Manna Surgawi 140811
Di Minggu pagi yang dingin, jemaat sebuah gereja tetap
setia beribadah. Pagi itu butir-butir salju turun, mereka bergegas masuk ke
dalam gedung untuk mendapat kehangatan. Ketika akan masuk ke gereja, di gerbang
pagar semua orang akan melihat seorang pria tunawisma yang tergeletak di atas
selembar kardus yang dibentangkan. Tubuhnya membungkuk ditutupi dengan jas
hujan berwarna hitam tua yang berlubang-lubang, sepatunya bolong-bolong dan
kaus kaki kumalnya, mungkin sudah tidak dicuci beberapa bulan lamanya. Dari
tubuh tunawisma itu menyebar bau tak
sedap, barangkali ia sering mengais-ngais tempat sampah untuk mencari sesuatu yang bisa mengenyangkan
perutnya. Ketika berjalan melewati tunawisma yang kedinginan itu, jemaat ada
yang berjalan dengan tenang masuk ke dalam gereja, dan sebagian yang lain
berjalan dengan menutup hidung mereka, sambil melemparkan pandangan jijik. Di
tempat duduk ada beberapa orang yang memperbincangkan mengapa ada seorang
tunawisma yang dibiarkan terbaring di halaman gereja. Kebanyakan orang membahas
bagaimana tunawisma yang kotor dan bau ini memiliki keberanian untuk tidur di
gerbang gereja mereka!
Tidak berapa lama kemudian, jari-jari sang pianis
mulai menari-nari di atas tuts-tuts piano, tanda ibadah akan segera dimulai.
Lagu sudah dinyanyikan tetapi masih banyak yang berkomentar, di antaranya ada
majelis yang berkata,”Pastor Joe mungkin akan mengatakan bahwa pria tunawisma
itu harus pergi dari gereja kita. Kalau tidak, bagaimana pandangan jemaat
tentang kenyamanan di komunitas kita ini?” Namun, tiba-tiba semua orang
terdiam, sang pianis pun menghentikan permainannya karena tunawisma itu
berjalan menuju altar. Sesampainya di altar, si tunawisma mengambil mikorfon
dan berkata, “Selamat pagi. Apa kabar semuanya? Apakah tadi kalian melihat “Yesus”
di luar? Dia kedinginan , berbaju kumal, bau, tetapi tak seorang pun yang
memintaNya untuk masuk dan merasakan kehangatan di rumahNya,” kata Pastor Joe, gembala jemaat yang ternyata
menyamar sebagai seorang tunawisma yang kedinginan di depan gereja tempat ia
menggembalakan.
Gereja adalah wadah di mana kita dituntut untuk
mengekspresikan kasih lebih nyata, tanpa memandang jabatan, harga, gender,
warna kulit, tingkat pendidikan, dll. Namun, pada prakteknya kebanyakan para
aktivis dan pelayan TUhan masih saja tidak menyadari bahwa Tuhan sama sekali
tidak suka pada sikap yang membeda-bedakan seperti ini! “Sebab , jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu
dnegan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke
situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian
indah itu dan berkata kepadanya : Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini! Sedang kepada yang miskin itu
kamu berkata : Berdirilah di sana! Atau : Duduklah di lantai ini dekat tumpuan
kakiku!” (Yak 2:2-3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar