Arti Penderitaan: Pengalaman Melalui Lembah 
		Bayang-Bayang Kematian Yang Mendatangkan Sukacita
oleh Jing Rong Wang
		http://www.cahayapengharapan.org/kesaksian_hidup/texts/arti_penderitaan.htm
Keluargaku - Menemukan Suka cita melalui Penderitaan
Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen yang menderita oleh karena kemiskinan, duka cita dan kesusahan. Ayahku Wang Li Gang, adalah anak yang sangat berbakti kepada orangtuanya dan karena itu dia juga dinamai Anak Ketiga yang penuh kasih. Dia mengenal Tuhan ketika dia masih muda melalui jenderal atasannya, Feng Yu Xiang. Ayahku adalah seorang Kristen yang sangat ramah dan peduli, namun dia juga orang yang terang-terangan bicaranya dan lurus. Dia adalah laki-laki yang tidak akan tunduk pada kejahatan.
Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen yang menderita oleh karena kemiskinan, duka cita dan kesusahan. Ayahku Wang Li Gang, adalah anak yang sangat berbakti kepada orangtuanya dan karena itu dia juga dinamai Anak Ketiga yang penuh kasih. Dia mengenal Tuhan ketika dia masih muda melalui jenderal atasannya, Feng Yu Xiang. Ayahku adalah seorang Kristen yang sangat ramah dan peduli, namun dia juga orang yang terang-terangan bicaranya dan lurus. Dia adalah laki-laki yang tidak akan tunduk pada kejahatan.
		Aku adalah anak yang kelima dengan banyak saudara perempuan. Karena anak 
		keempat juga seorang anak perempuan, nenekku menamai kakakku itu 
		"Kesengsaraan Nenek". Nenekku adalah seorang perempuan tradisional 
		dengan nilai-nilai feudal. Dia lebih menyukai anak-anak lelaki dan tidak 
		suka anak-anak perempuan. Maka ketika aku lahir, nenek lebih membenci 
		aku lagi. Ketika aku berumur lima tahun, aku belum mampu berjalan. Nenek 
		menamai aku "Si Timpang". Dia dengan keras melarang ibu menatih aku dan 
		memegangi aku. Aku dirawat seperti anjing. Apakah aku hidup atau mati 
		tidaklah penting. Aku bertanya pada ibuku,"Mengapa mama tidak memegangi 
		aku?" Dia dengan sedih menjawab, "Aku  tidak mempunyai kekayaan untuk 
		menopang kamu. Jika aku mengangkat kamu, nenekmu akan memukul aku". 
		Ketika nenekku meninggal,  ibuku merawatku dengan penuh kasih saying dan 
		aku tumbuh dengan cepat. Aku mulai sekolah ketika berumur tujuh tahun.
		Di dalam keluargaku ada sepuluh orang dan kami semua bersandar pada 
		satu-satunya keledai kami untuk menggiling tepung untuk kami. Setelah 
		menjual tepung, kami membuat bubur dari dedak. Bubur ini mengenyangkan 
		kami dan kami masih sering lapar. Aku tidak akan pernah melupakan syair 
		yang ditulis oleh kakak lelakiku yang ketiga, yang menggambarkan keadaan 
		keluarga kami yang menyedihkan. Syair itu ditulis pada bulan keduabelas 
		tahun kabisat, ketika angin badai utara bertiup dan turun salju lebat. 
		Syair itu kalau diterjemahkan berbunyi demikian:
		            Akhir tahun lagi. Salju turun, putih dan tebal,
		            Meleleh seperti kepulan asap yang wangi di tiap penjuru 
		kota.
		            Api penghangat tetangga menyala berkobar, rumah mereka, 
		dimandikan
		            Kehangatan api.
		            Akhir tahun lagi. Salju turun, dingin dan tebal,
		            Luruh di cerobong asap kami.
		            Kami melihat badai salju, dengan mangkok kosong; pakaian 
		kami, tua dan kotor.
		Semua orang menyambut Tahun Baru dengan suka cita, menyiapkan segala 
		rupa kelezatan bau gorengan dan kepulan asap makanan menyebar ke seluruh 
		ruangan dan membangkitkan selera makan. Banyak keluarga pergi belanja 
		sehingga mereka bisa menikmati Tahun Baru dengan memakai pakaian baru.
		Tetapi tidak ada persiapan apapun di dapur kami, dan tidak ada apapun 
		yang dimasak di kompor kami.
		Memang, kami tidak mempunyai apapun untuk dimakan. Kami semua anak-anak 
		perempuan jadi sedih, tetapi ayahku tidak susah sama sekali. Sebaliknya, 
		dia mengajak kami memuja Tuhan. Kami anak-anak perempuan sangat suka 
		menolong satu sama lain dan kakak laki-laki kami sangat mencintai kami. 
		Dan Tuhan beserta kami. Dengan cara lain, keluarga kami masih mempunyai 
		semangat merayakan liburan. Kemiskinan dan kekurangan yang amat sangat 
		membuat kami menjadi suatu keluarga yang punya ikatan sangat erat.
		Ketika ketiga saudara laki-lakiku tumbuh besar, mereka masuk sekolah 
		Kristen. Akibatnya mereka tidak hanya menerima pendidikan yang baik 
		tetapi juga suatu pondasi iman. Mereka suka memuji Tuhan, sambil 
		memainkan flut dan hou lou qin, suatu alat musik bersenar dua. 
		Masing-masing dari kami berbakat musik dan kami menjadi suatu keluarga 
		yang sangat diberkati oleh Tuhan.
		Dengan Segenap Hati, Kekuatan dan KesetiaanNya
Suatu hari, ayahku membawa keledai keluarga kami pada suatu persekutuan Kristen dan mempersembahkannya kepada Tuhan. Keledai itu adalah satu-satunya mata pencaharian kami. Pada waktu itu, ayah hanya mementingkan hati yang mengasihi Tuhan. Dia tidak cemas akan hal lain sedangkan ibuku selalu kuatir, seringkali tidak bisa tidur memikirkan kebutuhan kami sehari-hari. Ayahku mempunyai iman dan pengharapan, bersandar kepada Tuhan yang mengasihi kami.
Suatu hari, ayahku membawa keledai keluarga kami pada suatu persekutuan Kristen dan mempersembahkannya kepada Tuhan. Keledai itu adalah satu-satunya mata pencaharian kami. Pada waktu itu, ayah hanya mementingkan hati yang mengasihi Tuhan. Dia tidak cemas akan hal lain sedangkan ibuku selalu kuatir, seringkali tidak bisa tidur memikirkan kebutuhan kami sehari-hari. Ayahku mempunyai iman dan pengharapan, bersandar kepada Tuhan yang mengasihi kami.
		Tak lama setelah ayahku mempersembahkan keledai itu, Tuhan memberkati 
		kami dengan dua kambing perah. Maka kami mulai menjual susu kambing. 
		Secara berangsur-angsur, kambing kami berlipat dan pelanggan kami 
		meningkat. Teman saudaraku juga memberi kami seekor sapi perah, maka tak 
		lama kemudian kami mempunyai pemerahan susu sendiri. Kami adalah 
		satu-satunya yang memiliki tempat pemerahan susu di kotapraja kecil 
		kami, bahkan orang yang kaya sekalipun membeli susu dari kami secara 
		berlangganan. Kami bersyukur kepada Bapa Surgawi yang telah menyediakan 
		cara bagi kami untuk mencari nafkah secara tak terduga. Dan kami lebih 
		bahagia karena hidup menjadi lebih tertata/ mapan.
		Perang yang Tidak Kenal Belas Kasihan
Insiden Lugouqiao (Jembatan Marco Polo, tahun 1937) menimbulkan peperangan yang tidak kenal ampun antara China dan Jepang. Tentara Jepang membunuh, merampas, membakar dan memperkosa dimana saja mereka pergi. Tiap orang dikecam oleh ketakutan. Keluarga kami, seperti semua orang lain, melarikan diri kepedesaan sedang ketiga saudara laki-lakiku berjuang melawan Jepang di sekolah. Kami tidak mengetahui keberadaan mereka dan hanya berdoa Tuhan melindungi mereka.
Insiden Lugouqiao (Jembatan Marco Polo, tahun 1937) menimbulkan peperangan yang tidak kenal ampun antara China dan Jepang. Tentara Jepang membunuh, merampas, membakar dan memperkosa dimana saja mereka pergi. Tiap orang dikecam oleh ketakutan. Keluarga kami, seperti semua orang lain, melarikan diri kepedesaan sedang ketiga saudara laki-lakiku berjuang melawan Jepang di sekolah. Kami tidak mengetahui keberadaan mereka dan hanya berdoa Tuhan melindungi mereka.
		Ayahku adalah seorang laki-laki yang sangat patriotic dan sangat bangga 
		akan bangsanya. Ketika dia sudah tidak sanggup menanggung hidup dibawah 
		tekanan Jepang, dia juga memutuskan ikut melawan Jepang. Tetapi, musuh 
		yang bengis menangkap dia hanya enam bulan setelah dia mendaftarkan 
		diri. Sebelum dia dibunuh, dia meminta beberapa menit untuk berdoa. 
		Sambil berlutut dia menyerahkan rohnya dan memohon kepada Tuhan untuk 
		memelihara anak-anak dan isterinya.  Jadi ayahku dikuburkan di sebuah 
		goa kuil sebagai martir.
		Setelah itu, rumah kami dirampas habis-habisan. Hari itu tanggal 21 
		bulan keduabelas tahun kabisat. Angin kencang menyapu salju tebal dan es 
		yang menutupi semua yang dapat dilihat. Dengan hilangnya segala 
		sesuatunya dan matinya ayahku, ibuku mengalami dukacita yang tak 
		terkatakan. Dan suatu hari, ketika dia sedang menangis dengan pahit, dia 
		pingsan. Walaupun banyak orang mencoba untuk menyelamatkannya, dia tetap 
		koma menunggu kematian yang segera terjadi. Kakak perempuanku dan aku 
		menggoyang-goyang ibu dalam pelukan kami sambil merasakan dukacita yang 
		tak terhingga. Kami tidak ingin meninggalkannya walau hanya sebentar. 
		Kami meratap sejadi-jadinya, berteriak, "Mama! Oh, Mama!" dan "Oh Tuhan, 
		Tuhanku! Tolong jangan biarkan Mama dalam kesengsaraan seperti ini!" Dan 
		Tuhan mendengar tangisan kami. Dia melihat penderitaan dan kepedihan 
		kami. Dia tahu bahwa hati kami hancur dan kami tidak tahu bagaimana kami 
		bisa bertahan hidup. Maka Tuhan menaruh belas kasihan kepada kami. Ibuku 
		sadar dari keadaaan komanya dan kami bisa berpelukan satu sama lain 
		dengan erat dan dengan penuh cinta lagi.
		Berjalan Melalui Lembah Bayang-bayang Kematian
Hari kedua setelah ayah meninggal, ibuku sangat sedih sekali. Dan ketika dia sedang berdoa, dia melihat tiga malaikat berpakaian putih lewat di sisinya sambil berkata, "Cepat tinggalkan tempat ini". Ibuku terkejut. Malam berikutnya, kembali kejadian itu terulang ketika dia sedang berdoa, dia melihat tiga malaikat berpakaian putih itu melewatinya dan berkata, "Cepat tinggalkan tempat ini". Ketika penglihatan itu muncul untuk ketiga kalinya pada malam berikutnya, mengertilah ibuku bahwa Tuhan sedang berbicara kepadanya. Dengan penuh iman dan ketakutan, dia segera mengumpulkan kami untuk meninggalkan tempat itu.
Hari kedua setelah ayah meninggal, ibuku sangat sedih sekali. Dan ketika dia sedang berdoa, dia melihat tiga malaikat berpakaian putih lewat di sisinya sambil berkata, "Cepat tinggalkan tempat ini". Ibuku terkejut. Malam berikutnya, kembali kejadian itu terulang ketika dia sedang berdoa, dia melihat tiga malaikat berpakaian putih itu melewatinya dan berkata, "Cepat tinggalkan tempat ini". Ketika penglihatan itu muncul untuk ketiga kalinya pada malam berikutnya, mengertilah ibuku bahwa Tuhan sedang berbicara kepadanya. Dengan penuh iman dan ketakutan, dia segera mengumpulkan kami untuk meninggalkan tempat itu.
		Melewati kegelapan malam, ibu menggandeng kami meninggalkan tempat 
		mengerikan yang mengancam jiwa kami. Kami bisa mendengar anjing menyalak 
		dengan ganas dan kami sangat ketakutan bahwa musuh akan mengejar kami. 
		Di tengah dingin yang menusuk, kakak perempuanku dan aku bergiliran 
		menggendong adik laki-laki kami yang masih kecil sambil memegangi tangan 
		adik perempuan kami yang lain. Setiap kali kami tergelincir dan jatuh, 
		kami bangun lagi. Sambil berjalan tanpa tujuan yang jelas kemana kami 
		pergi, kami berseru, "O Tuhan! Tolong Bantu kami!" kami sangat 
		kelelahan.
		Menjelang dini hari, kami telah menempuh delapan  belas kilometer dan 
		tiba di rumah Saudara Li Bao Ming. Dia adalah teman lama ayah dan 
		seorang saudara seiman yang mencintai Tuhan. Dia dengan hangat menyambut 
		keluarga kami, maka hati kami dipenuhi dengan damai dan kelegaan. Itu 
		rasanya seperti setelah berjuang melewati badai ditengah laut, lalu 
		mengalami air yang tenang dan damai.
		Kami tahu kemudian bahwa sehari setelah kami melarikan diri, tentara 
		musuh telah mengirim orang ke rumah kami untuk menangkapku dan kakakku 
		perempuan. Jika kami tidak pergi malam itu, kami pasti telah binasa. 
		Terima kasih Tuhan! PemikiranNya melampaui pemikiran kami. O Tuhan, 
		betapa mulia pemikiranMu! Aku akan memuji Engkau selamanya!
		Pada waktu itu, aku teringat kembali kata-kata ayah yang meremukkan hati 
		di dalam doanya yang terakhir sebelum eksekusi hukuman matinya. Tuhan 
		telah mendengar doanya, dan Tuhan tidak melupakan anak-anak dan 
		isterinya. Di lembah baying-bayang kematian, kami mengalami perlindungan 
		dan kepedulian Tuhan, yang mengasihi kami semua.
		Kehangatan Kasih Ibu
Aku terutama ingin bersyukur kepada Tuhan karena memberi aku seorang ibu yang mengasihi Tuhan dan bersedia menderita untukNya. Pada masa itu ketika keadaan politik kacau dan bandit-bandit ada di mana-mana, hampir mustahil untuk bepergian. Banyak orang yang baik hati melihat betapa sulit bagi ibu kami untuk mengasuh lima anak. Jadi mereka mencoba untuk membujuknya untuk menikahkan aku dan kakakku perempuan dengan orang yang berada. Saat itu keadaan sangatlah tidak menguntungkan bila kami dibawa serta karena suasana huru-hara seperti itu.
Aku terutama ingin bersyukur kepada Tuhan karena memberi aku seorang ibu yang mengasihi Tuhan dan bersedia menderita untukNya. Pada masa itu ketika keadaan politik kacau dan bandit-bandit ada di mana-mana, hampir mustahil untuk bepergian. Banyak orang yang baik hati melihat betapa sulit bagi ibu kami untuk mengasuh lima anak. Jadi mereka mencoba untuk membujuknya untuk menikahkan aku dan kakakku perempuan dengan orang yang berada. Saat itu keadaan sangatlah tidak menguntungkan bila kami dibawa serta karena suasana huru-hara seperti itu.
		Itu merupakan suatu dilemma yang sangat melukai ibuku. Namun dengan iman 
		dia berkata, "Aku telah berjalan jauh. Bagaimana mungkin meninggalkan 
		anak-anakku? Jika kami mati, kami mati bersama-sama. Aku tidak bisa 
		meninggalkan mereka". Dengan bergantung pada Tuhan untuk kuat bertahan, 
		ibu dengan kami disisinya sanggup berjalan enampuluh kilometer dalam dua 
		hari. Dia bernyanyi,
		            Jangan takut; percaya saja.
		            Jangan memandang manusia;
		            Jangan melihat keadaan.
		            Arahkanlah pandanganmu kepada Tuhan Yesus dan
		            Berjalan denganNya ke rumah surgawi.
		Aku bisa merasakan kekuatan Tuhan yang menopang ibu. Pancaran sinar di 
		dalam dirinya bersinar terang seperti matahari terbit dan sinar itu akan 
		selalu memancar dalam di dalam hatiku. Doa-doanya di waktu larut malam 
		selalu menyentuh hatiku. Aku tidak akan pernah melupakan salah satu 
		pujian kesukaan ibu, yang syairnya seperti ini:
		            Berjalan di jalan surgawi memang sulit dan susah.
		            Orang-orang salah paham, tetapi Yesus mengenal aku.
		            Bapa yang penuh kasih selalu memeluk aku.
		            Daging menderita, tetapi jiwa gembira.
		Ketika memasak, ibu memompa peniup api dan menghembusi api seolah-olah 
		dia sedang bermain akordeon. Ketika dia bernyanyi, seolah-olah ada 
		iringan musik. Dia suka menyanyikan Mazmur 34, ibu menderita banyak 
		tetapi dia masih penuh sukacita.
		Masa Kesusahan
Segera setelah itu, hidup menjadi lebih sulit lagi. Ibu membawa kami ke kota dan bekerja sebagai penjahit bayaran, untuk pekerjaan ini dia dibayar setengah kilo tepung gandum perhari dan tujuh setengah kilo kue kedelai per minggu. Aku bangun awal tiap hari untuk memotong rumput yang dijual kepada pemilik ternak. Pada malam hari, aku bekerja sebagai go - fer (tukang pres kain/kertas). Aku memberikan tiap-tiap sen yang aku dapatkan ke ibu untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Kakakku perempuan dan aku harus belajar dan bekerja. Selama tiga tahun sekolah menengah pertama, aku tidak pernah membeli buku teks, tapi aku meminjam buku-buku teman sekelasku. Aku sering menangis waktu sekolah, sebab aku lapar dan juga sebab aku harus memakai pakaian compang-camping yang membuatku dihina. Aku sangat sedih sehingga aku sering berjalan lewat lapangan olahraga sendirian untuk berdoa kepada Tuhan. Hanya dengan menumpahkan segala isi hatiku kepada Tuhan aku bisa terhibur.
Segera setelah itu, hidup menjadi lebih sulit lagi. Ibu membawa kami ke kota dan bekerja sebagai penjahit bayaran, untuk pekerjaan ini dia dibayar setengah kilo tepung gandum perhari dan tujuh setengah kilo kue kedelai per minggu. Aku bangun awal tiap hari untuk memotong rumput yang dijual kepada pemilik ternak. Pada malam hari, aku bekerja sebagai go - fer (tukang pres kain/kertas). Aku memberikan tiap-tiap sen yang aku dapatkan ke ibu untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Kakakku perempuan dan aku harus belajar dan bekerja. Selama tiga tahun sekolah menengah pertama, aku tidak pernah membeli buku teks, tapi aku meminjam buku-buku teman sekelasku. Aku sering menangis waktu sekolah, sebab aku lapar dan juga sebab aku harus memakai pakaian compang-camping yang membuatku dihina. Aku sangat sedih sehingga aku sering berjalan lewat lapangan olahraga sendirian untuk berdoa kepada Tuhan. Hanya dengan menumpahkan segala isi hatiku kepada Tuhan aku bisa terhibur.
		Kakakku perempuan diterima sekolah perawat untuk program empat tahun. 
		Ketika waktunya tiba baginya untuk berangkat, aku membawa adik 
		laki-lakiku untuk mengantarnya ke stasiun kereta api. Aku membelikannya 
		beberapa roti kismis kering untuk makan di jalan, tetapi dia 
		memberikannya kepada adik laki-laki kami sebab dia ingin memakannya. 
		Jadi dia menempuh perjalanan menuju sekolah perawat di propinsi Henan 
		dengan lapar. Dengan mata berkaca-kaca dan hati pedih aku melambai 
		selamat jalan kepadanya sampai dia hilang dari pandangan. Selama tahun 
		itu, aku sering mengalami kelaparan. Ketika kelaparan menguasaiku, aku 
		menjerit kepada Tuhan memohon pertolongan. Aku sering mengumpulkan 
		tumbuh-tumbuhan liar di ladang untuk mengisi perutku. Banyak orang 
		menghinaku karena miskin, dan pandangan mereka yang menghina dan 
		merendahkanku sering menyakiti hatiku. Sering pula aku tinggal di rumah 
		sambil menangis sebab aku tidak melihat mereka. Aku berdoa di rumah dan 
		menemukan damai dan penghiburan. Jika Tuhan tidak berada di sisiku saat 
		itu, aku telah putus asa. Tuhan adalah kekuatan hatiku !
		Dilatih Melalui Penderitaan
Aku ingat suatu kali sebuah bom ditembakkan oleh tentara Jepang mendarat tepat di sampingku. Aku terkubur oleh serpihan-serpihan bom, tetapi aku tidak terbunuh. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah memelihara hidupku.
Aku ingat suatu kali sebuah bom ditembakkan oleh tentara Jepang mendarat tepat di sampingku. Aku terkubur oleh serpihan-serpihan bom, tetapi aku tidak terbunuh. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah memelihara hidupku.
		Pada peristiwa lain, ketika aku sedang mencuci pakaian di sungai, 
		seorang tentara Jepang lewat. Tanpa alasan apapun dia menendangku dan 
		aku jatuh ke sungai. Aku tidak berani bergerak sama sekali ketika aku 
		mengapung di air dan berseru dalam hati, "O Tuhan, tolong selamatkan 
		aku." Tentara Jepang itu tertawa terbahak-bahak dan kemudian 
		meninggalkanku.
		Ada kejadian lain lagi, seorang pengkhianat datang dengan tentara Jepang 
		di waktu malam. Mereka tampak bengis ketika mau menggeledah rumah kami. 
		Ketika aku menjawab pengkhianat itu dalam bahasa Jepang, dia tersenyum 
		dan berkata, "Baiklah" lalu pergi. Sebetulnya itu adalah satu-satunya 
		kalimat Jepang yang aku tahu. Tentara Jepang datang ke rumah kami sebab 
		mereka tahu bahwa aku mempunyai  beberapa saudara laki-laki yang 
		bergabung dengan tentara perlawanan anti Jepang. Jadi mereka secara 
		tiba-tiba datang ke rumah untuk memeriksa jika saudara laki-lakiku ada 
		di rumah. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah melindungi kami.
		Tahun 1942,  aku diterima di Perguruan Tinggi Pelatihan Guru di Propinsi 
		Xuzhou. Di sana, aku bisa makan kenyang sehingga kesehatanku membaik. 
		Tetapi yang lebih penting bagiku adalah belajar dengan rajin. Aku 
		bersyukur kepada Bapa di Surga yang telah memberiku kesempatan luar 
		biasa seperti itu. O betapa aku ingin memuji NamaNYa!
		Aku tidak akan pernah lupa saat aku pindah ke asrama perguruan tinggi 
		itu. Meskipun malam itu dingin dan semua teman sekolahku telah tidur, 
		aku masih berdoa di pekarangan. "Bagaimana mungkin aku tidur, O Tuhan, 
		kalau aku tidak mempunyai selimut?" Aku menjerit. Maka aku berdiri di 
		pekarangan menantikan kemurahan hati Tuhan. Sesaat kemudian, teman 
		sekelasku, Wang Hua, yang dua tahun lebih tua dariku memanggilku masuk 
		untuk tidur. Aku berkata kepadanya bahwa aku tidak mempunyai selimut. 
		Dia berkata, "Kita bisa berbagi selimut milikku". Sejak saat itu sampai 
		kami lulus tiga tahun kemudian, dia sangat peduli kepadaku seperti 
		kepada adiknya sendiri. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan untuk hal ini. 
		Aku tahu bahwa Tuhan telah mempersiapkan seorang teman sekolah yang 
		sangat mengasihi aku.
		Di saat lain, ada  orangtua seniman yang datang ke Xuzhou. Ketika dia 
		lihat pakaian tipisku, dia seketika melepas jaketnya yang tebal dan 
		memberikannya kepadaku. Cuaca sangat dingin dan aku tidak tega 
		melihatnya menggigil. Ketika kami berpisah, air mata membasahi mataku. 
		Aku sangat menghormati kakakku. Kami besar dalam kekurangan dan 
		kesusahan, maka kami saling mengasihi dan hati kami dipersatukan.
		Sampai hari ini, dia sangat mengasihi Tuhan dan aku. Aku bersyukur 
		kepada Tuhan yang telah mengijinkan kami tumbuh bersama dalam kemah 
		pelatihan penderitaan.
		Aku lulus tahun 1945 dan pulang sehari setelah wisuda. Kepala almamater 
		mengundangku untuk mengajar disana, satu hal yang belum pernah 
		kuimpikan. Aku bersyukur kepada Tuhan untuk rahmatNya sebab pekerjaan 
		ini memberiku kesempatan untuk membiayai sekolah adik laki-lakiku dan 
		adik perempuanku. Mereka yang sebelumnya meremehkanku mendekat untuk 
		berteman denganku. Sekarang keadaan jadi lebih baik, aku merasa lebih 
		bahagia. Kebanyakan para siswa adalah orang Kristen, dan beberapa rekan 
		kerja bahkan lulus dari seminari. Kami sering berkumpul untuk beribadah, 
		berdoa dan bersekutu dan kami terus berhubungan dengan baik. Aku 
		menghormati mereka karena kehidupan rohani mereka dan perilaku yang 
		penuh kebijakan. Aku juga ingin pergi ke seminari supaya Tuhan bisa 
		memakai aku. Aku berdoa kiranya Tuhan memberi aku kesempatan itu.
		Berjalan dengan Tuhan melalui Bahaya
Selama masa itu, satu hal terjadi yang membuat aku mengalami manisnya bersama Tuhan ketika dalam bahaya. Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun 1946, itu masa yang paling meresakan di China. Perang China-Jepang baru saja berakhir dan semua orang berharap bisa bernafas lega setelah delapan tahun huru-hara. Namun, kelompok Nasionalis dan Komunis bersiap mengobarkan perang saudara. Kami mendengar bahwa di beberapa daerah, pertempuran telah terjadi dengan gencar. Tidak jauh dari rumah kami, di Utara propinsi Jiangsu, pasukan perang Komunis Pasukan Baru ke-4 dan angkatan perang Nasionalis sedang mengumpulkan kekuatan mereka. Konflik mereka makin menghebat. Walaupun kami tinggal beberapa ratus kilometer dari zona pertempuran dan tidak bisa mendengar tembakan, kami banyak mendengar desas-desus dan bermacam-macam berita tentang kubu mana yang menang, dan betapa hancurnya kubu yang lain. Semua orang ketakutan. Saudaraku ketiga dan isterinya berada di Pasukan Baru ke-4, dan kami jadi cemas mengenai nasib mereka sebab pada waktu itu, angkatan perang komunis bukanlah tandingan angkatan perang Nasionalis. Setelah konflik besar di Selatan Propinsi Anhui, Pasukan keempat secara total disusun kembali setelah kehilangan panglima mereka, Ye Ting. Pasukan telah menyusut banyak jumlahnya dan perlengkapan perang mereka juga sangat jelek. Jika mereka harus terlibat dalam pertempuran lagi, mereka pasti kalah. Pada saat itulah ketakutan kami menjadi kenyataan.
Selama masa itu, satu hal terjadi yang membuat aku mengalami manisnya bersama Tuhan ketika dalam bahaya. Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun 1946, itu masa yang paling meresakan di China. Perang China-Jepang baru saja berakhir dan semua orang berharap bisa bernafas lega setelah delapan tahun huru-hara. Namun, kelompok Nasionalis dan Komunis bersiap mengobarkan perang saudara. Kami mendengar bahwa di beberapa daerah, pertempuran telah terjadi dengan gencar. Tidak jauh dari rumah kami, di Utara propinsi Jiangsu, pasukan perang Komunis Pasukan Baru ke-4 dan angkatan perang Nasionalis sedang mengumpulkan kekuatan mereka. Konflik mereka makin menghebat. Walaupun kami tinggal beberapa ratus kilometer dari zona pertempuran dan tidak bisa mendengar tembakan, kami banyak mendengar desas-desus dan bermacam-macam berita tentang kubu mana yang menang, dan betapa hancurnya kubu yang lain. Semua orang ketakutan. Saudaraku ketiga dan isterinya berada di Pasukan Baru ke-4, dan kami jadi cemas mengenai nasib mereka sebab pada waktu itu, angkatan perang komunis bukanlah tandingan angkatan perang Nasionalis. Setelah konflik besar di Selatan Propinsi Anhui, Pasukan keempat secara total disusun kembali setelah kehilangan panglima mereka, Ye Ting. Pasukan telah menyusut banyak jumlahnya dan perlengkapan perang mereka juga sangat jelek. Jika mereka harus terlibat dalam pertempuran lagi, mereka pasti kalah. Pada saat itulah ketakutan kami menjadi kenyataan.
		Ada pertengahan Desember 1946, aku dengan tak terduga-duga menerima 
		sebuah surat dari wilayah Siyang di propinsi Jiangsu. Kami tidak punya 
		keluarga di Siyang. Dari siapa surat ini? Karena tentara Komunis dan 
		Nasionalis sedang bertempur di wilayah Siyang, aku kira itu pasti berita 
		dari saudara laki-lakiku ketiga. Dengan tergesa-gesa aku membuka amplop 
		dan menemukan surat tulisan tangan yang tidak umum tetapi bagus yang 
		menandakan bahwa surat itu ditulis oleh seorang perempuan:
Yth. Adik Perempuanku,
Aku telah ditangkap dan di penjara di kam 
		tahanan Siyang. 
Kamu tahu bahwa aku tidak bersalah. 
		
		Siang hari, aku menceritakan kepada keluargaku tentang keadaan sulit 
		saudara ipar perempuanku. Seluruh keluarga terkejut dan susah. Aku 
		bilang sama mereka bahwa kami harus pergi dan menyelamatkan saudara ipar 
		perempuanku. Aku pikir Tuhan ingin kami mencintai orang lain; kami tidak 
		bisa berpangku tangan ketika seseorang berada dalam bahaya.
		Aku menemui kepala sekolah, seorang saudari seiman, sore itu juga. 
		Setelah mendengarkan permintaanku untuk cuti, dia berada dalam situasi 
		sulit. Akhir masa sekolah dekat dan sekolah pada kondisi yang paling 
		sibuk. Kami sedang menyiapkan ujian akhir, memeriksa pekerjaan siswa dan 
		membuat rapor. Lagipula, tidak ada orang yang dapat menggantikan aku, 
		sebab kami kekurangan tenaga pengajar. Terlebih lagi, kepala sekolah 
		juga sangat kuatir akan keselamatanku. Setelah berpikir beberapa saat, 
		dia berkata, "Bukan saja aku akan kesulitan tanpa kamu di sekolah, 
		tetapi aku juga kuatir akan bahaya yang akan kamu hadapi. Sebagai 
		pemudi, bagaimana kamu bisa melewati garis pertempuran dengan selamat? 
		Lagi pula, sekalipun kamu bisa menolong saudari ipar perempuanmu, dimana 
		kamu akan menampungnya? Dia adalah Komunis, dan jika perempuan menemukan 
		bahwa kamu sedang menyembunyikannya di suatu tempat, kamu akan 
		menghadapi hukuman mati. Kita adalah sekolah Kristen. Jadi, kita harus 
		menghindar terlibat dalam politik."
		Ketika dia selesai bicara, aku berkata, "Apapun dia, Komunis atau 
		Nasionalis, dia adalah  saudari ipar perempuanku dan hidupnya dalam 
		bahaya. Bagaimana mungkin aku berpangku tangan melihat dia mati? Aku 
		tidak bisa membiarkannya mati. Aku harus pergi."
		Kepala sekolah mengerutkan dahi, "Jika kamu berkeras pergi, apa jadinya 
		dengan pekerjaanmu di sekolah? Bagaimana kita menghadapi ujian akhir? 
		Siapa yang akan menggantikan kelasmu?"
		Aku mengalami dilemma, namun aku tidak bisa membiarkan saudari ipar 
		perempuanku mati. Maka aku menjawab, "Aku tahu bahwa aku sudah membuat 
		sekolah berada dalam situasi sulit, tetapi hidup seseorang menjadi 
		taruhan."
		Ada keheningan yang lama. Menyadari bahwa aku tidak bisa dibujuk, kepala 
		sekolah akhirnya berkata, "Jika kamu bersikeras, konsekuensinya bisa 
		gawat."
		Demi saudari ipar perempuanku, aku telah membuat keputusan untuk 
		berangkat ke Siyang, apapun resikonya. Ketika mendengar kata-kata kepala 
		sekolah, aku sadar bahwa jika keputusanku untuk pergi membuat aku tak 
		boleh mengajar lagi, aku bisa mengundurkan diri. Sebaliknya aku tidak 
		mau membiarkan saudari ipar perempuanku demi kepentinganku sendiri. 
		Kepala sekolah tetap diam dan kembali ke kantornya.
		Semua saudara seiman di gereja dan juga para rekan kerjaku keberatan 
		atas kepergianku. Mereka kuatir akan keselamatanku karena gencarnya 
		perang yang sedang berlangsung di Siyang. Tetapi keputusanku sudah 
		bulat.
		Hanya setelah itu aku baru tahu bahwa permusuhan antara Pasukan Baru 
		ke-4 Komunis dan tentara Nasionalis telah menjadi peperangan yang 
		sesungguhnya. Kubu Nasionalis telah mengerahkan pasukannya untuk 
		mengepung kekuatan Komunis dan mengalahkan mereka di tepi Danau Hongze. 
		Strategi Komunis adalah mundur ke Utara untuk menggabungkan diri dengan 
		Pasukan ke-8 di Selatan dan pusat Propinsi Shandong. Ketika kubu 
		Nasionalis mengetahui rencana ini, mereka sangat cemas. Pemimpin pasukan 
		berpikir jika Pasukan Baru ke-4 berhasil menyeberangi Jaringan Kereta 
		Api Longhai, kubu Nasionalis ingin "melepaskan harimau kembali ke 
		bukit." Oleh karena itu, pemimpin Xuzhou diperintahkan untuk menghalangi 
		kubu komunis dengan segala cara, agar tetap membuat mereka berada di 
		sebelah Tenggara Jaringan Kereta Api Longhai. Begitulah keganassan dan 
		kekejaman perang.
		Pasukan dimana kakak dan saudari ipar perempuanku bergabung diburu oleh 
		tentara Nasionalis ketika mundur ke Utara. Kakakku dan yang lain 
		berhasil menyeberangi sungai sehingga terhindar dari kepungan musuh, 
		tetapi saudari ipar perempuanku berada di antara mereka yang dihadang di 
		sebelah Selatan tepi sungai dan tertawan. Beruntung dia tidak pernah 
		mengungkapkan identitasnya. Ketika dia ditangkap, dia berpakaian sipil 
		dan ngotot bahwa dia hanya mengunjungi keluarganya. Maka dia ditahan, 
		menunggu anggota keluarganya untuk mengeluarkannya.
		Sendiri di Jalan
Aku bersiap untuk membebaskan saudari ipar perempuanku sehari setelah aku menerima suratnya. Siyang berjarak beberapa ratus kilometer dari kota kami, dan transportasi terganggu karena peperangan. Satu-satunya rute yang bisa aku tempuh adalah lewat Xuzhou, lalu melalui Suining dan Suqdian ke Siyang, yang berarti aku harus berjalan memutar cukup jauh kebanyakan jalur berada di perbatasan propinsi Jiangsu Shandong dan Anhui. Aku tidak punya banyak uang. Di sekolah, kami tidak dibayar dengan uang tunai. Sebagai gantinya, tiap guru mendapat sepuluh atau duapuluh dolar, aku segera berangkat.
Aku bersiap untuk membebaskan saudari ipar perempuanku sehari setelah aku menerima suratnya. Siyang berjarak beberapa ratus kilometer dari kota kami, dan transportasi terganggu karena peperangan. Satu-satunya rute yang bisa aku tempuh adalah lewat Xuzhou, lalu melalui Suining dan Suqdian ke Siyang, yang berarti aku harus berjalan memutar cukup jauh kebanyakan jalur berada di perbatasan propinsi Jiangsu Shandong dan Anhui. Aku tidak punya banyak uang. Di sekolah, kami tidak dibayar dengan uang tunai. Sebagai gantinya, tiap guru mendapat sepuluh atau duapuluh dolar, aku segera berangkat.
		Aku membawa tas kainku dimana aku menaruh Alkitabku. Anda dapat 
		membayangkan betapa berbahayanya bagi seorang perempuan yang berumur 
		duapuluh tahun untuk bepergian sendiri melalui medan perang pada waktu 
		itu. Yang dapat aku lakukan hanyalah menyerahkan segalanya ke dalam 
		tangan Bapa yang Mahakuasa, berdoa kepadaNya untuk membuka jalan 
		untukku.
		Sebab peperangan masih belum menyebar ke bagian Timur, jalur lintas - 
		sungai Api Jimpu masih dibuka. Karena itu aku bisa pergi ke Xuzhou 
		dengan lancer. Tetapi aku tidak punya banyak uang sisa setelah membeli 
		karcis kereta. Ketika kereta berangkat, aku melihat pemandangan yang 
		suram lewat jendela. Tidak ada apapun kecuali Lumpur kuning dimana-mana. 
		Aku bertanya-tanya seperti apa akhir tujuanku nanti, seraya aku berdoa 
		kepada Tuhan di dalam hati. Aku tahu bahwa Dia adalah Juru Selamat 
		Mahakuasa kami dan akan memimpin aku, apakah melalui nyala api atau air 
		yang dalam, seperti tertulis di Yesaya 43:1-3.
		Tetapi sekarang beginilah firman Tuhan," yang menciptakan engkau, hai 
		Yakub, yang membentuk engkau dengan namamu, engkau ini kepunyanKu. 
		Apabila engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui 
		api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar 
		engkau. Sebab Akulah TUHAN,  Allahmu,  Yang Mahakudus,  Allah Israel,  
		Juru selamatmu. Aku menebus engkau dari Mesir, dan memberikan Etiopia 
		dan Syeba sebagai gantimu."
		Aku turun kereta di Xuzhou ke dalam kenyataan perang. Baru satu tahun 
		yang lalu aku belajar di sini, tapi perubahan kota ini begitu 
		mengejutkan. Suasana di jalan suram dan tegang. Kebanyakan toko telah 
		tutup, dan sedikit yang masih buka sudah setengah kosong. Namun, di 
		tempat itu banyak tentara. Sejak zaman dahulu, Xuzhou adalah pusat 
		transportasi untuk lima propinsi dan dikenal sebagai kota yang ramai dan 
		damai. Karena alasan itulah, kota ini menjadi perebutan sebagai tempat 
		strategis militer. Kini kota itu lebih dari sekedar kemah tentara, tapi 
		juga menjadi Kantor Pusat Kendali Bandit Nasionalis China. Seluruh tanah 
		nampak menyemburkan bau busuk pembantaian brutal, menakut-nakuti orang 
		untuk lewat.
		Aku berjalan mengelilingi jalan utama, berusaha mencari tahu bagaimana 
		cara menuju ke Siyang. Aku diberitahu bahwa semua bentuk transportasi 
		sipil telah dihentikan dan tidak akan mungkin jalan lagi. Lebih penting 
		lagi, dengan pecahnya perang, wilayah ini telah menjadi suatu zona 
		militer, terbatas hanya untuk pejabat yang berwenang. Aku percaya Tuhan 
		pasti membuka jalan keluar untukku. Maka aku mendekati mereka yang 
		berseragam tentara untuk menjajagi rencana apa yang kubuat.
		Seorang prajurit melihat aku dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan?"
		"Aku seorang guru," Aku menjawab.
		"Seorang guru?"Dia melihatku dan bertanya, "Mau kemana kamu?"
		Aku menceritakan kepadanya bahwa aku ingin pergi ke Siyang.
		"Siyang?" Memandang aku dengan curiga, dia bertanya, "Buat apa?"
		Aku memberitahu dia bahwa aku punya urusan untuk aku hadiri. Ini membuat 
		dia lebih curiga lagi. Dia mulai mempertanyakan Bisnis apa? Darimana 
		asalku? Dimana rumahku? Agar memeperoleh simpati dan kepercayaannya, aku 
		memberi tahu dia bahwa kakak sulungku adalah seorang pemimpin resimen di 
		Tentara Nasionalis ke-46, baru setelah itu dia melunak sedikit.
		Dengan sikap yang berubah ini, aku mencoba untuk membuat beberapa 
		permintaan. Aku meminta, "Karena tidak ada transportasi sipil, bolehkah 
		aku pergi bersama kalian?"
		Dia sedikit terkejut. Barangkali dia merasa permintaanku agak 
		berlebihan. Barangkali dia kaget karena kemantapanku. Setelah berpikir, 
		dia berkata, "Itu sangat berbahaya. Tetapi jika kamu tidak takut, kami 
		dapat minta ijin kepada Tentara."
		Setelah pengaturan dibuat, aku berangkat dengan mereka. Pasukan mereka 
		menuju ke arah Selatan daerah Siyang dan oleh karena itu akan lewat kota 
		Siyang. Truk tentara yang aku tumpangi keluar dari gerbang Timur Xuzhou 
		dan bergegas ke arah Tenggara. Katanya ini adalah jalur pelarian Xiang 
		Yu dan Liu Bang setelah kalah perang di Xuzhou dekat Bukit Sembilan- 
		Mil. Berdiri di truk tentara, aku dikelilingi oleh tentara yang berwajah 
		suram. Tidak lama setelah meninggalkan Xuzhou, kami mendengar tembakan 
		dari sebelah kanan dan kiri, yang terdengar makin gencar ketika kami 
		jalan terus. Dalam waktu singkat, kami sudah berada di tengah kancah 
		pertempuran, dan peluru berdesingan di atas kepala kami seperti kawanan 
		belalang. Seolah-olah ada petasan besar meletus terus-menerus di sekitar 
		kami. Aku ketakutan, dan bahkan para tentara gelisah. Aku pikir jika aku 
		harus mati disini, keluargaku tidak akan tahu. Dan apa yang akan terjadi 
		pada saudari ipar perempuanku? Siapa yang akan pergi ke kamp tahanan 
		untuk menyelamatkannya? Aku tahu bahwa pada saat seperti ini, hampir 
		tidak ada orang yang peduli kalau ada beberapa orang lagi yang mati. 
		Sedang peluru berseliweran di sekelilingku, aku berseru kepada Tuhan. 
		Dia perlahan menenangkan aku dan membantu aku untuk percaya bahwa tak 
		peduli bagaimanapun sulit keadaan, tidak akan ada bahaya yang akan 
		menimpaku.
		Saat truk melaju terus, sebuah perintah telah dikeluarkan dari garis 
		depan, agar kami berhenti dan menunggu perintah selanjutnya. Truk kami 
		berhenti. Kemudian, kami jalan lagi dan harus berhenti lagi. Karena 
		banyak berhenti di sepanjang jalan, saat kami mencapai Siyang hari sudah 
		senja. Setelah meninggalkan Xuzhou pagi-pagi benar, kami telah menempuh 
		perjalanan hampir sehari penuh dalam kedinginan, tanpa setetes airpun 
		yang kami minum, apalagi makanan untuk dimakan. Tapi aku tetap berterima 
		kasih dan memuji Tuhan. Dia telah dengan ajaib membawa aku melalui 
		daerah terlarang yang mustahil aku lewati meski seandainya aku punya 
		sayap!
		Ketika malam tiba, aku sudah berjalan di sepanjang jalan kota Siyang. 
		Aku tidak mengenal seorangpun. Yang membuatku lebih kuatir adalah bahwa 
		aku belum pernah bertemu dengan saudari iparku sebelumnya. Berkat alamat 
		yang dia kirimkan padaku, akhirnya aku menemukan tempat dimana dia 
		ditahan, setelah melihat surat jalanku, penjaga menanyaiku, "Apa 
		hubunganmu dengan Zhang Zhi". Baru saat itu aku tahu bahwa saudari 
		iparku dipanggil Zhang Zhi. Maka aku menjawab, "Zhang Zhi adalah saudara 
		ipar perempuanku." Lalu aku berkata lagi, "Aku tidak mengerti mengapa 
		dia ditahan, tetapi dia menulis surat kepadaku untuk mengeluarkannya."
		"Baiklah," kata mereka. "Tunggu di sini."
		Lebih dari setengah jam berlalu ketika mereka keluar tidak dengan satu 
		wanita tapi empat. Aku kaget. Mereka semua umurnya kurang lebih sama dan 
		berpakaian hampir sama juga. Mana saudara ipar perempuanku? Aku tahu 
		mereka sedang mengujiku. Jika aku memilih orang yang salah, bukan hanya 
		saudara ipar perempuanku yang akan ada dalam bahaya tetapi juga diriku. 
		Dalam kepanikan, aku berseru kepada Tuhan untuk menolongku tenang 
		melewati masa krisis itu.
		Ketika aku berdiri disana, kehilangan pikiran, tiba-tiba salah satu dari 
		para wanita itu berseru, "Saudariku, kamu telah datang!" dia nampak 
		sangat bahagia. Hatiku juga melompat kegirangan. Ini pasti saudara ipar 
		perempuanku! Betapa pandainya dia! Memandanginya dengan seksama dari 
		atas sampai bawah, aku lihat bahwa dia seumurku dan sangat cantik. Aku 
		pikir, apa yang sebaiknya aku katakan?
		Untuk melepaskan ketegangan, aku menarik nafas dan berkata, "Ya Tuhan! 
		Aku hampir terbunuh untuk bisa ke sini! Seandainya saja aku tidak 
		mendapat tumpangan tentara, aku pasti tidak akan pernah bisa sampai ke 
		sini, walau dengan sayap!" aku berpura-pura marah dan menyemprot dia, 
		"Ada apa dengan kamu? Apa saja yang telah kamu lakukan, berkeliaran 
		dalam keadaan berbahaya?"
		Setelah itu, pengawal memeriksaku lagi, menanyakan dari propinsi mana 
		asalku, profesiku, anggota keluargaku, hubungan sosialku, dan 
		seterusnya. Aku tahu ini adalah prosedur rutin, maka aku mengatakan 
		fakta saja. Aku beritahu mereka bahwa aku adalah seorang guru pada 
		sekolah misionaris dan bahwa aku adalah orang Kristen. Untuk meyakinkan 
		mereka, aku sengaja menceritakan kepada mereka bahwa kakak sulungku 
		adalah seorang pemimpin resimen di Pasukan Nasionalis ke-46. Baru 
		kemudian aku tahu bahwa Pasukan ke-46 ditempatkan didekat situ. Cara ini 
		sangatlah untuk membebaskan saudara ipar perempuanku. Aku juga 
		mengatakan bahwa aku mempunyai seorang kemenakan di Xuzhou, juga seorang 
		tentara Nasionalis, agar memperkuat kredibilitas keluarga kami. Benar 
		juga, mereka menjadi sangat ramah bahwa mereka tidak mencegahku untuk 
		berbicara dengan saudara ipar perempuanku. Bahkan mereka mulai bertanya 
		aku lulusan dari mana. Ketika aku beritahu mereka aku lulus dari 
		Perguruan Tinggi Guru Propinsi di Xuzhou tahun 1945, mereka mulai 
		bercakap-cakap mengenai siapa kepalanya dan siapa guru-guru perguruan 
		tinggi itu dan sebagainya.
		Dalam proses tanya jawab itu, seorang pemuda yang tampaknya seorang 
		petugas masuk. Dia langsung menyapaku. "Kamu dari Perguruan Tinggi Guru 
		Propinsi? Apa yang kamu lakukan disini?" Dia juga kebetulan lulusan 
		Perguruan Tinggi Propinsi, satu tahun kakak tingkatku. Secara alami, aku 
		sangat gembira bertemu teman sekolah lama. Aku pikir perencanaan Tuhan 
		benar-benar mengagumkan! Kedatangan orang ini jadi kartu kemenanganku. 
		Kesaksianku jadi terbukti. Pengawal menghentikan  tanya jawab mereka dan 
		menyuruhku untuk beristirahat supaya mereka bisa membicarakan kasusku 
		lebih lanjut. Aku merasa lega. Ketika mereka kembali, mereka menyuruhku 
		mengisi beberapa formulir sesuai prosedur. Aku harus mencatatkan latar 
		belakang  keluargaku dan menjelaskan mengapa aku bertindak sebagai 
		penjamin untuk saudara ipar perempuanku. Setelah dua hari tinjauan 
		ulang, permintaan jaminanku disetujui.
		Ketika aku menerima berita pembebasan saudara ipar perempuanku, aku 
		diliputi rasa syukur karena dia telah luput dari kematian. Tapi baru 
		saja aku menemani saudara ipar perempuanku keluar dari gedung penjara, 
		sesuatu yang menarik terjadi. Salah satu dari para tentara itu berkata 
		kepadaku, "Karena kami sudah menyerahkan dia kepadamu, tidakkah 
		seharusnya kamu berterima kasih kepada kami ?" Menurut kebiasaan orang 
		China, "Terima kasih" dapat berarti banyak. Walaupun aku muda, aku 
		memahami maksudnya. Aku merasa kepepet sebab aku tinggal punya sedikit 
		uang. Jika aku memberikan apa yang kupunya, kami tidak akan punya ongkos 
		pulang. Tetapi supaya segera dapat pergi secepat mungkin, aku tidak 
		ragu-ragu. Ketika aku memberikan semua uangku, aku berseru kepada Tuhan 
		di dalam hati, "O Tuhan, aku menyerahkan segalanya kepadaMu. Sama 
		seperti Engkau sudah memimpinku menuju ke tempat ini, aku percaya Engkau 
		dapat membawa kami pulang dengan selamat."
		Ketika kami meninggalkan pusat penahanan tanpa uang sepeserpun, aku 
		bingung bagaimana aku dapat pulang. Yang pasti kami harus meningalkan 
		tempat ini secepat mungkin. Tidak ada angkutan umum dan kami tidak 
		menyewa kendaraan pribadi. Sejenak kemudian, aku bertemu teman sekolahku 
		dari Perguruan Tinggi Guru Propinsi itu lagi. Ketika aku utarakan 
		kesulitanku kepadanya, dia mengejutkan dengan mengatakan, "Tenang! 
		Serahkan semua kepadaku. Aku akan mengatur agar kalian bisa pergi dari 
		sini secepat mungkin."
		Dia datang mencariku pagi berikutnya. Secara kebetulan, sebuah truk 
		tentara menuju Xuzhou sedang melintas, dan sopirnya adalah teman 
		baiknya. Teman sekolahku menyuruhku naik truk itu dan berkata, "Tidak 
		ada waktu untuk bicara lagi sekarang. Naiklah ke truk dan pulang. Itu 
		yang terpenting!" Pagi itu  cuaca bagus tetapi sangat dingin karena 
		musim dingin. Saudara ipar perempuanku dan aku duduk di truk dan 
		memandangi dinding kota Siyang yang disaput sinar matahari. Kami tahu 
		bahwa kami akhirnya menuju ke rumah.
		Menoleh ke belakang, aku mengingat itu sebagai cobaan berat. Sepanjang 
		perjalanan sejauh 50 kilometer, kami tidak punya apapun untuk dimakan 
		atau diminum dan hanya sedikit pakaian untuk tetap membuat kami hangat 
		dari udara dingin. Kami menuju ke rumah dari Xuzhou dengan berbaring di 
		atas tumpukan batubara di dalam kereta muatan, kedinginan setengah mati 
		karena tiupan angin ketika kereta bergerak maju. Tapi aku bersyukur 
		kepada Tuhan sebab aku tahu bahwa Dia melatihku melalui masa sulit ini 
		untuk mempunyai hati yang siap untuk menderita.
		Semua orang sangat gembira ketika kami tiba di rumah. Walaupun 
		saudara-saudara seiman di gereja mengeluh bahwa aku terlalu berani 
		mengambil resiko, mereka senang bahwa aku telah kembali dengan selamat. 
		Ujian akhir telah selesai dan setelah itu masa mengoreksi pekerjaan 
		siswa. Setelah membantu saudara ipar perempuanku dapat tempat, aku 
		memutuskan untuk mampir ke sekolah. Dengan hati berdebar, aku memasuki 
		halaman sekolah, berharap kepala sekolah menerimaku lagi.
		Tapi ketika dia melihat aku, dia hanya berkata satu hal: "Ini saat yang 
		baik bagimu untuk mengoreksi."
		Keluargaku tinggal di kota kecil, maka semua tetangga kami tahu bahwa 
		kami menampung seorang komunis di rumah kami. Beberapa orang khawatir 
		bahwa rahasia ini mungkin tersebar, tetapi keluargaku dan aku bertekad 
		untuk melindungi saudara ipar perempuanku, apapun resikonya. Kami tidak 
		sadar bahwa sesuatu akan terjadi yang benar-benar mengubah rencana kami 
		kemudian.
		Tak lama setelah aku menyelesaikan semua koreksi dan penilaian, sebuah 
		surat dari saudaraku ketiga tiba. Surat itu dibawa dari Tengkian, 
		Propinsi Shandong, oleh seorang kurir yang mengetuk pintu kami pada 
		malam hari dan segera pergi.  Saudaraku tidak tahu bahwa aku telah 
		membawa pulang istrinya. Didalam suratnya, dia menyuruhku pergi ke 
		Siyang segera untuk mengeluarkan istrinya dan menemaninya ke Tengxian. 
		Aku harus menghubungi Pendeta Li Zai Dao dari Gereja Tengxian ketika aku 
		tiba. Pendeta Li adalah teman sekelas pendeta kami di Huabel Seminari 
		dan seorang yang bertanggungjawab. Hari berikutnya, aku berangkat dengan 
		saudara ipar perempuanku, dengan hanya membawa tas kain yang berisi 
		alkitabku.
		Tak Satu Kokokan Ayampun Sejauh Seribu Mil
Kami pergi Xuzhou dulu, kemudian ke utara ke Lincheng. Jaringan kereta api Lincheng adalah pusat gerilya melawan Jepang. Baru setelah tiba di Lincheng kami tahu bahwa semua jalan kereta api menuju utara telah ditutup sebab pasukan komunis telah berkemah di sana. Sebuah wilayah sekitar 80 mil antara Lincheng dan Tengxian telah ditunjuk sebagai zona gencatan senjatan untuk kedua kubu. Dengan kata lain, kami harus lebih dulu berjalan ke seberang ke Tengxian. Cuaca waktu sangat dingin di bulan yang ke-12 tahun kabisat, setelah titik balik matahari musim dingin. Malam tiba lebih cepat ketika kami terseok maju.
Kami pergi Xuzhou dulu, kemudian ke utara ke Lincheng. Jaringan kereta api Lincheng adalah pusat gerilya melawan Jepang. Baru setelah tiba di Lincheng kami tahu bahwa semua jalan kereta api menuju utara telah ditutup sebab pasukan komunis telah berkemah di sana. Sebuah wilayah sekitar 80 mil antara Lincheng dan Tengxian telah ditunjuk sebagai zona gencatan senjatan untuk kedua kubu. Dengan kata lain, kami harus lebih dulu berjalan ke seberang ke Tengxian. Cuaca waktu sangat dingin di bulan yang ke-12 tahun kabisat, setelah titik balik matahari musim dingin. Malam tiba lebih cepat ketika kami terseok maju.
		Seolah-olah kami memasuki wilayah yang tak berpenghuni. Kami tidak 
		melihat satu orangpun sepanjang hari. Seperti tertulis dalam buku-buku 
		kuno, pada waktu peperangan, tidak satu kokokan ayampun dapat terdengar 
		dalam 1000 mil di tengah padang. Kami mengalami keadaan sedih yang sama. 
		Kami tidak melihat satu tentarapun, tetapi kami kadang-kadang mendengar 
		tembakan tidak jauh dari kami. Bahkan kadang-kadang tembakan melintasi 
		kepala kami! Ketika berjalan aku berkata kepada saudara ipar 
		perempuanku, "Kita harus berdoa kepada Tuhan. Kalau saja Dia tidak 
		menyelamatkan kamu, kamu pasti tidak akan keluar dari kamp tahanan. 
		Sekarang, kita harus memohon Dia untuk memimpin kita jalan terus." Maka 
		kami berdoa sambil berjalan. Dan akhirnya, kami tiba di Tengxian tengah 
		malam.
		Pendeta Li Zai Dao menerima kami dengan ramah. Saudara ipar perempuanku 
		hampir tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya berada kembali di 
		wilayah kubu komunis. Pagi berikutnya, ketika dia menuju aula panitia 
		daerah komunis, dia melihat suaminya keluar dari gedung yang sama. 
		Kakakku tertegun ketika mendengar istrinya memanggil namanya. Dia 
		berdiri, bergumam berulang kali, "Aku tidak bermimpi, bukan?"
		Aku baru tinggal sehari di Tengxian ketika kakakku berkata kepadaku, 
		"Ini bukanlah tempat bagimu untuk tinggal lama. Pasukan kami akan segera 
		mundur. Pergilah secepat mungkin." Pagi berikutnya kakakku mengirim 
		ajudannya untuk mengantarku pulang. Kami mengambil jalur yang sama 
		ketika aku datang. Lagi, tak seorangpun terlihat di sepanjang jalan. 
		Setelah hampir 20 mil, ajudan itu nampaknya merasakan sesuatu dan tidak 
		jalan lebih jauh. Dia berkata, "Terlalu berbahaya di depan! Aku tidak 
		bisa menemani kamu lagi. Kamu harus melanjutkan perjalanan sendiri." 
		Setelah berkata demikian, dia berbalik dan meninggalkan aku - seorang 
		wanita muda tanpa perlindungan apapun - seorang diri di jalan! Terlebih 
		lagi hari mulai gelap. Aku memohon kepada Tuhan, "O Tuhan, tolong 
		selamatkan aku!"
		Lalu aku melihat suatu cahaya yang samara berkedip di kejauhan. Aku 
		pikir itu mungkin Lincheng. Aku menuju ke arah cahaya itu, sambil berdoa 
		ketika berjalan. "O Tuhan, tolong jangan sampai aku bertemu bandit atau 
		binatang buas," Aku berseru. "Tolong bawa aku dengan aman ke Lincheng. 
		"Sekitar 2,5 km dari Lincheng, beberapa orang melompat dari kegelapan. 
		Kelihatannya, mereka adalah tentara Nasionalis yang sedang bertugas 
		jaga. Mereka mulai menanyai aku: Darimana asalku? Kemana tujuanku? 
		Mengapa aku masih di jalan pada malam hari? Aku sangat tenang. Aku 
		beritahu mereka bahwa aku dalam perjalanan pulang, dan aku perlihatkan 
		bahwa aku tidak mempunyai apapun kecuali Alkitab. Mereka melihat di 
		dalam tas kainku dan cepat-cepat menyuruhku pergi.
		Baru setelah tiba di Lincheng aku menyadari bahwa walaupun ini adalah 
		kota yang cukup besar, tak seorang penduduk sipilpun kelihatan. Jalanan 
		dipenuhi dengan pasukan. Dengan cemas, aku berpikir dimana aku akan 
		bermalam. Aku mulai berseru kepada Tuhan. Selagi berdoa, aku melihat 
		seorang laki-laki tua berjalan melewatiku. Aku mengejar dia dan 
		berteriak, "Tuan, dimana aku dapat menemukan penginapan?"
		Sambil memperhatikan aku, dia menjawab, "Kamu mencari penginapan? Aku 
		tidak melihat seorang penduduk sipilpun. Apakah kamu lihat?"
		"Anda benar," kataku. Tetapi aku ingin suatu tempat untuk tinggal 
		bermalam.
		Dia berpikir sebentar dan berkata, "Pada saat seperti ini, dimana kamu 
		dapat menemukan penginapan untuk bermalam?"
		"Tempat apapun tidak masalah. Aku hanya perlu beristirahat," kataku.
		Laki-laki tua yang baik hati itu menjawab, "Tampaknya kamu harus 
		menginap di rumahku."
		'Rumah' orang tua itu adalah suatu gubuk jerami yang hampir rubuh. Hanya 
		ada satu ranjang. Setelah menyalakan lampu minyak tanah dia berkata, "Di 
		belakang pintu, ada rumput kering yang dapat kamu pakai sebagai alas 
		tidur." Sambil berbicara dia memberiku selimut koyak. Aku duduk diatas 
		tumpukan rumput kering, meringkukkan kakiku dan menutupi diriku sampai 
		di atas kepala dengan selimut tidur yang koyak.
		Di tengah malam, terdengar gedoran pintu yang keras sekali. Orang tua 
		itu melompat dari tempat tidur membuka pintu. Enam atau tujuh tentara 
		masuk, bertanya jika ada orang yang telah datang ke rumahnya. "Tidak 
		ada!" jawabnya. Mereka berkata jika mereka mendapati seseorang menginap 
		di rumahnya, dia akan dapat masalah besar. Malam itu juga, tentara 
		memeriksa rumah itu tiga kali. Karena kecilnya gubuk, tentara menginjak 
		kakiku setiap mereka melangkah masuk rumah. Namun aku tidak ketahuan. 
		Aku bersyukur kepada Tuhan karena aku tahu Dialah yang membutakan mata 
		mereka sehingga mereka tidak menemukanku, bahkan waktu mereka berdiri 
		tepat di sampingku. Karena aku tidak ingin membahayakan orang tua itu, 
		aku berkata, "Biarlah aku pergi kalau tidak aku akan mencelakakan anda."
		"Tentu tidak!" dia menjawab. "Kamu ini seorang perempuan! Jika mereka 
		menangkapmu, kamu akan hancur!"
		Waktu itu hampir Festival Musim Semi (Tahun Baru China) ketika aku tiba 
		di rumah. Terbaring di tempat tidur, sesekali mendengar bunyi kembang 
		api, dan mengenang peristiwa beberapa hari yang lalu, aku merasa 
		seolah-olah semua ini adalah mimpi. Aku berpikir, "Jikalau bukan karena 
		perlindungan Tuhan, aku tidak tahu ada dimana aku sekarang!" Maka aku 
		bertekad untuk mencintai Tuhan lebih dalam lagi, sama halnya Dia telah 
		menunjukkan kasihNya kepadaku.
		Tahun 1947, selama perang saudara antara kubu Nasionalis dan Komunis, 
		suatu kali aku menyembunyikan siswaku di suatu ruang. Sebuah bom 
		mendarat di sebuah rumah tidak jauh dari kakiku terluka oleh pecahan 
		bom. Banyak yang lain juga terluka. Namun Tuhan berbelas kasihan padaku 
		sehingga aku sembuh dengan cepat setelah operasi untuk mengeluarkan 
		pecahan bom itu. Aku bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkanku 
		dari kematian.
		Aku Bersukacita
Pada akhir tahun 1948, China telah merdeka. Aku tidak ingin terus mengajar sebab aku ingin memusatkan diri pada Tuhan. Tuhan mengabulkan keinginanku tahun berikutnya, dengan memberiku kesempatan untuk masuk Seminari Teologi China.
Pada akhir tahun 1948, China telah merdeka. Aku tidak ingin terus mengajar sebab aku ingin memusatkan diri pada Tuhan. Tuhan mengabulkan keinginanku tahun berikutnya, dengan memberiku kesempatan untuk masuk Seminari Teologi China.
		Dalam masa keributan yang baru, tidak ada orang bisa bepergian tanpa 
		surat rekomendasi atau surat ijin jalan. Jalan kereta api dekat rumahku 
		ditutup, maka aku tidak punya pilihan lain kecuali berjalan sejauh 90 km 
		dalam waktu 2 hari ke Bangbu. Dari sana, aku naik kereta ke Nanjing, 
		dimana aku menginap di rumah kakak perempuanku. Tak lama kemudian, 
		melalui rekomendasi Pendeta Xie, aku masuk seminari itu. Aku bersuka 
		cita seolah-olah aku masuk surga dan bumi yang baru!
		Seolah-olah tiap buluh rumput dan tiap tanaman di seminari membangkitkan 
		semangatku untuk melayani Tuhan. Aku merasakan teman-teman sekolahku 
		ramah dan memiliki kualitas yang mengagumkan. Dalam waktu tiga tahun, 
		aku mempelajari suatu kebenaran dan hidupku diperbaharui.  Namun, aku 
		belum merasa puas sama sekali. Aku berusaha keras untuk mengejar Yesus 
		Kristus dengan semua kekuatanku sehingga aku dapat memilikiNya.
		Selama di seminari, aku menawarkan diri untuk pergi ke rumah sakit lepra 
		tiap minggu untuk memimpin kebaktian Minggu. Banyak teman di Seminari 
		yang tidak mau pergi sebab penampilan pasien lepra menakutkan mereka. 
		Tetapi aku tidak takut. Para pasien ini tinggal di kaki bukit dan mereka 
		memaksa tubub-tubuh sakit mereka dengan cara apapun untuk bisa sampai ke 
		gereja di puncak bukit untuk berbakti. Kapan saja mereka melihat kami 
		datang, mereka menyambut seolah-olah Tuhan sendiri yang datang kepada 
		mereka. Setiap kali, aku terharu meneteskan air mata. Tuhan menarik aku 
		semakin dekatNya dan memberi aku rasa belas kasihan dan cinta lebih 
		dalam untuk mereka. Sesungguhnya, aku merasa bahwa bukanlah aku yang 
		menolong mereka, tetapi merekalah yang membantu aku mencintai Tuhan 
		lebih dalam. Sayangnya, ketika pemerintah mengambil alih manajemen rumah 
		sakit lepra, aku tidak bisa lagi mengunjungi mereka.
		Aku terutama teringat kepada seorang guru dari Inggris di Seminari itu. 
		Dia adalah seorang hamba Tuhan yang setia dan mewujudkan gambar Kristus 
		di dalam hidupnya. Kuasa Tuhan dan hikmat ada pada dirinya hingga tiap 
		kali bertemu dengannya aku mendapat pengajaran dari Tuhan. Aku 
		mengantarkannya di stasiun kereta api ketika dia meninggalkan Hangzhou 
		tahun 1952. Karena tidak tahu kapan aku pernah melihatnya lagi, hatiku 
		pedih dan aku tidak bisa menahan air mataku. Ketika beberapa tentara 
		Pasukan Pembebasan Rakyat melihatku, mereka memanggilku "anjing berlari" 
		untuk kaum imperialis asing - dengan kata lain, seorang pengkhianat. 
		Bagaimana mereka bisa memahami hal-hal rohani?
		Merajut Bersama Dengan Satu Hati
Tahun 1952, ketika aku bekerjasama dengan Misi Perdamaian China, aku bertemu saudara Xia. Dia telah lulus dari Universitas dan keluarganya sangat berharap padanya. Dia tidak hanya menjadi orang Kristen, tetapi juga mempersembahkan dirinya untuk melayani Tuhan dan pergi ke Seminari. Karena marah, orang tuanya mengusir dia dari rumah untuk selamanya. Dia mulai berkhotbah di gereja Ling Liang di Hangzhou tahun 1952. Melalui saudara Petrus sebagai comblang, saudara Xia dan aku menikah tanggal 15 Maret 1953. Dibawah pimpinan Tuhan, kami berdua mempunyai tujuan yang sama seperti Paulus, "Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan (1 Korintus 2:2 )."
Tahun 1952, ketika aku bekerjasama dengan Misi Perdamaian China, aku bertemu saudara Xia. Dia telah lulus dari Universitas dan keluarganya sangat berharap padanya. Dia tidak hanya menjadi orang Kristen, tetapi juga mempersembahkan dirinya untuk melayani Tuhan dan pergi ke Seminari. Karena marah, orang tuanya mengusir dia dari rumah untuk selamanya. Dia mulai berkhotbah di gereja Ling Liang di Hangzhou tahun 1952. Melalui saudara Petrus sebagai comblang, saudara Xia dan aku menikah tanggal 15 Maret 1953. Dibawah pimpinan Tuhan, kami berdua mempunyai tujuan yang sama seperti Paulus, "Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan (1 Korintus 2:2 )."
		Suamiku terutama suka membantu orang-orang muda, dan dia bisa 
		berkomunikasi baik dengan mereka. Oleh sebab itu dia dikenal karena 
		pelayanannya kepada kaum muda. Ini menarik banyak perhatian dan mulai 
		menimbulkan masalah.
		Tahun 1955, Kampanye Su Fan (serangan Kuburan) mulai. Walaupun kampnya 
		ini mempunyai sasaran seni budaya, gereja jadi ikut terbawa ke dalamnya. 
		Kami diminta untuk mengkritik Mr. Wang Ming Dao, pengkhotbah terkenal 
		waktu itu Mr. Wang sebelumnya pernah datang ke desaku untuk memimpin 
		kebaktian. Karena dia menekankan kekudusan di dalam khotbahnya, aku 
		merasa bahwa dia adalah seorang hamba Tuhan yang setia. Bagaimana 
		mungkin aku berani menyampaikan kritik yang tak berdasar pada hamba 
		Tuhan? Karena kami tidak menuruti peserta kampanye ini, kami menjadi 
		sasaran mereka. Puncaknya adalah gara-gara kami tidak bergabung dengan 
		yang Gerakan Gereja "Tiga Diri" membuat kami dicap sebagai 
		anti-revolusi. Akibatnya kami harus 'belajar' maksudnya, mengalami cuci 
		otak dan 'mengakui kejahatan kami' tiap hari.
		Suatu hari, Departemen Urusan Agama mengadakan suatu pertemuan dan 
		perjamuan untuk para pekerja gereja di kota kami, juga mengundang kami 
		untuk ikut kebaktian yang diadakan pemerintah. Pendeta Rong Guang 
		menepuk punggung suamiku dan secara berkelakar berkata, "Saudara Xia, 
		pesta hari ini terlaksana berkat anda!" Semua orang dalam suasana hati 
		gembira, makan dan minum, tetapi suamiku sangat sedih dan tidak makan 
		apapun. Pada saat puncak keceriaan itu, dia menyatakan, "Aku tidak akan 
		bergabung dengan Gereja 'Tiga Diri'. Kejutan ini membuat semua terdiam. 
		Yang pertama berbicara memecah keheningan adalah Kepala Urusan Agama. 
		"Jika kamu tidak mau minum cangkir penghormatan, maka nantikan cangkir 
		hukuman!" dia berseru dengan nada marah. Pengecualian suamiku diumumkan 
		minggu berikutnya. Hari itu tanggal 8 Januari 1955 dan juga hari anak 
		sulung laku-laki kami lahir. Kami namai dia Zan Mei, yang berarti 
		'Pujian.'
		Kami tidak tahu kemana harus berpaling setelah dikucilkan. Suatu hari, 
		suamiku berjalan-jalan dan bertemu istri Pendeta Yu. Ketika dia bertanya 
		kemana suamiku mau pergi, suamiku berkata, "Aku sedang mencari 
		apartemen."
		"Tinggal saja di rumah kami," Ny. Yu berkata. Puji Tuhan! Tuhan 
		mengetahui kebutuhan kami dan menyiapkan ruang sangat besar untuk kami.
		Tanggal 28 Oktober 1955, suamiku ditangkap dan semua bukunya dirampas. 
		Malam itu juga, Zan Mei tidak tidur sedikitpun. Dia tertawa gembira dan 
		merangkak dari ujung ke ujung ranjang sampai dinihari! Dia belum pernah 
		seperti ini sebelumnya. Tuhan memenuhi putraku dengan sukacita dan aku 
		sendiri juga jadi penuh dengan rasa nyaman dan pujian. Setelah itu, aku 
		mempersembahkan putraku kepada Tuhan.
		Suamiku ditempatkan di suatu kamp kerja paksa di Qinghai selama 5 tahun 
		dan kehidupanku sebagai istri seorang kontra revolusi juga jadi sulit. 
		Tiap hari, aku bersama putraku harus ikut program cuci otak. Di sana aku 
		menulis pengakuan dan mengalami pelecehan lewat kata-kata dan hukuman 
		fisik. Suamiku diserang dengan jahat di radio dan di Surat Kabar Harian 
		Zhejiang sebagai kontra revolusi. Aku hampir tidak makan dalam masa yang 
		sangat meletihkan ini. Tetapi aku berterima kasih kepada Tuhan karena 
		menyertaiku. Dengan bersandar padaNya, aku merasa damai sebab Dialah 
		kekuatanku dan pertolonganku.
		Suatu malam,ditengah angin kencang, saudara Zhang, orang muda yang 
		mengasihi Tuhan, mengunjungi dan menghibur aku. Segera setelah itu, dia 
		ditangkap. Tahun 1996, 40 tahun kemudian, dia mengunjungi aku lagi. 
		Betapa gembiranya kami dapat bertemu lagi! Kami berbicara tanpa henti 
		mengenai hari-hari yang gelap dan susah, tentang pengalaman-pengalaman 
		yang menyenangkan dan menyakitkan. Bahwa kami bisa tetap hidup dan 
		bertemu lagi adalah suatu keajaiban! Aku ingin bersyukur kepada Tuhan 
		untuk rahmatNya yang ajaib.
		Suatu ketika, Zan Mei terkena bronchitis serius. Dia terkena demam 
		tinggi yang tidak turun-turun dan cahaya hidupnya nampak mulai surut. 
		Tetapi karena aku tidak punya uang sepeserpun aku tidak bisa membawa dia 
		ke dokter. Aku hanya bisa berlutut dihadapan Tuhan, memohon belas 
		kasihanNya untuk putraku. Aku berdoa ketika semua orang tidur nyenyak. 
		Tiba-tiba, saudara Yang mengunjungi kami. "Mengapa kamu datang pada 
		larut malam?" Aku bertanya.
		"Aku tidak tahu," jawabnya. "Aku hanya merasa perlu mengunjungi kamu."
		Saudara Yang melihat betapa parahnya kondisi Zan Mei dan seketika 
		membawa dia ke rumah sakit. Pada saat itu juga saudari Xie tiba. Dia 
		juga merasakan suatu dorongan untuk  mengunjungi aku. Jadi dua orang ini 
		menemani aku ke rumah sakit. Dokter berkata, "Seandainya kamu terlambat 
		5 menit saja, anakmu pasti telah meninggal." Perawatan medis darurat 
		yang tepat waktu telah menyelamatkan hidup Zan Mei. Sungguh ajaib Tuhan! 
		Dia tidak membuat kesalahan dan suka menunjukkan kemurahan hati. Sekali 
		lagi, aku mempersembahkan Zan Mei kepadaNya, berharap Dia akan senang 
		menerima putraku untuk melayaniNya di masa mendatang.
		Tahun 1957, aku kembali ke Shanghai untuk tinggal dengan ibu mertuaku, 
		dan mulai mengajar sebab aku tidak ingin menambah beban keuangannya. Aku 
		hanya mengajar 3 bulan sebab saat itu adalah puncaknya gerakan 
		anti-kanan. Sekolah mengetahui bahwa aku orang Kristen dan istri seorang 
		kontra-revolusi, dan memberitahuku bahwa aku tidak bisa menerapkan 
		prinsip filsafat pendidikan Marx oleh karena pemikiran idealistisku 
		(yaitu iman kristenku). Tanpa harapan mendapat pekerjaan, aku tidak 
		punya pilihan lain kecuali meninggalkan Shanghai dengan putraku, 
		mengemabara dari satu ke lain tempat. Sepanjang waktu itu, Tuhan menjaga 
		aku di bawah perlindunganNya, menyelamatkanku dari banyak bencana dan 
		godaan. Dan setiap kali ada bahaya dan kekurangan, Dia menyediakan 
		tempat aman untuk aku berlindung Walaupun tidak ada orang untuk dimintai 
		pertolongan, aku selalu berpaling kepadaNya untuk menyediakan keamanan 
		yang aku rindukan.
		Suamiku Dalam Kamp Kerja Paksa
Di dalam kamp kerja paksa suamiku, 3 bulan disiapkan untuk "pelatihan musim dingin" setiap tahun. Selama waktu itu, para narapidana digempur dengan serangan yang sangat keras. Mereka menanyai suamiku tentang imannya, bertanya misalnya, "Mengapa kamu memegang imanmu? Kenapa kamu masih percaya kepada Yesus? Ayo bicara!" Dia kemudian mulai memberi kesaksian seperti, "Sebelum aku percaya pada Yesus, aku adalah orang yang tidak baik. Tetapi setelah aku percaya pada Yesus, aku menjadi ciptaan baru semua sebab Tuhan yang disalibkan menyelamatkan aku, mengubah aku dan memberi aku hidup kekal." Setiap kali dia bersaksi, mereka mencambuk punggungnya dangan keras sebab mereka sangat marah bahwa dia berani "mengkhotbahkan takhyul" kepada mereka di wilayah mereka. Mereka melepaskan bajunya pada temperature -30 C. Tetapi badannya tidak bisa tahan dingin dan dia pingsan serta membeku. Sehingga mereka membawa dia ke rumah orang mati. Tapi dia mengejutkan mereka semua dengan dia siuman kembali seminggu kemudian. Setiap kali tekanan menjadi brutal, dia pingsan.
Di dalam kamp kerja paksa suamiku, 3 bulan disiapkan untuk "pelatihan musim dingin" setiap tahun. Selama waktu itu, para narapidana digempur dengan serangan yang sangat keras. Mereka menanyai suamiku tentang imannya, bertanya misalnya, "Mengapa kamu memegang imanmu? Kenapa kamu masih percaya kepada Yesus? Ayo bicara!" Dia kemudian mulai memberi kesaksian seperti, "Sebelum aku percaya pada Yesus, aku adalah orang yang tidak baik. Tetapi setelah aku percaya pada Yesus, aku menjadi ciptaan baru semua sebab Tuhan yang disalibkan menyelamatkan aku, mengubah aku dan memberi aku hidup kekal." Setiap kali dia bersaksi, mereka mencambuk punggungnya dangan keras sebab mereka sangat marah bahwa dia berani "mengkhotbahkan takhyul" kepada mereka di wilayah mereka. Mereka melepaskan bajunya pada temperature -30 C. Tetapi badannya tidak bisa tahan dingin dan dia pingsan serta membeku. Sehingga mereka membawa dia ke rumah orang mati. Tapi dia mengejutkan mereka semua dengan dia siuman kembali seminggu kemudian. Setiap kali tekanan menjadi brutal, dia pingsan.
		Puji syukur kepada Tuhan bahwa dia tidak harus mendengarkan "lolongan 
		para serigala ini." Sebagai gantinya dia dapat beristirahat dengan 
		tenang di rumah orang mati!
		Tahun 1958, aku pergi ke Xian dan tinggal di sana selama setengah tahun. 
		Di sana, aku menerima surat yang sangat panjang dari suamiku. Surat itu 
		ditulis saat dia bertugas jaga malam di rumah sakit pada suatu malam 
		ketika turun hujan. Semua pasien tidur nyenyak. Keadaan sangat tenang 
		dan tidak ada gangguan. Roh Kudus mengilhami dia untuk menulis surat 
		tentang bagaimana dia merindukan Tuhan:
... O Yahweh, aku mengasihi Engkau! Aku 
		dahaga akan Engkau! Di tanah yang layu dan kering, aku haus akan Engkau. 
		Hatiku merindukan Engkau seperti Rusa merindukan air di tepi sungai. 
		Kapan aku akan bisa kembali dan tinggal di RumahMu? Aku sering menelan 
		air mataku, O Tuhan, tetapi ketika mengingat Engkau, hal yang manis 
		mengisi jiwaku. Ketika mengingat Engkau, duka citaku berubah menjadi 
		suka cita. Engkau adalah bunga Bakung di Lembah, tanpa Engkau aku tidak 
		bisa hidup....
		Ketika dia menyelesaikan surat itu, dia meminta penjaga yang bertugas 
		untuk mengirimkannya. Bukan saja surat itu tidak dikirimkan, tetapi juga 
		dia dicaci-maki. "Mentalitas borjuismu terlalu kuat. Kamu menulis surat 
		cinta! Apa artinya semua ini "Yahweh, aku mengasihi Engkau! Siapakah 
		Yahweh? Apakah Yahweh istrimu? Akankah dia mengerti suratmu? Tahukah 
		kamu bahwa kamu adalah narapidana kamp kerja paksa? Kamu tidak punya hak 
		untuk tulis surat cinta. Ambil kembali suratmu!"
		Suamiku tidak berputus asa. Dia secara penuh memahami bahwa Roh Kuduslah 
		yang mengilhami dan mendesak dia untuk menulis surat ini. Dia tahu bahwa 
		Tuhan pasti mempunyai alasan yang sempurna untuk ini. Maka dia tetap 
		memohon pengawal untuk mengirimkan surat itu. Sesungguhnya, surat itu 
		memberikan kesan yang baik pada pengawal itu. Dia mengagumi apa yang dia 
		lihat sebagai kreativitas dan akademis suamiku. Sebenarnya surat itu 
		sangat menarik perhatiannya sampai pikirannya tidak bisa beristirahaat 
		dalam waktu lama. Dia teringat kembali bagaimana dia menjadi yatim dan 
		diasuh oleh neneknya. Neneknya adalah orang Kristen taat yang mengajak 
		dia untuk menyembah Tuhan di gereja tiap hari minggu. Setiap kali 
		neneknya berpuasa, dia juga menyuruh dia untuk puasa. Dia menghormati 
		neneknya sebagai orang Kristen yang baik karena ia memuja Tuhan dengan 
		ketulusan hati seperti itu. Setelah membaca surat ini, dia memikirkan 
		suamiku, yang berpendidikan dan tampan., yang menyerahkan segalanya 
		untuk imannya di dalam Tuhan. Bukan hanya itu, dia juga mau menderita 
		untuk imannya. Pasti ada kebenaran dan alasan atas kemantapannya 
		melakukan ini. Jadi, Roh Kudus bekerja di dalam hati penjaga itu. Dia 
		ingat neneknya lagi dan yakin bahwa dia adalah orang Kristen yang 
		bekerja bersama dengan Tuhan. Dengan cara ini, dia mulai mencari 
		kebenaran tentang Tuhan.
		Setelah beberapa waktu, kepala pengadilan jatuh sakit dan dia secara 
		khusus meminta suamiku untuk mengunjungi dia. Tetapi, sebagai nara 
		pidana kerja paksa, suamiku tidak punya kebebasan untuk pergi sendiri. 
		Tuhan mengatur sedemikian rupa sehingga penjaga itulah yang mengawal dia 
		dalam perjalanan. Mereka menempuh perjalanan dengan kuda. Ketika 
		mencapai suatu dataran tinggi di atas bukit, penjaga itu mengusulkan 
		mereka beristirahat. Kemudian, dia mulai merangkul suamiku dan mulai 
		menangis. "Aku harus minta maaf pada anda," dia berkata. "Aku ingin 
		percaya pada Tuhan. Aku ingin bertobat dan percaya pada Yesus. Aku telah 
		mengamati kamu sepanjang tahun ini dan kamu mempunyai Roh Tuhan di dalam 
		diri kamu. Apapun juga yang kamu lakukan, kamu melakukan dengan segenap 
		hati dan pikiran. Perilakumu luar biasa dan aku dapat melihat bahwa 
		Tuhan ada bersama kamu." 
		Itu adalah bukti bahwa Roh Tuhan hadir di dalam mereka berdua. Suamiku 
		kemudian membaptis dia di dalam sebuah teluk yang jernih dan mereka 
		berdua sangat bersukacita. Betapa ajaib Tuhan! Bukankah Dia bekerja 
		dengan cara yang mengagumkan?
		Tuhan Memegang Tanganku
Tahun 1959, aku pindah ke Beijing setelah saudaraku mendapatkan kartu tanda pendudukku (KTP) di sana. Aku mengajar privat delapan anaknya dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Anak-anak sangat taat dan penuh hormat, dan aku mencintai mereka. Meskipun lelah, aku sangat berterima kasih. Iklim politik di Beijing tegang, tetapi pimpinan Tuhan selalu luar biasa. Untungnya, aku telah mendapatkan KTPku di Beijing, sebab KTP itu menyelamatkan aku dari banyak situasi berbahaya dan perlakuan yang tidak semestinya.
Tahun 1959, aku pindah ke Beijing setelah saudaraku mendapatkan kartu tanda pendudukku (KTP) di sana. Aku mengajar privat delapan anaknya dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Anak-anak sangat taat dan penuh hormat, dan aku mencintai mereka. Meskipun lelah, aku sangat berterima kasih. Iklim politik di Beijing tegang, tetapi pimpinan Tuhan selalu luar biasa. Untungnya, aku telah mendapatkan KTPku di Beijing, sebab KTP itu menyelamatkan aku dari banyak situasi berbahaya dan perlakuan yang tidak semestinya.
		Tahun 1960, banyak sekali orang meninggal karena kelaparan di propinsi 
		Anhui dan Henan. Tidak  ada pekerjaan atau sawah untuk bertani. Karena 
		menderita kelaparan, ibuku mencari perlindungan pada saudaraku di 
		Beijing. Untungnya, Tuhan telah memimpinku ke Beijing lebih dulu, kalau 
		tidak, ibuku, putraku Zan Mei dan aku harus kelaparan lagi. Bukankah ini 
		suatu kebenaran meskipun aku tidak mengetahui apa yang akan  terjadi, 
		Tuhan selalu memimpinku dengan tanganNya. Aku benar-benar harus 
		berterima kasih kepada Tuhan untuk perlindunganNya.
		Tahun 1961, suamiku tiba-tiba dipindahkan oleh penguasa penjara ke Danau 
		Qinghai untuk mencari ikan. Pada waktu itu, kelaparan terjadi 
		dimana-mana di seluruh negeri. Orang kebanyakan meninggal karena 
		kelaparan tak terhitung jumlahnya, apalagi nara pidana kamp kerja paksa. 
		Ikan adalah makanan kesukaan suamiku dan dia dikenyangkan tiap hari 
		dengan makanan bergizi ini: roti rebus digoreng dengan minyak ikan. Dia 
		pergi ke Qinghai dengan 2000 nara pidana tetapi hanya 200 yang bertahan 
		hidup. Setelah empat bulan di Danau Qinghai, dia sangat sehat bahkan 
		tidak pernah menjadi segemuk itu sebelumnya. Betapa ajaib Tuhan! Semua 
		kemuliaan kepadaNya dan Dia memberi kemuliaanNya kepada anak-anakNya. 
		Kemudian, semua orang mempersembahkan puji syukur kepada Tuhan ketika 
		suamiku akhirnya pulang.
		Musim dingin itu, temannya nara pidana kerja paksa diperbolehkan pulang. 
		Tetapi, suamiku tidak ada dalam daftar nama yang akan dibebaskan. Hari 
		bagi semua orang untuk duduk di bus menuju rumah tiba juga. Dia berdiri 
		dekat barisan, ingin tahu bagaimana Tuhan akan memimpin dia sebab Tuhan 
		telah memberitahu dia bahwa mereka yang ditawan akan pulang. Di detik 
		terakhir, ketika mulai nampak tiada harapan, namanya dipanggil dan dia 
		diberitahu untuk naik ke dalam bus dengan cepat. Dia penuh dengan rasa 
		syukur. Tidak ada orang yang dapat menghalangi kehendak Tuhan sebab Dia 
		berkuasa.
		Karena itu suatu pagi di bulan Desember, suamiku tiba-tiba muncul 
		dihadapan kami. Dia tidak memberi tahu kami sebelumnya kapan dia akan 
		kembali, jadi aku merasa seolah-olah aku sedang bermimpi. Aku sungguh 
		tidak percaya dan berterima kasih kepada Tuhan untuk karyaNya yang 
		ajaib. Tuhan mengijinkan para hamba yang menyembahNya untuk pulang 
		dengan selamat. 
		Melalui  rekomendasi Dr. Chen, suamiku mulai bekerja di Rumah Sakit 
		Pusat di kota kelahiranku. Semuanya ada empat dokter yang bekerja di 
		Departemen Pengobatan Internal. Mereka memberi semua orang Kristen yang 
		telah dianiaya karena iman mereka. Tuhan terutama memberkati mereka 
		dengan perlindunganNya dalam waktu yang sangat singkat itu, yang mereka 
		nikmati bersama-sama sehingga mereka menyatakan kasihNya lebih manis 
		dari madu.
		Putraku kedua lahir bulan Agustus 1963, kemudian datang masa kampanye 
		Si  Qing  (Empat pembersihan). Sekali lagi, suamiku harus menjalani 
		sesi cuci otak di suatu sekolah politik. Sama dengan dulu, dia langsung 
		mengalami serangan lewat kata-kata dan menerima kritik kejam untuk 
		banyak hal, seperti "borjuis yang berpikir" dan iman di dalam Tuhan. 
		Akhirnya, dia dikirim untuk bekerja pada sebuah media cetak sebagai 
		bentuk "koreksi melalui kerja." Walaupun pekerjaan itu dirancang untuk 
		menyiksa dia, dia mengatasi berbagai kesulitan dan apapun yang dia 
		lakukan, dia kerjakan dengan baik. Bahkan para pekerja yang paling 
		berpengalamanpun tidak bisa menandingi ketrampilan dan ketangkasannya. 
		Roh Tuhan ada bersama dia, memberkati dia dengan hikmat sebab dia 
		memuliakan Tuhan dengan segala hal yang dia lakukan.
		Tahun itu juga, aku dipecat ketika aku sedang mengajar di taman 
		kanak-kanak kabupaten oleh karena imanku. Namun aku bersyukur pada Tuhan 
		yang memberi aku dua tangan untuk menghidupi keluarga dengan merajut. 
		Aku merajut dengan dua saudari lain dan dengan amat bahagia. Terima 
		kasih Tuhan yang memberikan kekuatan tiap-tiap hari sehingga hatiku 
		tetap setia dan kakiku tetap di jalanNya.
		Menjadi Tontonan Bagi Dunia
Di tahun 1965, Revolusi Budaya mulai. Kami harus "dididik kembali" terus-menerus. Sekali kami memahami apa yang diajarkan, kami harus melancarkan kritik dan ejekan public melawan "roh banteng dan dewa ular," suatu ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan kepercayaan religius bertakhyul. Aku tidak bisa bergabung dan karena itu segera menjadi sasaran. Tiap hari, kami harus menguasai diri kami sendiri melawan gangguan dan hinaan.
Di tahun 1965, Revolusi Budaya mulai. Kami harus "dididik kembali" terus-menerus. Sekali kami memahami apa yang diajarkan, kami harus melancarkan kritik dan ejekan public melawan "roh banteng dan dewa ular," suatu ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan kepercayaan religius bertakhyul. Aku tidak bisa bergabung dan karena itu segera menjadi sasaran. Tiap hari, kami harus menguasai diri kami sendiri melawan gangguan dan hinaan.
		Tangggal 17 Juli 1965, pagi-pagi aku melahirkan putri kami. Suamiku 
		menamainya Chen Shi, yang berarti "Malaikat Fajar." Dia lahir dengan 
		melepuh di seluruh badannya. Bayak obat harus dibubuhkan pada tubuhnya 
		sampai hampir tidak menyerupai seorang bayi. Lebih lagi, kami diserang 
		oleh gelombang panas sepanjang bulan berikutnya, dengan suhu mencapai 40 
		C. Kamar kecil kami menjadi sangat panas dan penuh sesak sehingga kami 
		tidak bisa tidur. Maka kami duduk di luar pekarangan sepanjang hari, 
		merasa pusing dan lemas karena panas. Puncaknya, bayiku sakit karena 
		kekurangan gizi. Namun setelah dua bulan, puji Tuhan, dia 
		berangsur-angsur membaik dan pipinya kelihatan berwarna merah lagi.
		Antara tahun 1965 - 1969, tidak ada satu hari tenangpun untuk kami. Jika 
		bukan oleh tuduhan dan pencemaran nama, kami harus berpawai di jalan 
		memakai topi orang bodoh jangkung yang diletakkan dengan salah secara 
		memalukan. Suamiku kelihatan menonjol sebab dia tinggi. Kami telah 
		dibuat menjadi tontonan bagi dunia karena tuduhan yang tidak berdasar.
		Aku sering berdoa dan bersekutu dengan seorang saudari yang tinggal di 
		lingkungan yang sama. Maka penganiaya kami menuduh kami melakukan 
		kegiatan rahasia dan membawa saudari itu, suamiku dan aku, untuk 
		diinterograsi public dengan cermat. Lagipula, mereka menuduh kami dengan 
		tuduhan yang tidak masuk akal - mengirimkan telegram ke Taiwan! Jadi 
		mereka menahan kami dan berulangkali menggeledah rumah kami. Selama 
		waktu itu, suamiku menderita sakit jantung, tekanan darah tinggi dan 
		bisul perut. Jika bukan karena belas kasihan Tuhan, pasti akan sulit 
		baginya untuk menanggung penyakit ini. Sungguh, jika Tuhan tidak bersama 
		kami, kami pasti telah kehilangan keberanian sejak awal.
		Di musim dingin1969, Kami Xia fang, dikirim ke daerah pedesaan. 
		Kami menghibur diri kami bahwa itu tidaklah buruk. Setidaknya kami 
		terlepas dari huru-hara politis di kota. Sedikit yang kami ketahui apa 
		yang terjadi berikutnya. Suatu hari, sebuah truk melaju di sampingku dan 
		beberapa orang menyuruhku untuk naik. "Tunggu sampai anak-anak dan 
		suamiku kembali dan kita akan pergi bersama," kataku. Tetapi mereka 
		menolak dan menyeret aku sepanjang jalan seperti babi mati. Tanganku 
		tergores dan terluka serta tubuhku banyak berdarah. Tepat waktu itu, 
		suamiku dan anak-anakku muncul dan penyiksa kami mendorong kami ke truk 
		itu. Mereka membawa paksa kami ke suatu tempat sejauh kira-kira 50 km. 
		Mereka kemudian memerintah pejabat desa dan para petani untuk 
		memperketat pengawasan terhadap kami, dengan mengatakan bahwa kami 
		adalah mata-mata kelas tinggi dan kontra revolusi. Lagi, kami dijadikan 
		tontonan di jalan dengan memakai topi orang bodoh dan tanda tulisan di 
		leher kami. Para penganiaya di desa sama kejamnya seperti di kota. Jika 
		Tuhan tidak memberi kami kekuatan yang melebihi manusia biasa, masa-masa 
		itu pasti tak tertahankan. Tiap pikiran yang tertuju kepada Tuhan 
		membawa banyak kemanisan dan penghiburan. Betapa aku merasakan bahwa aku 
		tidak bisa hidup bahkan sebentarpun, tanpa Tuhan yang mengasihi kami.
		Setelah beberapa waktu, rakyat desa mulai berubah sikap kepada kami, 
		menjadi semakin ramah dan hangat. Kami tidak lagi tampak menakutkan bagi 
		mereka. Suamiku melakukan banyak perawatan khusus medis yang sulit, dan 
		dengan begitu memenangkan hati dan rasa suka mereka kepada kami. 
		Kemudian, beberapa petani mulai suatu klinik masyarakat dan mengundang 
		dia sebagai dokter juga. Di sana dia sukses mengobati banyak pasien dan 
		orang-orang jadi gembira sebab banyak penyakit yang mengganggu mereka 
		dapat disembuhkan.
		Tetapi suatu ketika istri Sekretaris Li di brigade produksi jatuh sakit. 
		Setelah memeriksanya, Sekretaris itu sangat tidak senang hati karena dia 
		tidak diperlakukan dengan khusus. Maka dia punya alasan dan berkata, 
		"Pak Xia, anda masih punya masalah dengan posisi politis dan ideology 
		anda dan harus menjalani koreksi diri sebelum kembali ke pekerjaan 
		anda." Sekretaris Li dikuasai oleh marah sehingga dia memerintahkan 
		kepala departemen produksi melakukan pembatasan yang lebih ketat 
		terhadap suamiku dan memberi dia pekerjaan kasar yang paling sulit dan 
		melelahkan. Akibatnya, penyakit lama suamiku kambuh lagi. Dia sangat 
		sakit sehingga tidak bisa turun dari tempat tidur. Sejak saat itu, semua 
		petani sangat menghormati Dr. Xia mereka dan dia dianggap sebagai orang 
		desa dan dengan demikian memperoleh kepercayaan mereka. Kami bersyukur 
		kepada Tuhan untuk hal ini.
		Sebelas tahun setelah kami dikirim ke desa itu, rumah kami terbakar 
		habis. Kami membangun kembali rumah itu tahun berikutnya, yang segera 
		dikoyak lagi oleh badai topan. Sepanjang musim hujan yang amat deras, 
		tiap bagian langit-langit kami bocor kecuali satu bagian kecil seukuran 
		meja tulis. Seluruh keluarga bergerombol dibawah bagian yang tidak bocor 
		itu dan suamiku memimpin menyanyi lagu pujian. Suara kami bergema dengan 
		suka cita. Tapi orang desa berpikir bahwa kami sedang meratap sebab 
		rumah kami roboh. Tetapi ketika mereka datang untuk menghibur kami 
		mereka terkejut melihat kami menyanyi! Mereka menertawakan kami. Tapi 
		kami memahami bahwa segala sesuatu bekerja untuk mendatangkan kebaikan 
		bagi mereka yang mengasihi Tuhan (Roma 8;28). Kami bersuka cita, dengan 
		bersandar pada janji Tuhan ketika Dia memberi kami kedamaian di dalam 
		hati kami.
		Pada kesempatan lain, ketika kami sedang menumbuk gandum ditanah 
		terbuka, angin kencang datang, membuyarkan gandum dan meniupnya ke 
		sungai. Kami telah lama berharap akan panen dan dapat makan roti 
kismis 
		rebus. Sekarang, semua kerja keras jadi sia-sia. Semua yang telah kami
 
		tumbuhkan hilang ke air di depan mata kami. Orang desa menghela nafas 
		tanda harapan, tetapi kami bersyukur kepada Tuhan meskipun kami 
		mengalami berbagai kesulitan yang tak ada akhirnya. Aku ingat firman 
Tuhan di dalam Lukas 22:28, "...Kamulah yang tetap tinggal bersama-sama 
		dengan Aku dalam segala pencobaan yang aku alami." Ketika kami 
bersandar 
		pada Tuhan, hati kami merasa lega dan puas. Meski menghadapi 
kesusahan, 
		kami masih bisa melompat kegirangan.
		Pembangunan Kembali Rumah Kami
Setelah sebelas tahun pengungsian, semua orang bisa kembali ke rumah - kecuali kami. Kami pernah berpikir untuk menyuap agar mendapat surat ijin, tetapi kami tidak punya uang maupun daya untuk melakukan itu. Maka kami memutuskan bahwa jika Tuhan menghendaki kami tidak pernah meninggalkan desa itu, itu pasti cukup baik untuk kami. Kemudian tak disangka-sangka, adik perempuanku dari Hongkong mengunjungi aku. Ketika dia tahu bahwa aku dikirim ke pedesaan oleh pemerintah, dia pergi menghadap yang berwenang dan bertanya, "Kejahatan apa yang diperbuat saudariku? Tolong beritahu mengapa dia masih tidak diijinkan untuk pulang?" Puji Tuhan! Pejabat yang berwenang hanya butuh waktu satu hari untuk memproses surat ijin tinggal di kotaku dan mengirimkannya kepada saudariku. Aku tidak melakukan sedikitpun usaha dan dengan begitu kami mampu lihat kemuliaanNya. Tidak ada apapun yang mustahil untuk Tuhan kami!
Setelah sebelas tahun pengungsian, semua orang bisa kembali ke rumah - kecuali kami. Kami pernah berpikir untuk menyuap agar mendapat surat ijin, tetapi kami tidak punya uang maupun daya untuk melakukan itu. Maka kami memutuskan bahwa jika Tuhan menghendaki kami tidak pernah meninggalkan desa itu, itu pasti cukup baik untuk kami. Kemudian tak disangka-sangka, adik perempuanku dari Hongkong mengunjungi aku. Ketika dia tahu bahwa aku dikirim ke pedesaan oleh pemerintah, dia pergi menghadap yang berwenang dan bertanya, "Kejahatan apa yang diperbuat saudariku? Tolong beritahu mengapa dia masih tidak diijinkan untuk pulang?" Puji Tuhan! Pejabat yang berwenang hanya butuh waktu satu hari untuk memproses surat ijin tinggal di kotaku dan mengirimkannya kepada saudariku. Aku tidak melakukan sedikitpun usaha dan dengan begitu kami mampu lihat kemuliaanNya. Tidak ada apapun yang mustahil untuk Tuhan kami!
		Tanggal 23 Desember 1980, aku kembali ke kota. Aku bersyukur kepada 
		Tuhan karena saudariku membangun rumah tiga kamar untuk kami tinggali. 
		Dua tahu kemudian, Tuhan memberiku visi untuk membuka taman kanak-kanak 
		di rumah kami. Pada satu sisi ini memecahkan kesulitan keuangan kami dan 
		pada sisi lain, tempat kami menyediakan pendidikan untuk anak-anak di 
		lingkungan itu. Kebanyakan anak-anak bisa masuk ke taman kanak-kanak 
		umum karena diperlukan surat keterangan dari tiga tingkatan pejabat 
		berwenang. Karena taman kanak-kanakku meringankan pusingnya banyak orang 
		tua. Mereka menghargainya meskipun kondisinya sangat terbatas. 
		Pemerintah juga mendukung kami, dan aku diberi gelar "Pekerja Teladan." 
		Semua hal berjalan lancer sebab tangan Tuhan turut bekerja.
		Kebaktian keluarga kami juga mulai bersamaan dengan pembukaan taman 
		kanak-kanak itu. Lagipula, anak-anakku mulai masuk sekolah dan hati kami 
		penuh dengan pujian. Dengan berkat khusus Tuhan, mimpi kami yang telah 
		lama jadi terwujud - suamiku berkhotbah dan memimpin pemahaman Alkitab 
		(PA) dan kami melayani Tuhan bersama-sama. Kami melihat Tuhan bekerja 
		menyatakan kemuliaanNya dan banyak orang yang jadi percaya. Tetapi, kami 
		juga menarik perhatian Gereja 'Tiga Diri.' Mereka mengundang suamiku 
		untuk berkhotbah disana dan juga bekerja di rumah sakit mereka, tetapi 
		dia menolak mereka. Kemudian, mereka menyulitkan kami dengan melaporkan 
		kebaktian kami kepada pejabat. Sebab perkumpulan kami tidak terdaftar 
		dan oleh karena itu tidak mempunyai surat ijin dari pemerintah, kami 
		tidak diijinkan untuk berkumpul. Pejabat pemerintah menyuruh kami untuk 
		berhenti mengadakan pertemuan-pertemuan. Maka tercerai-berailah 
		orang-orang yang percaya. Tapi kami tetap bersekutu dengan dua atau tiga 
		orang, walaupun kami tetap diawasi dengan ketat. Tuhan sendiri yang 
		melindungi kami.
		Api Yang Tersebar
Suatu malam dalam Pebruari 1993, aku bermimpi bahwa suamiku pergi kepada Tuhan. Di dalam mimpiku aku melihat kami menyanyikan "Tuhan Beserta Kamu Hingga Kami Bertemu Lagi," "Bapa Surgawi Adalah Setia" dan "Di Pantai Mulia." Aku juga melihat seorang saudara berkhotbah dan dia dipenuhi dengan Roh Kudus. Rasanya seperti suatu kebaktian kebangunan rohani. Aku belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya dan aku sangat berbahagia. Pagi berikutnya, aku menceritakan kepada suamiku aku telah bermimpi. Dia mencela aku, dan aku tidak boleh membicarakan mimpi di pagi buta. Maka aku berkata, "Kamu harus mendengarkan sebab ini penting dan menyangkut kamu."
Suatu malam dalam Pebruari 1993, aku bermimpi bahwa suamiku pergi kepada Tuhan. Di dalam mimpiku aku melihat kami menyanyikan "Tuhan Beserta Kamu Hingga Kami Bertemu Lagi," "Bapa Surgawi Adalah Setia" dan "Di Pantai Mulia." Aku juga melihat seorang saudara berkhotbah dan dia dipenuhi dengan Roh Kudus. Rasanya seperti suatu kebaktian kebangunan rohani. Aku belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya dan aku sangat berbahagia. Pagi berikutnya, aku menceritakan kepada suamiku aku telah bermimpi. Dia mencela aku, dan aku tidak boleh membicarakan mimpi di pagi buta. Maka aku berkata, "Kamu harus mendengarkan sebab ini penting dan menyangkut kamu."
		"Baiklah, ceritakan!" dia menjawab. Setelah dia mendengarkannya, dia 
		sangat bahagia. Sejak waktu itu, aku mempunyai firasat bahwa sesuatu 
		yang diluar harapanku akan terjadi kepadanya.
		Tanggal 1 Maret 1993, pada ulang tahun pernikahan ke-40 kami, suamiku 
		sakit parah. Semua anak kami  ada disisi tempat tidurnya dan mendonorkan 
		darah kepadanya. Dia tidak bisa minum tetapi dia sadar dan sangat waras 
		bicaranya. Semua anak kami menghormati ayah mereka dan suka mendengarkan 
		wejangannya.
		Sepanjang malam tanggal 29 Maret, suamiku tiba-tiba berteriak,"Haleluya! 
		Pujilah Tuhan!"
		Anak-anak kami bertanya padanya, "Papa, mengapa kamu sangat bahagia?"
		Dia menjawab, "Aku melihat langit terbuka untukku. Tuhan akan segera 
		membawa aku pulang."
		Pasien lain juga mendengar teriaknya. Dan dia meminta mereka untuk 
		percaya akan Tuhan Yesus segera. Besoknya, keluarga kami mengadakan 
		pelayanan kebaktian di rumah sakit dan suamiku yang berkhotbah. Dia 
		menguatkan kami dan berkata, "Setelah  aku pergi, Gereja harus mulai 
		kebaktian lagi."
		Semua anak kami ada di sana ketika ayah mereka berkata demikian, putra 
		kami yang masih kecil kemudian berkata, "Aku ingin menyerahkan diriku 
		dipakai oleh Tuhan. Berdoalah untuk aku, Papa." Maka suamiku meletakkan 
		tangannya ke atas kepalanya untuk berdoa dan mempersembahkan dia kepada 
		Tuhan.
		Tanggal 1 April, Tuhan memanggil suamiku. Wajahnya tampak berseri, 
		seolah-olah dia tertidur. Dengan damai, dia pergi bertemu Yesus. Tidak 
		pernah lagi dia akan mempunyai duka cita dan air mata karena dia sudah 
		bersama Tuhan untuk selamanya.
		Tanggal 5 April, 300 orang datang ke rumah pemakaman untuk mengikuti 
		kebaktian mengenang almarhum. Bahkan sebelum itu, banyak orang datang 
		untuk berjaga, memohon kepada Tuhan untuk melindungi kami dari gangguan 
		apapun Tuhan benar-benar beserta kami dan kuasa Roh Kudus bekerja pada 
		hari itu. Pendeta dan saudara seiman yang berdoa penuh kuasa Roh Kudus. 
		Tidak pernah sebelumnya kami melihat peristiwa pemenuhan Roh Kudus 
		seperti itu dan kami diberi visi. Manajer-manajer rumah pemakaman 
		berkata, "Selama aku disini, aku belum pernah melihat pemandangan yang 
		khidmat dan saleh seperti itu. Lagu pujiannya sangat menyentuh dan aku 
		belum pernah mendengar musik yang indah seperti itu. Siapakah yang 
		meninggal? Mengapa begitu banyak orang yang datang untuk menghormatinya? 
		Betapa sangat menyentuh! Pastilah luar biasa percaya kepada Tuhan 
		seperti yang dia lakukan itu. Kami mau percaya kepada Tuhan juga."  
		Polisi hadir di kebaktian peringatan itu. Mereka telah mengawasi suamiku 
		selama bertahun-tahun. Terpujilah Tuhan yang melindungi dia 
		terus-menerus dari orang-orang ini sampai kematiannya.
		Ketika Tuhan mengambil suamiku, aku sangat berduka cita. Kami telah 
		berjuang dalam pertempuran rohani bersama-sama selama bertahun-tahun, 
		berbagi hati dan pikiran yang sama. Aku bingung tanpa pasanganku. 
		Walaupun anak-anakku mengasihi Tuhan, mereka belum dewasa. Karena banyak 
		saudara seiman di gereja yang perlu diperhatikan, aku merasa kekuatanku 
		terbatas dan memohon Tuhan untuk teman sekerja dalam pelayanan. Aku 
		bersyukur kepadaNya yang telah mendengar permohonanku. Sejak saat itu, 
		saudara-saudara seiman mulai berdatangan untuk membantuku secara 
		teratur. Putraku yang masih muda juga mempunyai kesempatan untuk dididik 
		melayani Tuhan. Dia begitu mengasihi Tuhan sehingga dia keluar dari 
		pekerjaannya pada suatu lembaga penelitian supaya dapat belajar untuk 
		melayaniNya secara sungguh-sungguh.
		Setelah kematian suamiku, putra sulungku juga mulai mengasihi Tuhan. Dia 
		berkata, "Papa telah meninggal, tetapi aku datang kedalam hidup." Dia 
		dengan sungguh-sungguh berharap pada suatu hari, dia juga akan dididik 
		untuk melayani Tuhan. Semoga Tuhan memberinya kesempatan itu! Selama 
		beberapa tahun ini, Tuhan besertaku dan seorang pendeta menunjukkan 
		perhatiannya kepadaku dengan banyak cara. Banyak saudara seiman telah 
		membantu aku sepenuh hati. Gereja telah banyak bertumbuh. Dan putraku 
		yang lebih muda telah kembali dari pendidikannya. Ketika dia melihat 
		bahwa aku tidak sehat, dia menyuruhku banyak istirahat. Aku bersyukur 
		kepada Tuhan untuk cinta kasih putraku. Tuhan telah mengijinkan aku 
		menghampiriNya dalam ketenangan selama tahun-tahun akhir hidupku. Betapa 
		sungguh ajaib Dia!
		Kesimpulan
Aku ingat masa yang sulit di dalam hidupku ketika menghadapi banyak pencobaan dan penderitaan, aku tidak melupakanMu Tuhanku Yesus Kristus yang meninggal untuk aku di atas kayu salib. Aku tidak melanggar firmanNya dan aku memperoleh kedamaian karenanya.. Maka aku masih bisa melompat kegirangan di tengah penderitaan yang terus-menerus.
Aku ingat masa yang sulit di dalam hidupku ketika menghadapi banyak pencobaan dan penderitaan, aku tidak melupakanMu Tuhanku Yesus Kristus yang meninggal untuk aku di atas kayu salib. Aku tidak melanggar firmanNya dan aku memperoleh kedamaian karenanya.. Maka aku masih bisa melompat kegirangan di tengah penderitaan yang terus-menerus.
		Menderita menjadi hal yang baik untukku. Penderitaan telah membuatku 
		belajar perintah-perintahNya. Tuhan telah mengijinkan aku untuk mengecap 
		banyak duka cita yang pahit, yang telah berubah menjadi berkatku saat 
		ini. Para putraku, menantu perempuan, dan semua anak perempuanku percaya 
		kepada Tuhan dan sangat mengasihiku juga. Ketika baik orang Kristen dan 
		yang bukan Kristen sangat mengagumi keharmonisan keluarga kami dan 
		mengatakan betapa diberkatinya aku, aku bersyukur pada Tuhan yang 
		menunjukkan belas kasihan kepadaku dan memberiku rahmat yang melebihi 
		pengertian dan kebutuhanku.
		Sekarang, aku adalah wanita tua beruban yang menderita berbagai macam 
		penyakit. Tetapi aku masih punya semangat yang sama untuk mengasihi 
		Tuhan seperti pada masa mudaku. Kiranya Dia memang aku sampai aku 
		melihatNya bertatap muka! Ketika aku menyelesaikan kesaksian ini, aku 
		sungguh berharap bahwa kesaksian ini akan bermanfaat bagi 
		saudara-saudara seiman yang berniat untuk melayani Tuhan. Tapi tolong 
		ingat bahwa aku hanya orang tua biasa. Jangan menganggapku orang hebat 
		sebab itu tidak pada tempatnya.
		Oleh karena belas kasihan Tuhan, Dia tidak akan memadamkan sumbu yang 
		pudar nyalanya seperti aku (Matius 12:20). Oleh karena itu berkat 
		rahmatNya dan pimpinan Roh Kudus, aku berharap bahwa saudara-saudara 
		seiman akan mendorong satu sama lain untuk berlomba bersama, 
		berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan 
		surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (Filipi 3:14).


Tidak ada komentar:
Posting Komentar