Yesus Gembala yang Baik.

Selasa, 30 Oktober 2012

Eric Henry Liddell

Dari Lintasan Olimpiade ke Ladang Misi
                “God made me fast, and when I run, I feel His pleasure (Allah membuatku dapat berlari cepat, dan ketika aku berlari, aku merasakan kegirangan hati-Nya),” demikian dikatakan oleh Eric Liddell dalam Chariots of Fire.
                Peraih Oscar sebagai film terbaik tahun 1982 itu mengisahkan perjuangan dan tantangan yang dihadapi dua orang pelari jarak pendek untuk meraih medali dalam Olimpiade Paris 1924. Salah satunya adalah Eric Liddell tadi, orang Kristen Skotlandia yang diharapkan untuk menggantikan pelayanan ayahnya sebagai utusan Injil di Cina.
                Liddell mendapatkan ‘kekuatan untuk menyelesaikan pertandingan sampai akhir” dengan melihat berlari dan meraih kemenangan sebagai suatu cara untuk memuliakan Tuhan. Ia mengumpamakan perlombaan lari sebagai khotbah. Namun, rupanya keyakinan tersebut mesti diuji.
                Dalam perjalanan menuju Paris, Eric Liddell baru mengetahui bahwa nomor pertandingannya akan digelar pada hari Minggu. Padahal, ia berkeyakinan bahwa ia tidak patut bertanding lari pada hari Sabat. Pangeran Wales sendiri mendesak Eric untuk menghormati raja dan negaranya lebih daripada Tuhan. Tanggapan Eric atas tekanan ini merupakan teladan yang sangat indah tentang bagaimana kita dapat mempertahankan keyakinan kita dengan sikap yang terhormat. Eric menolak untuk berlari dalam pertandingan yang telah dijadwalkan baginya, dan memilih untuk bertanding dalam nomor yang sebenarnya bukan andalannya.
                Eric Liddell memiliki keyakinan yang tidak terguncangkan karena ia membangun hubungan pribadi dengan Tuhannya dan menyadari tujuan hidup yang ditetapkanNya. Ia menjalani kehidupan yang penuh dengan sukacita ilahi- sukacita yang tidak bergantung pada kalah atau menang, melainkan sukacita yang merupakan buah dari kehidupan yang saleh.

Anak Seorang Utusan Injil
                Eric Henry Liddell lahir pada tanggal 16 Januari 1902 di Tientsin (Tianjin), Cina Utara. Ia anak kedua dari keluarga James Dunlop, utusan Injil dari London Mission Society. Sejak tahun 1908 sampai 1920, ia belajar di Eltham College, Blackheath, sebuah sekolah bagi anak-anak utusan Injil. Eric, bersama kakaknya, Rob, ditinggalkan di sekolah berasrama ketika orangtua dan adik mereka, Jenny, kembali ke Cina.
                Pada tahun 1920, Eric masuk ke Universitas Edinburgh untuk mendapatkan gelar di bidang Ilmu Murni. Ia menyukai atletik dan rugby. Namun, karena kurangnya waktu untuk berlatih, ia memutuskan untuk berfokus pada lari menjelang Olimpiade Paris. Di arena itu, akhirnya ia meraih medali emas dan memecahkan rekor di nomor 400 meter dan medali perunggu di nomor 200 meter.
                Tidak lama setelah olimpiade, ia lulus sekolah, lalu kembali ke Cina Utara. Ia melayani sebagai utusan Injil sejak tahun 1952 sampai tahun 1943, pertama di Tientsin (Tianjin) dan kemudian di Siaochang. Saat mengambil cuti pertama pada tahun 1932, ia ditahbiskan sebagai pendeta. Kembali ke Cina, ia menikah dengan Florence Mackenzie, anak seorang utusan Injil dari Kanada, di Tientsin tahun 1934. Mereka dikaruniai tiga orang anak perempuan : Patricia, Heather dan Maureen.
                Hidup di Cina pada masa itu sangatlah berbahaya. Pada tahun 1937, Eric dipindahkan ke Siaochang, bergabung dengan kakaknya, Rob. Pada tahun 1941, kehidupan di Cia kian membahayakan saja, sehingga pemerintah Inggris meminta warganya untuk meninggalkan negeri itu. Florence dan anak-anak mereka berangkat ke Kanada. Selama 1941-1943, Eric tinggal di Tientsin, dan pada tahun 1943 ia dipenjarakan di Weishien sampai meninggal pada tahun 1945.

Paman Eric
                Di Weishien, Eric Liddell tampak menonjol di antara 1.500 orang yang memadati kamp yang hanya seluas 135 kali 180 meter. Ia bertugas di bagian anak-anak kecil. Anak-anak itu telah terpisah dari orang tua mereka selama empat tahun akibat perang, dan hidup bersama guru mereka.
                Ia sendiri tinggal di asrama pria yang sesak. Bersama teman sekamarnya, dan dengan bantuan cahaya lampu minyak kelapa yang berkedip-kedip, setiap dini hari ia mempelajari Alkitab dan bersekutu dengan Tuhan selama satu jam.
                Satu hari setiap minggu, “Paman Eric” (demikian ia dikenal oleh anak-anak di kamp itu) menjaga anak-anak, sehingga para guru (semuanya utusan Injil dari China Inland Mission dan semuanya wanita) dapat beristirahat.” Wajahnya lemah lembut dan senyumnya hangat,” kenang seorang anak. Ia mengajari  anak-anak itu memanfaatkan peralatan yang ada untuk membuat permainan. Tampak jelas ia sangat mengasihi anak-anak dan sangat rindu pada anak-anaknya sendiri.
                Ia juga mengadakan pertemuan olahraga. Selain berlomba lari. Selain berlomba lari, mereka bermain bola basket, sepakbola dan rounders.
                Eric Liddell sering berbicara berdasarkan 1 Korintus 13 dan Matius 5. Kedua perikop itu secara jelas menunjukkan rahasia kehidupannya yang tidak egois dan rendah hati. Sangat jarang – hanya pada kesempatan tertentu ketika orang memintanya – ia mau bercerita tentang pengalamannya di Olimpiade.
                Selain mengatur kegiatan olahraga dan rekreasi, ia juga menolong banyak orang di kamp itu dengan mengajar. Eric selalu terlibat dalam penyelenggaraan kebaktian. Ia juga memberikan perhatian khusus bagi kaum lanjut usia, mereka yang lemah dan sakit. Kondisi kamp – jamban terbuka, tikus dan lalat berkeliaran – tentunya sangat memberatkan bagi mereka. Kesetiaan dan kehadiran Eric Liddell memberikan dorongan moril tersendiri bagi banyak orang untuk bertahan hidup di kamp yang padat itu.
                Ia termasuk salah satu petugas yang bertanggung jawab menjaga tata tertib kamp. Kamp itu sendiri seperti sebuah dunia mikro, yang tahanannya berasal dari hampir dua puluh bangsa.
                Eric Liddell mengakhiri pertandingan hidupnya pada tanggal 21 Pebruari 1945, hanya beberapa bulan sebelum para tahanan dibebaskan. Ia tidak tahu kalau rasa sakit yang selama ini ditahannya adalah akibat serangan tumor otak. Ia dimakamkan di sebuah makam kecil di bagian kamp Jepang. Salah seorang yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir adalah Jim Taylor, cicit Hudson Taylor.

Kenangan Hidup
                Saat ini di Edinburgh berdiri Eric Liddel Centre. Badan ini antara lain memberikan pelayanan bagi orang-orang yang menderita dementia, kelab makan siang, kelompok persahabatan bagi kaum lanjut usia, serta kelas dan kelompok pendukung bagi para perawat orang-orang tersebut. Mereka juga menyediakan layanan konseling serta pelatihan bagi orang yang mengalami gangguan kesehatan mental.
                Badan itu merupakan kenangan hidup bagi Eric Liddell. Seperti dikatakan oleh seorang anak yang pernah tinggal di kamp Weshien,”Tidak ada seorang pun dari kita yang akan melupakan pria ii. Ia berkomitmen sepenuhnya untuk mengutamakan Allah. Kehidupannya yang bersahaja menggabungkan kekristenan yang ‘berotot’ dengan kesalehan yang bercahaya....
                Sebagai orang Kristen, Eric Liddell benar-benar rindu untuk mengenal Tuhan semakin dalam, dan sebagai utusan Injil, ia berhasrat untuk membuat Tuhan semakin dikenal.”

Arie Saptaji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar