Manna Surgawi 220811
Pada umumnya orang baru mau memberi ketika punya
kelebihan uang atau harta. Rasanya sulit untuk memberi ketika masih di dalam
keadaan pas-pasan. “Jangankan untuk memberi, untuk hidup sendiri saja susah,”
demikian katanya. Kalau tidak seperti itu, ya seperti berikut ini perkataannya,
“Saya kan perlu menabung, nanti saja kalau banyak sisanya.” Ketika memberi
karena kelebihan, itu hal biasa, tetapi memberi sekalipun hidupnya pas-pasan,
itu baru luar biasa. Dan itulah yang dilakukan oleh seorang kaek bernama Bai
Fang Li. Dia berasal dari daerah Changxia, Hebei. Pekerjaannya adalah tukang
becak. Dilihat dari fisiknya sangat tidak meyakinkan karena badannya kurus dan
kecil, tetapi semangat hidup dan pengabiannya sangat tinggi. Setelah bersekutu
dengan Tuhan, dia mulai keluar jam 6 pagi dan sepanjang hari dia melakukan
aktivitasnya ini, lalu pulang ketika jam sudah menunjuk angka 8 malam.
Menariknya, uang hasil kerja kerasnya ini bukan untuk dinikmati sendiri.
Setelah diambil untuk sewa gubuknya dan membeli dua potong kue kisimis untuk
makan siang serta sepotong daging kecil dan sebutir telur untuk makan malam,
sisa uang itu dia sumbangkan ke yayasan yatim piatu. Hati kakek ini mulai
tergerak untuk memberi ketika suatu saat dia melihat seorang anak yang
seharusnya sekolah tetapi harus bekerja. Berkali-kali dia memperhatiakan anak
itu menolong ibu-ibu yang berbelanja dan menerima upah uang recehan. Kemudian
dia melihat anak itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu
menemukan sepotong roti kecil yang kotor dia pun memakannya. Ketika ditanya
alasannya mengapa anak itu melakukan hal tersebut, dia menjawab, “Uang yang
saya dapat untuk makan adik-adik saya.” Setelah bertemu dengan kedua adik dari
anak lelaki itu, Bai kemudian membawa ketiga anakk itu ke yayasan yang biasa
menampung anak yatim piatu. Kepada pengurus yayasan dia berjanji untuk setiap
hari mengantar uang hasil menarik becaknya ke situ. Sejak saat itu, Bai pun
semakin bersemangat mengayuh becaknya. “Tidak apa-apa saya menderita, yang
penting anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat
bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini,” katanya. Suatu hari dia
datang ke yayasan tersebut untuk memberikan uang sebesar 500 yuan atau setara
dengan 675.000 rupiah. Dia berkata bahwa itu adalah uang terakhir yang bisa dia
berikan. Tahun 2005, dia meninggal ketika umurnya 95 tahun. Dia memang sudah
tiada, tetapi namanya tetap abadi di hati masyarakat Tiongkok, bahkan di hati
masyarakat dunia.
Kalau kita bersedia memberi hanya jika kita sudah kaya, maka kita tidak akan
pernah memberi, sebab kita tidak akan pernah merasa kaya. Seberapa pun harta
yang kita miliki, kita akan merasa kurang. Untuk itu, mari belajar memberi
dengan apa yang ada pada kita. Jika kita rela, maka pemberian kita akan
berdampak positif bagi diri kita sendiri dan sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar