Yesus Gembala yang Baik.

Selasa, 30 Oktober 2012

Charles Thomas Studd

Menyerahkan Kekayaan dan Kehidupan
                Salah satu pergerakan misi yang berdampak besar bagi penginjilan dunia adalah Student Volunteers Movement (Gerakan Sukarelawan Mahasiswa), didirikan di Mount Hermon, Massachusetts, pada tahun 1886. Pencetusnya adalah tujuh mahasiswa Universitas Cambridge (dikenal sebagai “Cambridge Seven”) yang menyerahkan ambisi mereka untuk mengejar karier dan mengabdikan kehidupan mereka untuk misi ke luar negeri. Gerakan ini berlangsung sekitar lima puluh tahun, mengutus sekitar dua puluh ribu mahasiswa ke ladang misi , terutama Cina dan India.
                Mereka tergolong utusan Injil yang paling tangguh dalam pelayanan. Pada saat itu, ketika kebanyakan utusan Injil menjadi malas, mereka justru tampak menonjol. Mereka terdorong oleh keteguhan visi dan berkomitmen menginjili dunia dengan sarana apa pun yang tersedia.
                Salah satu anggota “Cambridge Seven” adalah Charles Thomas Studd. Ia lahir di Inggris pada tahun 1860 , salah satu dari tiga anak mantan pengusaha kaya raya, Edward Studd. Ayahnya lahir baru  ketika mengikuti KKR Moody-Sankey. Sejak saat itu, ia sangat memperhatikan kerohanian ketiga anaknya.

Warisan Besar
                CT Studd sendiri mengalami lahir baru pada usia 18 tahun, ketika seorang pengkhotbah keliling berkunjung ke rumah mereka. Dua saudaranya juga mengalami lahir baru pada hari yang sama. Namun, selama enam tahun kemudian, ia mundur dan tidak sungguh-sungguh dalam kehidupan rohaninya.
                Ia adalah mahasiswa cerdas dan pemain cricket andalan kampusnya, Universitas Cambridge. Ketika DL Moody berkhotbah di kampusnya , ia pun bertobat dan kembali mendedikasikan hidupnya kepada Tuhan Yesus Kristus. Tidak lama kemudian, ia dan enam mahasiswa lainnya bergabung dengan Hudson Taylor untuk melayani ke Cina.
                Bagi banyak orang, termasuk sanak saudara Studd sendiri,  keputusan ketujuh mahasiswa itu merupakan gagasan yang terburu-buru dan menyia-nyiakan kecerdasan dan kemampuan mereka.
                Mereka berlayar ke Cina tahun 1885. Sesampainya di sana, mereka mengikuti kebiasaan badan misi itu dengan hidup dan berpakaian seperti orang Cina. Mereka juga mempelajari bahasa dan mengikuti cara makan penduduk setempat.
                Saat berada di Cina itulah ia mencapai usia 25 tahun dan, sesuai dengan wasiat ayahnya, ia berhak atas warisan yang sangat besar jumlahnya. Setelah menekuni firman Allah dan banyak berdoa, Studd merasa terdorong untuk menyerahkan seluruh kekayaannya kepada Kristus!
                “Itu bukan suatu kebodohan. Itu suatu kesaksian di hadapan Allah dan manusia bahwa ia mempercayai firman Allah sebagai hal yang paling pasti di bumi ini. Buah seratus kali lipat yang Allah janjikan dalam kehidupan saat ini- belum lagi dalam kehidupan yang akan datang – merupakan kenyataan yang pasti bagi mereka yang mempercayainya dan bertindak berdasarkan firman tersebut,” papar Norman P. Grubb, penulis biografinya.
                Sebelum mengetahui jumlah warisannya, CT mengirimkan 5.000 lira kepada Moody, 5.000 lira kepada George Muller, dan 15.000 lira lagi untuk menunjang pelayanan-pelayanan lainnya. Beberapa bulan kemudia, ia baru mendapat kabar jumlah uang yang diwariskannya. Ia pun mempersembahkan beberapa ribu poundsterling lagi. Sisa di kantungnya tinggal 3.400 lira.
                Setelah tiga tahun berada di Cina, CT menikah dengan seorang utusan Injil muda dari Ulster, Irlandia, bernama Priscilla Livingstone Stewart. Sebelum menikah , ia menyerahkan sisa uang yang dimilikinya sebagai mas kawin.
                Priscilla ternyata tidak mau   kalah. Ia berkata, “Charlie, apa yang diperintahkan Tuhan kepada anak muda yang kaya itu?”
                “Juallah semuanya.”
                “Yah, kalau begitu, kita akan memulai pernikahan kita dengan taat kepada Tuhan.”
                Dan mereka pun terus memberikan sisa uang yang ada untuk pekerjaan Tuhan.
                Mereka melayani Tuhan bersama-sama di daratan Cina dengan melewati berbagai bahaya dan kesukaran. Pada tahun 1894, karena kesehatannya memburuk, keluarga Studd pun kembali ke Inggris. Di sana mereka menyerahkan tanah milik mereka kepada China Inland Mission.

Melayani Di Afrika
                CT dan istrinya berkeliling dunia, mengumpulkan dana untuk misi. Ketika mengunjungi India pada tahun 1900, ia menemukan iklim dan suasana yang cocok bagi dia dan istrinya. CT melayani sebagai gembala sebuah gereja di Ootacamund selama enam tahun, dan sesudah itu kembali ke Inggris.
                Setibanya di Inggris pada tahun 1906, CT tergugah oleh kebutuhan akan utusan Injil perintis untuk Afrika Tengah. Namun, jalan yang mesti ditempuhnya bukan tanpa hambatan. Tidak memiliki uang satu sen pun, dicegah oleh dokternya, dan batal dibantu oleh sejumlah pengusaha yang semula sepakat mendukungnya.
                “Mengapa tidak ada orang Kristen yang mau pergi?” ia bertanya pada Tuhan.
                “Mengapa kau tidak pergi?” Tuhan balas bertanya.
                “Dokter tidak akan mengijinkannya,” jawabnya.
                “Bukankah Aku dokter yang baik? Tidak dapatkah Aku memeliharamu?”
                Sekali lagi CT mempertaruhkan segala sesuatu untuk mentaati Tuhan. Ketika muda ia mempertaruhkan kariernya, di Cina ia mempertaruhkan kekayaannya, sekarang ia mempertaruhkan nyawanya.
                Ia mengatakan kepada para pengusaha itu,”Tuan-tuan, Tuhan sudah memanggil saya untuk pergi, dan saya akan pergi. Saya akan merintis jalan, meskipun makam saya mungkin hanya akan menjadi batu loncatan bagi utusan Injil muda yang mengikuti jejak saya.”
                Keputusan CT untuk pergi ke Afrika sangat memberatkan Priscilla, isterinya, yang mengidap penyakit jantung. Ia menentang keras rencana suaminya. Namun CT, yang ketika itu berusia 52 tahun, sakit-sakitan dan tanpa dukungan finasial, membulatkan tekadnya. Pada Desember 1912, CT meninggalkan istri dan keempat anak perempuannya di Inggris untuk berlayar ke Afrika, melayani selama dua tahun.
                Suatu ketika CT mengatakan,”Kalau Yesus Kristus adalah Tuhan, dan Ia telah mati bagi saya, maka tidak ada pengorbanan yang lebih besr, yang dapat saya persembahkan kepadaNYa.”
                Ia sempat pulang sebentar, lalu kembali ke Afrika selama lima tahun lagi Nyonya Studd baru menyusul pada tahun 1928, dan setahun kemudian ia meninggal.
                CT menghaslkan banyak buah bagi Kristus selama di Afrika. Ia melayani sambil menanggung kelemahan dan sakit-penyakit. Gigi-giginya tanggal dan beberapa kali ia mengalami serangan jantung. Namun, ia menanggung semua kesulitan itu sebagai prajurit yang baik dari Tuhan Yesus Kristus.
                Pada bulan Juli 1931 di Malaga, Afrika, CT Studd kembali ke rumah Bapa yang sangat dikasihinya dan dilayaninya dengan penuh kesetiaan. Perkataan terakhir yang diucapkannya adalah,”Haleluya!”

Dimuat di Bahana, Juli 2003

Arie Saptaji

1 komentar: