Pengantar
Yesus menjalani kehidupan sebagai manusia, lengkap dengan segala penderitaan dari lahir sampai mati. Ia bahkan mengalami penderitaan yang lebih hebat yang tidak akan pernah manusia lain alami, sehingga “kita mempunyai Imam Besar yang tiada bandingannya dalam 'turut merasakan' (Berasal dari bahasa Yunani Sympathos yang berarti menderita bersama) kelemahan-kelemahan kita....” seperti yang penulis surat Ibrani katakan.
Kecelakaan
Saat masih gadis remaja, Joni Aereckson Tada adalah seorang atlet olahraga atletik. Suatu hari ia mengalami kecelakaan hebat. Ketika di teluk Chesapeake ia melompat masuk ke dalam air, kepalanya terantuk batu di dasar air yang ternyata dangkal. Seketika itu juga seluruh tubuhnya mati rasa. Ia mederita kerusakan permanen pada tulang belakangnya. Kecelakaan itu berlangsung dalam 2 detik tetapi akibatnya berlangsung seumur hidup. Sejak itu ia dipaksa mengubah jalan hidupnya menjadi orang cacat.
Suatu kali setelah waktu berlalu dan segala usaha pengobatan tidak membawa hasil apa pun, Joni berkata : “Saya begitu hancur. Hidup saya selama ini begitu padat dengan aktivitas, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Tiba-tiba sekarang, saya menemukan diri saya tanpa siapa pun, tidak dapat bergerak sama sekali. Semua hobi dan apa yang saya miliki tiba-tiba saja menjadi tidak berarti lagi. Bahkan saya tidak dapat memberi makan diri saya sendiri tanpa bantuan orang lain. Saya hanya dapat tidur dan bernafas, selebihnya saya memerlukan bantuan orang lain.”
Saat teman-teman sekolah yang datang menjenguknya melihat dari dekat bagaimana Joni yang biasa mereka kenal sebagai gadis yang sangat aktif, ceria, dan energik terbaring tidak berdaya' mereka tidak siap menghadapi kenyataan tersebut. Seorang di antara mereka tanpa bisa menahan berbisik, “Ya Tuhan.” Mereka berdiri termanggu kaku selama beberapa detik, kemudian mulai berlari ke luar ruangan. Joni dapat mendengar salah seorang dari mereka muntah-muntah di luar, sementara yang lainnya menangis terisak-isak. Joni bertanya-tanya apa yang menyebabkan reaksi mereka seperti itu. Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?
Beberapa lama kemudian, ia mengetahui jawabannya. Ia meminta seorang pembesuknya, Jackie untuk memberinya sebuah cermin. Mula-mula Jackie terdiam dan ragu-ragu, tetapi setelah Joni memaksanya maka dengan segan ia mengambilkan sebuah cermin dan memegangnya di depan wajah Joni dengan tangan gemetar. Joni melihat wajahnya dengan sekilas dan berteriak,”Ya Tuhan, bagaimana Kau dapat melakukan ini padaku!” Wajah yang terlihat di cermin adalah wajah dengan bola mata merah yang jatuh ke dalam rongga tengkoraknya dengan ceruk yang dalam dan berwarna gelap. Kulitnya telah menjadi pucat kekuning-kuningan, giginya hitam karena obat-obatan yang telah ia telan. Kepalanya masih gundul dengan logam tertancap di kedua sisi tengkorak kepalanya. Berat badannya menyusut dari 62 kg menjadi 40 kg. Joni menangis tidak terkendali. Akhirnya ia berkata sambil menangis,”Oh, Jackie, saya perlu bantuanmu. Satu kali saja. Saya tidak tahan lagi menghadapinya”.
“Bantuan apa, Joni? Saya pasti akan membantumu.” “Bantu saya untuk mati. Bawakan saya beberapa pil atau silet. Saya tidak mau hidup lagi dengan tubuh seperti ini. Bantu saya untuk mati, Jackie.” Tentu saja Jackie tidak dapat membantu Joni dalam hal ini. Dan Joni pun akhirnya menyadari suatu fakta yang baru: “untuk mati pun ia tidak dapat melakukannya sendiri!”.
Tuhan Beserta Kita
Suatu malam, akhirnya Joni merasa bahwa Tuhan sebenarnya mengerti keadaan yang dia alami. Ketika itu rasa nyeri yang menyerang bagian belakang tubuhnya tidak tertahankan. Jika seorang sehat yang mengalami hal itu, maka ia dapat dengan mudah mencari bagian yang nyeri kemudian memijat atau menggosoknya. Tetapi orang lumpuh seperti Joni mau tidak mau hanya diam tidak dapat berbuat apa-apa. Pada saat itu Cindy, seorang teman dekatnya ada di samping tempat tidurnya. Cindy sedang berusaha untuk memberi Joni semangat dan penghiburan. “Joni, kau tidak sendirian. Tuhan Yesus mengerti penderitaan yang sedang kau alami sekarang. Ia juga pernah mengalami kelumpuhan!” Joni menatap wajah temannya dengan bertanya-tanya, “Apa yang sedang kau bicarakan?” Cindy melanjutkan. “Iya benar. Ingat, Tuhan Yesus sewaktu di kayu salib dengan punggungnya yang penuh dengan bekas cambukan, ingin mengubah posisinya atau mengubah berat badannya, tetapi Ia tidak dapat melakukannya. Ia tidak dapat bergerak sama sekali karena paku yang tertancap pada tanganNya.”
Pemikiran ini sangat mengganggu Joni dan untuk beberapa saat lamanya ia tidak lagi memikirkan rasa nyeri yang sedang dideritanya. Tidak pernah ia memikirkan hal itu sebelumnya yaitu bahwa Tuhan Yesus pernah berada dalam kondisi yang persis seperti yang Ia alami saat itu. Pemikiran baru ini sangat melegakan hatinya, “Tuhan terasa sangat dekat dengan saya. Sepertinya saya diubahkan oleh Tuhan melalui kasih yang ditunjukkan oleh teman-teman dekat dan keluarga saya. Akhirnya saya mulai mengerti bahwa Tuhan pun mengasihi saya.”
Dipungut OPH dari Buku
Dukaku Tempat KudusMu
Yohan Candawasa
Yesus menjalani kehidupan sebagai manusia, lengkap dengan segala penderitaan dari lahir sampai mati. Ia bahkan mengalami penderitaan yang lebih hebat yang tidak akan pernah manusia lain alami, sehingga “kita mempunyai Imam Besar yang tiada bandingannya dalam 'turut merasakan' (Berasal dari bahasa Yunani Sympathos yang berarti menderita bersama) kelemahan-kelemahan kita....” seperti yang penulis surat Ibrani katakan.
Kecelakaan
Saat masih gadis remaja, Joni Aereckson Tada adalah seorang atlet olahraga atletik. Suatu hari ia mengalami kecelakaan hebat. Ketika di teluk Chesapeake ia melompat masuk ke dalam air, kepalanya terantuk batu di dasar air yang ternyata dangkal. Seketika itu juga seluruh tubuhnya mati rasa. Ia mederita kerusakan permanen pada tulang belakangnya. Kecelakaan itu berlangsung dalam 2 detik tetapi akibatnya berlangsung seumur hidup. Sejak itu ia dipaksa mengubah jalan hidupnya menjadi orang cacat.
Suatu kali setelah waktu berlalu dan segala usaha pengobatan tidak membawa hasil apa pun, Joni berkata : “Saya begitu hancur. Hidup saya selama ini begitu padat dengan aktivitas, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Tiba-tiba sekarang, saya menemukan diri saya tanpa siapa pun, tidak dapat bergerak sama sekali. Semua hobi dan apa yang saya miliki tiba-tiba saja menjadi tidak berarti lagi. Bahkan saya tidak dapat memberi makan diri saya sendiri tanpa bantuan orang lain. Saya hanya dapat tidur dan bernafas, selebihnya saya memerlukan bantuan orang lain.”
Saat teman-teman sekolah yang datang menjenguknya melihat dari dekat bagaimana Joni yang biasa mereka kenal sebagai gadis yang sangat aktif, ceria, dan energik terbaring tidak berdaya' mereka tidak siap menghadapi kenyataan tersebut. Seorang di antara mereka tanpa bisa menahan berbisik, “Ya Tuhan.” Mereka berdiri termanggu kaku selama beberapa detik, kemudian mulai berlari ke luar ruangan. Joni dapat mendengar salah seorang dari mereka muntah-muntah di luar, sementara yang lainnya menangis terisak-isak. Joni bertanya-tanya apa yang menyebabkan reaksi mereka seperti itu. Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?
Beberapa lama kemudian, ia mengetahui jawabannya. Ia meminta seorang pembesuknya, Jackie untuk memberinya sebuah cermin. Mula-mula Jackie terdiam dan ragu-ragu, tetapi setelah Joni memaksanya maka dengan segan ia mengambilkan sebuah cermin dan memegangnya di depan wajah Joni dengan tangan gemetar. Joni melihat wajahnya dengan sekilas dan berteriak,”Ya Tuhan, bagaimana Kau dapat melakukan ini padaku!” Wajah yang terlihat di cermin adalah wajah dengan bola mata merah yang jatuh ke dalam rongga tengkoraknya dengan ceruk yang dalam dan berwarna gelap. Kulitnya telah menjadi pucat kekuning-kuningan, giginya hitam karena obat-obatan yang telah ia telan. Kepalanya masih gundul dengan logam tertancap di kedua sisi tengkorak kepalanya. Berat badannya menyusut dari 62 kg menjadi 40 kg. Joni menangis tidak terkendali. Akhirnya ia berkata sambil menangis,”Oh, Jackie, saya perlu bantuanmu. Satu kali saja. Saya tidak tahan lagi menghadapinya”.
“Bantuan apa, Joni? Saya pasti akan membantumu.” “Bantu saya untuk mati. Bawakan saya beberapa pil atau silet. Saya tidak mau hidup lagi dengan tubuh seperti ini. Bantu saya untuk mati, Jackie.” Tentu saja Jackie tidak dapat membantu Joni dalam hal ini. Dan Joni pun akhirnya menyadari suatu fakta yang baru: “untuk mati pun ia tidak dapat melakukannya sendiri!”.
Tuhan Beserta Kita
Suatu malam, akhirnya Joni merasa bahwa Tuhan sebenarnya mengerti keadaan yang dia alami. Ketika itu rasa nyeri yang menyerang bagian belakang tubuhnya tidak tertahankan. Jika seorang sehat yang mengalami hal itu, maka ia dapat dengan mudah mencari bagian yang nyeri kemudian memijat atau menggosoknya. Tetapi orang lumpuh seperti Joni mau tidak mau hanya diam tidak dapat berbuat apa-apa. Pada saat itu Cindy, seorang teman dekatnya ada di samping tempat tidurnya. Cindy sedang berusaha untuk memberi Joni semangat dan penghiburan. “Joni, kau tidak sendirian. Tuhan Yesus mengerti penderitaan yang sedang kau alami sekarang. Ia juga pernah mengalami kelumpuhan!” Joni menatap wajah temannya dengan bertanya-tanya, “Apa yang sedang kau bicarakan?” Cindy melanjutkan. “Iya benar. Ingat, Tuhan Yesus sewaktu di kayu salib dengan punggungnya yang penuh dengan bekas cambukan, ingin mengubah posisinya atau mengubah berat badannya, tetapi Ia tidak dapat melakukannya. Ia tidak dapat bergerak sama sekali karena paku yang tertancap pada tanganNya.”
Pemikiran ini sangat mengganggu Joni dan untuk beberapa saat lamanya ia tidak lagi memikirkan rasa nyeri yang sedang dideritanya. Tidak pernah ia memikirkan hal itu sebelumnya yaitu bahwa Tuhan Yesus pernah berada dalam kondisi yang persis seperti yang Ia alami saat itu. Pemikiran baru ini sangat melegakan hatinya, “Tuhan terasa sangat dekat dengan saya. Sepertinya saya diubahkan oleh Tuhan melalui kasih yang ditunjukkan oleh teman-teman dekat dan keluarga saya. Akhirnya saya mulai mengerti bahwa Tuhan pun mengasihi saya.”
Dipungut OPH dari Buku
Dukaku Tempat KudusMu
Yohan Candawasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar