, Peter dan Dieter, sesama orang percaya sekaligus
rekan petani setempat, tahu banyak tentang kentang, dan mereka mampir setiap
hari untuk memeriksa ladang. Kami benar-benar memperlakukan kentang-kentang
tersebut seperti bayi! Kami menyiraminya, menjaganya tetap bersih, memberikan
pelayanan Roll-Royce. Semua orang menonton dengan heran, namun kami sedang
mempercayai Allah.
Sementara
itu, semua orang Kristen di seluruh desa telah mendengar tentang ladang saya
dan mendoakannya. Saya bertanya-tanya apakah saya harus membuat beberapa
rencana antisipasi. Saya tidak mempunyai peralatan irigasi sehingga saya
meminta seorang petani setempat untuk meminjami saya dua buah pipa untuk
disambungkan ke saluran saya, supaya dapat memperoleh air tambahan. Ia
memberikan kepada saya dua belas alat penyiram – tidak mencukupi untuk lahan seluas sepuluh hektar. Saya
kembali bergantung pada Allah, dan Dia tidak pernah mengecewakan kami. Setiap
kali ladang mulai kelihatan terlalu kering, saya akan menyambungkan
pipa-pipa dan menyalakan alat-alat
penyiram – kemudian turunlah hujan, sehingga saya harus mematikan aliran air
lalu meminta ampun pada Allah! Itu terjadi berulang-ulang : Tuhan menjagai
setiap inci dari tanaman-tanaman tersebut.
Itu
adalah pertama kali saya menanam kentang, jadi saya tidak begitu yakin apa yang
harus diharapkan. Namun demikian, saat kami mulai menuai, para ahli memberi
tahu saya bahwa saya mendapatkan panenan yang melimpah ruah. Kentang-kentang
itu adalah yang terbaik di seluruh desa. Bahkan, itu adalah satu-satunya
kentang yang ada di desa karena sebagian besar petani takut untuk menanamnya.
Secara umum telah terjadi kekurangan, jadi kami tidak mengalami kesulitan untuk
menjual kentang mukjizat kami dengan harga yang bagus.
Ada sebuah panti
jompo di dekat pertanian saya, dan saya sering berbicara di sana. Setiap kali
saya berkunjung,orang-orang tua ingin tahu bagaimana cerita tentang
kentang-kentang itu. Suatu hari saya mengambil bagaimana cerita tentang
kentang-kentang itu. Suatu hari saya mengambil beberapa kentang yang
benar-benar besar dari dalam tanah, mencucinya kemudian menaruhnya dalam sebuah
kantung bersama sejumlah gandum. Saat saya selesai berkhotbah, saya
mengeluarkannya dan meletakkannya di atas meja. “Inilah yang telah Yesus
lakukan,” kata saya. “Seperti inilah Dia menghargai iman kami. Allah kita
adalah Allah atas perkara yang mustahil, dan El Nino tidak mempunyai kuasa
seperti ini.”
Banyak pekerja
di pertanian kami adalah orang Kristen dan mereka biasanya harus menanggung
banyak ejekan dari teman-teman karena iman mereka kepada Kristus. Sekarang
mereka mempunyai jawaban. “Di manakah El Nino yang setiap hari diceritakan oleh
orang-orang pintar di radio?” tanya mereka. “Sekarang kalian bisa melihat
sendiri bahwa kami melayani Allah yang hidup.” Kentang-kentang itu menarik
imaginasi orang-orang Kristen di seluruh desa. Suatu hari, saya berbicara dalam
kelompok pendeta kulit hitam di Magaliesberg dan mereka berkata, “Mulai sekarang,
setiap kali kami makan kentang, kami akan mengingat ini : “Tetapi tanpa iman
tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada
Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada
orang yang sungguh mencari Dia”(Ibrani 11:6)
Peter Marshall,
pengkhotbah Injili yang besar, suatu kali mengatakan bahwa kita membutuhkan
“iman seperti kentang” – iman yang polos, sederhana, dan nyata yang akan
memelihara kita dalam kehidupan setiap hari. Setiap kali saya mengambil
kentang, saya teringat kata-kata itu. Itulah jenis iman yang saya inginkan.
Saat kita memiliki iman dan bertindak berdasarkan iman itu, Allah akan menolong
kita, tidak peduli apa pun keadaan kita. Allah adalah Raja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar