Yesus Gembala yang Baik.

Rabu, 31 Oktober 2012

Aku Memaafkan Ibuku Dengan Tuntas Empat Tahun Lalu

Julianto Simanjuntak

Bulan Desember 1962 ibuku hamil muda.Kehamilan ini aa ceritakan pada suaminya (ayahku),  seorang polisi dan alkoholik yang sangat keras dan
kasar.  "Pa, aku hamil anak kita keenam." Suaminya (papaku) bukannya menyambut senang,tapi dengan kasar mengancam ibuku, "Aku tidak mau anak laki-laki lagi. Beri saya anak  perempuan!" Memang, sudah lima kali ibu kami melahirkan,   semuanya laki-laki.
Ibu menjawab, "Kalau laki-laki lagi, gimana?"
"Kamu saya ceraikan!"Aduh! Ibu sangat stres dengar kalimat Ayah. Dia tahu benar sifat Papa yang keras. Saat aku duduk di kelas III SMA Mama cerita padaku, "Julianto, waktu Mama melahirkan kamu, mama stress, akhirnya  blooding (pendarahan) dan hampir meninggal dunia."

Saat aku masih kecil, sulit bagiku mengerti perlakuan mama dan papaku.
Papa seorang pejabat kepala keuangan polisi. Kami sering dikunjungi famili dan tamu kantor papa.Juga para tetangga. Biasanya mama dengan bangga memperkenalkan anak-anaknya, mulai dari yanag sulung,
"Ini Johnny, ini Albert. Ini nomor tiga Helman, lalu Jerry dan anak kelima Agustinus. Ini? Witner, anak ketujuh."Lhaaaa? Saya kok tidak dikenalkan? Hatiku berbisik dan protes keras. Lalu para tamu spontan bertanya dengan menunjuk kepadaku,"Yang ini siapa?"Ibuku menjawab ketus, "Tanya aja sendiri!" Para tamu pun bertanya kepadaku, "Ucok (panggilan akrab bocah batak), siapa namamu?"Dengan polos, aku menjawab, "Aku Julianto, Om. Aku nomor enam!"Peristiwa seperti itu kerap terjadi jika ada tamu baru datang ke rumah.

Yang lebih tidak nyaman dan membuat batinku bergetar
keras adalah, saat papa memaksaku memakai rok. Papa membelikan beberapa baju perempuan. Baju dan rok perempuan itu kerap aku harus gunakan sehabis mandi sore. Sambil tertawa dan melucu Papa, Mama dan para abangku memanggilku dengan nama "Puan".Rupanya itu singkatan dari "perempuan". Aku merasa begitu dilecehkan, tapi aku tak tahu harus berbuat  apa. Usiaku masih balita. Pada tahun kelima, aku mulai sadar, bahwa aku dipermainkan dan diolok-olok.Baju dan rok perempuan yang dikenakan kepadaku  segera kubuka. Dengan rasa marah dan jengkel,  aku lemparkan itu jauh-jauh sambil menangis.Setelah sadar, aku menjadi marah setiap kali diminta pakai rok. Kemarahanku kutampakkan dengan tidak mau ke sekolah. Orangtuaku memaksaku sekolah di Taman Kanak-kanak pada usia 6 tahun. Tapi aku selalu menangis dan lari dari kelas. Barulah diusia 7 aku  mau ke sekolah.

Penolakan Ibu kurasakan bertahun-tahun. Bahkan tak
akan pernah saya lupakan ketika suatu hari Ibu lagi bentrok keras dengan Ayah (orangtuaku kerap bertengkar). Beberapa tamu datang ke rumah. Lalu ada yang menanyakan nama-nama kami. Ibu memperkenalkan kelima abang dan satu adik saya. Namun ia tetap tidak mempedulikan saya. Tamu bertanya sambil menunjuk ke saya, "Yang ini namanya siapa dan nomor berapa?" Mamaku dengan ketus menjawab, "Tanya sendiri! Anak dari tong sampah itu!"Saya sangat terkejut, dan perkataan itu masih
terngiang-ngiang sampai hari ini.Masa remajaku sangat buruk. Tidak beda jauh dengan abang-abangku. Akrab dengan kartu, alcohol dan dunia preman. Syukurlah, saat aku duduk di kelas II SMA Negri I Medan, Kristus menjamahku lewat retret yang diadakan Persekutuan Doa sekolah kami. Hari kedua retret yang kami adakan di Binjai itu, mengubah hatiku. Aku menerima Kristus secara pribadi.Singkat cerita, setelah menamatkan SMA, aku mendapat  panggilan masuk seminari di kota Batu. Selesai seminari, aku memutuskan mendalami konseling.Mungkin karena latar belakang hidupku yang pahit. Dalam diriku terasa beratnya mengalami penolakan. Di sekitarku banyak orang yang merasa tertolak
membutuhkan pendampingan. Akupun memilih UKSW mengambil studi konseling (S1) dan ambil strata dua bidang konseling di  STTRII.
Selama belajar konseling, aku terus belajar mengampuni orangtuaku. Aku merasa cukup berhasil, namun sesungguhnya BELUM !Pada tahun 2001, saat masih bekerja sebagai konselordi sebuah Pusat Konseling Narkoba, aku menonton sebuah VCD. Lewat VCD itu barulah aku sadar, bahwa aku belum sepenuhnya aku  memaafkan Mamaku.Dalam VCD ceramah yang disampaikan Pam Stenzel, dia bercerita satu pengalaman uniknya. Pam adalah
guru sex education di SMP-SMU di Minnesota, adalah anak benih perkosaan. Pam tak pernah kenal  ayah ibunya, bahkan tak pernah tahu kebangsaannyaapa. Ia diasuh oleh orangtua angkat. Orangtua angkatnya baik. Saat dia besar, mereka menjelaskan dengan bijak  latar belakangnya. Dia bersaksi, betapa ia mengagumi ibunya, sekalipun tak pernah mengasuhnya. Selanjutnya Pam berkata dalam VCD itu:

Ayah biologisku adalah pemerkosa. Aku bahkan tak tahu kebangsaanku. Tapi aku tetap manusia dan punya nilai. Nilai hidupku tak kurang sedikitpun dari kalian karena caraku dikandung. Dan aku tak layak
dihukum mati akibat kejahatan ayahku. Aku sudah dengar gelak tawa mereka. Di Mineapolis mereka berkata, Anak selalu diinginkan dan direncanakan.Dirimu adalah kesalahan!" Aku tak percaya itu. Aku percaya setiap anak diinginkan seseorang dan Tuhan mengasihinya.  Aku tak mampu menjelaskannya sampai bertemu muka dengan-Nya nanti. Tapi aku percaya Tuhan punya  rencana untukku, dan Tuhanku amat mempesona. Dia mampu mengambil rasa sakitmu yang paling parah. Apa pun pilihan buruk yang kau ambil atau perlakukan orang merusak dirimu. Dia mampu menjadikan hal itu indah jika kalian menyerahkannya pada-Nya.

Aku belum bertemu ibu kandungku, kuharap suatu hari nanti bisa. Jika tak bisa di bumi, mungkin di sorga.  Itu doaku sejak umur 4 tahun. Jika nanti kami bertemu, akan kugenggam tangannya dan berkata, betapa aku sangat mencintainya karena dia mencintaiku. Dia cukup mencintaiku untuk memberiku hidup dan juga hadiah paling istimewa yang pernah
diberikan kepadaku: keluargaku. Aku tak tahu apa  diriku hari ini jika Ibu memutuskan menggugurkanku. Aku amat bersyukur, dia cukup mencintaiku dan memberiku keluarga.

Aku tertegun mendengar perkataan perkataan Pam Stenzel
di atas. Air matakupun mulai  mengalir. Barulah aku sunguh tersadar, berkat terbesar yang diberikan Ibu  dan ayahku adalah HIDUP. Aku teringat kata kata Yesus, "Bukankah HIDUP itu lebih penting daripada makanan, pakaian (fasilitas hidup).." Saat itu aku merasa lega dan berdoa, bersyukur untuk Ibu yang pernah mengandung dan melahirkanku. Seperti ada  batu-batu kerikil, terjatuh dari hati saya yang keras. Meski ia pernah menolak, mengabaikan, dan melecehkanku, hari itu aku baru memaafkan Ibuku dengan tuntas. Aku berpikir, toh orangtuaku tak sengaja melakukannya. Mereka tak pernah belajar menjadi ayah dan ibu. Apalagi setelah mereka menjadi orang percaya dan menerima Kristus, kasihku kepada mereka berubah. Keluarga kami sangat menikmati berkat Tuhan. Aku makin mengagumi Ibuku, takala mengingat perjuangannya mencintai ayah kami, seorang polisi dan pecandu alcohol yang sangat kasar.  Seorang penjudi yang telah meludeskan semua harta keluarga. Bahkan kasih dan kesetiaan Ibu membawa Ayah kami menerima Kristus sebelum Ayah meninggal. Saya ingat kata-kata mama,
"Bagaimanapun keadaan Papa kalian, Mama akan urus dia sampai saya ati!" Papa kena kanker paru-paru.Komitmen itu sungguh Mama lakukan. Mama meninggaldunia lebih dulu seminggu sebelum Papa kami dipanggil Tuhan. Kami rasa, Mama sangat lelah karena harus mendampingi Papa selama hampir dua tahun di rumahsakit. Sebuah komitmen yang luar biasa.  Saya bersyukur Papa dan mama boleh menjadi berkat, membawa banyak Jiwa kepada Kristus setelah mereka percaya Tuhan.

Kini, bagaimana dapat kubalas kasih Ibu yang  memberiku hidup? Ayah mertuaku, Prof. Taliziduhu Ndraha berkali-kali mengajarkan pada kami,
"Penghargaanmu pada orangtuamu, adalah dengan mengasihi anak-anakmu (cucu orangtuamu) dengan sungguh-sungguh." Sebagai tanda kasih dan mengenang Ibuku aku menuliskan sebuah syair lagu untuk mama :
KASIH IBU KAN KUKENANG SELALU

Kini, aku amat bersyukur boleh memiliki satu keluarga. Tuhan memberiku istri yang takut akan Tuhan. Kami dianugerahkan dua putra yang sangat menjadi berkat buat kami. Moga Tuhan kuatkan saya dan Wita (istriku) mengasuh kedua putra kami Josephus dan Moze. Moga Tuhan berkenan menggunakan kami jadi alat-Nya sepanjang hidup kami. Semua itu berkat kasih Ibu yang Tuhan beri padaku.


Julianto Simanjuntak
Layanan Konseling Keluarga dan Karir (LK3)
Taman Permata A 7 No.38
LIPPO KARAWACI

1 komentar:

  1. 4 thn adalah waktu yg lama,, tapi semua indah pada waktunya.
    bisa tolong kirim no hp nya pak?

    BalasHapus