Yesus Gembala yang Baik.

Selasa, 30 Oktober 2012

Clive Staples Lewis (CS Lewis)



Sarjana, Penulis, dan Pembela Iman
                Nama C.S. Lewis bisa jadi lebih banyak dikenal melalui kutipan-kutipan singkat tulisannya yang muncul dalam tulisan orang lain. Kemungkinan para sarjana sastra Inggris dan sarjana teologia saja yang sempat bertatapan langsung dengan karyanya. Para penggemar cerita fantasi, yang rajin menelusuri rak-rak toko buku atau menggeledah pasar buku loak, mungkin beruntung menemukan Kisah dari Narnia (Dian Rakyat), terjemahan serial dongeng anak-anaknya yang terkenal itu. Atau, barangkali Anda sempat menonton Shadowlands, film garapan Richard Atteoborough yang menampilkan akting memikat Anthony Hopkins dan Debra Winger.

Rumah Penuh Buku
                Clive Staples Lewis lahir di Belfast, Irlandia, pada tanggal 29 November 1898. Orangtuanya, Albert dan Flora Lewis, berwawasan luas dan gemar membaca berbagai macam buku.
                Merekalah yang mengajar Jack (nama panggilan Lewis) dan kakaknya, Warren, membaca sejak dini dan memanfaatkan perpustakaan keluarga. Begitu berlimpah koleksi mereka. Lewis mencatat dalam otobiografinya, “buku-buku berserakan di ruang belajar, di ruang gambar , di tempat penggantungan jas, di dua rak buku besar, di ruang tidur, bahkan di loteng tempat bak penampungan air, buku pun bertumpuk setinggi bahu saya, bermacam-macam buku bacaan...” Dunia buku, dunia gagasan, menjadi lebih nyata dan lebih bermakna baginya daripada dunia luar dengan segala teknologinya pada masa itu.
                Keteduhan rumah ini terguncang hebat ketika sang ibu meninggal saat Lewis berumur sepuluh tahun. Tepat sebelum meninggal, ibunya memberikan Alkitab bertuliskan, “Dari Mami, dengan kasih yang terdalam, Agustus 1908.” Namun efek pemberian ini baru berlangsung lama kemudian.
                Lewis marah terhadap Allah atas kematian ibunya dan menyimpulkan bahwa Allah itu kejam atau Ia hanya suatu abstraksi yang samar-samar. Inilah salah satu hal yang kemudia membawanya ke dalam ateisme.
                Ayahnya lalu mengirimnya ke sekolah berasrama, bergabung dengan kakaknya. Keduanya merasa tidak nyaman karena sang kepala sekolah mudah sekali marah-marah. Lewis menulis, “Kalau saja sekolah itu tidak ditutup, atau saya harus tinggal di sana dua tahun lebih lama, barangkali saya tidak akan pernah menjadi sarjana.” Ironisnya, di sekolah itu pula ia mulai berdoa dan membaca Alkitab. Setelah sekolah itu ditutup, Lewis masuk ke Malvern Chebourg School di Inggris dan kemudian melanjutkan ke Malvern College. Tidak lama kemudian, Lewis pindah dan ditempatkan di bawah pengawasan W.T. Kirkpatrick, yang oleh Lewis dijuluki sebagai “seorang ateis yang sangat satiris”.
                Kirkpatrick melihat potensi yang kuat dalam diri Lewis dan memberi tahu Albert Lewis bahwa anaknya bisa menjadi penulis atau sarjana,”namun entahlah kalau untuk bidang yang lain.” Menyadari kebenaran pandangan Kirkpatrick ini, Lewis mengajukan permohonan dan memperoleh beasiswa untuk kuliah di College University, kampus tertua Oxford.

Kerinduan Akan Sukacita
                Kenangan masa kanak-kanak Lewis mengungkapkan suatu kerinduan yang mendalam akan sukacita. Sebagai kanak-kanak, ia membayangkan tempat-tempat yang dilimpahi sukacita kekal. Sewaktu dewasa, ia membaca puisi-puisi romantis, Plato, dan mitologi Jerman kuno dalam upayanya menemukan sukacita kekal tersebut. “Saya meragukan bahwa seseorang yang pernah mengecap (sukacita) akan mau – bila hal itu bergantung padanya- untuk menurkarnya dengan segala kesenangan dunia ini,” tulis Lewis.
                Pada tahun 1917, ia menjadi tentara, namun diizinkan tetap kuliah di Oxford sampai ia ditugaskan sebagai letnan dua dan dikirim ke garis depan. Setelah terluka dan dibebastugaskan,Lewis kembali menekuni kuliahnya dan menjadi lulusan terbaik dalam angkatannya.
                Karena belum ada peluang untuk mengajar filsafat, ia melanjutkan kuliah tahun keempat di Oxford College, tempat ia bertemu dengan seorang mahasiswa Kristen bernama Nevil Coghill. Coghill memiliki perspektif yang berperan dalam mengubah cara pandang Lewis terhadap dunia ini.
                Mengenai Coghill, Lewis mengatakan,”(Ia) jelas orang yang paling cerdas dan terpelajar di kelas ini...Faktor-faktor yang mengganggu saya dalam diri Coghill (yaitu kekristenan) ini memperbesar gangguan yang saat ini menantang seluruh cara pandang saya sebelumnya. Semua buku yang pernah saya baca seakan mulai menyerang saya.”
                Lewis pun mulai membaca karya-karya pengarang Kristen. Khususnya, ia mengagumi George Mac Donald, penulis Skotlandia. Di dalam tulisan-tulisannya, Lewis menemukan suatu kekudusan yang belum pernah dijumpainya sebelumnya. Karya-karya John Milton, khususnya Paradise Lost, semakin menggugah rasa ingin tahunya. Demikian pula persahabatannya dengan J.R.R Tolkien, pengarang The Lord of The Rings.
                Tahun 1925, Lewis bergabung dalam organisasi sarjana Inggris di Magdalen College, Oxford. Kuliah-kuliahnya selalu penuh peserta, sehingga diperlukan ruang yang lebih luas. Seiring dengan itu, ia semakin giat mencari Tuhan. Dalam sebuah surat kepada sahabat dekatnya, Lewis menceritakan “percakapan panjang yang memuaskan dengan dua orang teman Kristen dengan pengakuan bahwa, “Saya belajar banyak.” “Cara pandangnya telah bergeser dari Idealisme (Tidak mengakui adanya pribadi Allah) ke Panteisme (Allah yang impersonal, yang ada di dalam segala sesuatu), dan kemudian pada Teisme (keberadaan Allah).”
                “Pada saat kuliah tentang Trinitas pada tahun 1929, saya menyerah, dan mengakui, bahwa Allah adalah Allah – sya pun berlutut dan berdoa.... Kekerasan Allah itu jauh lebih lembut daripada kelunakan manusia, dan apa yang dipaksakanNya adalah demi pembebasan kita.”
                Langkah terakhir Lewis menuju kekristenan adalah sewaktu ia menerima penjelmaan Yesus Kristus sebagai fakta. “Sekarang sasya mendekati sumber yang sejak masa kecil saya telah melepaskan panah-panah Sukacita itu ... Sedikit pun saya tidak menduga adanya keterkaitannya. Dalam pengharapan saya, jantung realitas akan dapat dilambangkan  sebaik-baiknya sebagai sebuah tempat; sebaliknya, saya menemukannya sebagai Seorang Pribadi.” Sukacita abadi pun menjadi suatu kenyataan bagi C.S. Lewis.

Tiga Lewis
                Seorang sahabat dekatnya, Owen Barfield, menyatakan, sebenarnya ada tiga “C.S. Lewis”. Maksudnya, sepanjang hidupnya, Lewis menjalani tiga profesi yang sangat berbeda – dan menjalani ketiga-tiganya dengan berhasil.
                Pertama, ia menjadi sarjana dan kritikus sastra yang menonjol di Oxford dan Cambridge (ia diangkat sebagai profesor di Cambridge pada tahun 1955). Kedua, ia pengarang fiksi ilmiah dan cerita anak-anak yang termasyur. Ketiga, Lewis adalah penulis dan penyiar radio yang gigih membela iman Kristen.
                Pada tahun 1936, Lewis menerbitkan karya terobosan yang mengukuhkan reputasinya sebagai sarjana sastra, The Allegory of Love. Buku ini mengubah pemahaman tentang fungsi alegori dalam sastra abad pertengahan. Karya penting lainnya terbit pada tahun 1954, yaitu English Literarture in the Sixteenth Century, kupasan tuntas puisi dan narasi dalam kesusastraan Inggris abad ke -16.
                Akan tetapi, Lewis lebih dikenal melaui karya fiksi dan apologetika Kristennya. Tahun 1936, ia menyelesaikan buku pertama dari trilogi fiksi ilmiah berlatar ruang angkasa, Out of the Silent Planet. Bagian kedua, Perelandra, menyusul tahun 1943, dan bagian terakhir That Hideous Strength, terbit tahun 1945. Namun, karyanya yang paling menonjol dan paling laris adalah tujuh jilid Chronicle of Narnia (1950-1956). Jilid pertamanya, The Lion, The Witch, and the Wardrobe, menampilkan Aslan sang singa, figur yang melambangkan Kristus, pencipta dan penguasa negeri Narnia, serta petualangan empat anak Inggris yang memasuki negeri itu melalui sebuah lemari pakaian.
                Adapun reputasi Lewis sebagai pembela iman Kristen yang gigih dimulai dengan terbitnya dua karya pentingnya : The Problem of Pain (bahasan tentang penderitaan – dan doktrin tentang neraka- sebagai bukti akan adanya alam semesta yang teratur, terbit 1940) dan The Screwtape Letters (surat menyurat antara iblis tua dan iblis muda, terbit 1942).
                Pada masa Perang Dunia II, Lewis tampil sebagai pengisi acara rohani di radio , dan kemudian dikenal sebaai “rasul bagi kaum skeptis”. Esei-eseinya yang disiarkan tersebut menegakkan dan menjelaskan iman Kristen yang memberikan penghiburan bagi jiwa-jiwa yang ketakutan dan terluka. Kumpulan eseinya ini diterbitkan di Amerika Serikat sebagai Mere Christianity pada tahun 1952.
                Poster C.S. Lewis muncul pada sampul majalah Time, 8 September 1947. Dalam usia yang relatif  muda dan baru bertobat enam belas tahun, ia telah menjadi pengarang Kristen paling terkenal di Amerika Serikat dan Inggris.
                Salah seorang penyimak karyanya adalah Joy Davidman Gresham, seorang Yahudi-Amerika, aktivis Partai Komunis yang kemudian bertobat dan memeluk Kristen. Perjumpaan meerka pada awal tahun 1950-an, yang difilmkan dalam Shadowlands, diawali oleh kerinduan Joy untuk berbincang-bincang lebih lanjut dengan pengarang favoritnya tentang kekristenan. Lewis kemudian menikah dengan janda beranak dua ini. Namun, kebahagiaan pernikahan mereka hanya berlangsung sebentar karena Joy meninggal pada tahun 1960 akibat kanker. Pergumulan imannya setelah kepergian Joy dituangkannya dalam A Grief Observed (1960).

Sumbangan Lewis
                Dalam menelusuri karya dan sumbangan C.S. Lewis, pencapaian terbesarnya tidak lain adalah dalam kampus kehidupan itu sendiri. Pada saat peradaban Barat modern tergelincir ke dalam era “pasca-Kristen”, Lewis dengan berani menentang pemikiran yang berkembang di balik modernisme dan teologia liberal.
                David Barrat menggambarkan pencapaian tersebut sebagai kemampuan untuk “membawa kebenaran lama dan memberinya relevansi dan vitalitas baru di tengah zaman sekuler, serta menantang sikap puas diri yang tengah berkembang...” Kekristenan Ortodoks memang sedang mundur pada saat Lewis bertobat – digempur baik oleh teologia liberal maupun skeptisme ilmiah dan sekuler.
                Ketika ia meninggal dunia pada tahun 1953, geerja Kristen di Inggris, dan terlebih lagi di Amerika Serikat, sedang memasuki suatu masa pembaruan. Orang-orang Kristen bermunculan dari “tempat persembunyian” mereka dengan keyakinan dan pengharapan yang baru. Harus diakui, hal ini sebagian didorong oleh apa yang dikerjakan C.S. Lewis.
                Tidak banyak orang yang mempengaruhi dunia seperti C.S. Lewis. Lebih dari lima puluh karyanya telah membuka pikiran dan imajinasi banyak orang. Sampai saat ini, buku-buku Lewis terjual lebih dari dua juta eksemplar setiap tahunnya – separonya dari The Chronicles of Narnia yang ditulisnya untuk anak-anak itu.

Arie Saptaji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar