Angin
dingin membelah udara malam ketika Wes Anderson masuk ke sedannya yang berwarna
perak. Saat itu pukul 20:30, tanggal 7 March 1994. Pendeta Gereja Kristen
Carmichael di Sacramento, California, yang bertubuh tegap dan berusia tiga puluh
empat itu baru saja selesai memimpin rapat dengan sejumlah anggota dewan
gereja.
"Selamat menikmati malam yang indah,
Pendeta," seorang umat gerejanya berseru kepadanya.
"Aku akan menikmatinya, " jawab Wes.
Kemudian dengan aksen Tennessee-nya yang kental dia menambahkan, "Semoga
kita bertemu lagi hari Minggu."
Ketika mendapat panggilan untuk mengabdi di
gereja, Wes masih kuliah di jurusan pengadilan kriminal. Dia datang ke
Carmichael pada tahun 1992, dan umatnya yang berjumlah 110 menyambut pria berwatak
santai yang selalu tersenyum lebar itu dengan hangat.
Wes meluncur pulang dengan mobilnya. Dia
jalan, dia melihat seorang umatnya, Dorothy Hearst yang berumur tujuh puluh
delapan tahun, nyaris bertabrakan dengan dua mobil lainnya. Wes berhenti untuk
menolong. Dia lega ketika dia tahu wanita itu selamat, hanya sedikit gemetaran.
Tiba-tiba sinar lampu mobil melesat cepat ke arah mereka. "Dorothy!"
teriak Wes. "Dia akan menabrak kita!" Wes mendorong wanita itu ke
samping, tepat ketika sebuah station wagon menyeruduk pinggangnya dan
menggencetnya hingga menempel pada mobil Dorothy. Kaki kanannya serasa meledak
oleh rasa nyeri yang tak tertahankan. Sesaat kemudian dia tergeletak di aspal,
mengerang-erang. Kaki kanannya remuk.
Ketika ambulan sampai di Medical Center,
University of California, Davis, seorang dokter menyorongkan formulir
pernyataan kesediaan operasi ke tangan pendeta itu. "Tak ada cara
lain," katanya. "Kaki kanan Anda harus diamputasi."
Tak lama setelah dioperasi, Wes merasa nyeri
dan kaku di kaki kanannya. Dia mengulurkan tangan untuk mengelusnya, tetapi
seketika itu menariknya lagi. Tak ada apa-apa.
Nyeri semu---sensasi fisik yang dialami orang
yang baru diamputasi ketika sinyal-sinyal di otak mengisyaratkan bahwa kaki itu
masih ada---akan datang dan pergi bagaikan hantu penyiksa. Berkali-kali dia
merintih karena rasa nyeri yang tajam menusuk-nusuk kakinya yang tak ada lagi.
Semua ini gara-gara James Allen Napier---pengemudi mabuk yang hanya diganjar
delapan bulan penjara.
Sementara
hari demi hari berlalu, Wes tenggelam dalam depresi. Serangkaian operasi
menyisakan sepotong tungkai penuh carut marut bekas luka. Carut marut merah
silang menyilang di perutnya, bekas-bekas yang menunjukkan bagian yang diambil
lapisan kulitnya.
"Ini tidak adil," dia mengeluh
kepada Mike Cook, kawannya dan pendeta Gereja Sylvan Oaks, satu kongregasi
dengan Gereja Kristen Carmichael. "Suatu saat aku ingin punya istri dan
anak. Wanita seperti apa yang mau mencintaiku yang penuh carut marut bekas luka
ini?"
"Hidup memang tidak adil," Mike
menanggapi. "Tapi apakah hidup harus adil? Kau sendiri melihat hal-hal
buruk menimpa orang-orang baik. Ingat, Wes, kau sudah menyelamatkan satu nyawa.
Aku tahu, memang sulit untuk percaya, Tuhan pasti punya rencana."
Wes membuang muka. Dia juga selalu menasihati
umatnya untuk tetap berteguh iman menghadapi saat-saat penuh cobaan.
"Tuhan selalu punya rencana," sering itu dia katakan kepada mereka.
"Percayalah kepada kehendakNya. " Tetapi, kata-kata yang semula
diyakininya mengandung kekuatan, tiba-tiba kini menjadi tidak berarti.
Seorang
reporter dari Sacramento Bee menelpon, minta izin untuk menulis pengalaman Wes.
Insting Wes mengatakan tidak; dia tidak ingin digambarkan sebagai pahlawan.
Reporter itu berjanji akan menuliskan apa yang terjadi, seringkas dan sederhana
mungkin. Akhirnya Wes menyerah. Siapa tahu, pikirnya. Mungkin pengalamanku akan
berguna bagi seseorang.
Virgina Bruegger melemparkan Sacramento Bee
tanggal 16 March 1994 ke tumpukan di samping tempat tidurnya. Seperti biasa,
dia melewatkan satu hari penuh kesibukan. Mula-mula mobilnya tak bisa
distarter; Kemudian dia ketinggalan bus. Sejak satu setengah tahun lalu, wanita
usia tiga puluh delapan tahun yang sudah bercerai itu selalu sibuk. Jadwalnya
padat: kuliah, belajar, dan magang untuk meraih gelar sarjana muda Sains
Perilaku di University of California, Davis. Sekarang, ketika menghadapi ujian
tengah semester di tahun terakhirnya, uangnya yang pas-pasan dia cukup-cukupkan
sampai mepet.
Malam itu ketika dia sedang bersiap untuk
belajar di meja dapur, Steven, putranya yang berumur enam belas, tiba-tiba
sakit karena keracunan makanan. Pukul tiga pagi itu, dengan letih Virgina masuk
ke kamarnya. Tiba-tina ia merasa sangat tertekan. Apakah aku sudah melakukan
yang benar? pikirnya. Apakah aku bisa
mendapat pekerjaan setelah lulus?.
Berita utama di koran menarik perhatiannya:
"Pendeta Kehilangan Kaki Karena Menyelamatkan Wanita dari Tabrakan."
Dia mengambil koran itu lalu membacanya.
Ya,Tuhan, katanya dalam hati, malang benar
pria ini. Virgina berhenti pada kutipan mengenai alasan pendeta itu untuk
menceritakan pengalamannya- --yaitu bahwa pengalamannya mungkin akan menolong
orang untuk "hidup benar secara spiritual."
Dia seperti bicara langsung kepadaku, kata
Virgina dalam hati. Dia dididik dan dibesarkan dalam lingkup keluarga yang
saleh, di Bushton, sebuah kota kecil di Kansas. Tetapi sejak bercerai, Virgina
semakin menjauh meninggalkan imannya' sampai sekarang, dia nyaris tidak pernah
berdoa.
Waktu
matahari terbit memancarkan cahayanya, beberapa jam lagi dia harus mengikuti
jadwal kuliah yang padat. Hari ini tidak, pikir Virgina. Ada bisikan di
hatinya, menyuruhnya menemui pria itu.
Antara
sadar dan tidak setelah dioperasi untuk ketujuh kalinya dalam sepuluh hari
terakhir, Wes tidak tahu bagaimana sebaiknya dia menanggapi wanita yang muncul
di pintu kamarnya sambil membawa satu pot ivy. Matanya yang cokelat berbinar
terlihat malu-malu. Tapi.... ketika wanita itu tersenyum--- seluruh wajahnya
berubah menjadi cerah berbinar.
"Saya
hanya ingin mengucapkan terima kasih," Virgina memulai sambil mencari-cari
kata-kata yang tepat. Apa yang kukatakan kepadanya? dia terheran-heran sendiri.
Lusinan kartu ungkapan simpati terserak di meja kecil di samping tempat tidur
dan digantungkan pada dinding di atas tempat tidur. Bunga-bunga kiriman
kawannya, keluarga, dan umat Wes mekar semarak di setiap sudut. Pengalamannya
menyentuh hati banyak orang, tidak hanya dirinya.
"Saya
membaca artikel itu di koran. Saya harus menceritakan kepada Anda bagaimana
pengalaman Anda itu mempengaruhi saya, kata Virgina. "Pengalaman itu
mengubah pandangan saya tentang apa yang telah saya alami. Saat ini hidup saya
boleh dikatakan berat."
Apakah
aku kedengaran cengeng? Virgina menduga-duga. Pria ini benar-benar mendapat
cobaan yang berat---bukan sekedar karena dikirimi surat tagihan, atau karena
harus menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Ekspresi Wes meredakan kegelisahannya.
"Pengalaman Anda membuat saya sadar bahwa saya harus meluruskan kembali
hubungan saya dengan Tuhan."
Wes
mengamati wanita yang tak dikenalnya itu. Sejak dirawat di rumah sakit, Wes
nyaris tidak pernah tidak kesakitan. Sekarang pikirnya tidak lagi terpusat pada
dirinya sendiri, melainkan lebih kepada bagaimana dia bisa menolong orang lain.
"Anda punya gereja? dia bertanya.
Virgina
menggeleng. Pertanyaan yang sangat sederhana. Dia langsung bicara ke pokok
masalah, pikirnya, lalu mengulurkan tangannya untuk menyalami pria itu. Wes
menyambutnya, tetapi dia menarik tangannya agak terlalu cepat. Kuharap aku
tidak terlalu lancang, pikir Virgina.
Wes
tidak bermaksud menghindar. Itu insting; dia masih merasa terluka, dan dia
letih sekali. Sungguh aneg, wanita ini berterima kasih kepadanya. Entah
bagaimana, dialah yang merasa terhibur.
Seminggu
setelah bertemu Wes, Virgina menemukan sebuah gereja kecil dekat rumahnya, lalu
mengabari Wes. Dua minggu kemudian dia mengunjungi Wes untuk kedua kalinya;
mereka bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Mereka juga mendiskusikan
bagaimana Wes akan menjalani fisioterapinya.
Dia
enak diajak ngobrol, pikir Virgina dalam perjalanan pulang. Beberapa hari
sekali, dia mengirim kabar kepada Wes atau singgah mengunjunginya.
Kira-kira
dua bulan sesudah kecelakaan itu, Virgina menelpon Wes. "Aku boleh pulang
hari ini!" kata Wes, suaranya nyaris tak dapat meredam kegembiraannya.
Setelah
meletakkan telepon, Virgina dilingkupi perasaan yang tak dapat dijelaskan. Dia
cepat-cepat naik mobilnya, dan memacunya ke rumah sakit.
"Mengapa
kau kesini?" tanya Wes kaget.
"Aku
tidak tahu," jawab Virgina, agak gugup. "Aku merasa aku harus berada
disini."
"Hmmm,
aku senang kau datang," kata Wes sambil tersenyum.
Ketika
mereka mendekati gereja Wes yang arsitekturnya berbentuk A, mata pria itu mulai
berkaca-kaca. Pada pagar besi hitam, lusinan pita kuning melambai-lambai
seperti bunga-bunga berwarna cerah. Murid-murid sekolah dasar di kompleks
gereja itu melompat-lompat, melambai-lambai ke arah mobilnya. Spanduk-spanduk
dibentangkan, bertuliskan : "Kami mencintaimu! Selamat datang, Pak
Anderson."
Mata
Virgina juga berkaca-kaca.
Di
bulan Juni, mengenakan topi dan toga, dengan bangga Virgina menyusuri lorong di
antara deretan kursi-kursi auditorium untuk menerima ijazahnya. Wes tak bisa
hadir karena tugas-tugas gereja, tapi dia mengirimkan bunga sebagai ucapan
selamat. Beberapa malam kemudian, kedua sahabat itu makan malam bersama
orangtua mereka. Mereka punya banyak kesamaan. Orangtua mereka telah menikah
lebih dari empat puluh tahun; mereka sama-sama dibesarkan dalam tradisi Gereja
Metodis.
Sampai
di rumah, Wes mengancingkan kancing terakhir kemejanya dan bersiap-siap untuk
berangkat ke gereja. Tiba-tiba dia merasa tubuhnya jatuh terguling ke lantai,
jatuh menekan tunggul sisa pahanya. Dia menjerit kesakitan. Sembilan hari
kemudian dia terbaring di tempat tidur. Dulu, dia selalu bangga akan dirinya
yang kuat dan independen. Sekarang, keraguan dan depresi membelenggu dirinya.
Dia
mulai mempertanyakan hubungannya dengan Virgina. "Aku sangat menyukainya,
" kata Wes kepada Mike. "Aku hanya khawatir, jangan-jangan dia hanya
iba kepadaku. Maksudku, aku memang bukan bintang film Hollywood, tapi lihatlah
penampilanku sekarang."
"Wes,
sebagai manusia, kau masih tetap sama, tak kurang harganya dari sebelum
kecelakaan itu," kata Mike. "Yang penting adalah apa yang ada di
dalam dirimu."
Sudah
beberapa hari Virgina tidak mendengar kabar dari Wes. Dia berpikir-pikir
tentang pertemuan mereka yang terakhir, waktu mereka melihat-lihat Woods National
Monuments. Apakah aku melakukan sesuatu yang keliru? Virgina menduga-duga.
Mereka berbincang-bincang secara terbuka tentang perceraiannya delapan tahun
lalu dan perjuangannya untuk memperoleh hidup yang lebih baik bagi dirinya dan
Steven. Setiap kali berkencan dengan seorang pria, Virgina selalu khawatir
memikirkan arah dan kelanjutan hubungan mereka. Dengan Wes, kekhawatiran
seperti itu tak pernah mengusiknya. Dia tidak sama dengan pria-pria yang pernah
kukenal, pikir Virgina.
Wes
akhirnya menelpon dan mengajak Virgina menonton pekan raya. Dia membuat Virgina
kaget karena menjemput wanita itu dengan mobilnya yang telah diadaptasi untuk
kakinya yang tinggal satu. Mereka duduk-duduk di bawah langit bertabur bintang,
menikmati atraksi kembang api. "Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, kapan
bisa bertemu lagi denganmu," kata Virgina.
"Maaf," kata Wes. "Masalahnya
aku tak biasa berkencan. Kalau aku berkencan dengan seseorang, aku selalu
menganggap hubungan kami serius. Aku menghargai persahabatan kita , aku takkan
pernah merusaknya. Aku hanya...."
Wes menunduk. Inilah saatnya dia bilang
'sebaiknya kita berkawan saja'.
"Kau harus tahu bahwa aku peduli padamu
sebagai seorang pribadi," lanjut Virgina, "bukan karena kau punya
satu atau dua kaki. Bagiku, kau seorang pria utuh, seorang pribadi yang
utuh."
Wes mendengarkan, terpana. "Aku
mencintaimu, " katanya, suaranya parau penuh emosi.
"Aku juga mencintaimu, " Virgina
menanggapi. Untuk pertama kalinya mereka berciuman.
Paskah
tahun itu, Wes dan Virgina bahu membahu mempersiapkan kebaktian pagi di udara
terbuka. Dengan susah payah Wes menapakkan kaki palsunya di rumput yang basah.
Tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan; jatuh terjerembap, disergap amarah,
frustasi dan keraguan.
Virgina segera berlari kepadanya, tetapi Wes
tidak mengangkat wajahnya, takut tidak siap melihat apa yang akan dilihatnya.
Ketakutan? Rasa iba? Dia tak pernah meragukan ketulusan Virgina, tetapi kini,
saat ini, dia merasa sangat rapuh. Seorang pria dewasa, namun tak berdaya.
Pada saat itulah dia memahami kekeliruannya.
Aku memusatkan perhatian pada tubuhku, padahal yang seharusnya disembuhkan
adalah jiwaku.
Virgina dan seorang kawan membantu Wes bangkit
berdiri. Tubuh Wes gemetar, dia malu sekali. Tetapi, untunglah dia tidak takut.
Inilah diriku, dia menyadari. Seorang lelaki yang kadang-kadang jatuh
terjerembap, tetapi bangkit lagi. Setiap kali akan bertambah kuat.
Pada
tanggal 27 May 1995, Wes masuk ke Gereja Kristen Carmichael lewat pintu di
samping altar, mengenakan toxedo putih dan memegang tongkat hitam. Dia
memandang ke pintu utama ketika Virgina, dalam balutan gaun putih berjalan ke
arahnya, didampingi kedua orangtuanya.
Gereja penuh. Mike Cook memimpin upacara
perkawinan. "Dua lebih baik daripada satu," kata Mike, yang membaca
Ecclesiastes. "Jika yang satu jatuh, kawannya akan meolong bangkit.
Sungguh malang orang yang jatuh tapi tak punya kawan untuk membantunya
bangkit."
Setelah upacara selesai, Wes berdiri di anak
tangga teratas, menghadap umatnya. Sambil menggandeng tangan Virgina, dia
berjalan, selangkah demi selangkah, sampai ke anak tangga paling bawah.
Lebih dari setahun sebelumnya, Wes
menebak-nebak apa rencana Tuhan atas dirinya.
Sekarang dia tahu.
Bryan
Smith.
(Bryan Smith adalah reporter Chicago Sun-Times
dan kontributor yang produktif untuk majalah Reader's Digest. Tahun 1989 dia
lulus dari University of Maryland. Mr. Smith mendapat banyak penghargaan di
bidang tulis menulis. Sun-Times menominasikan tulisannya untuk mendapat Hadiah
Pulitzer.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar